Satu Jam Sebelum Emir Kejang.
Seorang lelaki tengah berada di dalam kelas, mengajar Mata Pelajaran Bahasa Inggris, di kelas IX. Saat tengah asik menerangkan pelajaran, tiba-tiba pintu kelasnya diketuk.TokTokKleeek"Permisi, Pak Iqbal. Tolong diangkat telepon dari Pak Zaki," ujar Pak Ujang, guru olah raga yang barusan mengetuk pintu kelasnya."Oh, baik Pak. Terimakasih." Iqbal mengangguk paham, lalu mengeluarkan ponsel yang memang ia getarkan saja. Sehingga tidak mengganggu saat ia mengajar. Maklumlah, bekerja sebagai tenaga pendidik, memang sudah sangat ia sukai, sehingga walau sudah bekerja di kantor, tetap ia mengambil freelance mengajar pelajaran Bahasa Inggris di dua sekolah."Anak-anak, Bapak ijin terima telepon dulu ya," ujarnya pada seluruh siswa di dalam kelas. Lamgkahnya lebar menuju pintu keluar."Hallo, Assalamualaikum. Iya, Pak Zak"Narsih,Amira, saya harus kembali ke Jakarta sekarang, tetapi Pak Samsul dan Bik Astri akan menemani kalian di sini," terang Tuan Wijaya menghampiri Ami yang tengah membantu Emir mengganti pakaiannya yang terkena muntahaan darah."Opa, tapi ... Saya dan Amira baik-baik saja. Pak Samsul biar ikut Opa pulang, Bik Astri yang di sini," sahut Ami yang merasa sungkan. Bagaimana mungkin ia didampingin banyak orang?"Tak apa, saya juga akan kirim beberapa orang untuk berjaga di depan," tambah Tuan Wijaya, yang kini melihat ke arah Emir. Tentu saja Emir mengangguk hormat sambil memberikan senyum tipisnya."Pa, memangnya ada apa? Kenapa sampai harus ada yang berjaga di depan?" kali ini Bu Farida yang buka suara, bertanya pada Tuan Wijaya.Kening Emir, semakin berkerut. Di kepalanya ada begitu tanda tanya tentang siapa lelaki tua yang masih terlihat gagah ini? Bagaimana bisa bersama Ami? Bagaimana bisa ibunya memanggil Papa? Bukankah kakeknya s
Farah membuka mata perlahan, sambil merasakan sakit pada pergelangan tangan yang sepertinya terikat di ranjang besi. Langsung ia tersentak, saat menyadari keadaan sekelilingnya yang gelap. Di mana dia?"Hei! Lepaskan aku!" teriaknya kencang. Suara itu menggema di dalam ruangan. Bau anyir, apek, dan aroma bangunan tua, sangat menusuk hidungnya. Membuat ia merasakan mual yang sangat hebat."Ueekk!""Ueek!""Baji***n! Beraninya kalian dengan perempuan! Baji****n! Lepaas!"Farah terus saja berteriak histeris minra dilepaskan. Ia tidak tahu, apakah sekarang sudah malam, atau malah sudah pagi. Rasa lapar membuatnya semakin histeris. Jika artis atau model yang lain akan memilih diet, atau sedikit makan, tetapi dirinya tak pernah melewatkan waktu makan sedikit pun. Jadi, bila sekarang perutnya terasa sangat sakit, itu tandanya ia memang belum makan apapun."Aku lapar, baji***n! Lepaaass! Toloooong! Tolooong!" jerit Farah pilu sembari ter
"Aaw! sakit, Ibu," rengeknya manja, menirukan suara Amira."Lagian, iseng banget. Mana bisa begitu, harus ikuti protokol pernikahan," protes Ami dengan wajah masamnya."Duh, saya udah gak sabar mau halalin kamu, Ami!""Ini namanya ujian, Mas. Harus sabar, jangan grasa-grusu. Pernikahan yang diawali dengan rasa tak sabar, bisa saja menimbulkan penyesalan.""Iya, deh." Bahu Emir melorot, betapa sesungguhnya ia sangat gemas dengan Aminarsih, tetapi wanita ini sangat kuat membentengi dirinya dari sentuhan-sentuhan yang memang belum boleh ia lakukanSeperti memeluk atau mencium. Ah, iya ... Bahkan ia belum pernah mencium bibir Ami.BeepBeepEmir mengambil ponselnya yang berdering di atas meja. Matanya membulat sempurna, tatkala ada nama Gunawan di sana. Ya, Gunawan adalah pengacara perceraian yang ia minta untuk mengurus perceraiannya dengan Farah."Hallo, Bro. Bagaiamana?""Gue denger lu sakit? Udah sehat?"
Selamat Membaca"Tidaaak! Tidaaak! Pergii!" teriak Farah histeris saat melihat kakek tua di depannya sudah melucuti satu per satu pakaiannya, menyisakan pakaian dalam saja. Farah memejamkan matanya kuat, sangat jijik melihat lelaki tua yang kini perlahan jalan ke arahnya. Kakinya ia hentak-hentakan kuat, agar kakek tua tidak mendekat padanya."Jika Kakek mendekat, maka akan aku tendang burung mati Kakek!"Tentu saja Tuan Wijaya tergelak, hingga suaranya melengking tinggi. Tubuh tuanya bergetar karena merasa geli dengan ocehan wanita muda di depannya. Karena benda yang baru saja disebutkan Farah, malah sudah terbangun dengan gagahnya di balik segitiga pengamannya."Kamu, jika dalam rumah tangga hanya untuk mencari kepuasan batin saja, maka sampai kamu tua, gak bakalan kamu menemukannya!" Tuan Wijaya mendorong kening Farah dengan kuat, hingga membuat Farah membuka mata dengan tatapan penuh amarah.Tuan Wijaya mund
Selamat Membaca."Ada apa? Siapa tamunya?" tanya papa Farah pada Bik Surti."D-dari kepolisian, Pak. Katanya membawa surat penangkapan untuk Non Farah.""Apa?!"Bu Sinta dan suaminya berjalan dengan tergesa menuju ruang tamu. Dengan dada berdebar, kedua orang tua Farah menghampiri petugas kepolisian yang sudah duduk di ruang tamu."Iya, Pak. Saya ayah dari Farah. Ada yang bisa kami bantu?" tanya Pak Faisal. Ia dan istrinya ikut duduk di depan ketiga lelaki berbadan tegap."Kami bawa surat penangkapan untuk Mbak Farah.""T-tapi, apa tuduhannya, Pak?" wajah Pak Faisal memucat, begitu juga Bu Sinta."Silakan nanti mendengar penjelasannya di kantor saja ya.""Farah sudah tiga hari tidak pulang, Pak.""Ke mana?""Katanya ke rumah temannya.""Oke, baik. Kami akan bantu cari. Permisi!"Sepeninggal ketiga petugas itu, Bu
Emir, Amira, dan juga Ami berpisah di bandara. Jika Emir kembali ke rumah Suraya terlebih dahulu, baru nanti malam mereka semua ke rumah Tuan Wijaya. Sedangkan Ami, Pak Samsul, dan Bik Astri pulang ke rumah Tuan Wijaya. Tadiannya, Emir bersikeras untuk langsung ke rumah Tuan Wijaya, tetapi dilarang oleh Bu Farida, karena mereka belum menyiapkan apa-apa untuk Aminarsih.Saat ini, status Ami memang sebagai janda beranak satu, tetapi Bu Farida tetap ingin memperlakukan Ami, layaknya anak perawan, yang dilamar baik-baik dengan membawa banyak buah tangan. Amira pun tadi sempat menangis karena berpisah dari Emir, tetapi setelah dibujuk Ami, bahwa Emir harus membeli kue dulu untuk bertemu Uyut Wijaya, barulah Amira mengerti dan berhenti menangis."Bye Papa, janan lupa bawa kuweh yang bancak ya," kata Amira sambil melambaikan tangan pada Emir yang sudah duduk di mobil yang disediakan oleh Tuan Wijaya untuk mengantar Emir dan Bu Farida ke rumah Suraya."Bye A
Ami sudah duduk di samping Tuan Wijaya, yang kini tengah memangku Amira. Dadanya berdegub kencang, saat Emir dan juga keluarganya tak henti menatap ke arahnya, mungkin tanpa berkedip. Ami hanya bisa menunduk malu, saat Emir lagi-lagi berdeham, maksud hati, agar Emir dapat melihat aura elok nan mempesona milik calon istrinya, namun apalah daya, Ami terus saja menunduk, sambil memainkan jari-jemarinya."Eehm ...." Emir kembali berdeham. Bu Farida dan Suraya terkikik geli melihat kelakuan Emir yang bagai bocah SMA sedang di mabuk cinta."Jadi, apa kiranya maksud kedatangan Ibu dan keluarga ke rumah saya?" tanya Tuan Wijaya sambil menyunggingkan senyum untuk calon besannya."Saya boleh membacakan sebuah puisi, Tuan?""Oh, tentu saja boleh. Silakan." Tuan Wijaya mempersilakan Emir melakukan apa yang barusan ia katakan.Emir mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Bu Farida dan Suraya saling pandang. Kapan Emir membuat puisi? D
Pasti lagi pada nungguin yang mau malam pertama yaak?? Ha ha ha hayy****Setelah acara memakaikan cincin dan mengecup kening sang istri. Dilanjutkan dengan acara sungkeman. Tuan Wijaya dan Bu Farida sudah duduk di kursi ukir yang tadinya disiapkan untuk spot foto lamaran. Emir menggenggam jemari Ami, lalu menuntun Ami untuk berlutut di depan Tuan Wijaya.Amin mencium punggung tangan Tuan Wijaya dengan penuh haru. Bahkan ia tak sanggup menahan air matanya, saat Tuan Wijaya mengusap kepalanya dengan penuh sayang dan kelembutan. Punggung Tuan Wijaya basah oleh air mata Ami yang tak kunjung mengangkat wajahnya."Sudah, Ami. Nanti tangan saya bisa kena kutu air, kalau kamu banjirin air mata," ujar Tuan Wijaya dengan maksud berseloroh. Ami mengangkat wajahnya yang sembab dan mata berkabut,"terimakasih, Opa. Ami minta restu Opa," lirihnya begitu pelan dan dalam, seakan Tuan Wijaya adalah orang tuanya sendi