Bab 105 Warm embrace “Ma, Bening mau pindah rumah,” kata Bening, setelah makan malam. Dia menunggu moment selama hampir 20 minggu. Setelah Andini melahirkan, mamanya lumayan sibuk wira – wiri ke rumah Elang, membantu Andini merawat Kanaya - anak pertamanya. Iswati tersedak. “Kamu mau tinggal di mana? Bukankah Mama sudah meminta kamu untuk menemani kami?” Seketika wajahnya berubah murung. Ia tak sanggup jika harus membayangkan rumahnya sepi. Bening memeluk mamanya. “Bukan begitu, Ma. Bening senang dan terbantu selama tinggal di sini. Hanya saja, Joli Flower butuh tempat. Mumpung harga tanahnya miring, sekalian Bening mau bangun rumah di situ.” “Tapi, Be… kamu kan bisa membangun toko di depan. Kamu tinggal bilang saja pada kami, pasti kami buatkan,” jawab Iswati setengah mengkel. “Halaman depan itu luas, kamu bisa gunakan sebagian untuk bangun toko.” Iswati berusaha mencegah keinginan anaknya. Bening menggeleng. “Rumah ini, bukan hanya milik Bening saja, tapi punya Elang juga. Oke
Bab 106 Imperfection“Ya Allah Gusti, apa salah hamba, kenapa anak – anak hamba keduanya ditinggalkan pasangannya?” ratap Iswati. Setelah tahu perihal masalah Elang dan Andini.Gatot mengelus pundak istrinya. “Istighfar Ma, ini ujian kita.”“Papa ini gimana sih, apa kamu tidak sedih melihat kedua cucumu tidak punya orang tua lengkap? Evan ditinggalkan ayahnya, Sedangkan Kanaya ditinggalkan mamanya.” Iswati menangis. “Mama tidak menyangka Andini yang kelihatan baik dan sayang sama Kanaya, malah rela meninggalkan dia sendirian. Wanita macam apa itu, Pa. Kok seenaknya juga nulis surat Kanaya dikasih ke Bening. Memangnya Kanaya itu roti yang kalau gak suka dikasihkan ke orang. Kalau memang mau berpisah, dari Elang, kenapa tidak bilang baik – baik saja?!” Iswati mengeluarkan semua perasaan yang mengganjal di dadanya. ‘Sakit hati Mama, Pa.”Bening yang sedari tadi diam, menimpali. “Sudah Ma, bukan saatnya kita saling menyalahkan. Sekarang apa langkah kita selanjutnya?” Dia melihat ke Elang
Bab 107 A reason “Selamat, impianmu sudah terwujud. Aku tak sabar segera menikahimu,” kata Kama antusias, saat datang ke acara selamatan pindah rumah Bening. Dia datang bersama Dinda, Arum dan Adit. Wanita itu membangun rumahnya bergaya Jepang. Persis di belakang toko Joli Flower. Di tengahnya ada taman bergaya Jepang dengan tanaman Ketapang Kencana. Dibawahnya ada gerabah sebagai pemanis. “Terima kasih,” sahut Bening. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. “Mana Dinda dan Arum?” tanyanya. “Entahlah, tadi kulihat bermain bersama Evan dan Mba Atun.” Kama memperhatikan Bening yang sedang membawakan wedang jahe untuknya. Ia jauh lebih kurus. “Apa kamu merindukan aku.” Wanita itu tersipu, Hampir dua minggu dia tidak bertemu dengan Kama. “Biasanya yang bilang duluan lebih kangen,” balasnya sembari menyunggingkan seulas senyum. Dia melihat pria itu belum bercukur, dan rambutnya lebih panjang. Kulitnya juga lebih legam. Meskipun begitu, ketampanan Kama masih terpancar. “Tentu saja aku sanga
Bab 108 Solitude “Kama, siapakah wanita cantik di sampingmu itu.” Mata Wijaya seakan terhipnotis oleh Bening “Kamu belum mengenalkannya kepadaku.” Wijaya mengambil tempat duduk di sebelah Kama, sembari menatap Bening lama. Kemudian ia melempar senyum. Pria itu lupa, ada Andini di sebelahnya. Wanita itu tampak tersenyum kecut, hidungnya kembang – kempis, kelihatan sekali ia benci melihat mata Wijaya terpincut pada Bening. Kama yang melihat mata Wijaya tertuju pada Bening, berdeham. “Sorry, aku sampai lupa mengenalkan, Bening, dia kekasihku, pemilik Joli Flower dan menjadi Fashion stylist Istri Presiden.” Kama membanggakan Bening di hadapan Wijaya. Bening menganggukkan kepala, senyum tipis menghiasi wajahnya, sebagai penghormatan pada teman bisnis Kama. Dalam hati, ia menyembunyikan rasa eneg pada pria yang memiliki tubuh subur, perut buncit, bibir memble, mata belok, serta memiliki jidat lebar dan mengkilap itu. Dalam hati Bening bertanya – tanya, bagaimana Andini bisa tertarik p
Bab 109 I dare not dream PLAK! Bening tanpa sadar menampar pipi Elang. “Kamu tidak usah mencari Andini. Percuma!” Mata wanita itu berkaca – kaca sembari memegang tangannnya. Emosinya naik saat melihat Elang hendak membawa Kayana ke rumah Andini. Elang meringis kesakitan, mengusap pipinya yang panas. Wajah kakaknya begitu dekat dan ia sama sekali tidak menyangka Bening yang lembut bisa menamparnya. “Be, kenapa kamu tega menampar adikmu? Salah apa dia?!!” Iswati yang baru pulang pengajian langsung melindungi Elang. “Ma, Bening melakukan itu supaya Elang sadar, untuk melupakan Andini.” “Kak… Andini itu masih istriku. Kayana butuh Ibu. Aku tidak tega melihatnya menderita seperti Evan,” tutur Elang kelu. Dia tidak pernah melihat Bening semarah itu padanya. “Berikan Kanaya kepadaku. Aku mau ke rumah Andini.” Dia masih bersikeras hendak pergi ke rumah istrinya. Tubuh Bening bergetar. Selama ini, dia bungkam tidak menceritakan pertemuannya dengan Andini. “Untuk apa kamu mencari perempua
Bab 110 Sunday morning “Kita mau ke mana ini?” tanya Bening kaget ketika Kama tiba – tiba menjemputnya di depan pintu pesawat. Kemudian mobilnya menuju Helicopter Apache AH – 64, menunggu di depan mereka. “Kita mau menemui Papa di Gunung Gajah, dan helicopter adalah transportasi yang paling nyaman dan cepat bisa membawa kita ke sana?” Mata coklat Kama teduh menatap Bening. “Haa serius? Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Aku belum pamit sama Mama dan Evan?” “Tenang, aku sudah minta ijin sama Tante semalam.” Pria itu mengedipkan matanya. “Ih, kamu suka memberi kejutan yang tak mampu kutolak.” Bening sebel dan sontak mencubit perut Kama. “Aduh, sakit sayang.” Kama meringis. “Papa menelponku terus dan menagih, kapan aku membawamu ke Gunung Gajah. Jadi ya, kupikir minggu ini, waktu yang tepat. Besok kamu dan aku mulai sibuk.” “Setidaknya kamu kan memberi tahuku dulu, supaya aku bisa membawa sesuatu untuk beliau.” Bening mengungkapkan rasa kesalnya pada Kama. “Jangan dipikirkan soal
Bab 111 Stuck in the rain“Sayang, kita tidak bisa pulang hari ini, cuaca sangat buruk. Barusan Kaptep Roni menelponku,” kata Kama. Kaptep Roni adalah pilot helicopter yang ia sewa.Mata Bening tampak kecewa, melihat hujan badai yang tiba – tiba datang mengguyur. Padahal cuaca tadi amat bersahabat. “Mau bagaimana lagi, kita sudah terjebak di Gunung Gajah. Mungkin kita bisa melakukan kegiatan lain untuk menghibur diri,” jawabnya lugas, menyembunyikan rasa khawatir dalam hatinya.Sapto yang mulai tadi memperhatikan Bening turut bicara. “Begitulah di sini, cuacanya extreme dan kadang tidak tentu. Jika mau menggunakan jalan darat pun, percuma, jalannya terjal dan terlalu beresiko jika hujan badai. Tunggulah sebentar, kamu bisa melakukan kegiatan yang kamu suka. Saya punya banyak koleksi buku, alat musik seperti gitar dan piano ada, catur ada dan alat lukis. Pilihlah yang mana yang kamu suka.”Bening menerima tawaran baik itu. “Kalau diijinkan, saya mau melukis Pak.”“Wah, saya tak mengira
Bab 112 When love is gone “Tetap jalan, Pak,” pinta Kama. “Kama apa maksud kamu meminta sopir terus jalan! Apa kamu tidak lihat ada ambulance di depan rumahku?” kata Bening tak terima. “Jalan terus, Pak.” Kama mengabaikan permintaan Bening. Bening benar – benar kesal. “Turunkan aku di sini, Kama! Aku mau pulang dan melihat keluargaku!” Suara Bening mulai meninggi. Pikirannya yang suntuk semakin membelitnya. Wajah Kama serius dan datar. “Apa kamu tidak memperhatikan, ambulance itu kempes bannya?” “Hah, serius?” Bening tidak percaya, kemudian menoleh ke belakang. Ia melihat ada orang yang datang membawa ban dan mengganti ban ambulance itu. “Makanya, jangan panik dulu,” ledek Kama. “Terus kita mau ke mana ini? Kamu tidak membuat kejutan yang aneh – aneh lagi kan?” Kama mengatur posisi duduknya. “Kita lihat saja nanti.” Dia tersenyum penuh misteri. “Ya Tuhan. Ini sama sekali tidak lucu Kama. Kamu tahu di rumahku sedang ada masalah, dan orang tuaku menungguku pulang. Kenapa kamu