Bab 62 Typo membawa berkah "Sebentar, ya, Ibu - ibu, silahkan duduk dulu kalau mau mendaftar." Dengan lemah lembut Bening mengarahkan segerombolan ibu - ibu ke tempat duduk yang tersedia. Wanita itu kemudian mendatangi Tanto yang menunggu dengan tegang. "Ada masalah gawat apa?" tanya Bening. "Yang mendaftar melebihi quota, Bu." "Memangnya ada berapa orang yang mendaftar?" "1000 orang!" Tanto memperlihatkan jawaban orang yang antusias mau mengikuti kelas gratis merangkai bunga. "Wow! Luar biasa! Kamu tinggal bilang kalau quota kita cuma 90 orang. Setelah itu nanti kita bagi sesuai schedule yang mereka mau," kata Bening senang. Raut muka Tanto tampak semakin kalut. Matanya merah seperti hendak menangis. "Tapi, masalahnya tidak sesederhana itu, Bu. Saya melakukan kesalahan. Quota yang saya tulis untuk 900 orang!" "Haaaa!!" Bening melotot. Dia memejamkan mata beberapa saat, kemudian matanya menyisir sekitar. Raut mukanya berubah tegang. "Ikut ke ruangan saya sekarang! Panggil jug
Bab 63 Secret Admirer“Apa boleh saya ikut kelas gratisnya, Mba?” kata Ibu Irina dengan senyumnya yang khas.“B-boleh, Bu…” ucap Bening gagap sekaligus senang. “Silahkah, Ibu Irina duduk sebentar. Saya mempersiapkan alat – alatnya dulu.” Dia menepuk pundak Ismail dan Tanto yang masih tertegun menatap Ibu Irina tak percaya.“Ismail, tolong keluarkan bunga – bunga kering di gudang, mangkuk melamin, berikut moss.” Sebuah ide mendadak muncul di benak Bening.Setelah itu dia menemui Ibu Irina. “Maaf, Bu, menunggu. Staff saya masih mempersiapkan bahan – bahannya.”Ibu Irina tersenyum hangat. “Tidak apa – apa saya mengerti. Saya memutuskan mampir ke sini, karena tertarik dengan banner itu. Siapa yang buat?” Dia menunjuk banner dengan dekorasi bunga – bunga yang artistic.“Saya, Bu dibantu staff.” Ekor mata Bening melihat ibunya datang bersama dengan ibu – ibu lain.“Bagus sekali!” puji Irina.“Maaf, Ibu, apa Ibu tidak keberatan, jika ibu – ibu lain turut bergabung?”“Silahkan… silahkan… Mba,
Bab 64 Lelaki di tepi sungai “Kok malam sekali pulangnya?” tanya Herni, saat membukakan pintu untuk putrinya. “Ajeng kerja di dua tempat, Bu” sahut Ajeng malas, Ia kemudian memberikan sebungkus nasi dan krupuk ke tangan sang ibu. “Tadi, sebelum pulang, Ajeng membeli nasi dulu buat Ibu.” Herni menggeleng. “Nasinya buat masmu saja, Ibu sudah makan di rumah Ibu Setyo sehabis menggosok di sana.” Hati Ajeng ngilu. Ibunya selalu mementingkan Ibra. “Mas Ibra terus yang Ibu pikirkan, apa Ibu memikirkan diriku juga. Ajeng pontang – panting bekerja supaya kita tetap hidup dan membiayai kuliah Ajeng,” sungutnya. Mata Herni berkaca – kaca. “Kakakmu butuh dukungan kita, Jeng. Ibu dan kamu. Dia keluarga kita.” “Dukungan sampai kapan? Mas Ibra sendiri yang membuat dirinya jatuh, dan dia sendiri tidak mau bangkit. Sampai Ibu menjadi wanita penghibur demi memenuhi kemauan Mas Ibra. Tapi apa yang Ibu dapat? Ibu malah dipukuli dan semua barang - barang dia jual sampai sendok dan piring buat kita
Bab 65 Kabar buruk Hari masih gelap gulita tapi Herni tergerak untuk bangun. Kakinya yang mulai kena rematik dipaksanya untuk berjalan membelah dingin menuju sungai, tak jauh dari tempat tinggalnya. Dibawanya ember dan pakaian kotor serta ember kecil tempat sabun untuk dipakainya nanti. Sebenarnya di tempat kosnya ada kamar mandi bersama, tapi dia enggan menggunakannya. Kamar mandinya jorok, bau pesing, kadang malah ada kotoran yang mengambang belum disiram. Hal itu membuatnya mual. Maka jika ada yang menyuruhnya untuk bersih – bersih rumah atau menyetrika, Herni selalu meminta ijin pada tuan rumahnya untuk mandi sebelum dia pulang ke kos. “Andaikan saja Ibra tidak neko – neko, mungkin hidupku tidak berakhir di sini,” keluh Herni sambil terus berjalan. UPS Langkah Herni terhenti karena kakinya menginjak sesuatu. Wanita berjongkok dan memeriksa apa yang diinjaknya barusan. Matanya terbelalak mengetahui barusan yang dia injak adalah sesosok tubuh. Posisinya tertelungkup. Herni
Bab 66 Denial “Hah… Kakak saya kena AIDS?” Ajeng nyaris tidak percaya dengan pendengarannya. “Betul. Kakakmu juga pecandu narkoba. Alangkah baiknya jika dia direhabilitasi, supaya bisa maksimal mengobati AIDS-nya.” Seluruh otot di tubuh Ajeng serasa lepas. Ia lemas sekali hingga penjelasan Dokter hanya lewat begitu saja di kepalanya. Dia terlalu syok dengan beban berat yang harus ia pikul. Beban berat memukul dada Ajeng. Pupus sudah harapannya untuk melihat kakaknya kembali segar seperti semula. “Terima kasih, Dok.” Hanya itu yang dapat ia katakan, sembari menerima hasil laboratorium. Ajeng berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan kepala menunduk. Langkahnya seperti tidak menjejak tanah. Pikirannya terlalu kalut, hingga membuatnya tak mampu mengangkat kepalanya tegak. Di depan kamar perawatan Ibra, gadis itu melihat Leong menunggu dengan muka yang sulit ditebak. “Ajeng apa kamu menangis?” tanya Leong perhatian, saat menyadari mata gadis itu sembab. Ajeng menunduk, dan hany
Bab 67 Hari yang membingungkan “Bu, saya barusan meeriman DM dari tamu pelanggan Hotel Natya kamar 101, dia meminta Ibu sendiri yang mengantarkan bunganya,” kata Tanto, setibanya Bening di Joli Flower. Pagi itu Bening tiba tepat jam 7 pagi karena hari ini ada banyak pesanan dari Andini. Sahabat sekaligus adik iparnya kini membuat Wedding Organizer. Wanita itu lalu memandang Tanto dengan tatapan serius. “Oh, ya? Diantar ke mana? Apakah tetap di Hotel Natya?” “Tidak, Bu, Sekarang pesanan bunganya diantarkan ke Jalan Pemuda no. 9X, mulai besok tiap jam 7 pagi.” “Hmmm begitu, ya?” Jalan Pemuda tidak terlalu jauh dari Joli Flower, jaraknya mungkin sekitar 1 kilo dari Joli Flower. “Apa kamu pernah bertemu dengan pelanggan itu?” tanya Bening lagi. “Belum Selama ini, bunganya saya taruh di Resepsionis. Sesuai dengan permintaannya.” Bening menganggukkan kepalanya. Walaupun permintaannya tidak biasa tapi dia menyanggupinya. “Apa Ibu Tita ada memesan bunga lagi?” Tiba – tiba dia teringat
Bab 68 Terpesona Jam menunjukkan pukul 6.55 pagi, ketika Bening tiba di depan rumah berwarna putih, dengan pintu pagar kayu dan berdinding batu kali yang tersusun rapi. Kemudian di belakang dinding batu itu berjejer rapi tanaman heliconia yang tumbuh sumbur. Sementara di tengah – tengah halaman tampak bunga kamboja tiga warna, memamerkan keindahannya. Bening memencet bel, dan seorang satpam keluar membukakan pintu. Selamat pagi, Bu.” Sapa lelaki dari Timur itu ramah. “Selamat pagi, Pak, saya mau mengantarkan bunga.” “Silahkan langsung masuk ke dalam, Bu. Sudah ditunggu sama Bapak.” Kening Bening bertaut, tapi dia tidak membantah dan mengikuti perintah satpam tersebut masuk ke dalam rumah. Rumahnya sangat nyaman, tidak begitu luas dan sangat sejuk. Menariknya ada sungai kecil, dengan batu – batu sungai yang bermuara di kolam dengan air terjun mini dan tumbuhan pakis – pakisan yang tumbuh subur secara vertical. Tampak ikan – ikan kecil warna warni saling berkejaran. Pemandanga
Bab 69 Pengontrak tampanSelama hampir 4 minggu, tiap weekend Bening jarang di rumah. Dia sering bolak – balik ke Jakarta untuk mengajar kelas ekslusive, Ibu – Ibu pejabat. Kadang dia mengajak Evan bersama Mama dan papanya, supaya tidak terlalu merasa bersalah.Weekend ini Bening berada di rumah, dan terkejut saat melihat dua paviliun telah jadi. Posisinya berada di halaman depan, letaknya di bagian timur dan barat rumah.Paviliun itu bentuknya mengadaptasi rumah Betawi dengan teras manis. Dihiasi kursi kayu dan aneka bunga milik Mamanya.“Paviliunnya bagus,” puji Bening tulus, saat mereka sarapan pagi.Iswati senang dengan pujian Bening. “Ya harus bagus dong. Biar penyewanya senang dan setara dengan harga sewanya.” Iswati menyuapkan sesendok cereal ke mulut Evan. “Besok, Mama dan Papa akan ke Surabaya selama 3 hari,” kata Iswati. “Rencananya Mama mau mengajak Evan dan Mba Atun. Apa kamu gak apa – apa sendirian di rumah?” ““Gak apa – apa sih, Bening bisa meminta Elang dan Andini untu
Bab 121 Last episode - Immortality “Cukup, Kak, cukup. Stop mentololkan keluarga saya!” Sesabar – sabarnya Bening, hatinya panas mendengar Tita menyebut keluarganya bodoh. Kebencian kakak iparnya itu kian menjadi, setelah tahu Dinda berniat bunuh diri, kemudian memutuskan hengkang dari rumah Tita, dan memilih tinggal bersama kakeknya di Gunung Gajah. Sementara Arum lebih suka tinggal bersama Kama dan Bening. “Kenapa? Ini mulut saya dan saya bebas mengatakan apa yang saya mau. Keluarga kamu memang tolol, dan mau pansos pada keluarga kami. Puas!!” Sorot mata Tita penuh kebencian saat mereka mau ON AIR di salah satu stasiun televisi. Sekonyong – konyong, tangan Tita mengambil gunting dari balik bajunya, dan secepat kilat merobek gaun Bening. Saat Bening belum sepenuhnya sadar, perempuan itu lalu menarik rambut panjang Bening, kemudian dengan bengis memotongnya sangat pendek. “Ya ampun!” teriak beberapa kru yang melihat setengah rambut Bening terlempar lepas ke lantai. Mereka tidak
Bab 120 Morning call“Kak… aku mau menikahi Dinda.”Sontak donat yang ada dalam mulut Bening muncrat keluar. Dia menoleh dan menatap bola mata adiknya tak percaya. “Kejutan apa lagi ini, Lang?” tanyanya kaget.Wanita itu ingat, saat Andini meninggalkan Elang, lelaki itu terpuruk dan berpikir tidak mau menikah lagi. Eh, sekarang tiba – tiba dia bilang mau menikahi keponakan Kama. Hatinya dag – dig – dug. Ketakutan yang selama ia simpan, terjadi juga.Elang duduk dengan santai di kursinya.“Salah satu alasannya adalah Kanaya, dia butuh sosok Ibu. Walaupun aku tahu, Mama dan Kakak sangat sayang kepadanya. Tapi, Kanaya butuh real mom, dan aku pikir Dinda adalah wanita tepat untuk Kanaya. Dia sangat sayang pada Kanaya.”“Apa kamu sudah memberitahu Mama soal ini?” tanya Bening. Donat bedak kesukaannya tak lagi membuatnya bergairah.Elang tersenyun nakal. Sifat isengnya mulai tumbuh. “Justru karena itu, aku bilang sama Kakak, supaya Kakak mau membantuku bilang sama Mama. Please… hanya Kakak
Bab 119 Forgiving“When a deep injury is done to us, we never recover until we forgive.” – Alan Paton“Aku benci Ibra! Aku muak melihat laki – laki itu!” Bening meremas – remas tangannya. “Tolong jangan pinta aku untuk menemuinya!” Bening benar – benar marah saat Kama tiba – tiba mengajaknya ke rumah sakit untuk menjenguk mantan suaminya itu.Bening masuk ke dalam kamar, dan menenggelamkan mukanya di bantal. Air matanya tumpah teringat dengan semua yang dilakukan Ibra.Kama menarik napas panjang, kemudian duduk di tepi ranjang, sembari mengelus kepala Bening.“Sayang, aku paham dengan kemarahanmu. Tapi Ibra menunggumu, aku tidak tega melihat dia selalu memanggil namamu.”Bening bangun dan duduk di sebelah Ibra. Air matanya meluncur deras. “Hatiku sakit Kama! Ibra sangat jahat kepadaku dan Evan, biarkan saja dia menanggung karmanya!”Kama memeluk dan mengecup kening Bening. “Aku mengerti sayang. Hanya saja, tak ada salahnya memafkan orang yang telah menyakiti hati kita. Ibra sudah mend
Bab 118 The last wish “Tolong beritahu Kak Bening, Mas Ibra sekarat dan ingin sekali bertemu dengannya.” Intan memegang kedua lengan Atun dengan kuat. Setelah dia menceritakan semua yang terjadi. Atun menggeleng. “Maaf Jeng, aku tak bisa. Aku takut Ibu Bening marah kepadaku. Kamu tahu kan, apa yang telah kakakmu lakukan pada Ibu Bening?” Dia khawatir, permintaan itu akan memporak – porandakan kebahagiaan Bening. Ajeng tidak mau perjalanannya sia - sia. “Aku tahu Mba, kakakku memang brengsek, dia telah menghancurkan hidup Kak Bening, tapi tolong Mba Atun, beritahu Kak Bening, bahwasannya kakakku mau meninggal dengan tenang. Aku tahu, selama ini dia menunggu Kak Bening. Mungkin dia mau meminta maaf sama Kak Bening langsung.” Terburu – buru Ajeng mengambil ponsel yang disembunyikan di dalam kantung celananya bagian dalam. “Kalau tidak percaya, lihatlah, lihatlah video ini.” Ajeng memutar video tentang kakaknya. Atun tercekat melihat kondisi Ibra yang sangat mengenaskan. Timbul rasa
Bab 117 A sweet kiss“Sial!!” Suara gedoran pintu itu membuyarkan kenikmatan Kama yang hampir mencapai puncak nirvana. Dia menghentikan gerakannya.“Buka dulu sayang, siapa tahu penting,” kata Bening, mengusap peluh di kening Kama yang berada di atasnya.Muka Kama cemberut, kelihatan kesal sekali dengan gangguan yang ditimbulkan pagi itu. “Biarkan saja. Kita lanjutkan saja permainan kita. Tanggung!” Tangannya menarik selimut dan menutupi tubuhnya dan Bening.Laki – laki itu kemudian memagut bibir Bening, mengulumnya dengan lembut, kemudian melakukan gerakan lamban naik – turun tapi dengan intense, seirama dengan alunan instrument piano yang mengalun lembut. “Kama… kama apa kamu ada di dalam? Tolong buka pintunya sebentar. Kakak mau bicara.” Dengan tak sabar, Tita menggedor – gedor pintu kamar Kama.“Ibu Tita, maaf, tolong jangan ganggu Bapak dan Ibu dulu, mereka mungkin masih tidur,” kata Atun. “Ibu silahkan tunggu dan duduk dulu di situ.”“Hey… diam kamu!” bentak Tita kasar. “Saya i
Bab 116 A slice of life“Oh my God! Meskipun kamu sudah menjadi istri sah Kama, saya tidak sudi dekat – dekat dengan kamu!” ucap Tita songong, saat Bening menyambangi rumahnya siang itu dengan membawa makanan.Kebencian perempuan itu pada Bening telah membuatnya menjadi perempuan buruk, hingga melupakan etika sebagai tuan rumah, dan membiarkan Bening berdiri dari 10 menit lalu.Telinga Anggi yang mendengarnya turut panas, ekor matanya melirik Bening yang berdiri dengan tegar dan tatapan teduh.“Tidak apa – apa, Kak, saya mengerti. Tujuan saya ke sini, selain untuk menjenguk Kakak, saya mau mengajak Kakak untuk menemui Ibu Irina, pekan ini. Beliau ingin sekali bertemu dengan Kakak ipar saya, sekaligus ingin mengajak Kakak bergabung dalam paguyuban Empowering Woman.” Intonasi suara Bening sangat tenang, dan tampak sangat professional menguasai emosinya. “Email resminya, nanti akan dikirim oleh Meli Sudrajat – sekretaris beliau.”Dagu Tita mendongak, sedang tangannya melipat ke depan dad
Bab 115 A perfect wedding “Tidak! Tidak! Saya tidak setuju dengan pernikahan mendadak ini!” Iswati melipat kedua tangannya ke depan. Dia memaksa tersenyum. “Saya paham kalian orang kaya dan bisa melakukan semua yang kalian mau, tapi tidak pada anak saya.” Terlihat jelas Iswati melindungi keluarganya. “Halah sok, paling juga menginginkan pernikahan mewah tujuh hari tujuh malam, supaya bisa disombongin ke media sosial,” celetuk Tita dengan mulut mencibir. “Cukup Ibu Tita, saya mendengar apa yang Anda katakan! Saya memang tidak seberuntung kalian, tapi seujung kuku pun, saya tidak berniat pansos kepada Kama!” balik Bening. Dia menatap tajam mata Tita. Tita kaget dengan keberanian Bening menyanggah perkataannya. Wanita yang dianggapnya lemah itu ternyata pemberani. “Stop! Papa minta tolong jaga sikapmu.” Sapto memperingatkan Tita. Dia kemudian menghadap ke Iswati dan Gatot. “Maaf jika sikap saya menyinggung keluarga Pak Gatot. Masalahnya, menurut pendapat saya, lebih baik menyegerak
Bab 14 Agreement “Sebelum istri saya meninggal, dia telah menyiapkan perhiasan buat istri Kama. Tolong terima ini, sebagai tanda pengikat dari Kama.” Sapto melihat orang tua Bening dengan mata lembut. Asisten Sapto kemudian meletakkan kotak kayu berukir di atas meja, dan membukanya. Kedua mata Gatot dan Iswati terbelalak melihat isi kotak tersebut. Di dalamnya terdapat perhiasan lengkap mulai, cincin hingga kalung bertahtakan berlian. Iswati yang duduk di samping suaminya, menelan ludah yang mendadak kering. Sebagai perempuan tak bisa dipungkiri dia terkesima dengan perhiasan seindah itu. Dalam hati dia menaksir harganya mencapai milyaran. Dia ngeri menbayangkan berapa jumlah kekayaan orang tua Kama, sehingga begitu mudahnya memberikan perhiasan dengan harga fantastic. Sementara Bening, terlihat duduk dengan anggun sambil memangku Evan. Kemilau perhiasan itu sama sekali tidak menggetarkan hatinya. “Maaf, Pak, bukannya saya lancang, tidak menghargai niat baik Bapak Sapto. Tapi,
Bab 113 Fools “Katakan sejujurnya Andini, apa benar Kanaya itu bukan anak kamu dan Elang?” desak Bening saat menemui sahabatnya itu di rumahnya. Ia sengaja datang ke rumah Andini pagi – pagi sekali. Andini yang masih memakai jubah tidurnya, tanpa ragu menuang anggur putih ke dalam kristalnya yang mahal. Kemudian dia duduk di seberang Bening. Mulutnya yang habis di filler menyesap anggur putih itu dengan nikmat. “Iya. Amir meninggalkan aku setelah mengetahui diriku hamil.” Wanita cantik itu membasahi bibir bawahnya. “Saat itu aku panik, aku takut menambah dosa, jika aku menggugurkan Kanaya. Maka, ketika Elang menawarkan pernikahan. Kuanggap itu jalan ninjaku untuk menyelamatkan muka. Dari awal aku berniat meninggalkan Elang setelah Kanaya lahir.” “Lantas, apa kamu bisa menjelaskan tentang Elang yang mengidam itu?” tanya Bening dengan mata berkilat. Ia tahu Elang sempat drop saat awal Andini hamil. “Aku mensugesti Elang, itu saja.” Dengan santai Andini menyesap anggur putihnya, dan