Wajah ibu tampak tegang mendengar jawabanku.
"Hahaha, bercanda Bu. Kenapa tegang gitu?" timpalku lagi sambil tertawa.
Mas Azzam memandangku dengan tatapan bingung.
Ya, ini baru permulaan Bu, aku akan mengalah dulu. Takkan kutunjukkan aku berubah secara drastis. Pelan-pelan saja, kita nikmati permainannya. Rasanya ingin juga memberi pelajaran kepada ibu, juga pada adik sepupunya yang tak tahu diri itu. Sebenarnya aku kurang sreg dia ada disini. Walaupun ibu mertuaku bilang Icha sudah seperti anaknya sendiri karena telah mengasuhnya sedari kecil, tapi tetap saja Icha dan Mas Azzam bukanlah mahram.
Baiklah, akan kuuji juga ketulusan suamiku, sampai sejauh mana dia mencintaiku dan mau menghargaiku sebagai seorang istri.
"Ya sudah, karena semua orang capek, mas pesankan makanan di luar saja ya. Kamu gak usah masak, istirahat saja, pungkas Mas Azzam menengahi.
"Ide bagus, Mas."
"Kamu mau pesan apa, sayang?"
"Emmmhh,
"Apa maksud mbak ngomong seperti itu?""Ya kamu gak mungkin kan selamanya hidup menumpang seperti ini?""Ish! Awas kau mbak! Kulaporkan pada ibu kalau Mbak sudah berani macam-macam."Gadis itu menghentakkan langkah kakinya kasar, menuju ke kamar ibu mertuaku. Pasti ingin mengadu.Tak butuh waktu lama dua orang itu berdiri di belakangku. Raut wajah ibu sudah terlihat tak bersahabat."Ada apa, Bu? Apa ibu mau marah-marah? Gak baik lho buat kesehatan, nanti kena serangan jantung.""Kamu nyumpahin ibu?""Enggak kok, aku cuma memperingatkan ibu saja. Ngomong-ngomong ada apa, Bu?""Hmmm," ibu tampak salah tingkah, mungkin tidak jadi marah gegara ucapanku tadi."Tolong setrikain baju ibu. Ibu mau pergi ke arisan," katanya kemudian."Budhe, aku ikut ya! Males kalau di rumah," sergah Icha.Baguslah kalian berdua pergi. Kesempatan buatku untuk panggil Bang Panji untuk memasang kamera tersembunyi."
Pagi-pagi sekali kulihat Icha sudah rapi dengan kemeja putih serta rok span warna hitam, khas orang melamar kerja."Mas, aku sudah pasti diterima kan?" tanya Icha disela-sela sarapannya."Belum tentu, aku hanya merekomendasikan saja, peluang diterima atau tidak itu atas usahamu sendiri. Makanya saat diwawancarai nanti, kamu harus jawab yang sopan dan bener, jangan slengek'an," sahut Mas Azzam."Dah tenang aja Cha, kamu kan lulusan sarjana. Pasti diterima deh," ibu ikut menimpali.Aku hanya diam memperhatikan mereka bicara."Ya sudah Bu, aku berangkat ke kantor dulu," pamit Mas Azzam sembari mencium punggung tangan ibunya."Aku juga pamit ya budhe, doakan biar sukses ya budhe," timpal Icha."Iya-iya dah sana berangkat," sahut ibu mertuaku itu."Sayang, mas berangkat ke kantor dulu. Kamu baik-baik ya di rumah. Inget, jangan capek-capek.""Iya mas," sahutku sambil tersenyum.Aku mengantar mereka sampai di depan teras
"Apa kamu meragukan istrimu sendiri, Mas? Apa kamu tidak mempercayaiku, Mas?" tanya Lili membuatku makin bingung. Ia berlalu begitu saja menuju kamar."Dek, dek!!" panggilku. "Mas belum selesai ngomong kenapa malah pergi?!"Ibu dan Icha terdiam melihat kami bertengkar. Bukankah sikap istriku keterlaluan? Untuk apa dia memasang kamera cctv di kamar ibu dan Icha. Apa tujuan yang sebenarnya?"Dek ... Mas percaya kok padamu, tapi bukan begini caranya! Memasang kamera secara sembunyi-sembunyi bukankah itu tidak sopan? Hargai privasi mereka, dek."Panggilanku tak digubrisnya. Tubuhnya justru terguncang. Astaghfirullah baru beberapa hari berbaikan dengannya, sekarang justru ada masalah yang lain lagi."Sayang, maaf, mas gak bermaksud untuk menyalahkanmu, tapi--""Sudah cukup, Mas. Sekarang aku tahu. Kamu itu memang tidak benar-benar mencintaiku. Kamu hanya percaya pada mereka tanpa mau terbuka sedikit saja dengan keluhanku. Tanpa mau
Istri Yang DiabaikanPart 15"Benar kan, Lili gak ada di rumah. Ibu kan sudah bilang dia belum pulang dari pagi itu! Dasar menantu gak tau diuntung! Harusnya kalau mau kemana bilang-bilang kek! Gak bikin orang nyari-nyari kayak gini!" omel ibu."Mas, jangan-jangan Mbak Lili kabur?""Cukup! Cukup Bu, Cha! Jangan bikin pikiranku tambah runyam!" bentakku.Kembali aku bergegas ke dalam kamar. Tidak mungkin kalau Lili pergi begitu saja. Aku memeriksa baju-baju di lemarinya. Masih utuh. Tumpukan yang begitu rapi. Tak ada satupun yang ia bawa kecuali gamis yang ia kenakan di tubuhnya. Handphone dan perhiasan turut ia tinggal di laci lemarinya.Li, kamu pergi kemana, sayang? Jangan bikin mas khawatir begini.Pikiranku sudah kalut. Apa terjadi sesuatu dengan Lili saat hendak pulang kesini?Aku kembali membuka lemari, mencari dengan teliti barang kali ada sesua
Dengan langkah gontai aku kembali ke mobil setelah membayar pesananku yang baru tersentuh sedikit. Pikiranku benar-benar kalut.Aku harus mencari tahu dimana Lili berada. Gegas, kukunjungi rumah sakit dan klinik terdekat, mencari tahu apakah tadi ada korban kecelakaan yang bernama Lili. Namun lagi-lagi aku tak mendapatkan jawaban.Hingga malam semakin larut, rasa letih begitu mendera tubuhku. Ini rumah sakit terakhir yang kukunjungi. Aku berharap ada kepastian tentang istriku. Hatiku benar-benar dilanda rasa was-was yang begitu menusuk."Mbak, apa tadi disini ada korban kecelakaan dengan jenis kelamin perempuan? Namanya Lili, Mbak?""Iya mas, tadi pagi memang ada korban kecelakaan, wanita, dibawa kesini, tapi kami sulit mengidentifikasi namanya, Mas. Tidak ada identitas yang ditemukan. Keluarganya pun sampai sekarang belum ada yang datang kemari, tadi cuma petugas polisi saja."Deg! Mendadak jantungku berpacu sangat cepat"Dimana sekar
Dadaku rasanya sesak, sulit sekali untuk bernafas. Seakan ada yang tercekat di tenggorokan.Aaaarrrgghh! Kulempar semua benda yang ada di hadapanku, rasanya masih tak puas menahan emosi diri.Praankk ...!Seketika tanganku berdarah terkena serpihan kaca cermin itu. Aku yang meninjunya, aku pula yang kesakitan.Bodoh! Bodoh! Bodoh!Selama ini aku tak pernah mendengarkan Lili. Padahal dia benar dan ia sudah berusaha untuk bersabar menghadapiku dan juga ibu. Tapi aku justru menyia-nyiakannya!Penyesalan ini jatuh bertubi-tubi menghantam diriku ini. Aku lelaki terbodoh sedunia! Bodoh! Tak bisa membedakan mana yang benar.Ah Lili ... Lili ... Kembalilah pulang, maafkan suamimu ini.Kembalilah pulang istriku ... Maafkan aku sayang. Maaf ..."Zam! Zam! Apa yang terjadi padamu, Zam!" suara ibu berteriak dari luar."Zam, buka pintunya! Ibu khawatir padamu!"Hah! Ibu, ibu, orang yang selama ini aku horm
Ada kalanya mengalah, bukan berarti kalah, tapi untuk memberikan solusi. Aku tak ingin kewarasanku terenggut hanya gegara terus-menerus berdebat dengan ibu mertua. Sudah cukup anakku menjadi korban keegoisan mereka.Katanya, aku wanita lemah, tak bisa membela diri. Ya, bisa dibilang begitu. Aku memang tak mampu melawan atau setidaknya mempertahankan diri. Dan kenyataannya, saat melawan hati kecilku berontak, walau bagaimanapun beliau orang tua suami yang harus kuhormati. Terlepas semua sikap buruknya biar Allah saja yang membalas. Tentu bukan, aku tak mengharap ibu dapat karma, justru aku mendoakan yang terbaik untuknya, agar beliau mendapatkan hidayah.Namun semakin hari rasanya semakin keterlaluan. Lebih baik aku pergi dari pada terus memendam sakit hati. Sudah cukup. Untuk apa aku tetap bertahan sedangkan suamiku saja tak memiliki rasa percaya padaku.Aku diam bukan berarti tak peduli. Tapi justru karena aku ingin tetap sehat dalam fisik dan jiwaku, lebih bai
"Iya, untuk menghiburmu. Bunga yang cantik untuk wanita yang cantik. Jangan bersedih lagi. Kamu harus bahagia.""Haha, tumben bilang aku cantik. Biasanya juga bilang kalau aku kurus kerempeng.""Nah, kalau tertawa begitu kan jadi tambah cantik. Semangat ya! Banyak yang mendukungmu disini.""Terima kasih Mas, pujiannya.""Ini kamu mau bikin apa?""Bikin kue, Mas. Mau dijual besok pagi sama anak-anak.""Mana testernya coba aku cicipin dulu.""Boleh. Bentar ya Mas, tunggu ini mateng.""Oke."Saat ini aku memang sedang berkutat dengan bahan-bahan, ingin membuat cemilan anak-anak buat sore nanti, sekalian nyiapin buat besok pagi jualan hari pertama.Entah kenapa, laki-laki itu masih saja menemaniku disini, walau diam tanpa kata. Aku sebenarnya merasa canggung, meskipun dulu kami teman main masa kecil, tapi sekarang situasinya telah berbeda. Apalagi aku baru melihatnya lagi setelah sekian tahun."Mas Raffa memang
Icha menghentikan gerakannya. "Apa maksud Mas Azzam? Bukankah budhe ada di kampung?""Ibu sakit stroke Cha, sekarang beliau ikut kami," sahutku."Apa? Sakit?""Iya, kita pulanglah dulu, jengukin ibu. Akhir-akhir ini ibu banyak melamun. Mungkin ibu juga rindu padamu."Icha mengangguk setuju. "Sejak aku diboyong Mas Raka, aku tak diperbolehkan keluar rumah apalagi berhubungan dengan ibu. Handphoneku dijual sama dia. Banyak hal pahit yang kurasakan, dia dan ibu mertua berlaku kasar padaku."Sungguh miris nasibmu, Cha. Sepertinya kau mengalami hal yang lebih buruk dari yang kualami.***"Assalamualaikum. Bu, lihatlah siapa yang kubawa," kata Mas Azzam.Ibu menoleh kemudian tersenyum saat melihat Icha datang bersama kami."Budhe--"Icha langsung menghambur ke arah ibu. Mereka terhanyut dalam isak tangis. Meskipun bukan anak kandungnya tapi ibu benar-benar menyayangi Icha setulus hatinya.
Mas Azzam menoleh ke arahku. "Dek, ibu jatuh di kamar mandi, sekarang dirawat di rumah sakit terdekat.""Siapa yang menghubungi, Mas?""Mbak Idah. Katanya Icha gak bisa dihubungi sejak pindah ke rumah suaminya.""Ya sudah Mas, kita pulang. Kasihan ibu."Setelah tiga jam perjalanan akhirnya sampai juga di rumah sakit tempat ibu dirawat. Disana tak ada siapapun yang menunggunya. Tetangga sudah pulang karena punya kesibukan masing-masing."Bu," sapa Mas Azzam. Dia langsung memeluk tubuh ibunya yang terbaring lemah tak berdaya.Netra ibu tampak berkaca-kaca. Mulutnya bergetar, ingin mengucapkan sesuatu tapi tak bisa.*"Ibu Yanti mengalami stroke, hampir separuh tubuhnya tak bisa digerakkan."Penjelasan dokter membuat Mas Azzam makin terluka. Kulihat air mata itu menitik dari pipinya.Rasa hatiku ikut perih, menyaksikan ibu mertuaku tak berdaya. Ibu yang dulu dengan jumawa'nya menghinaku kini justr
"Dek, siap-siap kita akan datang ke pernikahan Icha," ucap Mas Azzam."Kita jadi pulang kampung, Mas?""Iya. Ibu terus menghubungi, meminta kita datang. Kita buktikan saja ucapan ibu benar apa tidak. Kalau ibu bohong lagi, kita akan langsung pulang."Aku mengangguk, lantas bersiap-siap mengganti baju.Mas Azzam menggenggam tanganku dengan erat, berkali-kali menciumi keningku. Ya, hubungan kami sudah membaik sejak tak ada lagi yang mengganggu.Kami sampai di kampung, bertepatan dengan akad nikah Icha. Aku tak tahu persis bagaimana awalnya, kenapa tiba-tiba Icha dinikahkan di kampung."Icha diperkosa, makanya segera dinikahkan agar tidak menjadi aib," tutur ibu mertua saat Mas Azzam bertanya mengenai hal ini. Kulihat air mata ibu tumpah.Walaupun kecanggungan diantara kami begitu kentara, tapi aku sempat memeluk ibu mertua. Aku merasa sekarang sikapnya sudah berubah, jauh lebih lembut.Setelah meng
Icha masih berada dikamarnya dengan balutan kebaya brokat berwarna putih. Riasan wajahnya terkesan natural justru membuatnya semakin ayu. Wajahnya yang putih bersih tak perlu mendapat banyak polesan. Ya, dia memang secantik itu, hidungnya juga mancung. Rambutnya yang panjang sepunggung membuatnya mudah untuk disanggul dan diberi hiasan hairpiece."Kamu cantik sekali..." puji Bu Yanti. Dia menemaninya sedari tadi.Icha termenung, pikirannya berkelana jauh. Kalau menikah sekarang berarti aku tak punya harapan lagi bersama Mas Azzam, batinnya bersedih."Sudah jangan bersedih lagi, jalani saja, dan tetap berdoa semoga kedepannya baik-baik saja."Icha mengangguk, Budhenya seolah tahu apa yang dirasakannya sekarang."Budhe, memangnya Mas Azzam gak datang?" tanya Icha, dia ingin sekali bertemu dengan kakak sepupunya itu."Sepertinya dia takkan datang.""Kenapa budhe? Sebenci itukah Mas Azzam padaku? Hingga dia tak m
Pernikahan Icha dan Raka sudah ditentukan. Mau tidak mau Bu Yanti harus menghubungi anak lelakinya, Azzam. Ia tidak tahu anaknya akan pulang ataupun tidak, tapi yang terpenting ia akan memberitahukan hal ini padanya.Berkali-kali panggilan telepon itu tidak diangkat. Akhirnya ia mengirimkan pesan singkat.[Zam, Icha akan menikah hari Minggu besok. Kalau bisa kamu dan Lili hadir disini ya]Azzam terkejut saat membaca pesan ibunya. Kok tiba-tiba Icha menikah? Apa yang terjadi? Apakah ibu bersandiwara lagi?"Dek, ini ibu kirim pesan, katanya Icha mau menikah," ucap pria itu kepada istrinya."Apa, Mas? Icha menikah? Sama siapa? Kok mendadak?""Entahlah, mas juga gak tahu.""Ya sudah kita kesana, Mas.""Jangan dek, takutnya ini hanya sandiwara ibu. Aku gak mau terjebak tipuan ibu lagi.""Masa sih Mas, hal sepenting ini ibu tega menipu?""Ya kita kan sudah berkali-kali dibohongi sama ibu, aku gak bis
"Enggak!" teriak Icha. Dia berlari sekencang-kencangnya, menjauh dari tempat terkutuk itu.Nafasnya tersengal-sengal, ia memilih berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Laki-laki itu tak lagi mengejarnya. Tapi ia mulai bimbang, ada dimana dia sekarang.Cukup lama berjalan, tak ada taksi yang lewat. Sepi.Icha berjalan kaki ke rumahnya dengan hati kesal. Ia menggerutu sepanjang jalan. Jarak menuju rumah, cukuplah jauh. Ia pasti akan merasa lelah. Apalagi malam-malam begini, jalanan semakin sepi dan mencekam. Gadis itu jadi menyesal, kenapa tak mengindahkan kata-kata budhenya. Kenapa dia harus pergi malam-malam begini. Ia pun tak tahu persis, kemana kakinya harus melangkah.Tiba-tiba ditengah jalan, ia dihadang dan digoda oleh para preman. Icha makin ketakutan saat melihat segerombolan pemuda itu."Halo cantik, mau kemana malam-malam begini?""Sayang sendirian aja nih, abang temenin ya!"Gadis itu merasa takut, kar
"Kali ini ibu tidak akan berdusta 'kan? Lebih baik ibu anggap aku tiada saja. Hubungan kekeluargaan kita, cukup sampai disini saja."Ibu dan Icha saling berpandangan kala melihat Azzam berlalu begitu saja meninggalkan mereka. Icha, gadis itu masih bertanya-tanya kenapa Azzam bersikap ketus bahkan pada ibunya sendiri."Budhe, apa yang terjadi? Kenapa Mas Azzam bersikap seperti tadi?"Ibu hanya mengelus punggung gadis itu, hatinya pun tampak kalut. Sebelumnya Azzam tak pernah bersikap begitu dingin dan ketus terhadap ibunya. Tapi sekarang ia bahkan tega mengusir ibunya sendiri dari rumah."Ayo kita cepat pulang. Ada banyak hal yang harus kita lakukan."Icha mengangguk menanggapi budhenya. Orang yang sangat menyayangi dirinya melebihi orang tua kandungnya sendiri.***"Cepat beresin barang-barangmu ya, Cha.""Memangnya kita mau kemana, budhe?""Pulang kampung.""Hah? Pulang? Kenapa? Icha kan masih ada p
Aku langsung memeluknya. Kenapa sih Lili punya pikiran berpisah denganku. Ya Allah, aku harus bagaimana agar istriku tidak goyah. Aku paham dengan perasaannya, dia pasti sangat kehilangan. Dan semuanya gara-gara keluargaku. Tapi, aku benar-benar tak ingin kehilangan Lili lagi."Jangan begini sayang, kumohon. Jangan katakan ini lagi. Terserah kamu mau menghukumku seperti apa. Tapi tolong jangan minta pisah dariku, Li. Maafkan semua kesalahanku. Aku mohon."Kudengar ia pun ikut terisak."Aku mencintaimu, sayang. Aku juga sudah berjanji pada abangmu untuk terus bersamamu. Aku mohon Li, kita jangan bicara seperti itu padaku. Sampai kapanpun kau tetap istriku. Aku tidak akan pernah menceraikanmu."Kuusap butiran bening yang menetes di wajah ayunya, lalu mengecup wajah yang ayu itu berkali-kali. Kalau sampai kehilangan Lili lebih baik aku mati saja. Aku tak rela dia pergi dariku.Aku tahu selama menikah denganku dia selalu terluka. Allah, tolong be
"Yang membakar rumahmu adalah orang suruhan Icha. Maafin mas, Dek. Maafin mas. Mas malu, mas tak pernah menyangka kalau dia bisa bertindak nekat dan jahat seperti itu. Maaf." Bagaikan disambar petir mendengar pengakuan Mas Azzam. Icha, bocah itu ternyata yang sudah menyebabkan kebakaran di rumah? Aku benar-benar tak percaya, dia begitu tega padaku. Dada ini terasa sesak sekali mengetahui kenyataannya. Ya, rasanya seperti disayat oleh sembilu. Ada ya orang yang bersikap tega, padaku dan keluargaku. Sebenarnya aku salah apa? "Maafin mas, Dek. Maaf!" Lagi-lagi Mas Azzam minta maaf. Tubuhnya terguncang saat memelukku. Dia menangis? Entahlah. Mendadak hatiku kosong, seolah mati rasa. *** "Dek, nanti siap-siap ya. Mas udah di-acc untuk pindah ke kantor cabang. Mas juga udah dapat rumah sewa disana." Aku hanya memandangnya sekilas, kubalas ucapannya hanya diam, tanpa kata. "Kenapa mas perhatiin akhir-akh