Bab 83 A wonderful surprised “Siapa kamu, berani sekali mengusir kekasih saya!” Bisa ditebak, reaksi Kama sangat dingin menghadapi Sasmita. Wajahnya datar dan kaku. “Aku Sasmita, pengagum beratmu.” Dia tanpa malu – malu mencoba menyentuh tubuh Kama, sambil melirik Bening. Sayangnya, laki – laki itu menepisnya secara terang – terangan. Bening menyembunyikan kekagetannya, dan diam menunggu kelanjutan drama Sasmita. “Tolong menjauhlah. Saya tidak suka dengan wanita yang tidak saya kenal dekat – dekat saya.” Kama berusaha menjaga sikap. Menilik dari gesturenya, jelas sekali Kama menolak Sasmita. Dia sama sekali tidak tertarik dengan wanita itu. Sedangkan Sasmita, kebalikannya. Sorot matanya menyiratkan isyarat ketertarikan yang menggebu – gebu untuk mendapatkan Kama. Parahnya, Sasmita tipikal wanita berkepala batu. Penolakan Kama membuat tingkah perempuan itu kian menjadi, Tanpa risih, dia mengibaskan rambut panjangnya, kemudian membuka kancing blouse, bagian atas, memperlihatkan
Bab 84 Lonely Udara kering dan angin membawa debu, menerpa rambut Bening yang tergerai indah. Wanita itu duduk dengan gelisah di Aruna Coffee Shop. Matanya menatap nanar pintu masuk seperti menunggu kedatangan seseorang. Sementara kopi yang dipesannya sudah lama mendingin, dan ia belum menyentuhnya sama sekali. Berkali – kali matanya memeriksa ponsel, dan melihat pesan yang ia kirimkan pada Kama telah terkirim dan terbaca Namun kenapa Kama belum datang juga? Mungkinkah lelaki itu mengabaikan pesannya? Kenyataan itu, membuat dada Bening seperti diremas - remas. Dia lalu menunduk, memutar - mutar jari telunjuknya di meja membentuk lingkaran rumit, bibirnya mendesah berat. Kemudian, tangannya beralih membuka kotak hitam. Di atas bantalan beludru terdapat cincin bertahtakan berlian dengan design sangat cantik. Bening menatapnya dengan berat. “Hhhh…” suara desahnya mirip dengan ratapan. Hatinya galau memikirkan Kama. Lelaki itu tak pernah menghubunginya lagi semenjak kejadian di Beb
Bab 85 Teror Debt Collector “Apa kamu baik – baik saja?” tanya Laksmi, sewaktu mereka tiba Taman Bunga Nasional Uttarakhand India. Dia melihat wajah Bening sedikit mucat. “Iya, aku baik – baik saja. Semalam aku kurang tidur. Aku kangen anakku.” Bening memberikan senyum tipis, kemudian merapikan sarinya, hadiah dari Laksmi. “Oh, ya, maaf, kukira kamu masih single, dear.” Ada keterkejutan di mata Laksmi. “Tidak, aku seorang janda. Aku punya satu anak, dan suamiku pergi bersama perempuan lain. That’s my life dan aku tidak mau menutupinya.” Bening tidak mau membohongi statusnya pada Laksmi. Bening melihat Laksmi menahan napas, sebelum menghembuskannya perlahan. “Jujur saja, aku terkejut dengan ceritamu. Tapi kita semua punya masa lalu. Aku suka melihatmu tetap survive. Aku mengerti posisimu. Kamu seperti aku, dulu aku selalu saja tidak tenang jika bepergian sendiri. Tapi semenjak anak – anakku sudah besar, dan punya kesibukan, aku mulai terbiasa meninggalkannya, asal tidak lebih dar
Bab 86 NightmareBening, memegang tangan Iswati. “Mama tolong jangan mikir dalam. Kalau Mama sakit, Bening tidak bisa kerja dengan tenang.”Iswati bahagia sekaligus sedih, saat melihat Bening datang. Air matanya langsung tumpah. “Mama kepikiran kamu terus. Kenapa hidupmu begini, Nak? Kenapa Ibra selalu menyusahkanmu?”Gatot menghela napas panjang. “Sabar Ma. Jangan menangis terus, karena menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Point penting saat ini adalah bagaimana supaya Bening lepas dari teror debt kolektor itu.”Wajah Iswati bermuram durja. “Tapi bagaimana caranya, Pa? Hutang Ibra itu bukan ratusan ribu. Tapi milyaran, sedangkan kita tidak tahu di mana posisi Ibra saat ini. Terus, papa juga jangan sok nyalahin Mama.” Dia menyusut air matanya, kesal sekali suaminya malah menyalahkan dirinya.“Mama menangis ini, bukan Mama tidak mau mencari solusi, tapi Mama kesal, dia selalu menyusahkan anakmu. Apa kamu tidak kasihan dengan anak kita? Bening berulangkali disakiti.” Iswati berbal
Bab 87 Ketika Tuhan Tidak Adil"Saya hanya punya uang 100 juta, uang itu akan transfer sekaran. Mohon, tolong jangan teror keluarga saya lagi. Asal kalian tahu, saya dan Ibra sudah lama berpisah. Saya tidak ada urusan lagi dengannya!"Luapan emosi yang Bening tahan membuat badannya gemetar saat mengatakan hal itu. Ia sengaja datang ke kantor ADASAYA untuk menyelesaikan masalah yang ada.Si Manager ADASAYA mendengarkan dengan sikap tak acuh, pria itu memiliki postur tinggi besar, kepala lonjong botak, kulit legam, tersenyum sadis melihat Bening.Sementara di samping kiri kanan lelaki itu ada dua pria yang berdiri berjaga.Gayanya seperti algojo dengan rambut dibiarkan panjang. Keduanya memakai sepatu dogmart, dan memakai kalung model rantai panjang dengan bandul arit kecil.Perut Bening seketika menegang membayangkan arit itu merobek - robek perutnya.Tatapan ketiga pria itu sangat mengintimidasi Bening."Kamu pikir, setelah kamu bercerita begitu, saya akan kasihan kepadamu?” Manager A
Bab 88 Gelisah“Apa, Kak Bening belum pulang?” kata Elang saat tiba di rumahnya. Dia melihat jam di pergelangan tangannya. Jam 9 malam. Seharian tadi dia sibuk di kantor, dan tak sempat mengurusi hal lainnya.“Iya. Aku baru sampai jam 6 dan langsung mengantar Evan ke Dokter, kata Mba Atun seharian Evan rewel, badannya panas, dia juga muntah – muntah,” ungkap Andini. Dia sama sibuknya dengan Elang, semenjak Wedding organizernya mulai berkembang.Wajah perempuan itu sangat cemas. “Aku sudah menelpon Bening berkali – kali tapi telponnya mati.”“Sekarang bagaimana keadaan Evan?” Elang mulai panik, seraya mencoba menghubungi Bening.“Panasnya sudah turun dan dia sudah tidur.” Andini menunggu reaksi suaminya. Sedangkan Atun duduk dengan gelisah di depan kamar di mana Evan tidur.“Mba Atun, apa Kak Bening ada menelpon kamu?”“Telepon saya ketinggalan di rumah. Tadi pagi kami terburu – buru.” Atun menunduk, dia sampai – sampai tidak membawa baju. Untungnya Andini memberikan baju ganti untuk d
Bab 89 Kshama “Kesabaran itu pahit, tetapi buahnya manis.” – Aristoteles Aroma karbo menusuk keras indra penciuman Bening, dan memaksa otaknya untuk membuka mata. Untuk beberapa detik, wanita itu seperti orang linglung, berada di ruangan serba putih. “Evan!!” Bening berusaha bangkit dari ranjang. “Alhamdulillah, kamu akhirnya siuman” kata Iswati lega. Ia menghentikan aktifitas mengajinya, dan mencium kening Bening. “Mama… Mama… Evan… Evan di mana?” tanya Bening panik. Kesadarannya mulai utuh. “Evan masih di luar bersama Mba Atun.” Bening mengernyitkan dahinya, mencerna perkataan mamanya. Iswati sadar. kemudian meletakkan quran kecil di atas meja, dan mengambil alat bantu dengar, dan memasangkannya ke telinga anaknya. “Sebentar Mama panggilkan Evan.” Iswati bergegas memanggil Atun yang sedang berada di luar menggendong Evan yang bosan berada di kamar perawatan. “Evan, mamamu sudah sadar, ayo sini.” Mendengar istrinya memanggil Evan, Gatot yang sedang bercengkrama dengan penun
Bab 90 It’s not easy to forget “Pak, berhenti?” kata Tita tiba- tiba. Sopir Tita menghentikan mobil mendadak di tepi jalan. “Ada apa. Bu?” Ini permintaan aneh. Biasanya Tita selalu bilang di awal jika dia ingin berhenti ke suatu tempat. Padahal rumah Ibra masih jauh. Cuaca panas tiba – tiba berubah menjadi hujan deras, disertai angin kencang. Mata Tita lekat memperhatikan perempuan yang terburu – buru menggendong anaknya dan duduk di belakang di antara bunga – bunga. Kaki perempuan itu menggantung dan tangannya sibuk memastikan anaknya tidak terkena tampias hujan. “Anggi, bukankah itu Bening?” tanya Tita, matanya tak lepas melihat Bening. “Sepertinya iya, Bu.” Anggi yang duduk di sebelah Tita tak kalah terkejut. “Kasihan, kenapa dia jualan di pinggir jalan sekarang?” gumamnya pelan. “Kamu jangan mudah kasihan, kita tidak tahu cerita sebenarnya, siapa tahu itu gimmick untuk menaikkan pamornya?” Tita menaikkan kaca matanya. Anggi tidak menjawab perkataan Tita yang menurutnya san