Bab 59 Hujan membawa gairahMalam itu Bening sedikitpun tidak dapat memicingkan matanya. ia membolak -balikkan badan hingga dipannya berderit.Ia kemudian menyeret langkah menuju kamar kedua orang tuanya. Posisinya berada bersebelahan dengan ruang tengah. Tangan Bening pelan mengetuk pintu kamar.Iswati membukakan pintu untuknya. "Ada apa sayang, kok kamu belum tidur?" tanya Iswati pada anaknya. Malam itu dia memakai daster warna hitam motif bambu yang Bening beli di E commerce. Kembaran dengan miliknya dan Mba Atun."Bening tidak bisa tidur Ma. Bening mau tidur bersama Evan malam ini." Dia menyandarkan kepalanya di dinding. Sejak dia pindah ke rumah orang tuanya, Evan tidur bersama mereka. Alasannya supaya membantu Bening tidur nyenyak."Mungkin, setelah memeluk Evan Bening bisa tidur."Iswati menengok ke belakang, di mana suaminya tidur nyenyak memeluk Evan. “Lihatlah, anakmu tidur lelap dipeluk kakeknya.” Tapi Iswati tidak mau mengecewakan Bening.Pelan - pelan dia mengambil bayi m
Bab 60 Love is not controllingPagi - pagi, Tita sangat gusar, Adit tidak bisa dihubungi sama sekali. Mulut perempuan itu terkatup rapat.Di depannya ada roti dengan irisan alpukat dan kopi hitam yang dingin sejak tadi. Ia tidak menyentuhnya sama sekali."Kacau semua, kacau!" Gerutuan tak jelas keluar dari mulut Tita. Tangannya meremas - remas tissue hingga hancur.Dia sangat gusar karena sampai hari ke 5, informasi tentang Kama masih kabur.Walaupun dia sempat mengontak Mr. Ohama dan memberitahunya bahwa Kama baik - baik saja. Tapi hal itu tidak membuatnya bahagia.Ia merasa semua yang dikatakan Mr. Ohama adalah pernyataan bias, mengingat dalam video Adit justru memperlihatkan ruangan Kama kosong.Mungkinkah Kama pindah ke kamar lain untuk mengelabuinya? Dan Mr. Ohama memenuhi keinginan clientnya. Pertanyaan itu ia redam di kepalanya.Beberapa kali Tita mendesah panjang sebelum berteriak memanggil Anggi."Anggi... cepat ke sini!! "Anggi yang mulai tadi menunggu di dapur, terbirit-bi
Bab 61 Membalik FitnahAwal Oktober, sinar matahari dengan digdaya memamerkan kekuatannya menjilat bumi. Panasnya membakar kulit siapapun yang berani melawannya.Musim kering kali ini, lebih panjang dan ganas daripada tahun lalu. Cuaca yang panas dan gerah membuat sebagian orang malas keluar rumah.Tapi Bening tidak, dia tetap bersemangat menyapa hari. Ia lewati panasnya jalan aspal yang melelehkan ban motornya dengan senyum mengembang. Ada banyak hal yang harus ia kerjakan untuk Joli Flower.Sesampainya di Joli Flower, ia sengaja memarkir motornya di depan Bank BNI, jaraknya 10 meter dari Joli Flower, kemudian berjalan kaki ke sana. Kemudian ia melihat Tanto dan Adit berjalan di depannya.“Kasihan Ibu Bening, gara – gara video viral itu, banyak client berhenti berlangganan. Kita juga yang kena imbasnya. Kita kemungkinan besar tidak mendapatkan bonus. Mana aku baru pinjam uang untuk membantu Ibu memperbaiki rumah,” keluh Ismail.“Lebay amay kamu, Il, baru juga dua hari kejadiannya. Ka
Bab 62 Typo membawa berkah "Sebentar, ya, Ibu - ibu, silahkan duduk dulu kalau mau mendaftar." Dengan lemah lembut Bening mengarahkan segerombolan ibu - ibu ke tempat duduk yang tersedia. Wanita itu kemudian mendatangi Tanto yang menunggu dengan tegang. "Ada masalah gawat apa?" tanya Bening. "Yang mendaftar melebihi quota, Bu." "Memangnya ada berapa orang yang mendaftar?" "1000 orang!" Tanto memperlihatkan jawaban orang yang antusias mau mengikuti kelas gratis merangkai bunga. "Wow! Luar biasa! Kamu tinggal bilang kalau quota kita cuma 90 orang. Setelah itu nanti kita bagi sesuai schedule yang mereka mau," kata Bening senang. Raut muka Tanto tampak semakin kalut. Matanya merah seperti hendak menangis. "Tapi, masalahnya tidak sesederhana itu, Bu. Saya melakukan kesalahan. Quota yang saya tulis untuk 900 orang!" "Haaaa!!" Bening melotot. Dia memejamkan mata beberapa saat, kemudian matanya menyisir sekitar. Raut mukanya berubah tegang. "Ikut ke ruangan saya sekarang! Panggil jug
Bab 63 Secret Admirer“Apa boleh saya ikut kelas gratisnya, Mba?” kata Ibu Irina dengan senyumnya yang khas.“B-boleh, Bu…” ucap Bening gagap sekaligus senang. “Silahkah, Ibu Irina duduk sebentar. Saya mempersiapkan alat – alatnya dulu.” Dia menepuk pundak Ismail dan Tanto yang masih tertegun menatap Ibu Irina tak percaya.“Ismail, tolong keluarkan bunga – bunga kering di gudang, mangkuk melamin, berikut moss.” Sebuah ide mendadak muncul di benak Bening.Setelah itu dia menemui Ibu Irina. “Maaf, Bu, menunggu. Staff saya masih mempersiapkan bahan – bahannya.”Ibu Irina tersenyum hangat. “Tidak apa – apa saya mengerti. Saya memutuskan mampir ke sini, karena tertarik dengan banner itu. Siapa yang buat?” Dia menunjuk banner dengan dekorasi bunga – bunga yang artistic.“Saya, Bu dibantu staff.” Ekor mata Bening melihat ibunya datang bersama dengan ibu – ibu lain.“Bagus sekali!” puji Irina.“Maaf, Ibu, apa Ibu tidak keberatan, jika ibu – ibu lain turut bergabung?”“Silahkan… silahkan… Mba,
Bab 64 Lelaki di tepi sungai “Kok malam sekali pulangnya?” tanya Herni, saat membukakan pintu untuk putrinya. “Ajeng kerja di dua tempat, Bu” sahut Ajeng malas, Ia kemudian memberikan sebungkus nasi dan krupuk ke tangan sang ibu. “Tadi, sebelum pulang, Ajeng membeli nasi dulu buat Ibu.” Herni menggeleng. “Nasinya buat masmu saja, Ibu sudah makan di rumah Ibu Setyo sehabis menggosok di sana.” Hati Ajeng ngilu. Ibunya selalu mementingkan Ibra. “Mas Ibra terus yang Ibu pikirkan, apa Ibu memikirkan diriku juga. Ajeng pontang – panting bekerja supaya kita tetap hidup dan membiayai kuliah Ajeng,” sungutnya. Mata Herni berkaca – kaca. “Kakakmu butuh dukungan kita, Jeng. Ibu dan kamu. Dia keluarga kita.” “Dukungan sampai kapan? Mas Ibra sendiri yang membuat dirinya jatuh, dan dia sendiri tidak mau bangkit. Sampai Ibu menjadi wanita penghibur demi memenuhi kemauan Mas Ibra. Tapi apa yang Ibu dapat? Ibu malah dipukuli dan semua barang - barang dia jual sampai sendok dan piring buat kita
Bab 65 Kabar buruk Hari masih gelap gulita tapi Herni tergerak untuk bangun. Kakinya yang mulai kena rematik dipaksanya untuk berjalan membelah dingin menuju sungai, tak jauh dari tempat tinggalnya. Dibawanya ember dan pakaian kotor serta ember kecil tempat sabun untuk dipakainya nanti. Sebenarnya di tempat kosnya ada kamar mandi bersama, tapi dia enggan menggunakannya. Kamar mandinya jorok, bau pesing, kadang malah ada kotoran yang mengambang belum disiram. Hal itu membuatnya mual. Maka jika ada yang menyuruhnya untuk bersih – bersih rumah atau menyetrika, Herni selalu meminta ijin pada tuan rumahnya untuk mandi sebelum dia pulang ke kos. “Andaikan saja Ibra tidak neko – neko, mungkin hidupku tidak berakhir di sini,” keluh Herni sambil terus berjalan. UPS Langkah Herni terhenti karena kakinya menginjak sesuatu. Wanita berjongkok dan memeriksa apa yang diinjaknya barusan. Matanya terbelalak mengetahui barusan yang dia injak adalah sesosok tubuh. Posisinya tertelungkup. Herni
Bab 66 Denial “Hah… Kakak saya kena AIDS?” Ajeng nyaris tidak percaya dengan pendengarannya. “Betul. Kakakmu juga pecandu narkoba. Alangkah baiknya jika dia direhabilitasi, supaya bisa maksimal mengobati AIDS-nya.” Seluruh otot di tubuh Ajeng serasa lepas. Ia lemas sekali hingga penjelasan Dokter hanya lewat begitu saja di kepalanya. Dia terlalu syok dengan beban berat yang harus ia pikul. Beban berat memukul dada Ajeng. Pupus sudah harapannya untuk melihat kakaknya kembali segar seperti semula. “Terima kasih, Dok.” Hanya itu yang dapat ia katakan, sembari menerima hasil laboratorium. Ajeng berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan kepala menunduk. Langkahnya seperti tidak menjejak tanah. Pikirannya terlalu kalut, hingga membuatnya tak mampu mengangkat kepalanya tegak. Di depan kamar perawatan Ibra, gadis itu melihat Leong menunggu dengan muka yang sulit ditebak. “Ajeng apa kamu menangis?” tanya Leong perhatian, saat menyadari mata gadis itu sembab. Ajeng menunduk, dan hany