Keesokan harinya,Dario mengelap wajah Aria dengan sebuah handuk kecil yang tersedia di sana, hati Dario sakit ketika melihat orang terkasihnya hanya duduk dengan tatapan mata yang kosong, seolah-olah jiwanya telah terenggut.Hingga akhirnya seorang dokter masuk ke kamar Aria, untuk mengecek keadaannya."Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Dario ketika sang dokter telah memeriksa Aria."Dia sangat lemah dan bahkan imunnya menurun drastis, ini resep obat yang harus diambil. Setelah sarapan berikan obat tersebut," pesan sang dokter sebelum akhirnya ia meninggalkan Dario."Sayang, aku tinggal sebentar ya? Aku harus mengambil obat," cium Dario pada kening Aria dan seperti biasa Aria tak meresponnya sama sekali.Saat itu juga Dario bergegas untuk menebus obat tersebut di apotik yang ada di lantai dasar."Saya mau nebus obat ini," ujar Dario sembari menyodorkan selembar kertas yang diberikan sang dokter sebelumnya.Salah seorang dari mereka pun menghampirinya dan mengambil kertas tersebut dar
Aria semakin meronta-rontak dengan tangan yang terus memukul dadanya."Lepaskan aku! Di mana bayiku! Di mana bayiku!""Astaga, di mana James? Kenapa dia belum kembali juga," gumam Evelyn yang tampak begitu mengkhawatirkan cucunya Aria yang tengah mengamuk."Ini semua salahku, pukulah aku sepuasnya. Selagi itu bisa membuatmu tenang," bisik Dario tanpa melepaskan pelukannya.Hatinya sakit melihat keadaan Aria .Perlahan pukulan itu kembali melemah dan hanya menyisakan tubuhnya yang gemetar karena terus menangis.“Aku ingin bayiku kembali,” isaknya terendam dalam dada Dario.Mata Evelyn memerah.Dario memejamkan matanya memeluknya erat.“Aku tahu sayang. Aku tahu. Aku juga ingin bayi kita kembali,” bisinya pahit.Bagaimana pun itu adalah yang mereka nantikan berbulan. Namun apa daya takdir tidak mengkhendaki mereka.Aria masih menangis dalam pelukannya. Dario kembali menempatkan Aria di tempat tidurnya.Bersamaan dengan itu pintu kamar pun terbuka dan menampilkan seorang dokter dengan be
Pada saat pulang sekolah, sesuai yang dijanjikan Mira membawa si kembar menemui Aria di rumah sakit. Sementara Mira menggenggam tangan si kembar agar tidak tersesat, Pengasuh si kembar mengikuti di belakang mereka dengan membawa buah tangan untuk menjemput Aria.“Nenek, apa Delin akan melihat adik Delin?” Delin dengan wajah cemberut ketika Mira membawa mereka menuju kamar rawat VIP Aria.Mira berhenti sejenak melirik sepasangan anak kembar yang menatapnya dengan tatapan ingin tahu Dixon dan muka cemberut Delin.Mereka masih anak-anak, tidak mengetahui tentang permasalahan orang dewasa. Delin da Dixon tidak diberitahu bawah mereka kehilangan adik mereka.Mira membungkuk dan menatap si kembar dengan ekspresi serius.“Delin, Dixon ... kalian jangan pernah bertanya tentang pada Ibu nanti, oke?”Delin memiringkan kepalanya dengan ekspresi bertanya.“Mengapa tidak boleh? Bukankah Ibu sudah melahirkan adik untuk kita?”“Ibu kalian ....” Mira terlihat kesulitan menjelaskannya pada anak-anak p
Delin mendekat dan menarik selimut Aria. Namun dia tidak mendapat respons dari Aria membuatnya tertunduk sedih berpikir ibunya mengabaikannya.Bibi pengasuh melihat itu mendekati Delin dan meraih bahunya lembut.“Nona Muda, jangan sedih ibu masih sakit. Ayo duduk di sofa dan tunggu nenek, oke?” bujuknya.Delin menggelengkan kepalanya dan mendongak menatap Aria.“Ibu tidak sakit, ibu hanya tidak sayang Delin lagi,” ujarnya dengan cemberut. Matanya berkaca-kaca.Dixon tidak berkata apa-apa dan hanya memandang ibunya yang tampak sibuk dengan pikirannya.“Nona bukan seperti itu. Ibu pasti masih sayang kok.” Bibi pengasuh berkata membujuk.Namun Delin masih tetap cemberut. Dia berbalik dan naik ke kursi yang diduduki Dario tadi.“Delin!” Dixon terkejut melihat tindakan saudara kembarnya.“Nona Muda, itu berbahaya. Cepat turun ....” Bibi pengasuh buru-buru menahan tubuh kecil Delin yang berdiri di atas kursi agar tidak terjatuh.“Nona cepat turun, berbahaya naik di atas kursi.”Delin mengab
Dario menatap Delin yang menangis dalam pelukannya sebelum mengalihkan pandangannya pada Aria.“Delin hanya anak-anak. Mana dia mengerti tentang kata-kata itu. Delin tidak siap memiliki adik, bisakah kamu memberinya pengertian dan bukan menyalahkannya. Dia juga terpengaruh dengan sikapmu yang seperti ini mengabaikan segalanya padahal kamu masih memiliki si kembar ....” ujar Dario dengan nada lirih pada kalimat terakhirnya.Sejak kehilangan bayi mereka, Aria seperti mengabaikan segalanya dan terpuruk.“Aku tahu kamu terluka. Aku juga terluka, tapi anak kita sudah pergi. Kita masih memiliki si kembar, kumohon Aria ikhlaskan ... jangan sampai kamu menyakiti anak-anak kita yang lain,” lanjutnya menatap anak-anaknya.Delin menangis dalam pelukannya, sementara Dixon bersembunyi di belakang Bibi pengasuh, tampak ketakutan melihat Aria yang mengamuk dan marah hampir menyakiti Delin.Aria terdiam tidak bisa membalasnya. Dia mengepalkannya di atas selimut dan menatap anak-anaknya.Delin masih m
Mereka belum bertemu selama delapan bulan. Namun kondisi Aria tidak bisa diabaikan, dia takut kejadian hari ini akan terulang jika anak-anak ada di dekat Aria.“Delin, Ibu masih sakit. Papa harus merawat ibu, Delin anak pintar dan patuh, ikut Nenek Mira saja ya,” ujarnya membujuk putrinya.Namun gadis kecil itu menggelengkan kepala dengan mata berkaca tampak akan menangis lagi.“Papa juga tidak sayang Delin lagi seperti Ibu?” isaknya lirih.“Delin bukan seperti itu. sudah jangan nangis. Dixon saja tidak nangis ....” bujuk Dario menghapus air mata yang mengalir pipi putri kecilnya.Bukannya berhenti, air mata gadis kecil mengalir semakin deras.“Delin mau sama Papa. Delin kangen Papa ....” tangisnya memeluk leher Dario takut papanya akan menyerahkannya pada Nenek Mira dan meninggalkannya.“Delin ....” Dario kesulitan membujuk Delin.Hanya Dixon yang terlihat biasa dan tidak merengek seperti adiknya.“Dario bagaimana kalau kamu ikut saja?” kata Mira menawarkan setelah melihat Delin tet
Dia membungkuk menatap putrinya sambil mengusap pipinya yang basah oleh air mata.“Delin, pergilah bersama Nenek Mira dan tunggu Papa, okey?”Wajah Gadis itu cemberut.“Papa akan menyusul dan pergi bersama kalian,” lanjutnya mencium kening putrinya.“Janji?” Delin mengulurkan jari kelingkingnya yang mungil.Dari tersenyum mengaitkan kelingkingnya.“Papa janji.” Dia kemudian menatap Mira.“Maaf merepotkanmu Bibi.”Mira tersenyum ramah membalasnya.“Kami akan menunggumu di tempat parkir,” ujarnya lalu menunduk menatap Delin sambil mengulurkan tangannya satunya yang tidak menggenggam tangan Dixon.“Ayo pergi Delin ....”Delin meraih tangan Mira dan mengikuti neneknya pergi meninggalkan tempat itu.Dario memandang punggung mereka sampai menghilang di koridor rumah sakit sebelum berbalik masuk ke dalam kamar rawat VIP Aria.Dia menutup pintu di belakangnya dan melihat ke arah rampat tidur pasien.Aria masih berbaring dengan punggung menghadap pintu. Selimut jatuh di bawah ranjang memperlih
Dario mencoba tetap tenang meski dia tahu tujuan Joseph memanggilnya hari ini bukan untuk pembicaraan yang menyenangkan.Mira menatap suaminya dan Dario dengan pandangan bertanya hingga dia menyuruhnya dan anak-anak pergi.“Apa yang akan kalian bicarakan?” Dia bertanya dengan penasaran.Joseph menatap istrinya dengan kening berkerut.“Hanya pembicaraan biasa. Ada yang perlu kami bahas tentang Aria dan hubungan mereka.”Mira terlihat cemas mengingat suaminya sangat tidak suka Aria menjalin hubungan dengan Dario. Dia takut Joseph menekan Dario untuk mengakhiri hubungannya dengan Aria.“Sayang jangan terlalu keras pada Dario. Dia dan Aria masih memiliki anak-anak,” ujarnya dengan hati-hati pada suaminya mengisyaratkan jika Joseph ingin memisahkan hubungan Aria dan Dario, anak-anak mereka yang akan menderita.Kerutan di dahi Joseph semakin dalam.“Aku tahu. Karena itu kami akan membicarakannya. Pergilah dan bawa-bawa anak-anak untuk mengganti pakaian mereka sebelum makan siang,” ujar Jose