Seketika tubuh Laureta membeku. Ia sungguh tidak suka mendengar suara orang itu. Dalam pikirannya memerintahkannya untuk segera kabur dari sana. Laureta pun berlari cepat, tapi orang itu langsung mengejarnya dan menarik tangannya.“Tata! Tunggu dulu!” seru Erwin. “Kenapa kamu kabur dariku?”Laureta meringis sambil menutup matanya dengan keras. Seharusnya ia tidak bertemu dengan Erwin sekarang.“Erwin, ini bukan saat yang tepat untuk bicara. Aku benar-benar harus ke kamar Kian sekarang juga!” ucap Laureta dengan cepat.“Kamar Kian?”“Maksudku, kamarku, kamar kami. Ah, apa sajalah terserah. Lepaskan tanganku!” Laureta menarik tangannya dengan sekuat tenaga hingga tubuh Erwin ikut tertarik.Erwin menubruk Laureta hingga ia jatuh terjengkang ke lantai. Wajah mereka dekat sekali. Sama sekali bukan momen yang romantis apalagi sesuatu yang menyenangkan. Ia mengerang kesakitan karena punggungnya membentur lantai cukup keras hingga berdenyut-denyut panas.Ia mendorong tubuh Erwin supaya menyin
Laureta pun melebarkan matanya, terkejut karena Marisa begitu peduli akan tas yang ia kenakan.“Kak, padahal Kakak tidak perlu repot-repot,” ujar Laureta yang merasa tidak enak hati, meski sebenarnya senang.“Anggap saja tas itu sebagai kado pernikahanmu dengan Kian. Aku bertanya pada Kian berkali-kali, kado apa yang dia mau dariku, tapi dia tidak mau menjawab. Lucu sekali bukan. Kakak sendiri menikah, tapi adiknya tidak memberinya apa-apa. Kalau dilihat-lihat, apa lagi yang bisa aku berikan untuknya? Dia sudah punya segalanya bukan?”Laureta tersenyum sambil mengangguk perlahan. “Iya, Kak betul. Kak Marisa yang jadi adiknya saja bingung mau memberi kado apa untuknya. Apalagi aku yang tidak punya apa-apa.”Marisa terkekeh. “Tidak usah minder. Kamu sudah hadir dalam hidupnya, menjadi istrinya saja itu sudah merupakan kado teristimewa untuk Kian. Aku terlebih sangat bersyukur karena akhirnya dia bisa menemukan kebah
“Ya, Kak,” jawab Laureta. “Barusan suamiku telepon dan menanyakan posisiku di mana.” Lidah Laureta serasa kelu menyebut Kian sebagai suaminya. Ia tidak pernah mengakuiny seperti itu sebelumnya. Rasanya ternyata aneh juga. “Lalu? Apa dia akan menyusul ke sini?” tanya Marisa. Laureta mengangguk. “Ya, dia bilang dia akan datang ke sini.” Marisa mengangguk. “Ah ya. Tidak biasanya dia mau menjemput.” Lalu ia terkekeh. “Kalau untuk istrinya tercinta, pasti apa pun akan dia lakukan. Ya kan, Ga?” Helga menoleh pada Marisa, wajahnya tampak terkejut karena ditanya tiba-tiba. Namun, kemudian Helga ikut tertawa pelan. “Ya, begitulah. Kebetulan sekali Laureta bisa mendapatkan suami yang sangat baik. Semoga saja kamu juga sepadan untuknya ya.” Laureta mengangguk sambil tersenyum. Lalu ia berpikir ulang. Apa memang ia tidak terlihat sepadan untuk Kian? “Kalau aku boleh tahu, berapa umurmu, Laureta?” tanya Helga. “Umurku dua puluh dua tahun,” jawab Laureta jujur. “Oh, my God. Masih sangat mud
“Sampai bertemu lagi ya, Sa. Mulai hari ini, kita akan sering-sering bertemu,” ucap Helga sambil memeluk Marisa sambil mencium pipi kiri kanannya.Marisa tersenyum sumringah. “Tentu saja! Aku sudah tidak sabar untuk pergi main denganmu dan juga teman-teman yang lain.”“Baiklah. Jangan lupa untuk menghubungiku ya, Sa.”“Iya, Ga. Sampai ketemu lagi ya. Dadah.”Laureta melambaikan tangannya sambil tersenyum palsu. Setelah wanita itu pergi, Laureta pun bisa menghela napas dengan lega.“Eh, itu Kian!” seru Marisa.Wajah Kian tampak pucat. Ia menatap Laureta dari bawah ke atas. Napasnya seperti yang terengah-engah.“Kamu habis lari ya?” tanya Laureta sambil tersenyum menatap Kian.“Hmmm, ya. Begitulah,” jawab Kian sambil lalu. “Uhm, kenapa kalian bisa ada di sini?”“Aku dan Laureta baru saja makan malam bersama di sini. Apa kamu mau makan juga, Kian?” tanya Marisa.“Ya, sebenarnya aku lapar,” jawab Kian yang memang terlihat sangat membutuhkan nutrisi. Laureta jadi kasihan melihatnya.“Ya su
Sungguh rasanya aneh sekali, setelah puas tertawa, lalu sekarang Kian terkejut. Hidupnya memang seperti roller coaster semenjak ia bertemu dengan Laureta.Saat ia hendak menemui Laureta, ia melihat Helga yang baru saja keluar dari restoran. Wanita itu tersenyum manis padanya dan berlalu begitu saja.Kian tak menyangka jika Helga sampai berani menemui Laureta. Namun, ia justru lebih tak percaya lagi jika ternyata Helga adalah temannya Marisa. Sungguh terlalu. Apakah dunia bisa sesempit ini?Sebuah kecurigaan muncul dalam hatinya. Rasanya terlalu kebetulan jika Helga adalah temannya Marisa. Bisa jadi, Helga melakukan itu dengan sengaja.Kian jadi penasaran, hal apa yang sedang Helga rencanakan.“Kamu tidak perlu terkejut seperti itu,” ujar Laureta membuyarkan pikirannya.“Kalau kamu tidak suka, sudah saja kamu tidak usah jadi personal trainer dia. Lagi pula, kamu kan tidak mengenalnya,” ucap Kian sambil memutar pastanya dengan garpu.“Aku memang tidak mengenalnya. Lebih tepatnya, aku ba
Laureta memang tidak pernah merasa kenyang, pikir Kian.Kian memutar bola matanya sambil menggelengkan kepala. “Ya, Marisa. Laura itu kalau makan banyak sekali. Kamu akan rugi jika terus mengajaknya makan di tempat mewah seperti ini.”“Yang benar saja? Kian hanya bercanda, Ta. Kamu tidak usah mendengarkannya. Lagi pula, aku tidak pernah merasa rugi mengajakmu makan di restoran itu.”Laureta terkekeh. “Terima kasih, Kak. Kian memang sudah bercanda.” Laureta menyikut Kian cukup keras hingga Kian pun membelalak.Marisa tertawa-tawa ceria. “Oh ya, ini untukmu.”Adiknya menyerahkan tas belanja itu ke tangan Laureta. Kian menatapnya curiga.“Apa ini, Kak?” tanya Laureta sambil terperangah.“Sesuai janjiku tadi. Aku ingin memberimu hadiah.”“Oh, ya ampun. Terima kasih banyak, Kak.” Laureta memeluk Marisa sambil mengusap pundaknya dengan sayang.Kian senang melihat kedekatan Laureta dengan Marisa. Namun, ia merasa sedikit cemburu karena Laureta tidak pernah memeluknya semanis itu saat Kian me
Laureta tampak terkejut mendengar ucapan Kian. Ia seperti yang tidak bisa berkata-kata.“Bagaimana, Laura? Apa kamu mau bertemu orang tuamu?”“Apa boleh?” Tampak secercah pengharapan di wajah Laureta.“Tentu saja. Kamu bisa saja mengunjungi ayahmu di penjara. Apa kamu mau?”Laureta mengangguk. “Baiklah, aku mau.”“Kamu tidak takut? Di penjara ada banyak orang jahat. Aku tidak bisa menemanimu ke sana. Kamu akan ke sana sendirian.”“Mereka kan dikurung. Aku tidak mungkin diserang di sana kan. Ada petugas keamanan di sekeliling sana,” jawab Laureta. “Aku rasa, aku akan baik-baik saja.”Sebenarnya, Kian tidak setuju membiarkan Laureta menemui ayahnya, tapi apa boleh buat. Laureta mungkin merindukan ayahnya meski ia menyebut dirinya anak pungut.“Baguslah kalau begitu. Nanti aku akan meminta Karsa untuk mengantarmu ke penjara.”“Tidak apa-apa. Aku bisa pergi sendiri,” kata Laureta sambil mengangguk. Tampaknya tekadnya untuk menemui sang ayah sudah sangat bulat.“Oh ya, aku juga punya nomor
“Ugh! Dasar menyebalkan!” rutuk Laureta dengan suara pelan saat ia berada di kamar mandi.Ia khawatir jika Kian sampai mendengar suaranya. Ia sengaja menyalakan keran air supaya suaranya tersamarkan.Selesai mandi, Laureta pun terpaksa mengenakan lingerie lagi. Padahal ia sudah senang sekali karena membawa pakaiannya yang biasa ia pakai dulu. Namun, Kian langsung tahu dan melarang keras Laureta untuk mengenakan pakaian jelek itu.Padahal menurut Laureta ini adalah pakaian kesayangannya, pakaian ternyaman sedunia. Meski memang lingerie itu sangat halus dan dingin bahannya, tapi benda itu terlalu banyak memperlihatkan tubuhnya.Bisa jadi Kian memintanya untuk melayaninya lagi. Laureta lelah sekali. Tadi pagi, ia sudah memberikan Kian jatah, seharusnya sudah cukup untuk hari ini.Akhirnya, Laureta pun keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Kian melihatnya, lalu giliran dirinya yang mandi. Laureta gugup
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian