Kamu lagi ngapain sih, Bil? Batin Nabila bingung dengan apa yang sedang dilakukannya bersama seorang pria di sebuah Cafe and Eatery. Sebuah Cafe yang mengusung tema romantis pula.Padahal pamitnya ke Mama Dina mau pergi berbelanja, tapi malah, berduaan dengan si dia.Namun sisi lain hatinya menampik, ''Aku nggak sengaja, kok".Masalahnya, dia bisa dicap janda gatal jika kedapatan sedang berduaan dengan laki-laki lain—oleh orang yang dia kenal. Ya, Nabila berdoa semoga saja tak terjadi demikian.Pasalnya ia baru bercerai kemarin. Masa iddah saja baru terlewati beberapa hari, tapi sekarang sudah mulai gandeng cowok baru lagi.Eits, tunggu-tunggu. Apa ini yang disebut dengan kencan?Nabila tidak tahu persis definisi kencan itu seperti apa. Sebab selama menikah dengan Dewa, sangat jarang mereka bisa pergi berdua. Saling mengungkapkan perasaan, bercerita banyak hal dan lain-lainnya.Selalu ada jarak diantara mereka dan anehnya, Nabila bisa sebucin itu. Padahal tak jarang, Dewa mengabaikan
Seperti apa yang baru saja dikatakan oleh Aditya tadi, tentunya sebelum mereka tiba di sini. Bahwasanya, status mereka sekarang sudah sama-sama single. Semestinya tidak ada yang boleh mempermasalahkan ke mana dan dengan siapa mereka pergi, apalagi berhubungan. Tapi masalahnya ini negara Indonesia—negara yang sebagian besar masyarakatnya memandang segala sesuatu dari kepantasannya sendiri. Cepat menikah setelah wanita menjanda dianggap buruk dan tidak tahanan, namun menjanda terlalu lama juga dipermasalahkan dan dianggap tidak laku-laku. Jadi Nabila sebenarnya pun bingung harus seperti apa dia bersikap di tengah-tengah masyarakat. Mau bersikap tak peduli, mereka ada di depan mata. Jadi ya, mau bagaimana lagi? Beginilah ragam Indonesia yang mau tak mau, suka tak suka harus mereka nikmati. “Cepat banget move on-nya. Atau kalian pada dasarnya memang ada hubungan sebelumnya?” tuduh pria itu langsung saja, memandangi Nabila dan Aditya secara bergantian dengan penuh kebencian. Namun
“Bapak nggak papa kan malah saya ajak ke sini?” “Ya, nggak papa selagi kamu nyaman.”“Sembilan dua belas nggak masalah, ya, Pak. Yang penting perut kenyang bisa ngadem.”“Hmm.” Terserah apa katamu Nabila terserah! batinnya melanjutkan. Mereka baru saja memanggil pramusaji, meminta bill untuk Aditya membayarnya.“Mau langsung pulang atau mau ke mana lagi?”“Kira-kira kalau saya balik ke Hypermart lagi, belanjaan saya masih ada nggak, ya?”“Mestinya masih ada, kan baru 2 jam kita pergi.“ Aditya melihat jarum jam tangan di tangan kirinya sebelum memastikan. “Kamu mau ke sana lagi?” “Iya, tapi saya bisa sendiri kok, Pak. Pakai taksi aja.”“Saya anterin.”“Harusnya nggak usah, saya kan jadi enak.”Aditya mengulum senyum mendengar kelakarnya. “Nggak papa, supaya kita bisa sambil ngobrol lebih banyak.”Karena kebetulan, obrolan keduanya memang belum sampai ke mana-mana. Mereka masih perlu mengenal satu sama lain, lebih jauh lagi. Akhirnya Aditya dan Nabila sepakat untuk kembali ke Hyperm
“Shakiiit...” adu Zaki mendongak pada ibunya dengan bibirnya yang maju seperti tokoh kartun Donald duck, lengkap dengan pipinya yang tembil, menggemaskan sekali.“Iya, Sayang, sakit ya, lututnya? Ibu tiup ya, fiuhhhh.” Tak hanya meniup Nabila juga mengusap-usap lutut anaknya yang sudah di plester dan ia beri Betadine.“Kapan kita ke doktelrr?” bocah itu bertanya.Aditya tak kuasa menahan kekehannya mendengar permintaan Zaki barusan. Memang benar sih, orang yang sakit pada umumnya akan dilarikan ke dokter. Anak yang pintar. Tapi jika hanya luka kecil saja, cukuplah orang-orang akan mengobatinya di rumah.“Udah nggak ada dokternya, Sayang. Kan udah sore,” jawab Nabila terpaksa berbohong. Karena ia tak punya cara lain untuk menghentikan keinginan sang anak.“Yaahhh, mau ke dokter aja, Bu. Mau diperliksa.”“Nggak ke dokter juga nggak papa, Sayang. Kan sudah sembuh, sudah dikasih plester.”“Mau ke dokter ajaaaa...Bu...”“Emangnya Zaki nggak takut disuntik?”Zaki menggelengkan kepalanya ce
“Tentang ...?” Aditya menaikkan kedua alisnya dan menatap Nabila dengan intens, menunggu wanita itu meneruskan perkataannya.“Ehm, besok aja deh, Pak. nggak terlalu penting juga, kok.”“Yakin?”“Ya.” Disertai dengan anggukan kepala. “Ya sudah.” Pria itu mengangguk-angguk. “Sampai ketemu besok.”Nabila tersenyum. Dia masih menunggunya di sana sampai mobil Aditya meninggalkan pelataran rumahnya.Barulah ketika Nabila kembali ke dalam, dia kena teguran sang papa.“Dia atasanmu di kantor?”Terus terang, suara dingin Papanya membuat nyali Nabila sedikit menciut. Ada banyak perasaan bersalah yang sulit dijelaskan, entah kenapa dan kepada siapa. Namun utamanya, dia terlalu cepat membuka hati dan kesempatan orang lain untuk masuk dalam kehidupannya yang teramat rumit ini.“I-iya, Pa.” Suara Nabila jadi tergagap. “Maaf Pa, kalau menurut papa ini salah.”“Nggak ada salah. Kamu sendiri, dia pun sudah sendiri. Cuma rasanya terlalu cepat saja.”“Jadi Nabila harus gimana, Pa? Pak Aditya nggak min
Nabila baru tiba di kantornya ketika ruangannya terasa sepi. Hampir semua anak-anak kantor tengah sibuk mengisi perutnya di pantry. Mereka bilang, ada kopi enak dari Pak Aditya—oleh-oleh dari salah satu saudaranya yang baru saja pulang dari Aceh. Tak hanya kopi, ada roti canai khas Melayu dan beberapa makanan lain yang pastinya sangat cocok untuk dijadikan teman minum kopi. Jadilah mereka sibuk berkumpul di sana untuk menikmati sarapan tersebut. Jarang-jarang kan, mereka dapat sarapan gratis dan spesial seperti ini? Karena biasanya, kantor hanya menyediakan makan siang dan kopi biasa saja. Nabila menuju ke kubikelnya dan mulai menyalakan laptopnya. Menyimpan tasnya terlebih dahulu dan memastikannya aman, sebelum dia kembali fokus ke layar. Namun tiba-tiba Nabila terkejut, ketika dia merasa hidungnya tertusuk sesuatu. “Eh, ayam ayam ayam!” Sontak pria yang ada di depannya tergelak mendengar latah lucu wanita itu. “Kenapa nggak bebek atau angsa, Bil?” “Bebek sama angsanya ud
Hari berikutnya Aditya dan Nabila kembali melakukan pertemuan di Sky Loft. Cafe yang mengusung tema rooftop dengan view cantik gedung perkotaan Jakarta. Demi membahas persoalan yang menurut keduanya belum terselesaikan, karena terkendala waktu. “Ok, sekarang adalah waktunya sesi tanya jawab.” Nabila izin pada Aditya untuk mengajukan semua pertanyaannya lebih dulu. “Mau nanya apa?” “Banyak. Salah satunya kenapa Bapak bisa cerai? Udah gitu waktu cerainya juga hampir barengan sama saya lagi. Orang-orang yang nggak tau, bisa ngira kita memang ada something sebelumnya.” Nabila menggesture kedua jarinya menjadi sebuah tanda kutip. “Kita udah nggak ada kecocokan,” jawab Aditya. “Jawaban yang klise banget.” “Alasanmu juga pasti nggak jauh beda sama saya kan?” “Nggak, dong. Perceraian kami disebabkan utamanya ya, karena perselingkuhan. You know lah, ya. Bapak kan udah liat pakai mata kepala sendiri soalnya, gimana red flag nya mantan suami saya.” “Mergokin sendiri?” Nabila menganggu
Mau dipanggil yank, katanya? Dih! Begitu ya, kelakuan Aditya. Jahilnya bukan main.Hilang sudah wibawa yang selama ini dia bangun di depan banyak orang, karena semua jatuh di depan perempuan ini.“Ada lagi nggak yang mau ditanyain?” Aditya kembali bertanya.“Hmm, apa, ya? Bentar minum dulu.” Nabila menyesap kopinya dan menggigit cemilan di depannya sebelum dia melanjutkan.“Bapak kan tau, saya nggak sendiri. Saya udah punya Zaki yang tentu saja akan menjadi bagian dari keluarga Pak Aditya juga, kalau seandainya nanti kita benar-benar berjodoh. Ini seandainya ya, Pak." Perempuan itu menegaskan kalimatnya. "... apa kira-kira Bapak ikhlas menerima anak saya jadi anak bapak juga?”“Panggil yank, Bila. Bukan bapak!” balas Aditya.“Ah, udahlah. Itu kapan-kapan aja, lidahku masih kelu, belum terbiasa.”Kembali ke topik tadi, Aditya menjawab dengan tegas, “Kalau seorang laki-laki mau menikahi seorang wanita ya, tentu harus mau menerima semua paket dari wanita itu, tanpa kecuali. Lagi pula ngg
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa