Di bandara di Capital.
Aria berjalan keluar sambil mendorong troli koper di tangannya mengikuti kerumunan orang keluar dari pintu kedatangan.
Dia mengenakan gaun biru lembut membungkus tubuh langsingnya. Sepatu hak tingginya membuat kaki putihnya terlihat jenjang. Dia tidak terlihat seperti dua anak.
Delin duduk di atas koper memandang ke sana kemari dengan antusias. Dia mengenakan gaun putri merah muda lembut, terlihat sangat manis dan menggemaskan dengan jepit rambut strawberry di rambutnya. Semenara Dixon berjalan di sebelah Aria sambil menggandeng tangan ibunya. Dia sangat tenang. Tidak bereaksi berlebihan seperti saudari kembarnya.
Dia mengenakan pakaian santai berupa kaus putih polos dan celana pendek hitam. Wajahnya yang putih dan bersih membuatnya menjadi bocah tampan yang menggemaskan.
“Ibu, apa ini yang nama Capital?” Delin duduk di atas koper berbalik dengan mata berbinar. Dia sangat antusias datang ke kota kelahiran ibunya.<
Setelah beberapa saat sebuah mobil Van mewah berhenti di depan Aria dan anak-anaknya. Seorang pria berseragam staf hotel buru-buru keluar dan berhenti di depan Aria.“Apa Anda Nyonya Aria?” tanya staf hotel dengan ekspresi sopan.Karena Aria sudah memiliki dua anak, dia tidak ingin dipanggil Nona seperti saat di Meksiko.“Benar, kamu datang untuk menjemput kami?”Staf itu menganggukkan kepalanya dan membungkuk meminta maaf pada Aria.“Tolong maafkan saya karena terlambat menjemput. Terjadi kecelakaan kecil di jalanan.”“Tidak apa-apa,” ujar Aria sambil tersenyum.Staf pria itu sesaat terpesona melihat wajah cantik tersenyum. Delin mengangkat dagunya dengan bangga melihat staf pria terpesona pada kecantikan ibunya. Ibunya sangat cantik.Dixon sebaliknya mengernyit menatap staf pria dengan sedikit permusuhan.Dia menarik tangan Aria dan berkata, “Ibu aku lelah, aku ingi
“Kami bisa tinggal di kamar apa saja. Ibu tidak perlu bersusah payah memenuhi referensi kami,” kata Dixon bijak. Dia sangat lancar berbicara di bandingkan anak-anak seusianya.Delin ingin mengatakan sesuatu tapi Dixon memelototinya.Delin yang paling manja dan susah memenuhi referensi yang dia inginkan. Kamarnya di Manor Garrett seperti istana harta. Tidak akan mengheran jika Delin menginginkan dekorasi seperti yang di kamarnya di manor Garrett.Delin mencicit tidak senang. Namun dia tidak ingin merepotkan ibunya juga.“Benar, Delin bisa tinggal di kamar apa saja. Ibu tidak perlu repot,” ujarnya sambil tersenyum manis.“Baiklah, baiklah habiskan sarapannya.” Aria tersenyum meletakkan beberapa lauk di atas piring Dixon dan Delin.“Untuk saat ini mari bertahan tinggal di hotel sampai pengaturan kamar kalian di atur.”Dixon menganggukkan kepalanya tanpa protes.Aria tersenyum melihat
“Aku mau ke toilet,” rengeknya.Dixon mendelik. “Tunggu Ibu kembali. Biar ibu yang antar kamu ke toilet.”Delin mengangguk dan memainkan sendok di piringnya dengan ekspresi bosan. Lewat lima menit kemudian Aria masih belum kembali.Delin tidak tahan. Dia memegang perutnya dan menarik tangan Dixon.“Aku tidak tahan. Antarkan aku ke toilet. Aku mau pipis,” rengek Delin menarik-narik lengan baju Dixon.Delin selalu dimanjakan oleh keluarga Garrett hingga tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri.“Kamu ingin aku mengantarmu ke toilet perempuan?” Dixon berkata cemberut.“Apa salahnya. Toh kamu tidak akan masuk ke toilet perempuan,” balas Delin mengerucutkan bibirnya.Dixon memutar matanya, kemudian memanggil pelayan yang berdiri di sudut.Pelayan segera datang.“Tuan dan Nona Kecil, ada yang bisa saya bantu?” ujar pelayan itu tersenyum ramah.
Matanya berbinar menatap punggung pria itu dari belakang. Panggungnya bahkan terlihat tampan.Tanpa menunggu pelayan itu, gadis kecil itu dengan antusias mengejar sosok pria tampan itu.....Sementara itu di kantin, Aria kembali ke meja makan. Dia terkejut melihat hanya Dixon sendiri di meja makan dan tidak melihat Delin.“Dixon, di mana adikmu?” tanyanya pada Dixon.Dixon mengalihkan pandangannya dari iPad di tangannya.“Delin pergi ke kamar mandi. Katanya dia mau pipis.”“Kamu membiarkan adikmu pergi sendiri?” Aria hampir berteriak pada Dixon.Dia sangat cemas dan panik. Hotel sangat besar dan luas, Delin sudah dimanjakan sejak kecil dan buta arah. Dia takut putrinya tersesat.Dixon menggelengkan kepalanya.“Aku meminta pelayan membantunya ke kamar mandi,” balas Dixon.Aria menghela napas lega lalu kemudian membereskan barang-barang ke dalam tas.
Namun gadis kecil yang lucu ini menarik minatnya. Entah mengapa dia merasakan keakraban yang tidak bisa dijelaskan pada Delin.“Little Bunny, apa kamu tidak takut Paman akan menculikmu?”“Culik saja. Delin mau kok diculik sama Paman tampan.”Dario dibuat terkekeh. Dia mencubit pipi gadis itu gemas.“Tapi Paman tidak suka gadis kecil. Kamu masih kecil-kecil sudah memikirkan pernikahan. Lebih baik belajar dengan baik di rumah dan membanggakan orang tua,” ujarnya kemudian melirik jam tangannya.“Paman harus pergi. Kamu membuat jadwal Paman tertunda.”Dario mengacak rambut hitam gadis kecil itu dan berdiri.“Paman, ayo menikah dengan Delin.” Delin merengek menggenggam tangan Dario, tidak ingin melepaskannya,.“Di mana orang tuamu? Apa mereka tahu kamu melamar seorang pria dewasa? Hati-hati agar tidak culik paman,” canda Dario kemudian menoleh ke sekitar mencari
Dario tidak bisa mengalihkan pandangannya dari anak itu. wajah anak laki-laki itu terlihat tidak asing. Mata obsidian dan ekspresi anak itu terlihat akrab bagi Dario. Dia seperti melihat dirinya dalam cermin, namun dalam versi kecil.Dixon menatapnya dengan ekspresi sopan.“Paman, maafkan adikku sudah mengganggumu. Kami akan pergi,” ujarnya meminta maaf dengan sopan. Lalu mengambil Delin sebelum membawanya pergi.“Tunggu, Nak!” Dario bergerak tanpa sadar menahan tangan anak laki-laki itu.Dixon menoleh menatapnya dengan kening berkerut, pun dengan Delin.Dario merendahkan tubuhnya, setengah berlutut di depan Dixon.“Siapa namamu, Nak?” tanya Dario tanpa melepaskan pandangannya dari Dixon seolah dia terpesona.Dixon menatapnya dengan mata menyipit tajam dan curiga.Dario semakin yakin anak laki-laki itu sangat mirip dengannya. Ekspresi wajahnya sangat khas dirinya.“Maaf Paman. Ib
Entah mengapa Dario merasa sedih melihat penolakan dari anak laki-laki itu.Delin yang sedari tadi diam, tiba-tiba berkata.“Dixon, mengapa mukamu sangat mirip dengan Paman itu?” tanyanya dengan polos menunjuk Dixon dan wajah Dario.Dixon berkedip dan menatap ragu-ragu wajah pria di depannya. Dia baru memperhatikan wajah paman itu. Dan seperti yang dikatakan Delin, Dixon merasa tidak asing dengan wajah pria di depannya.Wajah paman itu agak mirip dengan wajahnya ketika bercermin.“Benar, Paman juga merasa wajah kita mirip,” ujar Dario tersenyum pada Dixon lalu menatap Delin di sampingnya saudaranya.“Apa kalian kembar?” Dia bertanya dengan ingin tahu.Wajah kedua anak itu tidak identik, hingga Dario tiba bisa menyimpulkan mereka adalah kembar.Namun mereka memiliki beberapa kemiripan. Semakin Dario memperhatikan Delin, dia melihat kemiripan gadis kecil itu 50 poin dengan dirinya. Dario
“Tuan Clark Anda harus segera datang. saya sudah mengutus mobil untuk menjemput Anda di luar pintu luar hotel.”Dario berdecak, dia menatap Dixon dan Delin yang berlari menjauh.“Baiklah aku mengerti. Aku akan segera ke sana.” Setelah mengatakan itu dia menutup teleponnya dan menghela kapas muram sebelum berbalik menuju pintu keluar hotel.....Aria kembali ke meja makan. Dia tidak duduk dan sebalik-baliknya berjalan mondar-mandir dengan ekspresi cemas.Aria berpikir dia bisa melewati Dario dan mempersiapkan mentalnya ketika pria itu tahu dia sudah kembali. Tetapi ketika melihatnya untuk pertama kali setelah tujuh tahun dan berbicara dengan Delin, dia diliputi perasaan cemas dan panik.Dia takut dan belum siap bertemu dengannya.Dia takut Dario marah dan menuntut untuk mengambil anak-anaknya.Melihat bagaimana dia berinteraksi dengan Delin, Aria bisa melihat dengan jelas ekspresi tertarik dan hanga