Ada kalanya mengalah, bukan berarti kalah, tapi untuk memberikan solusi. Aku tak ingin kewarasanku terenggut hanya gegara terus-menerus berdebat dengan ibu mertua. Sudah cukup anakku menjadi korban keegoisan mereka.
Katanya, aku wanita lemah, tak bisa membela diri. Ya, bisa dibilang begitu. Aku memang tak mampu melawan atau setidaknya mempertahankan diri. Dan kenyataannya, saat melawan hati kecilku berontak, walau bagaimanapun beliau orang tua suami yang harus kuhormati. Terlepas semua sikap buruknya biar Allah saja yang membalas. Tentu bukan, aku tak mengharap ibu dapat karma, justru aku mendoakan yang terbaik untuknya, agar beliau mendapatkan hidayah.
Namun semakin hari rasanya semakin keterlaluan. Lebih baik aku pergi dari pada terus memendam sakit hati. Sudah cukup. Untuk apa aku tetap bertahan sedangkan suamiku saja tak memiliki rasa percaya padaku.
Aku diam bukan berarti tak peduli. Tapi justru karena aku ingin tetap sehat dalam fisik dan jiwaku, lebih bai
"Iya, untuk menghiburmu. Bunga yang cantik untuk wanita yang cantik. Jangan bersedih lagi. Kamu harus bahagia.""Haha, tumben bilang aku cantik. Biasanya juga bilang kalau aku kurus kerempeng.""Nah, kalau tertawa begitu kan jadi tambah cantik. Semangat ya! Banyak yang mendukungmu disini.""Terima kasih Mas, pujiannya.""Ini kamu mau bikin apa?""Bikin kue, Mas. Mau dijual besok pagi sama anak-anak.""Mana testernya coba aku cicipin dulu.""Boleh. Bentar ya Mas, tunggu ini mateng.""Oke."Saat ini aku memang sedang berkutat dengan bahan-bahan, ingin membuat cemilan anak-anak buat sore nanti, sekalian nyiapin buat besok pagi jualan hari pertama.Entah kenapa, laki-laki itu masih saja menemaniku disini, walau diam tanpa kata. Aku sebenarnya merasa canggung, meskipun dulu kami teman main masa kecil, tapi sekarang situasinya telah berbeda. Apalagi aku baru melihatnya lagi setelah sekian tahun."Mas Raffa memang
"Apa maksudmu, Zam?! Kenapa kau berkata seperti itu pada ibu?!"Rasanya begitu sakit. Sangat sakit."Apa ibu masih belum merasa bersalah? Aku sudah tahu semuanya, Bu. Ibu mengambil jatah uang yang kuberikan pada Lili dan hanya menyisakan satu juta saja, benar kan?" Nada bicaraku mulai melunak. Sungguh aku kecewa. Sangat kecewa pada ibu."Nak, itu--""Tak usah bersandiwara lagi, Bu. Apa uang yang kuberikan pada ibu masih belum cukup? Untuk apa uang itu, Bu? Pantas saja kalau selama ini Lili selalu memasak makanan sederhana. Ternyata ada yang sudah memalak uangnya. Dan seolah bagaikan pahlawan, ibu membelikan makanan-makanan enak, tujuannya agar bisa memojokkan Lili. Ibu lakukan itu agar Lili terlihat salah di mataku. Benar bukan? Ayo jawab, Bu? Kenapa ibu lakukan ini? Apa ibu ingin kalau aku pisah dengan Lili?""Ya! Ibu memang ingin kamu pisah dari Lili!! Dari awal kan ibu sudah bilang tidak setuju kalau kamu menikah dengannya! I
Ibu terdiam tak mampu bersuara. Kulihat disampingnya Icha memandangku dengan tatapan penuh tanya.Hatiku rasanya sudah lelah menghadapi ibu. Aku yang baru tahu sikap ibu yang sebenarnya saja, rasanya begitu menyesakkan dada apalagi Lili yang setiap hari menghadapi ibu, bertahun-tahun lamanya. Pantas saja Lili memilih pergi.Mungkin benar kata Bang Panji, Lili juga butuh waktu untuk sendiri.Dalam keremangan malam, melewati jalanan yang mulai sepi. Kulajukan mobil ini dengan kecepatan sedang. Hujan mulai membasahi bumi, mengaburkan jarak pandang.Diantara keheningan, yang terlihat hanya riak-riak hujan, menambah hati makin gelisah. Terbayang kembali ingatan-ingatan tentang Lili. Ah istriku, dulu ia pernah bilang paling suka dengan tetesan hujan. Alasannya ia bisa menangis sepuasnya dibawah kaki hujan, dan takkan ada yang tahu kalau dirinya sedang sedih dan gundah gulana. Karena hujan juga telah memberikan rahmat dan ma
Yaah belum juga lama bersama Lili, sekarang aku diusir lagi??Aku hanya mampu mengangguk pasrah. Apalagi Lili dan beberapa anak-anak kecil itu langsung masuk ke dalam bangunan ber-cat warna biru muda.Hatiku sedikit lebih tenang melihat Lili baik-baik saja. Walaupun wajahnya begitu sendu, terluka karena aku.Sampai di rumah.Kepalaku kembali terasa berdenyut nyeri, dari kemarin tubuhku memang tidak baik-baik saja. Apalagi makanku berantakan. Perut kosong namun tak kuindahkan.Bergegas kembali untuk keluar membeli makanan di warung seberang jalan lalu meminum obat yang kubeli diapotik tadi. Jangan sakit, itu saja harapanku agar bisa bertemu Lili kembali.***Pagi hari sebelum berangkat ke kantor kusempatkan diri ke Panti Asuhan."Assalamualaikum.""Waalaikum salam. Oh Om yang semalam nganter Kak Lili ya?""Iya dek, Kak Lili-nya ada?""Ada Om, lagi sibuk bungkus-bungkus k
"Astaghfirullah hal'adzim, Mas!!" teriak Lili. Bersamaan dengan jeritan anak-anak panti yang lain, tengah ketakutan melihatku yang tiba-tiba saja memicu keributan.Lili langsung menghadang tubuhku, dia mendekapku erat. Mataku masih nyalang melihat Raffa yang terhuyung ke belakang sembari memegangi perutnya. Pukulan saja tidak cukup untuk memberi pelajaran padanya. Berani-beraninya dia mendekati istriku, takkan kubiarkan!"Apa yang kau lakukan, Mas? Kenapa tiba-tiba memukul Mas Raffa?" tanya Lili dengan netra berkaca."Bagus! Kau belain laki-laki itu ya!! Jadi ini alasanmu gak mau pulang bersamaku karena ada laki-laki ini?! Asyik ya berduaan dengan orang lain!"Hatiku benar-benar meradang, bisa-bisanya Lili membela laki-laki itu. Laki-laki yang bahkan tak ada hubungan apapun dengannya. Sudah kuduga dari awal, Raffa pasti menyimpan perasaan suka pada istriku.Aaarggghh!"Apa-apaan kau ini, Mas? Kenapa malah memfitnahku seperti itu?
"Li, Li, ayo kita ke rumah sakit sekarang," tukas Bang Panji yang tiba-tiba datang dan berlari ke arahku."Ada apa, Bang?" tanyaku khawatir melihat ekspresi wajahnya yang tegang."Suamimu, Li.""Mas Azzam kenapa?""Dia mengalami kecelakaan.""Innalilahi. Yang bener, Bang? Mas Azzam kan baru pulang dari sini, Bang ...""Iya, Li. Ditengah jalan dia mengalami kecelakaan. Tadi Abang dihubungi Pak Polisi, karena nomor abang ada di daftar panggilan terakhir."Mendengar penjelasan Bang Panji, air mata ini luruh juga, tak bisa tertahankan lagi. Astaghfirullah hal'adzim. Bukankah pulang dari sini dia baik-baik saja? Apa karena dari tadi hujan turun dengan deras, jadi jalanan licin dan mobil Mas Azzam tergelincir? Atau karena apa?Ah, rasanya ada yang sakit menusuk hingga ke dalam rongga dada. Nyeri. Membayangkan bagaimana keadaan Mas Azzam sekarang, bersimbah darah dan kepayahan. Pasti dia sangat kesakitan."Ayo Li, kita ke rumah
"Apa, Zam? Kamu ngusir ibu? Ibu yang sudah melahirkan kamu, kamu tega?""Iya Mas, bisa-bisanya mas ngusir kami yang keluarga sendiri. Kenapa malah memilih Mbak Lili yang hanya orang lain?" timpal Icha ikut emosi.Tok ... Tok ... Tok ...Terdengar ketukan pintu. Seorang perawat datang memasang senyum dengan ramah."Permisi Bu, mohon maaf tidak boleh ribut ya di kamar pasien, soalnya ini sangat mengganggu ketenangan pasien. Silahkan jika ingin berdebat bisa di luar area rumah sakit ya!" tegur perawat itu, tegas. Kemudian ia memeriksa infus Mas Azzam."Alhamdulillah, syukurlah kalau bapaknya sudah sadar. Tolong ya Bu, dijaga ketenangan rumah sakit ini. Biar kondisi pasien cepat pulih, tidak merasa stress karena ada keributan.""Baik, Sus.""Kalau ada apa-apa langsung hubungi kami ya. Saya permisi.""Iya Sus, terima kasih."Icha memutar bola mata mengawasiku. Pandangannya tak suka."Ayo Cha,
Membaca pesan-pesan yang dikirimkan oleh Icha, membuatku geram. Bisa-bisanya ada sepupu yang terobsesi pada saudaranya sendiri.Aku men-scroll pesannya ke atas, ternyata banyak pesan-pesan sayang dan cinta dari Icha namun tak ditanggapi satupun oleh Mas Azzam."Kamu kenapa, Dek?" tanya Mas Azzam membuyarkanku. Ia bangkit dari tidurnya.Aku menoleh lalu menghela nafas dalam-dalam. Kuserahkan handphone itu padanya."Kamu membaca semua ini?" tanyanya. Ekspresinya berubah masam setelah membaca pesan-pesan gila dari Icha."Iya. Jadi kamu udah tahu perasaan Icha padamu, Mas?""Ya, belum lama ini aku baru mengetahuinya. Untuk itulah aku pergi dari rumah, aku gak nyaman sama dia, Dek. Ibu juga sepertinya mendukung perilakunya yang gak waras itu. Bisa-bisanya orang yang selama ini kuanggap sebagai adikku sendiri malah bertingkah seperti ini.""Apa yang akan kamu lakukan, Mas? Sedangkan dia satu kantor denganmu.""Entahlah dek, Di kantor
Icha menghentikan gerakannya. "Apa maksud Mas Azzam? Bukankah budhe ada di kampung?""Ibu sakit stroke Cha, sekarang beliau ikut kami," sahutku."Apa? Sakit?""Iya, kita pulanglah dulu, jengukin ibu. Akhir-akhir ini ibu banyak melamun. Mungkin ibu juga rindu padamu."Icha mengangguk setuju. "Sejak aku diboyong Mas Raka, aku tak diperbolehkan keluar rumah apalagi berhubungan dengan ibu. Handphoneku dijual sama dia. Banyak hal pahit yang kurasakan, dia dan ibu mertua berlaku kasar padaku."Sungguh miris nasibmu, Cha. Sepertinya kau mengalami hal yang lebih buruk dari yang kualami.***"Assalamualaikum. Bu, lihatlah siapa yang kubawa," kata Mas Azzam.Ibu menoleh kemudian tersenyum saat melihat Icha datang bersama kami."Budhe--"Icha langsung menghambur ke arah ibu. Mereka terhanyut dalam isak tangis. Meskipun bukan anak kandungnya tapi ibu benar-benar menyayangi Icha setulus hatinya.
Mas Azzam menoleh ke arahku. "Dek, ibu jatuh di kamar mandi, sekarang dirawat di rumah sakit terdekat.""Siapa yang menghubungi, Mas?""Mbak Idah. Katanya Icha gak bisa dihubungi sejak pindah ke rumah suaminya.""Ya sudah Mas, kita pulang. Kasihan ibu."Setelah tiga jam perjalanan akhirnya sampai juga di rumah sakit tempat ibu dirawat. Disana tak ada siapapun yang menunggunya. Tetangga sudah pulang karena punya kesibukan masing-masing."Bu," sapa Mas Azzam. Dia langsung memeluk tubuh ibunya yang terbaring lemah tak berdaya.Netra ibu tampak berkaca-kaca. Mulutnya bergetar, ingin mengucapkan sesuatu tapi tak bisa.*"Ibu Yanti mengalami stroke, hampir separuh tubuhnya tak bisa digerakkan."Penjelasan dokter membuat Mas Azzam makin terluka. Kulihat air mata itu menitik dari pipinya.Rasa hatiku ikut perih, menyaksikan ibu mertuaku tak berdaya. Ibu yang dulu dengan jumawa'nya menghinaku kini justr
"Dek, siap-siap kita akan datang ke pernikahan Icha," ucap Mas Azzam."Kita jadi pulang kampung, Mas?""Iya. Ibu terus menghubungi, meminta kita datang. Kita buktikan saja ucapan ibu benar apa tidak. Kalau ibu bohong lagi, kita akan langsung pulang."Aku mengangguk, lantas bersiap-siap mengganti baju.Mas Azzam menggenggam tanganku dengan erat, berkali-kali menciumi keningku. Ya, hubungan kami sudah membaik sejak tak ada lagi yang mengganggu.Kami sampai di kampung, bertepatan dengan akad nikah Icha. Aku tak tahu persis bagaimana awalnya, kenapa tiba-tiba Icha dinikahkan di kampung."Icha diperkosa, makanya segera dinikahkan agar tidak menjadi aib," tutur ibu mertua saat Mas Azzam bertanya mengenai hal ini. Kulihat air mata ibu tumpah.Walaupun kecanggungan diantara kami begitu kentara, tapi aku sempat memeluk ibu mertua. Aku merasa sekarang sikapnya sudah berubah, jauh lebih lembut.Setelah meng
Icha masih berada dikamarnya dengan balutan kebaya brokat berwarna putih. Riasan wajahnya terkesan natural justru membuatnya semakin ayu. Wajahnya yang putih bersih tak perlu mendapat banyak polesan. Ya, dia memang secantik itu, hidungnya juga mancung. Rambutnya yang panjang sepunggung membuatnya mudah untuk disanggul dan diberi hiasan hairpiece."Kamu cantik sekali..." puji Bu Yanti. Dia menemaninya sedari tadi.Icha termenung, pikirannya berkelana jauh. Kalau menikah sekarang berarti aku tak punya harapan lagi bersama Mas Azzam, batinnya bersedih."Sudah jangan bersedih lagi, jalani saja, dan tetap berdoa semoga kedepannya baik-baik saja."Icha mengangguk, Budhenya seolah tahu apa yang dirasakannya sekarang."Budhe, memangnya Mas Azzam gak datang?" tanya Icha, dia ingin sekali bertemu dengan kakak sepupunya itu."Sepertinya dia takkan datang.""Kenapa budhe? Sebenci itukah Mas Azzam padaku? Hingga dia tak m
Pernikahan Icha dan Raka sudah ditentukan. Mau tidak mau Bu Yanti harus menghubungi anak lelakinya, Azzam. Ia tidak tahu anaknya akan pulang ataupun tidak, tapi yang terpenting ia akan memberitahukan hal ini padanya.Berkali-kali panggilan telepon itu tidak diangkat. Akhirnya ia mengirimkan pesan singkat.[Zam, Icha akan menikah hari Minggu besok. Kalau bisa kamu dan Lili hadir disini ya]Azzam terkejut saat membaca pesan ibunya. Kok tiba-tiba Icha menikah? Apa yang terjadi? Apakah ibu bersandiwara lagi?"Dek, ini ibu kirim pesan, katanya Icha mau menikah," ucap pria itu kepada istrinya."Apa, Mas? Icha menikah? Sama siapa? Kok mendadak?""Entahlah, mas juga gak tahu.""Ya sudah kita kesana, Mas.""Jangan dek, takutnya ini hanya sandiwara ibu. Aku gak mau terjebak tipuan ibu lagi.""Masa sih Mas, hal sepenting ini ibu tega menipu?""Ya kita kan sudah berkali-kali dibohongi sama ibu, aku gak bis
"Enggak!" teriak Icha. Dia berlari sekencang-kencangnya, menjauh dari tempat terkutuk itu.Nafasnya tersengal-sengal, ia memilih berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Laki-laki itu tak lagi mengejarnya. Tapi ia mulai bimbang, ada dimana dia sekarang.Cukup lama berjalan, tak ada taksi yang lewat. Sepi.Icha berjalan kaki ke rumahnya dengan hati kesal. Ia menggerutu sepanjang jalan. Jarak menuju rumah, cukuplah jauh. Ia pasti akan merasa lelah. Apalagi malam-malam begini, jalanan semakin sepi dan mencekam. Gadis itu jadi menyesal, kenapa tak mengindahkan kata-kata budhenya. Kenapa dia harus pergi malam-malam begini. Ia pun tak tahu persis, kemana kakinya harus melangkah.Tiba-tiba ditengah jalan, ia dihadang dan digoda oleh para preman. Icha makin ketakutan saat melihat segerombolan pemuda itu."Halo cantik, mau kemana malam-malam begini?""Sayang sendirian aja nih, abang temenin ya!"Gadis itu merasa takut, kar
"Kali ini ibu tidak akan berdusta 'kan? Lebih baik ibu anggap aku tiada saja. Hubungan kekeluargaan kita, cukup sampai disini saja."Ibu dan Icha saling berpandangan kala melihat Azzam berlalu begitu saja meninggalkan mereka. Icha, gadis itu masih bertanya-tanya kenapa Azzam bersikap ketus bahkan pada ibunya sendiri."Budhe, apa yang terjadi? Kenapa Mas Azzam bersikap seperti tadi?"Ibu hanya mengelus punggung gadis itu, hatinya pun tampak kalut. Sebelumnya Azzam tak pernah bersikap begitu dingin dan ketus terhadap ibunya. Tapi sekarang ia bahkan tega mengusir ibunya sendiri dari rumah."Ayo kita cepat pulang. Ada banyak hal yang harus kita lakukan."Icha mengangguk menanggapi budhenya. Orang yang sangat menyayangi dirinya melebihi orang tua kandungnya sendiri.***"Cepat beresin barang-barangmu ya, Cha.""Memangnya kita mau kemana, budhe?""Pulang kampung.""Hah? Pulang? Kenapa? Icha kan masih ada p
Aku langsung memeluknya. Kenapa sih Lili punya pikiran berpisah denganku. Ya Allah, aku harus bagaimana agar istriku tidak goyah. Aku paham dengan perasaannya, dia pasti sangat kehilangan. Dan semuanya gara-gara keluargaku. Tapi, aku benar-benar tak ingin kehilangan Lili lagi."Jangan begini sayang, kumohon. Jangan katakan ini lagi. Terserah kamu mau menghukumku seperti apa. Tapi tolong jangan minta pisah dariku, Li. Maafkan semua kesalahanku. Aku mohon."Kudengar ia pun ikut terisak."Aku mencintaimu, sayang. Aku juga sudah berjanji pada abangmu untuk terus bersamamu. Aku mohon Li, kita jangan bicara seperti itu padaku. Sampai kapanpun kau tetap istriku. Aku tidak akan pernah menceraikanmu."Kuusap butiran bening yang menetes di wajah ayunya, lalu mengecup wajah yang ayu itu berkali-kali. Kalau sampai kehilangan Lili lebih baik aku mati saja. Aku tak rela dia pergi dariku.Aku tahu selama menikah denganku dia selalu terluka. Allah, tolong be
"Yang membakar rumahmu adalah orang suruhan Icha. Maafin mas, Dek. Maafin mas. Mas malu, mas tak pernah menyangka kalau dia bisa bertindak nekat dan jahat seperti itu. Maaf." Bagaikan disambar petir mendengar pengakuan Mas Azzam. Icha, bocah itu ternyata yang sudah menyebabkan kebakaran di rumah? Aku benar-benar tak percaya, dia begitu tega padaku. Dada ini terasa sesak sekali mengetahui kenyataannya. Ya, rasanya seperti disayat oleh sembilu. Ada ya orang yang bersikap tega, padaku dan keluargaku. Sebenarnya aku salah apa? "Maafin mas, Dek. Maaf!" Lagi-lagi Mas Azzam minta maaf. Tubuhnya terguncang saat memelukku. Dia menangis? Entahlah. Mendadak hatiku kosong, seolah mati rasa. *** "Dek, nanti siap-siap ya. Mas udah di-acc untuk pindah ke kantor cabang. Mas juga udah dapat rumah sewa disana." Aku hanya memandangnya sekilas, kubalas ucapannya hanya diam, tanpa kata. "Kenapa mas perhatiin akhir-akh