"Siapa yang membuat kopi ini?" tanya Gilang sambil menunjuk gelas di hadapannya.
Setelah membuat kopi, Kiara dan Adinda memang kembali menghadap pria itu.
"Saya, Pak." Adinda pun menjawab sambil memegang secangkir kopi yang baru saja dia buat lagi seperti yang diperintahkan oleh Dimas sebelumnya."Kalau begitu, hanya kau saja yang masuk," kata Gilang pada Adinda.Perempuan itu terdiam. Sejenak, Adinda melihat Kiara yang berdiri di sampingnya."Aku tunggu di sini aja." Kiara pun memohon pada Adinda. Sungguh, dia sangat tak ingin masuk ke ruangan Dimas lagi.Adinda menghela napas. Dia pun mengangguk setuju saat Gilang mempersilahkan masuk dia pun melangkahkan kakinya.Sedangkan tatapan mata Dimas yang mengarah padanya begitu tajam.Pria itu duduk di kursi kebesarannya sambil tersenyum miring pada Adinda yang kini perlahan meletakkan secangkir kopi buatannya di atas meja.Dimas pun menatap kopi tersebut kemudian kembali menatap Adinda."Siapa yang menyuruhmu meletakkan kopi itu pada meja saya?" tanya Dimas dengan suaranya yang berat dan tertahan.Baik.Adinda pun mengerti, kemudian dia pun kembali mengambil secangkir kopi tersebut dan memegangnya kembali."Siapa lagi yang meminta kau melakukan itu?" tanya Dimas lagi.Adinda pun menghela nafas panjang mendengar ucapan Dimas yang sangat membingungkan itu."Letakkan!" titah Dimas dengan tetapan mata yang berapi-api.Apa kesalahan Adinda sehingga Dimas begitu membenci Adinda?
Itu karena Adinda masuk kedalam hidupnya tanpa dia inginkan!Tapi, Adinda pun memilih untuk diam. Dia melakukan apa yang diperintahkan oleh Dimas--meletakkan kembali secangkir kopi buatannya pada meja.Seulas senyuman sinis pun kembali tampak di bibir Dimas.Dia pun memperhatikan secangkir kopi di atas meja.Dan tiba-tiba saja Dimas memasukkan sebuah ponsel ke dalam gelas tersebut.Adinda pun terkejut seketika itu, dia pun memeriksa saku kemejanya untuk memastikan bahwa itu bukan ponselnya.Tapi tidak.Adinda sangat yakin jika itu adalah ponsel miliknya dan dia juga tak sadar kapan ponselnya bisa sampai di tangan Dimas.Sepertinya sebelumnya terjatuh.Dengan wajah paniknya dia pun melihat Dimas.Pria itu masih saja menatapnya dengan tatapan mata elangnya.Secepat mungkin Adinda pun berusaha untuk menyelamatkan ponsel bututnya.Meskipun demikian ponsel itu sangat dia butuhkan, sehingga Adinda sangat berharap ponselnya masih bisa digunakan setelah ini.Lagi-lagi Dimas tersenyum melihat wajah panik Adinda yang sedang berusaha untuk membersihkan ponselnya dari kopi yang menempel.Kemudian tampak ada perasaan lega karena ponselnya masih menyala.Paling tidak ponselnya masih bisa digunakan.Kemudian dia pun kembali melihat Dimas, ada rasa kesal yang dia rasakan karena ulah pria itu.Tapi apakah Dimas perduli?Tidak sama sekali.Dimas pun menyadarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya, mengangkat kakinya ke atas meja dengan angkuhnya.'Gembel ini akan aku buat menyesal karena sudah lancang masuk ke dalam hidupku,' batin Dimas mulai berbicara."Bersihkan sepatu saya!" titah Dimas.Adinda merasa itu bukan suatu hal yang wajar, dia memilih diam sambil berdiri di tempatnya."Kau tidak mau?" tanya Dimas kemudian dia pun menjeda ucapannya dan tersenyum miring, "kau bisa keluar dari sini, dan saya pastikan tidak akan ada tempat untuk mu di perusahaan manapun!" lanjut Dimas lagi.Dimas tersenyum penuh kemenangan melihat wajah Adinda yang tampak terkejut mendengar apa yang dikatakan olehnya.Lihat saja, Dimas akan menjadi manusia paling mengerikan yang pernah ditemui oleh Adinda.Sampai-sampai wahai itu trauma berat karena sudah bersedia menjadi istrinya.Brak!Tiba-tiba saja Dimas menendang meja, membuat benda yang ada di atasnya pun berserakan di lantai.Tatapan mata Dimas tertuju pada Adinda dengan begitu tajam.Dia geram karena wanita sialan yang ada dihadapannya itu belum juga melakukan hal yang dia perintahkan."Cepat!""Sial, sepertinya aku harus berhadapan dengan pasien rumah sakit jiwa," gumam Adinda.Dia pun mengepalkan tangannya sambil menahan rasa kesal yang bergejolak di dadanya, Dimas sungguh sangat menjengkelkan."Kenapa kau masih diam? Kerjakan bodoh!" sergah Dimas.Gilang yang berdiri tepat di depan daun pintu pun sejenak menutup mata dan menghela nafas panjang.Karena sudah pasti dia masih harus mencari seorang wanita yang siap menjadi asisten Dimas.Tapi dia juga diperintahkan oleh Laras untuk membuat Adinda yang menjadi asisten Dimas.Ini sangat berat sekali.Karena dibalik masuknya Adinda ke perusahaan tersebut adalah campur tangan Laras.Tapi tidak, karena saat itu Adinda pun berjongkok di hadapan Dimas.Membuat Dimas tersenyum puas melihat Adinda yang sangat rendah sekali di hadapannya."Buatkan kopi yang baru!" titah Dimas.Kopi yang baru?Adinda pun kini berdiri karena bingung dengan Dimas, sebelumnya dia diminta untuk membersihkan sepatu.Namun, kini berpindah harus membuatkan kopi yang baru?Harus berapa kali dia membuatkan kopi untuk pria gila di hadapannya itu."Kenapa masih di sini, tolol!""Cepat lakukan yang diperintahkan, Pak Presdir," kata Gilang yang sebenarnya juga kasihan pada Adinda.Baiklah Adinda pun akhirnya mengikuti perintah Dimas, hingga kini kembali dengan secangkir kopi di tangannya.Sudah untuk ketiga kalinya dia membuatkan kopi, bagaimana dengan selanjutnya?Apakah masih harus membuat lagi?"Lap sepatu saya!" titah Dimas sambil duduk di kursinya dan mulai menyeruput kopi yang baru dibuatkan oleh Adinda.Adinda pun mengambil tisu dan berjongkok kembali."Tidak dengan tisu!"Adinda pun menatap Dimas, dia tidak mengerti dengan maksud dari pria itu."Tundukkan kepala mu, tolol! Dan, lap pakai tangan mu langsung. Tanpa tisu atau lainya!"Adinda pun memilih untuk diam dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Dimas, meskipun ini sangat bertolak belakang dengan batinnya.Tapi dia juga butuh tempat untuk magang agar kuliahnya lekas selesai.Belum lagi biaya kuliahnya yang begitu mendesak.Namun, tiba-tiba saja ada yang mengalir tepat di atas tangannya dan itu adalah kopi buatannya dengan sengaja ditumpahkan oleh Dimas.Adinda pun berdiri dengan tegak, dia menatap wajah Dimas dengan tatapan mata penuh dengan kemarahan.Tapi Dimas tersenyum sinis melihat Adinda.Hingga perlahan Adinda pun melangkahkan kakinya lebih dekat dengan Dimas.Sesaat kemudian mengambil alih gelas di tangan Dimas, tampak masih tersisa kopi di dalamnya."Kau mau apa?" tanya Dimas.Adinda pun tersenyum miring kemudian dia pun mencengkram erat rahang Dimas.Mata Gilang bahkan membulat melihat apa yang terjadi di hadapannya.Ini adalah hal yang sangat mencengangkan! Apa yang akan dilakukan oleh Adinda selajutnya?!"Minum!" titah Adinda dengan tatapan matanya yang berapi-api.Apa yang dilakukan oleh Dimas sangat tidak manusiawi dan Adinda bukan wanita lemah yang bisa dijadikan budak dengan sesukanya.Ingat pagi tadi juga Dimas sudah membuatnya berjalan kaki sejauh tiga kilometer.Membuat kakinya lecet dan terasa nyeri.Lantas sekarang pria itu lagi-lagi berulah dan itu sudah sampai pada batas kesabaran Adinda yang hanya manusia biasa."Semua ada batasnya. Dan, anda sudah terlalu jauh melewati batas itu!" papar Adinda.Dimas pun tak tinggal diam dia mencengkram tangan Adinda yang berani memegang rahangnya.Akan tetapi saat itu kaki Adinda langsung bergerak cepat dengan mendorong kursi yang masih di duduki oleh Dimas.Kursi tersebut pun berputar dan membuat cengkraman Dimas pun terlepas.Meskipun kaki Adinda terasa sakit tapi dia tidak perduli lagi.Baginya pelajaran berharga untuk membuat Dimas mengerti jauh lebih penting.Dan Adinda pun akhirnya dengan cepat memutar kedua tangan Dimas ke belakan
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Napas hangat Dimas begitu terasa di tengkuk leher Adinda.Dinikmatinya momen-momen saat Adinda memohon padanya untuk dilepaskan.Tapi, pria itu jelas tak mungkin melepaskannya.Karena, memang inilah yang diinginkan oleh Dimas: melihat wajah Adinda yang penuh dengan ketakutan, serta tidak berdaya dalam menghadapi dirinya.Jika sebelumnya Dimas hanya mengancam, tapi tidak dengan kali ini.Tidak akan ada lagi ampun untuk wanita kurang ajar itu."Tuan Dimas, jangan lakukan ini pada ku," mohon Adinda, tidak ada hentinya.Dimas justru tersenyum. Srak!Dengan cepat, tangan kekarnya merobek pakaian Adinda dan melemparkan dengan asal.Adinda pun semakin panik saat tubuhnya tanpa sehelai benang itu pun terpampang nyata di hadapan Dimas.Dia mencoba untuk menarik selimut agar menutupi tubuhnya.Namun, sia-sia karena malam ini Dimas sepertinya dikuasai oleh kemarahan.Kedua tangan Adinda pun ditekan erat. Gelengan kepala wanita itu justru membuat senyum miring tampak muncul di bibir Dimas.Dibe
Siraman itu sepertinya berhasil.Kelopak mata Adinda kini tampak bergerak, hingga perlahan terbuka.Dengan kepala yang terasa pusing, dia pun mencoba untuk mendudukkan tubuhnya."Akh," rintih Adinda merasa sakit di sekujur tubuhnya.Sekujur tubuhnya terasa remuk karena Dimas, belum lagi kesucian yang telah dia jaga selama 20 Tahun lamanya pun direnggut paksa.Rasanya sangat miris sekali hidupnya.Menikah dengan paksa dan orang itu bukan seseorang yang dia cintai.Kemudian, pria yang menjadi suaminya adalah seorang duda beranak satu.Belum lagi perbedaan usia yang sangat jauh.Ditambah lagi pria itu sangat kasar dan tidak tahu bagaimana cara menghargai seorang wanita.Dosa apa yang ia lakukan sehingga harus mendapatkan jalan hidup yang begitu terjal.Karena saat ini Adinda bukan hanya lelah badan. Tetapi, juga lelah perasaan.Adinda pun menarik selimut untuk menutupi dirinya.Kemudian mengusap wajahnya yang basah karena siraman air yang dilakukan oleh Dimas.Matanya melihat Dimas yang
Di sisi lain, Adinda menenangkan dirinya dengan membersihkan diri secara menyeluruh.Begitu selesai, ia pun keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di tubuhnya. Dapat dilihatnya, Dimas masih berdiri di sana.Apakah Adinda peduli?Jelas, tidak.Bahkan dia sengaja memakai handuk milik Dimas. Padahal, pria itu tidak suka ada barang miliknya yang dipakai oleh orang lain.Termasuk handuk yang biasa dia gunakan Dimas.Sialnya Adinda malah lancang memakainya.Rasanya, wanita itu semakin menjadi-jadi setelah Dimas merenggut kesuciannya.Bahkan, Adinda hanya tersenyum miring saat melewati dirinya.Dimas yang tidak suka dengan sikap Adinda pun mencengkram erat lengan Adinda.Membuat langkah kaki Adinda pun terhenti, dia pun melihat tangan Dimas yang masih mencengkram erat lengannya.Kemudian melihat wajah Dimas dengan berani."Beraninya kamu menatapku?!" geram Dimas.Tatapan Adinda yang seakan menantangnya membuat seorang Dimas kehilangan kesabarannya."Saya bisa melakukan hal lebih dari
"Bodoh! Untuk menyelidiki satu wanita jalang itu saja kau tidak becus!" Brak!Dimas melempar sebuah laptop ke arah Gilang yang untungnya dapat menghindar.Peduli setan dengan laptop seharga jutaan dolar itu hancur berantakan di lantai.Dimas sangat kecewa dengan kerja Gilang yang tidak bisa membuatnya puas.Dia sudah meminta Gilang untuk menyelidiki tentang Adinda, terutama kelemahan Adinda agar bisa dia kendalikan. Akan tetapi tidak menghasilkan apa-apa.Membuat amarahnya semakin membuncah."Maaf, Pak Presdir," Gilang menundukkan kepalanya sambil berdoa semoga saja dia masih bisa bernapas dengan baik setelah ini."Baiklah, jadikan wanita itu asisten saya! Cepat!""Baik, Pak Presdir," cepat-cepat Gilang keluar dari ruangan tersebut.Dia akan menghubungi Adinda dan menjadikan wanita itu sebagai asisten Dimas.Seperti yang diperintahkan padanya.Dimas meninju udara.Mungkin dengan menjadikan wanita itu sebagai asistennya bisa membuat wanita itu segera tunduk padanya.Bahkan dia tidak
"Apa jadwal saya hari ini?" Adinda pun melihat pada tab tersebut.Namun, pikiran Dimas saat ini bagaimana caranya untuk bisa membuat Adinda memiliki kesalahan."Ada meeting di restoran permata hijau, sekarang," jawab Adinda.Dimas pun segera bangkit dari duduknya kemudian berjalan.Sedangkan Adinda mengikuti dari belakang.Dengan sengaja Dimas melangkah cepat agar Adinda kesulitan untuk mengimbangi.Tubuh Adinda memang kecil, tapi dia juga tidak kalah cepat dalam berjalan.Bahkan dia berjalan sangat lincah meskipun dengan sepatu hak tingginya.Memegang tab di tangannya dan saat itu Dimas berhenti di depan sebuah mobil."Buka pintunya, itu tugas mu!" kata Dimas.Adinda pun membuka pintu mobil bagian kemudi."Kau pikir saya yang mengemudi dan kau duduk manis di belakang? Kau pikir kau itu siapa?" tanya Dimas meremehkan Adinda.Adinda pun menutup pintu bagian kemudi dan berpindah membuka pintu mobil bagian belakang.Setelah menatap tajam Adinda, kini Dimas pun duduk di sana."Kau yang m
Di saat yang sama, Megan mendatangi rumah Laras secara langsung.Dia ingin kembali pada Dimas. Selain karena ada Moza, dia juga tahu jika Dimas akan menjadi pewaris dari kerajaan bisnis Laras yang terkenal dengan kekayaannya mencapai triliunan rupiah.Jadi, dengan penuh percaya diri, dia menemui Laras untuk berbicara, "Saya tahu anak Ibu hanya menikahi wanita gembel itu karena paksaan dari, Ibu." Megan tersenyum pada wanita yang kini duduk di hadapannya.Sementara itu, Laras hanya tersenyum mendengar ucapan dari mantan istri putranya tersebut."Kebahagiaan Dimas ada pada saya, bukankah, seorang ibu ingin kebahagian untuk anaknya?" tambah Megan dengan senyuman penuh kebanggaan."Saya pun mencintai dia. Jadi, hari ini saya memberanikan diri untuk meminta, Ibu merestui kami kembali," tambah Megan lagi.Laras pun mengangguk membuat Megan merasa lega.Ah, rasanya tidak mungkin tapi sepertinya apa yang akan menjadi tujuannya akan tercapai.Perusahaan keluarganya diambang kebangkrutan. Sehi
Kadang kala mendengar kebagian orang lain kita juga ingin merasakan seperti mereka. Namun, saat bahagia itu tiba tentu saja ada perjalanan yang penuh kerikil yang harus dilewati. Begitu pun juga dengan Dinda, awalnya dia juga menolak pernikahan paksa ini. Tapi takdir tetap saja membawanya untuk menjalaninya. Pernikahan yang tidak dia inginkan itu pula yang membawanya bertemu pada kedua orang tuanya. Hingga sadar bahwa dia tak lagi sendirian melewati semuanya. Belum lagi cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Dimas begitu besar. Meskipun perbedaan usia yang terbilang cukup jauh tapi bukan menjadi masalah untuk hidup terus berdampingan. Hingga kini mereka memiliki anak kembar yang lucu dan menggemaskan. Meskipun Dinda adalah ibu tiri untuk sahabatnya sendiri, tapi tidak membuat kedua merasa canggung. Moza yang awalnya menentang pernikahan ayahnya dan sahabatnya memilih untuk berdamai dengan keadaan. Apa lagi kenyataan pahit yang harus dia terima, bukan anak kan
Tuuut!!! Terdengar suara kentut yang cukup keras dan berasal dari Dinda. Membuat baby twins D seketika terjaga dan menangis keras. Padahal sudah payah Dinda menidurkan kedua bayinya itu. Tapi karena perkara kentut yang tak bisa dikondisikan malah membuat kedua bayi itu terusik. "Sayang," Dimas yang telah menunggunya sejak tadi di kamar pun memilih untuk segera menyusul ke kamar anaknya. Ternyata kedua anaknya tengah menangis keras. "Ada apa? Apa anak-anak rewel?" tanya Dimas. "Ini gara-gara kentut, tadi mereka udah tidur. Tapi Dinda malah kentut, mana suaranya keras banget. Bikin anak-anak kebangun," kesal Dinda. "Ahahahhaha," Dinda pun tertawa lucu mendengar ucapan Dinda, "kamu ini ada-ada saja, ayo tidurkan anak-anak dengan cepat, apa iya kita kalah sama pengantin baru itu," ujar Dimas. "Pengantin anak itu?" Dinda sepertinya bingung dengan maksud Dimas. "Sahabat mu itu dan Chandra, itu saja tidak tau!" "O, kirain tadi siapa. Ya, biarin aja mereka kan udah lam
"Baiklah, kamu tidur duluan, Mas mandi dulu, gerah," kata Chandra. Kiara mendengar suara gemerincing air dari kamar mandi. Saat itu Kiara pun segera keluar dari kamar. Dia pun pergi ke kamar Ibunya yang bersebelahan dengan kamarnya. "Ada apa?" tanya Diana. Awalnya Diana mengira jika saja Kiara sudah tidur. Ataupun mungkin saja terjadi hubungan antara suami dan istri dan rasanya itu sangat wajar. "Apa Mikayla rewel, Bu?" tanya Kiara yang hanya ingin membuat sebuah pertanyaan asal. Padahal dia sudah melihat sendiri jika saat ini anaknya tengah begitu terlelap dalam tidur di atas ranjang dengan Farhan yang juga berbaring di sampingnya. "Cucu Ibu baik-baik saja, kamu mendingan balik ke kamar mu, biasanya juga cucu Ibu tidurnya sama, Ibu," ujarnya. Karena Mikayla tidak minum asi, sehingga tidak sulit jika pun terus bersama dengan dirinya. "Oh," Kiara bingung harus beralasan apa lagi agar tetap berada di sana. Tapi jika bisa dia ingin tidur di kamar ini saja bersama
Kiara pun kini sudah berada di dalam kamar setelah pesta selesai. Malam ini semua keluarga menginap di hotel milik keluarga Chandra. Dimana pesta pun dilangsungkan di hotel tersebut. Kiara tidak tau apa yang terjadi padanya hari ini akan membawa kebahagiaan atau tidak nantinya Dia hanya sedang berjuang untuk putrinya, untuk terus bersama. Kini dia sedang berada di dalam kamar mandi, setelah selesai segera keluar dengan memakai piyama dan handuk putih yang membalut rambutnya. Saat itu matanya pun tertuju pada sebuah kado milik Dinda yang ada di sudut kamar. Dia sudah penasaran sejak tadi, apa lagi kini hanya sendiri saja di kamar. Membuatnya pun segera mengambilnya dan membawanya ke atas ranjang agar dia bisa duduk dengan nyaman. Tangan Kiara tampak bergerak melepaskan pita kado, kemudian bergerak membuka kotaknya. Mata Kiara pun melebar sempurna setelah melihat apa yang ada di hadapannya. "Tisu ajaib?!" tanya Kiara yang bingung. Meskipun sebelumnya sudah pernah
"Kamu masih ragu?" "Aku nggak tau, soalnya kamu aneh." "Kenapa begitu?" "Entahlah, tapi Mas boleh ngomong langsung ke Ibu dan Ayah. Kalau mereka setuju, Kiara juga setuju." *** Seperti yang dikatakan oleh Kiara, Chandra pun langsung berbicara pada kedua orang tua Kiara mengenai keinginan untuk rujuk kembali dengan Kiara. Dengan cara baik-baik tanpa ada beban yang tersimpan. "Diana, Farhan, terlepas dari masa lalu kita. Kini Kiara adalah ibu dari anak ku. Aku ingin anak ku dibesarkan di lingkungan yang baik-baik, memiliki orang tua yang lengkap." "Untuk itu aku mohon dengan sangat untuk mengijinkan aku dan Kiara menikah lagi, aku pun akan membahagiakannya," pinta Chandra. Farhan dan Diana pun tidak dapat lagi berkata-kata, sebab sudah menyaksikan sendiri seperti apa menderitanya Kiara selama beberapa bulan ini hamil tanpa suami. Mana mungkin dia kembali membiarkan putrinya kehilangan bayinya yang dibawa oleh Chandra. Sebab, kembali bersama adalah cara satu-satunya untuk men
"Boleh saya masuk?" tanya Chandra yang kini berdiri di depan pintu kamar. Kiara pun bingung harus menjawab apa. Iya atau tidak? Apa lagi kini keduanya hanya orang asing, bagaimana mungkin hanya berdua saja di dalam kamar tersebut. "Masuk saja," sahut Diana yang muncul dari arah belakang dan kini dia telah masuk terlebih dahulu dengan membawa makanan hangat untuk putrinya, Kiara. Sesaat kemudian Diana pun segera keluar dan kini Chandra pun mulai melangkah masuk. Kedua tangannya tampak memegang paper bag berisi perlengkapan bayi. Mulai dari susu, diapers, tisu, pakaian bayi dan lainnya. Kiara juga merasa tidak mampu untuk membeli susu formula dengan harga yang begitu mahal. Karena anaknya tidak tidak bisa minum susu formula sembarangan. Selain untuk perkembangan juga karena alergi. Kiara semakin stres memikirkan uang untuk bisa membeli susu formula untuk anaknya sendiri. "Boleh saya menggendongnya?" tanya Chandra lagi. Kiara pun perlahan memberikan pada Chandra
"Hay," Dinda dan Moza pun menjenguk Kiara dan bayinya yang sudah dibawa pulang ke rumah. Tentunya perasaan Kiara kini begitu bahagia melihat wajah bayi mungilnya yang sangat menggemaskan. "Kamu kapan hamilnya?" tanya Moza yang begitu penasaran. "Tau-tau udah lahiran aja," Dinda pun ikut menimpali. Kiara pun tersenyum mendengar ucapan kedua sahabatnya itu. Dia juga menyadarinya tapi selama hamil dia hanya di rumah saja menikmati kesendiriannya. Sedangkan dua sahabatnya juga sibuk dengan mengurus bayi mereka, bahkan sambil kuliah juga. Kegiatan yang begitu padat membuat mereka benar-benar hanya fokus pada kesibukan masing-masing. Berbeda dengan Kiara yang hanya di rumah saja hingga mereka tidak pernah bertemu. Apa lagi rumah mereka yang cukup berjauhan. "Pantesan waktu aku lahiran kamu gemukan, taunya isi," Moza pun mengingatkan kembali saat itu. Begitu juga dengan Dinda yang tidak lupa saat itu sempat berkomentar tentang penampilan Kiara dan bentuk tubuh yang berbed
Chandra tidak lagi peduli akan status perceraian mereka berdua. Kini dia harus melihat keadaan putrinya, menjaganya hingga nanti akhirnya dokter mengatakan sudah bisa dibawa pulang. Bahkan Chandra pun tidak peduli pada Diana dan Farhan yang selama ini menentang hubungan antara dirinya dan juga Kiara. Sebab, Chandra sudah terlalu merasa bersalah pada bayinya. Bayi yang lucu itu dia beri nama Mikayla Chandra Winata. Bahkan Chandra tidak mempertanyakan sama sekali kebenaran tentang dirinya yang ayah kandung bayi itu atau bukan. Karena Chandra bisa melihat wajahnya dalam wajah bayi itu. Jika pun Kiara yang tiba-tiba mengatakan bahwa itu bukan bayinya nanti, justru Chandra yang tidak percaya. "Kiara, biarkan bayi itu bersama ku saja, aku yang akan merawatnya, dan membesarkannya," pinta Chandra. Chandra akan melakukan segala cara untuk bisa menebus kesalahannya terhadap bayinya. Sebab, baru mengetahui saat bayi itu lahir. Bahkan setiap kali melihat bayi Mikayla seketik
Chandra tidak ingin banyak bertanya untuk apa uang yang diminta oleh Kiara. Bahkan dia juga cukup terkejut melihat nama Kiara yang muncul dilayar ponselnya. Awalnya Chandra tak percaya, tapi begitulah adanya. Bahkan saat sedang rapat pun dia tetap menerima panggilan telepon. Mungkin jika bukan Kiara yang menghubungi dia tak akan menjawab karena masih dalam rapat penting. Dan untuk mendengar suara Kiara saja rasanya sangat dirindukannya. Walaupun hanya sebentar saja mendengarnya. Bahkan dia langsung mengirimkan uang tanpa tau sebenarnya berapa banyak uang yang dibutuhkan oleh Kiara. Apakah uang itu cukup atau tidak. Chandra tidak tau. Hingga akhirnya kini Chandra selesai rapat. Dia duduk di ruangannya dengan perasaan yang penuh tanya. Dia ingin menghubungi Kiara kembali, tetapi ragu. Akhirnya dia pun hanya diam sambil terus memikirkan tentang Kiara. Bahkan kini sudah malam tapi dia masih saja berada di kantor dengan perasaan yang tidak tenang tanpa sebab yang