Malam itu, Laureta sudah tertidur pulas. Suara dengkurnya terdengar pelan di sebelah Kian. Lalu Kian memiringkan badannya supaya ia bisa melihat wajah Laureta dengan jelas.Wanita itu tampak cantik meski sedang tertidur. Kian mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Laureta, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin mengganggu tidur Laureta.Semakin ia perhatikan, Laureta jadi terlihat semakin manis. Ia teringat saat tadi siang wanita itu datang ke The Prince sambil mengenakan kaus dan celana jeans. Sungguh hal itu di luar perkiraannya. Bagaimana bisa Laureta membantah perintahnya? Tak ada satu pun orang yang berani melakukannya.Lalu ingatan saat Laureta melemparinya dengan uang hingga terkena matanya saat mereka baru pertama kali bertemu, Kian tidak akan pernah lupa akan hal itu. Laureta memang bukan jenis wanita yang bisa ia atur seenaknya.Mungkin ia harus memperlakukan Laureta dengan lebih manis lagi supaya wanita itu mau rela saat bercinta dengannya, turut menikmati setiap
Laureta dan Kian masuk ke dalam ruang periksa dokter. Wajah Kian tampak tidak bersahabat. Ia diam saja, lalu duduk di kursi tepat di hadapan sang dokter. Sementara, Laureta diminta untuk langsung berbaring di ranjang periksa.Laureta gugup setengah mati. Ia belum pernah diperiksa kandungannya. Ia tidak tahu, apa yang akan dokter itu lakukan padanya, jadi ia hanya bisa berdoa sambil berharap semuanya baik-baik saja.Dokternya berusia sekitar awal lima puluh tahun. Rambutnya tampak tipis, tapi kumisnya lumayan lebat. Dari caranya memandang, sepertinya dokter itu sangat berpengalaman. Semoga saja dokter itu bisa diandalkan, doa Laureta dalam hati. itu melihat catatan medis yang baru ditulis sedikit oleh sang perawat di bagian depan. Di sana terdapat catatan tanggal terakhir menstruasi dan siklus haidnya yang tiga puluh hari.“Sudah berapa lama nikahnya?” tanya dokter itu pada Kian.“Baru satu minggu, Dok,” jawab Kian.“Oke. Sebentar, saya periksa dulu rahimnya ya.”Laureta langsung tega
Laureta mundur beberapa langkah. Pikiran rasionalnya memperingatkannya untuk tidak mendekati bahaya. Baginya, Erwin hanya akan menjadi bencana dalam kehidupannya.Erwin menatapnya sambil memiringkan kepalanya. “Ayo! Mau naik tidak?”Laureta menggelengkan kepalanya. “Tidak mau! Aku tidak mau ikut denganmu!”Sepertinya Erwin kesal karena ia kemudian memutar bola matanya. Jendela mobil sebelah kiri tertutup. Erwin pasti sudah menyerah. Ia akan menunggu sampai Erwin pergi dan kemudian menyeberang jalan untuk naik angkot ke arah yang berbeda.Namun, ternyata Erwin turun dari mobil dan menghampirinya. Laureta terkesiap dan seketika jantungnya berdebar kencang. Ia merasa dirinya lemah sekali. Seharusnya ia berlari saja supaya Erwin tidak bisa mengejarnya. Sayangnya, semua itu sudah terlambat.Erwin sudah berada di hadapannya. “Kamu sedang menunggu Pak Karsa? Dia tidak akan datang karena dia sedang mengantar nenekku arisan.”“Hah? Arisan?” Laureta mendengus kesal. Kalau Erwin tidak memberitah
Laureta mengerjapkan matanya beberapa kali, berharap jika ia tidak pernah tertarik lagi pada pria itu. Namun, mengapa rasanya sulit sekali.“Ada apa?” tanya Erwin. “Kenapa kamu tidak mau pulang? Apa kamu tidak bahagia tinggal di rumah itu? Baru juga kamu menikah berapa hari.”Aduh gawat. Seharusnya Laureta tidak berkata seperti itu. Ia jadi terkesan seperti yang tidak bahagia.“Bukan begitu. Aku hanya belum bisa melanjutkan kegiatanku secara normal. Kian masih belum mengizinkanku mengajar zumba. Jadi, kalau aku pulang ke rumah, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rumah itu begitu besar, tapi aku masih belum merasa seperti rumah sendiri.”Erwin mengangguk. “Aku mengerti. Jadi, bagaimana? Apa kamu mau aku antar ke studio senam? Atau mau ke tempat fitnes?”Laureta merasa penawaran Erwin bagai air segar di tengah gurun pasir. Namun, apakah ia boleh menerima kebaikan Erwin seperti ini?“Kian pasti akan mencariku dan nantinya dia akan menyalahkanku,” kata Laureta sambil menunduk.“Ak
Sudah lama sekali, Laureta tidak menonton ke bioskop. Terakhir kali ia ke sana sekitar setahun yang lalu. Waktu itu, Laureta dan Erwin menonton film horor. Laureta mengantuk karena bosan, sementara Erwin ketakutan setengah mati hingga ia tidak berani ke kamar mandi.Jika mengingat hal itu, Laureta jadi ingin tertawa. Erwin seperti anak kecil yang berlindung di balik punggung ibunya. Kalau saja ia tahu Erwin takut menonton horor, seharusnya mereka tidak menonton film itu.“Aku rasa, kita pulang saja,” ujar Laureta. “Kamu tidak akan bisa menonton film horor. Nanti kamu ketakutan sendiri.”“Tidak!” tukas Erwin. “Sekarang ini aku suka menonton film horor. Film yang sekarang sedang tayang sepertinya seru. Kamu pasti suka.”“Film apa?”Erwin mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan cuplikan filmnya. Sepertinya memang seru. Namun, ia cukup yakin jika Erwin pasti tidak akan suka film seperti itu. Ucapannya bahwa ia menyukai film horor terdengar palsu.“Sudahlah. Nanti lagi saja menontonnya. Aku
Laureta pun berbalik. Wanita itu tampak cantik dan anggun dengan mengenakan gaun biru tua dengan bagian rok yang mengembang kaku. Kerah bajunya dihiasi dengan kancing berwarna silver. Warna bajunya yang gelap terlihat kontras dengan kulitnya yang putih dan mulus. Wanita itu mengenakan riasan wajah yang tipis, tapi justru membuatnya terkesan sangat cantik dan elegan.Laureta jadi malu pada dirinya sendiri yang hanya mengenakan kaus dan celana panjang. Meski begitu, ini adalah pakaian yang bermerk dan Kian sudah setuju ia mengenakan pakaian ini.Ia mengangguk sopan pada wanita itu. “Ya, Bu?”Wanita itu tersenyum. “Jangan panggil aku ibu. Aku ini Marisa, adiknya Kian. Kamu sudah lupa padaku ya?”Laureta langsung meringis. “Oh ya, Kak Marisa. Maafkan saya karena saya lupa.”“Tidak apa-apa. Lain kali, kamu harus ikut acara sarapan bersama supaya kita semua bisa saling kenal ya.”“Ya, Kak.”Marisa berjalan semakin mendekat pada Laureta. Ia melihat Laureta dari atas ke bawah seolah sedang me
“Aduh, gawat! Aku harus bagaimana, Kak? Uhm, aku tidak bermaksud untuk menghindari acara sarapan, tapi kebetulan waktu itu aku bangunnya kesiangan. Kian sudah pergi lebih dulu dan tidak memberitahuku apa-apa.”Marisa tersenyum sambil menepuk tangan Laureta. “Tidak apa-apa, Laureta. Tenang saja. Yang penting, mulai besok kamu harus ikut sarapan ya.”“Iya, Kak.” Laureta meringis. Sepertinya ia bisa menangis lagi setelah Marisa pergi. Ia sungguh malu dan takut sekali.“Oh ya, Kian juga memintaku untuk mengenalkanmu pada beberapa teman-teman sosialitaku. Sebenarnya, hal itu agak sulit karena aku dan teman-temanku sudah memiliki circle-ku sendiri. Kamu bisa mulai mencari teman-teman yang baru. Kamu bisa ikut denganku ke beberapa acara. Biarlah kamu secara natural mendapatkan teman. Benar begitu kan?”Laureta mengangguk. “Iya, Kak.”Aneh rasanya jika sampai teman-temannya saja harus Kian yang mengatur. Dan mengapa harus berasal dari golongan sosialita? Permintaan Kian sungguh sulit sekali.
Sepertinya seseorang sedang memperhatikannya dari jarak dekat. Kian mengernyitkan wajah, lalu ia membuka matanya perlahan.“Astaga!” teriak Kian.Laureta mundur, lalu duduk di sebelahnya. Debar jantung Kian bertalu-talu di dadanya. Ia pikir, ia sedang bermimpi melihat hantu. Namun, ternyata itu hanya Laureta.“Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Kian dengan tangan yang gemetaran.“Maaf. Aku tidak bermaksud mengganggumu. Aku hanya mengecek.”“Mengecek apa?” Kian pun duduk sambil mengusap wajahnya.Laureta menatap Kian dengan takut-takut. “Kamu habis bermimpi buruk ya? Kamu gelisah dan seperti yang mau menangis.”“Apa? Aku tidak menangis!” seru Kian yang lagi-lagi merasa kesal dengan ucapan Laureta.“Syukurlah kalau begitu.”Laureta bangkit berdiri, lalu ia masuk ke kamar mandi. Kian menyeka keringat yang membasahi pelipisnya. Sepertinya ia memang bermimpi buruk, tapi ia cukup yakin jika ia tidak menangis.Setelah itu, giliran Kian untuk mandi. Saat ia sedang berpakaian, Laureta m
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian