Lili bangkit lalu meraih tanganku dan menciumnya dengan takzim.
"Mau apa kamu datang kemari?" tanya Bang Panji menghenyakkanku. Tiba-tiba ia muncul dari dalam.
"Aku mau jemput Lili pulang, Bang."
"Tidak. Biar dia disini sama aku. Kamu gak becus jadi suami!"
"Tapi bang, Lili istriku, dia tanggung jawabku. Dia harus ikut suaminya kemanapun suaminya pergi."
"Tanggung jawab kamu bilang? Tanggung jawab macam apa? Kalian tega manfaatin tenaga Lili, udah kayak babu di rumah sendiri! Kemana aja kamu selama ini?!"
"Maaf bang, tapi aku akan memperbaiki kesalahanku."
"Bang, Mas, tolong jangan ribut. Tak enak didengar tetangga," sela Lili menengahi perdebatan kami. Suaranya masih terdengar lemah, tapi mampu membuat kami bungkam.
Aku duduk di teras ubin tanpa dipersilahkan. Hatiku benar-benar kalut. Rasanya kecewa, kenapa Lili mau menuruti Bang Panji untuk pulang ke rumah ini, padahal ada rumah suaminya.
"Bang, kenapa gak bilang-bilang kalau bawa Lili pulang dari Rumah sakit?" tanyaku memecah kebisuan.
"Buat apa aku izin sama kamu. Lili itu adikku. Seorang kakak berhak melindungi adiknya kalau dia sudah tak baik-baik saja."
"Tapi bang, aku ini suaminya."
"Sebaiknya kau pulang. Introspeksi diri dulu lah, sikap apa saja yang perlu kau perbaiki. Aku gak mau, Lili kembali sama kamu dengan keadaan tersiksa batin maupun fisiknya," sergah Bang Panji lagi.
Aku menghela nafas dalam-dalam.
"Maaf, aku menengahi. Panji, lebih baik beri mereka waktu dan kesempatan. Mereka sudah berumah tangga, jadi sebaiknya kau tidak mencampuri urusan mereka lebih dalam," ucap Raffa. Ah lelaki itu ternyata lebih tahu.
"Raffa, Lili itu adikku. Mana mungkin aku membiarkannya menderita. Ikatan darah itu lebih kental dari pada ikatan pernikahan."
"Aku tahu. Tapi, antara Azzam dan Lili, mereka sudah dewasa, mereka berhak menentukan keputusannya. Dan memang seharusnya Lili sebagai seorang istri menuruti perintah suami. Asalkan yang menjadi suami juga harus memperlakukannya dengan baik," sahut Raffa lagi.
"Aku pasti akan memperlakukannya dengan baik, aku akan memperbaiki kesalahanku, Bang," timpalku dengan cepat.
"Kalian ngobrol-lah berdua di dalam," ucap Bang Panji, nada suaranya mulai melunak.
Aku tersenyum mendengarnya. Syukurlah kalau Bang Panji mau mengerti.
Kupapah tubuh Lili masuk ke dalam kamar. Sebuah ruangan yang penuh dengan kenangan. Sebagai saksi bisu kami memadu kasih saat malam pertama.
Di rumah yang sederhana ini aku telah menemukan bidadari, aku telah jatuh menumpahkan hatiku untuknya. Wanita sederhana yang juga penurut, lemah lembut tutur katanya membuatku tak mampu berpaling. Aku mencintainya. Walaupun dari awal ibu menentangku untuk menikahinya.
*
"Itu pacarmu, Zam?" tanya ibu saat aku menghampiri ibu di dapur. Wanita itu tengah membuatkan teh manis untuk tamu yang kubawa bersamaku. Dia Lili, gadis yang akan kukenalkan pada ibu.
Aku tersenyum. "Bukan Bu, tapi calon istri."
"Apa? Istri?"
"Iya, Bu. Kemarin secara simbolis aku melamarnya. Dan kakaknya ingin kita meminang adiknya secara serius."
"Bapak dan ibunya usaha apa?"
"Maksud ibu?"
"Ya sebelum menikah harus dilihat dulu, bibit bebet dan bobotnya."
"Tenang saja Bu, gak usah khawatir dia gadis yang baik."
"Baik saja tidak cukup, Zam. Harus kaya juga."
"Bapak dan ibunya usaha apa?"
"Dia yatim piatu, Bu. Ibu dan bapaknya sudah meninggal. Dia tinggal sama kakaknya, mereka sudah mandiri sejak kecil."
Ibu cuek saja tak menanggapi.
"Gimana, ibu setuju kan?"
"Dia gadis yang rajin, Bu."
"Pekerjaannya apa sekarang?"
"Emhh Lili seorang pelayan toko, Bu."
"Oh, namanya Lili?"
"Iya Bu. Cantik kan, Bu?"
"Iya memang cantik, tapi sayang kurang pantas buatmu."
"Maksud ibu?"
"Ya kurang sepadanlah sama kamu yang kerja kantoran."
"Tapi aku mencintainya, Bu."
"Cinta saja tidak cukup, Zam. Harusnya kamu itu pantasnya sama seorang pekerja kantoran lagi yang bapak ibunya kaya."
"Bu, aku gak memandang harta. Cintaku ini begitu tulus padanya, Bu. Makanya aku ingin mengajaknya menikah."
Ibu terdiam, seakan tak suka tapi memang aku tak yang tak peka. Aku menganggap diam ibu sebagai bentuk setuju.
"Bu, minggu besok kita melamarnya secara resmi ya. Aku sudah siapin uangnya."
"Kamu beneran suka sama dia? Udah mantep?"
"Iya, Bu."
"Tapi jangan lupakan ibu. Ibu gak mau setelah kamu nikah, kamu malah acuh sama ibu."
"Ya enggak dong, bu. Aku pasti akan sangat menyayangi ibu. Aku yakin Lili juga akan sayang pada ibu."
Singkat kata, tak lama akhirnya aku menikah. Tak ada pesta mewah atau apapun itu. Hanya akad nikah yang sederhana dan acara syukuran, yang terpenting kami sah secara agama dan juga negara.
Awalnya semua baik-baik saja. Beberapa hari aku tinggal di rumahnya, lalu kuboyong ke rumah ibu. Sejak menikah, Lili keluar dari pekerjaan. Jadi untuk itulah dia membantu ibu melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi di rumah. Karena setelah pulang keadaan rumah baik-baik saja, tak ada cekcok apapun antara Lili dan ibu. Rumah rapi, masakan tersaji semuanya begitu lengkap mewarnai keseharianku. Ya, aku bahagia.
Bahkan aku tak pernah menggubris selentingan omongan tetangga yang bilang kalau ibu kerap marah-marah pada Lili. Ah itu tidak mungkin kan? Lili tak pernah mengeluh padaku, ibu juga terlihat biasa saja.
Setahun kemudian aku mampu membeli rumah dengan uangku, maka dari itu aku memboyong Lili ke rumah baru. Aku juga ingin fokus dengan keluargaku, agar Lili cepat hamil.
Tiba-tiba saja setengah tahun terakhir ini, ibu bilang ingin ikut bersamaku. Alasannya di rumah sepi, Icha sudah lulus sekolah dan saat ini ia sedang di rumah ibunya. Aku mengiyakan saja permintaan ibu. Tak pernah kusangka kalau ibu akan memperlakukan Lili dengan buruk.
*
"Mas, apa yang ingin kau bicarakan? Kenapa dari tadi diam saja?"
"Kita pulang yuk dek. Pulang ke rumah."
Lili menggeleng perlahan.
"Kenapa?"
"Aku ingin tenangin diri dulu disini, mas."
"Tapi, dek. Kamu itu istri aku, kamu tanggung jawabku."
"Tenanglah, aku baik-baik saja disini. Ini rumahku. Kau pulang saja. Kasihan ibumu, nanti nyariin, ibu kan gak bisa jauh dari kamu, Mas--"
"Tapi, dek--"
"Please, aku butuh waktu untuk sendiri. Pergilah."
Tak pernah kusangka, aku mendapatkan penolakan seperti ini. Kenapa?
Aku menghela nafas dalam-dalam."Maafin mas, dek. Selama ini mas sudah salah. Tapi yakin kamu gak mau pulang, Dek?"Lili mengangguk. Mataku terasa panas, hampir saja air mata ini luruh, tapi malu pada wanita di hadapanku. Mungkin ia memang butuh waktu untuk sendiri. Pasca kehilangan bayinya, aku yakin Lili sangat terguncang."Ya sudah, kalau kamu gak mau pulang. Mas yang akan ikut tinggal disini."Lili masih terdiam."Mas akan ambil baju-baju Mas dan juga bajumu. Jadi mas pulang dulu, nanti mas kesini lagi."Aku berpamitan dengan Lili dan juga Bang Panji untuk pulang sebentar.***"Zam, kamu udah pulang?" tanya ibu.Ia tersenyum saat menyambutku. Kucium punggung tangannya dengan takdzim. Aku berlalu begitu saja, masuk ke dalam kamar."Zam, tadi ibu ngambil baju di anaknya Bu RT, nanti tolong bayarin ya, duit ibu udah habis," sahut ibu. Tiba-tiba ia muncul dari balik pintu."Ibu ambil baju
"Bu, please! Ibu jangan seperti anak kecil begini. Aku cuma sementara waktu saja ke tempat Bang Panji. Aku ingin memperbaiki dulu hubunganku dengan Lili. Ibu tahu, rumah tanggaku sudah diambang kehancuran. Aku ingin mendapatkan kepercayaan Lili lagi.""Zam, wanita itu gak hanya satu. Banyak wanita yang lebih cantik dan kaya dari Lili, ibu sangat yakin, kamu pasti bisa mendapatkan wanita lebih baik dari Lili.""Cukup Bu, jangan menambah keruh suasana. Kenapa ibu berpikir seperti itu sih! Aku harus mencari wanita lain begitu? Tidak Bu! Bagiku pernikahan cukuplah sekali seumur hidup dan aku akan berusaha setia pada istriku. Wanita di luaran sana memang banyak, tapi yang kucintai hanya Lili, Bu. Aku gak ingin kehilangan dia. Sudah cukup aku kehilangan bayiku," ucapanku terhenti, seperti ada yang tercekat di tenggorokan."Bayiku meninggal, istriku sakit dan sekarang dia memilih tinggal bersama kakaknya. Tapi apa ibu peduli pada kami? Tidak!
Glek! Aku tak mampu berkata-kata mendengar ucapan Lili. Dia terlihat begitu terluka. Bahkan tangannya sampai gemetaran."Maaf dek, mas memang gak bisa mengembalikan anak kita. Tapi mas ingin memperbaiki kesalahan ini. Tolong.""Pergilah, Mas! Pergiii ....! Aku ingin sendiri!" teriak Lili dengan histeris."Ada apa ini malam-malam ribut?"Bang Panji muncul dari balik pintu. Menatapku dengan tajam. Bang Panji langsung mendorong tubuhku hingga ke tembok."Kenapa kau membuat adikku menangis lagi hah?!" bentak Bang Panji, ia mencengkram kuat krah bajuku, sedangkan tangan satunya sudah mengepal kuat hendak melayangkan tinju ke arahku.Aku diam, terserah bila Bang Panji ingin menghajarku lagi habis-habisan. Hatiku lebih sakit memandang Lili menangis tergugu di sudut ranjang. Kedua telapak tangan menutupi wajahnya.Cengkraman Bang Panji terlepas sendiri olehnya. Laki-laki yang lebih tinggi dariku itu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Oh, ada tamu. Kenapa gak masuk dulu?" sela Bang Panji.Ia turun dari boncengan motor Raffa."Panji, aku pulang duluan.""Okey"Motor Raffa menjauh dari halaman. Pria itu mungkin sungkan karena ada keluargaku. Biasanya mereka--Bang Panji dan Raffa usai pulang kerja, akan berdiskusi hingga malam.Sebenarnya aku kesal, kedatangan ibu malah membuat kecanggungan baru diantara kami. Padahal sebentar lagi, Lili bisa luluh padaku. Tapi sekarang? Aaarggghh kacau!Tapi jujur, aku mengapresiasi keberanian ibu yang mau minta maaf dan mengakui kesalahan ibu. Cuma aku tak mengerti, apakah ibu benar-benar tulus meminta maaf?"Kalian mau sampai kapan tinggal disini merepotkan abangmu?" tanya ibu. Nada bicaranya sungguh lembut."Tidak merepotkan kok, ini juga masih rumah Lili," sela Bang Panji.Lili hanya menunduk. Sedangkan Bang Panji masuk ke dalam, tak lama keluar lagi sembari membawa minuman. La
Wajah ibu tampak tegang mendengar jawabanku."Hahaha, bercanda Bu. Kenapa tegang gitu?" timpalku lagi sambil tertawa.Mas Azzam memandangku dengan tatapan bingung.Ya, ini baru permulaan Bu, aku akan mengalah dulu. Takkan kutunjukkan aku berubah secara drastis. Pelan-pelan saja, kita nikmati permainannya. Rasanya ingin juga memberi pelajaran kepada ibu, juga pada adik sepupunya yang tak tahu diri itu. Sebenarnya aku kurang sreg dia ada disini. Walaupun ibu mertuaku bilang Icha sudah seperti anaknya sendiri karena telah mengasuhnya sedari kecil, tapi tetap saja Icha dan Mas Azzam bukanlah mahram.Baiklah, akan kuuji juga ketulusan suamiku, sampai sejauh mana dia mencintaiku dan mau menghargaiku sebagai seorang istri."Ya sudah, karena semua orang capek, mas pesankan makanan di luar saja ya. Kamu gak usah masak, istirahat saja, pungkas Mas Azzam menengahi."Ide bagus, Mas.""Kamu mau pesan apa, sayang?""Emmmhh,
"Apa maksud mbak ngomong seperti itu?""Ya kamu gak mungkin kan selamanya hidup menumpang seperti ini?""Ish! Awas kau mbak! Kulaporkan pada ibu kalau Mbak sudah berani macam-macam."Gadis itu menghentakkan langkah kakinya kasar, menuju ke kamar ibu mertuaku. Pasti ingin mengadu.Tak butuh waktu lama dua orang itu berdiri di belakangku. Raut wajah ibu sudah terlihat tak bersahabat."Ada apa, Bu? Apa ibu mau marah-marah? Gak baik lho buat kesehatan, nanti kena serangan jantung.""Kamu nyumpahin ibu?""Enggak kok, aku cuma memperingatkan ibu saja. Ngomong-ngomong ada apa, Bu?""Hmmm," ibu tampak salah tingkah, mungkin tidak jadi marah gegara ucapanku tadi."Tolong setrikain baju ibu. Ibu mau pergi ke arisan," katanya kemudian."Budhe, aku ikut ya! Males kalau di rumah," sergah Icha.Baguslah kalian berdua pergi. Kesempatan buatku untuk panggil Bang Panji untuk memasang kamera tersembunyi."
Pagi-pagi sekali kulihat Icha sudah rapi dengan kemeja putih serta rok span warna hitam, khas orang melamar kerja."Mas, aku sudah pasti diterima kan?" tanya Icha disela-sela sarapannya."Belum tentu, aku hanya merekomendasikan saja, peluang diterima atau tidak itu atas usahamu sendiri. Makanya saat diwawancarai nanti, kamu harus jawab yang sopan dan bener, jangan slengek'an," sahut Mas Azzam."Dah tenang aja Cha, kamu kan lulusan sarjana. Pasti diterima deh," ibu ikut menimpali.Aku hanya diam memperhatikan mereka bicara."Ya sudah Bu, aku berangkat ke kantor dulu," pamit Mas Azzam sembari mencium punggung tangan ibunya."Aku juga pamit ya budhe, doakan biar sukses ya budhe," timpal Icha."Iya-iya dah sana berangkat," sahut ibu mertuaku itu."Sayang, mas berangkat ke kantor dulu. Kamu baik-baik ya di rumah. Inget, jangan capek-capek.""Iya mas," sahutku sambil tersenyum.Aku mengantar mereka sampai di depan teras
"Apa kamu meragukan istrimu sendiri, Mas? Apa kamu tidak mempercayaiku, Mas?" tanya Lili membuatku makin bingung. Ia berlalu begitu saja menuju kamar."Dek, dek!!" panggilku. "Mas belum selesai ngomong kenapa malah pergi?!"Ibu dan Icha terdiam melihat kami bertengkar. Bukankah sikap istriku keterlaluan? Untuk apa dia memasang kamera cctv di kamar ibu dan Icha. Apa tujuan yang sebenarnya?"Dek ... Mas percaya kok padamu, tapi bukan begini caranya! Memasang kamera secara sembunyi-sembunyi bukankah itu tidak sopan? Hargai privasi mereka, dek."Panggilanku tak digubrisnya. Tubuhnya justru terguncang. Astaghfirullah baru beberapa hari berbaikan dengannya, sekarang justru ada masalah yang lain lagi."Sayang, maaf, mas gak bermaksud untuk menyalahkanmu, tapi--""Sudah cukup, Mas. Sekarang aku tahu. Kamu itu memang tidak benar-benar mencintaiku. Kamu hanya percaya pada mereka tanpa mau terbuka sedikit saja dengan keluhanku. Tanpa mau
Icha menghentikan gerakannya. "Apa maksud Mas Azzam? Bukankah budhe ada di kampung?""Ibu sakit stroke Cha, sekarang beliau ikut kami," sahutku."Apa? Sakit?""Iya, kita pulanglah dulu, jengukin ibu. Akhir-akhir ini ibu banyak melamun. Mungkin ibu juga rindu padamu."Icha mengangguk setuju. "Sejak aku diboyong Mas Raka, aku tak diperbolehkan keluar rumah apalagi berhubungan dengan ibu. Handphoneku dijual sama dia. Banyak hal pahit yang kurasakan, dia dan ibu mertua berlaku kasar padaku."Sungguh miris nasibmu, Cha. Sepertinya kau mengalami hal yang lebih buruk dari yang kualami.***"Assalamualaikum. Bu, lihatlah siapa yang kubawa," kata Mas Azzam.Ibu menoleh kemudian tersenyum saat melihat Icha datang bersama kami."Budhe--"Icha langsung menghambur ke arah ibu. Mereka terhanyut dalam isak tangis. Meskipun bukan anak kandungnya tapi ibu benar-benar menyayangi Icha setulus hatinya.
Mas Azzam menoleh ke arahku. "Dek, ibu jatuh di kamar mandi, sekarang dirawat di rumah sakit terdekat.""Siapa yang menghubungi, Mas?""Mbak Idah. Katanya Icha gak bisa dihubungi sejak pindah ke rumah suaminya.""Ya sudah Mas, kita pulang. Kasihan ibu."Setelah tiga jam perjalanan akhirnya sampai juga di rumah sakit tempat ibu dirawat. Disana tak ada siapapun yang menunggunya. Tetangga sudah pulang karena punya kesibukan masing-masing."Bu," sapa Mas Azzam. Dia langsung memeluk tubuh ibunya yang terbaring lemah tak berdaya.Netra ibu tampak berkaca-kaca. Mulutnya bergetar, ingin mengucapkan sesuatu tapi tak bisa.*"Ibu Yanti mengalami stroke, hampir separuh tubuhnya tak bisa digerakkan."Penjelasan dokter membuat Mas Azzam makin terluka. Kulihat air mata itu menitik dari pipinya.Rasa hatiku ikut perih, menyaksikan ibu mertuaku tak berdaya. Ibu yang dulu dengan jumawa'nya menghinaku kini justr
"Dek, siap-siap kita akan datang ke pernikahan Icha," ucap Mas Azzam."Kita jadi pulang kampung, Mas?""Iya. Ibu terus menghubungi, meminta kita datang. Kita buktikan saja ucapan ibu benar apa tidak. Kalau ibu bohong lagi, kita akan langsung pulang."Aku mengangguk, lantas bersiap-siap mengganti baju.Mas Azzam menggenggam tanganku dengan erat, berkali-kali menciumi keningku. Ya, hubungan kami sudah membaik sejak tak ada lagi yang mengganggu.Kami sampai di kampung, bertepatan dengan akad nikah Icha. Aku tak tahu persis bagaimana awalnya, kenapa tiba-tiba Icha dinikahkan di kampung."Icha diperkosa, makanya segera dinikahkan agar tidak menjadi aib," tutur ibu mertua saat Mas Azzam bertanya mengenai hal ini. Kulihat air mata ibu tumpah.Walaupun kecanggungan diantara kami begitu kentara, tapi aku sempat memeluk ibu mertua. Aku merasa sekarang sikapnya sudah berubah, jauh lebih lembut.Setelah meng
Icha masih berada dikamarnya dengan balutan kebaya brokat berwarna putih. Riasan wajahnya terkesan natural justru membuatnya semakin ayu. Wajahnya yang putih bersih tak perlu mendapat banyak polesan. Ya, dia memang secantik itu, hidungnya juga mancung. Rambutnya yang panjang sepunggung membuatnya mudah untuk disanggul dan diberi hiasan hairpiece."Kamu cantik sekali..." puji Bu Yanti. Dia menemaninya sedari tadi.Icha termenung, pikirannya berkelana jauh. Kalau menikah sekarang berarti aku tak punya harapan lagi bersama Mas Azzam, batinnya bersedih."Sudah jangan bersedih lagi, jalani saja, dan tetap berdoa semoga kedepannya baik-baik saja."Icha mengangguk, Budhenya seolah tahu apa yang dirasakannya sekarang."Budhe, memangnya Mas Azzam gak datang?" tanya Icha, dia ingin sekali bertemu dengan kakak sepupunya itu."Sepertinya dia takkan datang.""Kenapa budhe? Sebenci itukah Mas Azzam padaku? Hingga dia tak m
Pernikahan Icha dan Raka sudah ditentukan. Mau tidak mau Bu Yanti harus menghubungi anak lelakinya, Azzam. Ia tidak tahu anaknya akan pulang ataupun tidak, tapi yang terpenting ia akan memberitahukan hal ini padanya.Berkali-kali panggilan telepon itu tidak diangkat. Akhirnya ia mengirimkan pesan singkat.[Zam, Icha akan menikah hari Minggu besok. Kalau bisa kamu dan Lili hadir disini ya]Azzam terkejut saat membaca pesan ibunya. Kok tiba-tiba Icha menikah? Apa yang terjadi? Apakah ibu bersandiwara lagi?"Dek, ini ibu kirim pesan, katanya Icha mau menikah," ucap pria itu kepada istrinya."Apa, Mas? Icha menikah? Sama siapa? Kok mendadak?""Entahlah, mas juga gak tahu.""Ya sudah kita kesana, Mas.""Jangan dek, takutnya ini hanya sandiwara ibu. Aku gak mau terjebak tipuan ibu lagi.""Masa sih Mas, hal sepenting ini ibu tega menipu?""Ya kita kan sudah berkali-kali dibohongi sama ibu, aku gak bis
"Enggak!" teriak Icha. Dia berlari sekencang-kencangnya, menjauh dari tempat terkutuk itu.Nafasnya tersengal-sengal, ia memilih berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Laki-laki itu tak lagi mengejarnya. Tapi ia mulai bimbang, ada dimana dia sekarang.Cukup lama berjalan, tak ada taksi yang lewat. Sepi.Icha berjalan kaki ke rumahnya dengan hati kesal. Ia menggerutu sepanjang jalan. Jarak menuju rumah, cukuplah jauh. Ia pasti akan merasa lelah. Apalagi malam-malam begini, jalanan semakin sepi dan mencekam. Gadis itu jadi menyesal, kenapa tak mengindahkan kata-kata budhenya. Kenapa dia harus pergi malam-malam begini. Ia pun tak tahu persis, kemana kakinya harus melangkah.Tiba-tiba ditengah jalan, ia dihadang dan digoda oleh para preman. Icha makin ketakutan saat melihat segerombolan pemuda itu."Halo cantik, mau kemana malam-malam begini?""Sayang sendirian aja nih, abang temenin ya!"Gadis itu merasa takut, kar
"Kali ini ibu tidak akan berdusta 'kan? Lebih baik ibu anggap aku tiada saja. Hubungan kekeluargaan kita, cukup sampai disini saja."Ibu dan Icha saling berpandangan kala melihat Azzam berlalu begitu saja meninggalkan mereka. Icha, gadis itu masih bertanya-tanya kenapa Azzam bersikap ketus bahkan pada ibunya sendiri."Budhe, apa yang terjadi? Kenapa Mas Azzam bersikap seperti tadi?"Ibu hanya mengelus punggung gadis itu, hatinya pun tampak kalut. Sebelumnya Azzam tak pernah bersikap begitu dingin dan ketus terhadap ibunya. Tapi sekarang ia bahkan tega mengusir ibunya sendiri dari rumah."Ayo kita cepat pulang. Ada banyak hal yang harus kita lakukan."Icha mengangguk menanggapi budhenya. Orang yang sangat menyayangi dirinya melebihi orang tua kandungnya sendiri.***"Cepat beresin barang-barangmu ya, Cha.""Memangnya kita mau kemana, budhe?""Pulang kampung.""Hah? Pulang? Kenapa? Icha kan masih ada p
Aku langsung memeluknya. Kenapa sih Lili punya pikiran berpisah denganku. Ya Allah, aku harus bagaimana agar istriku tidak goyah. Aku paham dengan perasaannya, dia pasti sangat kehilangan. Dan semuanya gara-gara keluargaku. Tapi, aku benar-benar tak ingin kehilangan Lili lagi."Jangan begini sayang, kumohon. Jangan katakan ini lagi. Terserah kamu mau menghukumku seperti apa. Tapi tolong jangan minta pisah dariku, Li. Maafkan semua kesalahanku. Aku mohon."Kudengar ia pun ikut terisak."Aku mencintaimu, sayang. Aku juga sudah berjanji pada abangmu untuk terus bersamamu. Aku mohon Li, kita jangan bicara seperti itu padaku. Sampai kapanpun kau tetap istriku. Aku tidak akan pernah menceraikanmu."Kuusap butiran bening yang menetes di wajah ayunya, lalu mengecup wajah yang ayu itu berkali-kali. Kalau sampai kehilangan Lili lebih baik aku mati saja. Aku tak rela dia pergi dariku.Aku tahu selama menikah denganku dia selalu terluka. Allah, tolong be
"Yang membakar rumahmu adalah orang suruhan Icha. Maafin mas, Dek. Maafin mas. Mas malu, mas tak pernah menyangka kalau dia bisa bertindak nekat dan jahat seperti itu. Maaf." Bagaikan disambar petir mendengar pengakuan Mas Azzam. Icha, bocah itu ternyata yang sudah menyebabkan kebakaran di rumah? Aku benar-benar tak percaya, dia begitu tega padaku. Dada ini terasa sesak sekali mengetahui kenyataannya. Ya, rasanya seperti disayat oleh sembilu. Ada ya orang yang bersikap tega, padaku dan keluargaku. Sebenarnya aku salah apa? "Maafin mas, Dek. Maaf!" Lagi-lagi Mas Azzam minta maaf. Tubuhnya terguncang saat memelukku. Dia menangis? Entahlah. Mendadak hatiku kosong, seolah mati rasa. *** "Dek, nanti siap-siap ya. Mas udah di-acc untuk pindah ke kantor cabang. Mas juga udah dapat rumah sewa disana." Aku hanya memandangnya sekilas, kubalas ucapannya hanya diam, tanpa kata. "Kenapa mas perhatiin akhir-akh