Dimas berulangkali memijat pelipisnya.Sudah cukup lama dia sampai di kantor tapi tidak dengan Dinda.Membuatnya merasa berapi-api karena terlalu lama menunggu.Sampai akhirnya wanita itu pun tiba, tatapan Dimas langsung saja tertuju padanya dengan tajam."Selamat pagi Pak Presdir," sapa Dinda.Dinda tak ingin lagi sama seperti sebelumnya saat mereka berdua sudah cukup baik berteman.Setelah pagi ini Dinda benar-benar kesal pada Dimas. Ucapan pria itu seakan tak memiliki rasa kemanusiaan sama sekali.Sedangkan Dimas yang duduk di kursinya kini melihat Dinda.Melihat penampilan wanita dihadapannya itu dengan penuh intimidasi."Jadwal anda hari ini, menghadiri acara peluncuran produk terbaru. Kemudian, melihat langsung ke lokasi pembangunan hotel, dan setelah itu rapat di kantor cabang," jelas Dinda.Tapi Dimas tidak perduli dengan apa yang dijelaskan oleh Dinda.Saat ini pikirannya sedang tidak baik-baik saja dan itu karena Dinda yang jauh lebih memilih berangkat ke kantor bersama Gil
"Padahal aku masih punya waktu istirahat sekitar 20 menit lagi," gerutu Dinda.Tapi apa daya karena dia kini sudah kembali ke ruangan Dimas.Menjengkelkan sekali bukan?Tentu!Bahkan sangat menjengkelkan."Kenapa kau murahan sekali?" tanya Dimas secara langsung.Dinda yang berdiri di hadapan Dimas pun mengangkat sebelah alisnya mendengar pertanyaan Dimas."Murahan?" tanya Dinda kembali.Rasanya pertanyaan Dimas cukup membingungkan."Apa kau tuli?!""CK!" Dinda pun memilih untuk tidak perduli pada ucapan Dimas.Kesal rasanya jika pria itu sudah berbicara.Setiap kata yang keluar dari mulutnya pasti hanya berupa cacian dan makian tanpa berpikir sama sekali perasaan orang lain."Pagi tadi Gilang, sekarang manager pemasaran --""--Namanya Mas Deri!" Dinda pun langsung menimpali.Tapi apa yang dikatakan oleh Dinda malah membuat Dimas semakin kesal."Mas? Apa kau dan dia sudah sedekat itu? Pertahankan sedikit harga diri mu!" kata Dimas.Dinda pun mendekati Dimas kemudian dia berjinjit agar
"Yang barusan itu Pak Boss kan?" tanya seorang karyawan."Iya!" yang lainya mengangguk karena juga menyaksikan itu."Deri, kayaknya saingan kamu Pak Bos," yang lain menimpali.Deri pun kebingungan dan tak tahu harus bicara apa.Tampaknya masih shock dengan apa yang dia saksikan."Masih mau maju apa mundur, Der?""Tau lah, keringatan aku," jawab Deri yang juga masih begitu tegang."Mundur lebih bagus Der, selamatkan nyawa dulu."Deri pun mengangguk setuju.Dia masih memilih hidup dari pada mati mendadak karena berurusan dengan Dimas Hermawan.Presiden direktur.*****Kini Dimas sudah memarkirkan mobilnya di salah satu mall.Kemudian melihat Dinda yang duduk di sampingnya.Dinda tampak melihat dirinya juga."Anda yakin hanya ingin mengganti ponsel ku?" tanya Dinda dengan malas.Karena jika harus dengan membayar seperti biasanya dia sedang tidak berminat."Iya," Dimas pun segera turun.Dinda masih saja ragu dengan ucapan Dimas, bahkan sampai Dimas sudah membukakan pintu mobil untuknya sa
"Dinda apa kau tidak bisa tersenyum manis walaupun sudah berbelanja?" tanya Dimas.Kini mereka sudah kembali ke kantor karena Dimas harus bekerja kembali.Namun, Dinda masih saja tampak murung membuat Dimas bingung padahal seharusnya berbahagia.Sebab, biasanya wanita akan sangat bahagia apapun masalahnya setelah berbelanja."Aku lagi cape aja, lagian nggak harus senyum terus juga, 'kan?" tanya Dinda kembali.Tok tok tok.Suara ketukan pintu dan sesaat kemudian Gilang pun masuk.Dinda dan Dimas langsung melihat ke arah Gilang."Pak Presdir, ada Nona Megan ingin bertemu," kata Gilang.Dinda pun segera memutar tubuhnya, berniat ingin segera pergi.Dia ingin mencari udah segar untuk sebentar saja.Apa lagi untuk bertemu Megan sungguh melelahkan sekali bagi dirinya.Untuk saat ini Dinda sedang ingin ketenangan."Mau kemana?" Dimas pun menahan lengan Dinda.Membuat Dinda pun hanya bisa diam di tempatnya dengan terpaksa."Kau tahu apa yang harus kau lakukan?!" kata Dimas lagi mengingatkan D
Dinda pun segera bangkit dari atas pangkuan Dimas."Dasar wanita sialan! Kau itu sudah membuat ku kesal!" geram Dimas karena Dinda hanya diam saja.Sejak Megan datang hanya Dimas yang berusaha sendiri untuk meyakinkan wanita itu.Bahkan rasanya seperti tidak ada lagi kenyamanan mengingat Megan akan bertunangan dengan laki-laki lain.Artinya dengan begitu dirinya sudah tak lagi ada di hati Megan.Suatu fakta yang tak dapat di terima oleh Dimas.Tapi mendengar ucapan Dimas membuat Dinda tersenyum miring."Kenapa melihat ku seperti itu?" tanya Dimas.Melihat senyuman Dinda yang tampaknya tak perduli dengan kemarahannya.Karena Dinda selalu saja berani menantang dirinya.Entah sampai kapan dan entah mengapa pula bisa demikian."Berani anda berkata, jalang, wanita sialan, dan lainnya yang kasar lagi pada ku! Jangan harap aku mau membantu mu lagi!" papar Dinda."Kau berani menantang ku?!"Dinda pun berjinjit dan menarik dasi Dimas."Kenapa aku harus takut?!" tantang Dinda.Tidak ada raut wa
Di kamar dengan nuansa serba putih dengan kemewahan yang terasa seorang wanita paruh baya tampak memegang sebuah benda.Cukup banyak benda tipis pada tangannya dan satu persatu menampakkan wajah anaknya bersama dengan Dinda."Dimas membatalkan pergi melihat proyek karena pergi bersama istrinya ke mall?"Laras awalnya terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Gilang.Namun, setelah melihat buktinya dia pun kini percaya."Iya, Bu, itu benar," kata Gilang membenarkan.Laras pun mengangguk sambil terus melihat gambar di tangannya sampai berulangkali.Mungkin masih merasa bingung.Namun, sesaat kemudian Laras pun tersenyum."Tidak masalah, kau boleh pergi!""Saya permisi, Bu."Laras merasa ini adalah hal yang sangat bagus untuk hubungan antara keduanya.Hingga saat itu matanya melihat ke arah luar dari jendela kamarnya.Dia meletakkan foto di tangannya pada meja kemudian berjalan lebih maju beberapa langkah.Di bawah sana tampak mobil Dimas sudah terparkir.Sesaat kemudian Dimas turun be
"Muka mu pucat sekali, kamu sakit?" tanya Dimas saat melihat wajah Dinda saat ini yang tampak pucat.Dinda meletakkan secangkir kopi yang barusan dia buat untuk Dimas.Sepertinya selesai mandi Dimas butuh minum kopi hangat dan dia hanya ingin kopi buatan Dinda saja.Namun, sesaat kembali ke kamar Dimas melihat wajah Dinda tampak pucat."Kayaknya masuk angin," jawab Dinda.Kemudian dia pun segera membaringkan tubuhnya pada ranjang.Sedangkan Dimas sibuk dengan tab di tangannya ditemani secangkir kopi hangat buatan Dinda.Satu jam kemudian Dimas pun melihat Dinda masih berbaring di atas ranjang.Sedangkan dia mulai menuju meja makan untuk makan malam."Dinda di mana?" tanya Laras yang melihat hanya Dimas saja yang tiba di ruang makan."Tidur, Bu," jawab Dimas."Tidur?" tanya Laras bingung.Karena tidak biasanya Dinda seperti ini kecuali ada hal tertentu."Emang pemalas!" kata Moza yang langsung saja menimpali pembicaraan.Ia pun segera duduk di kursinya dan berharap Dinda tidak perlu ik
Sedangkan Laras kini sudah masuk ke kamar Dinda.Ternyata Dinda tengah berbaring di atas ranjang."Dinda," panggil Laras.Dinda yang mendengar suara Laras pun seketika membuka matanya.Perlahan dia pun duduk."Kamu sakit?" tanya Laras sambil terus berjalan ke arah Dinda.Dia melihat wajah Dinda cukup pucat."Masuk angin kayaknya, Bu," jawab Dinda."Ya sudah istirahat saja," Laras pun merasa lega.Sebab Dinda berada di kamar untuk beristirahat.Setelah memastikan Dinda di sana dia pun segera pergi.*****Dimas masih memikirkan apa yang dikatakan oleh putrinya.Menceraikan Dinda dan kembali pada Megan.Tapi dia bingung harus seperti apa saat ini.Dimas juga ingin putrinya bahagia dengan merasakan keluarga yang utuh.Itu adalah keinginan Moza sejak kecil.Sampai tengah malam Dimas tak dapat mengambil keputusan seperti apa untuk membuat anaknya bahagia.Hingga dia pun memilih untuk segera kembali ke kamar.Dia melihat Dinda di bawah selimut yang cukup tebal.Bahkan wanita itu menggigil ke
Kadang kala mendengar kebagian orang lain kita juga ingin merasakan seperti mereka. Namun, saat bahagia itu tiba tentu saja ada perjalanan yang penuh kerikil yang harus dilewati. Begitu pun juga dengan Dinda, awalnya dia juga menolak pernikahan paksa ini. Tapi takdir tetap saja membawanya untuk menjalaninya. Pernikahan yang tidak dia inginkan itu pula yang membawanya bertemu pada kedua orang tuanya. Hingga sadar bahwa dia tak lagi sendirian melewati semuanya. Belum lagi cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Dimas begitu besar. Meskipun perbedaan usia yang terbilang cukup jauh tapi bukan menjadi masalah untuk hidup terus berdampingan. Hingga kini mereka memiliki anak kembar yang lucu dan menggemaskan. Meskipun Dinda adalah ibu tiri untuk sahabatnya sendiri, tapi tidak membuat kedua merasa canggung. Moza yang awalnya menentang pernikahan ayahnya dan sahabatnya memilih untuk berdamai dengan keadaan. Apa lagi kenyataan pahit yang harus dia terima, bukan anak kan
Tuuut!!! Terdengar suara kentut yang cukup keras dan berasal dari Dinda. Membuat baby twins D seketika terjaga dan menangis keras. Padahal sudah payah Dinda menidurkan kedua bayinya itu. Tapi karena perkara kentut yang tak bisa dikondisikan malah membuat kedua bayi itu terusik. "Sayang," Dimas yang telah menunggunya sejak tadi di kamar pun memilih untuk segera menyusul ke kamar anaknya. Ternyata kedua anaknya tengah menangis keras. "Ada apa? Apa anak-anak rewel?" tanya Dimas. "Ini gara-gara kentut, tadi mereka udah tidur. Tapi Dinda malah kentut, mana suaranya keras banget. Bikin anak-anak kebangun," kesal Dinda. "Ahahahhaha," Dinda pun tertawa lucu mendengar ucapan Dinda, "kamu ini ada-ada saja, ayo tidurkan anak-anak dengan cepat, apa iya kita kalah sama pengantin baru itu," ujar Dimas. "Pengantin anak itu?" Dinda sepertinya bingung dengan maksud Dimas. "Sahabat mu itu dan Chandra, itu saja tidak tau!" "O, kirain tadi siapa. Ya, biarin aja mereka kan udah lam
"Baiklah, kamu tidur duluan, Mas mandi dulu, gerah," kata Chandra. Kiara mendengar suara gemerincing air dari kamar mandi. Saat itu Kiara pun segera keluar dari kamar. Dia pun pergi ke kamar Ibunya yang bersebelahan dengan kamarnya. "Ada apa?" tanya Diana. Awalnya Diana mengira jika saja Kiara sudah tidur. Ataupun mungkin saja terjadi hubungan antara suami dan istri dan rasanya itu sangat wajar. "Apa Mikayla rewel, Bu?" tanya Kiara yang hanya ingin membuat sebuah pertanyaan asal. Padahal dia sudah melihat sendiri jika saat ini anaknya tengah begitu terlelap dalam tidur di atas ranjang dengan Farhan yang juga berbaring di sampingnya. "Cucu Ibu baik-baik saja, kamu mendingan balik ke kamar mu, biasanya juga cucu Ibu tidurnya sama, Ibu," ujarnya. Karena Mikayla tidak minum asi, sehingga tidak sulit jika pun terus bersama dengan dirinya. "Oh," Kiara bingung harus beralasan apa lagi agar tetap berada di sana. Tapi jika bisa dia ingin tidur di kamar ini saja bersama
Kiara pun kini sudah berada di dalam kamar setelah pesta selesai. Malam ini semua keluarga menginap di hotel milik keluarga Chandra. Dimana pesta pun dilangsungkan di hotel tersebut. Kiara tidak tau apa yang terjadi padanya hari ini akan membawa kebahagiaan atau tidak nantinya Dia hanya sedang berjuang untuk putrinya, untuk terus bersama. Kini dia sedang berada di dalam kamar mandi, setelah selesai segera keluar dengan memakai piyama dan handuk putih yang membalut rambutnya. Saat itu matanya pun tertuju pada sebuah kado milik Dinda yang ada di sudut kamar. Dia sudah penasaran sejak tadi, apa lagi kini hanya sendiri saja di kamar. Membuatnya pun segera mengambilnya dan membawanya ke atas ranjang agar dia bisa duduk dengan nyaman. Tangan Kiara tampak bergerak melepaskan pita kado, kemudian bergerak membuka kotaknya. Mata Kiara pun melebar sempurna setelah melihat apa yang ada di hadapannya. "Tisu ajaib?!" tanya Kiara yang bingung. Meskipun sebelumnya sudah pernah
"Kamu masih ragu?" "Aku nggak tau, soalnya kamu aneh." "Kenapa begitu?" "Entahlah, tapi Mas boleh ngomong langsung ke Ibu dan Ayah. Kalau mereka setuju, Kiara juga setuju." *** Seperti yang dikatakan oleh Kiara, Chandra pun langsung berbicara pada kedua orang tua Kiara mengenai keinginan untuk rujuk kembali dengan Kiara. Dengan cara baik-baik tanpa ada beban yang tersimpan. "Diana, Farhan, terlepas dari masa lalu kita. Kini Kiara adalah ibu dari anak ku. Aku ingin anak ku dibesarkan di lingkungan yang baik-baik, memiliki orang tua yang lengkap." "Untuk itu aku mohon dengan sangat untuk mengijinkan aku dan Kiara menikah lagi, aku pun akan membahagiakannya," pinta Chandra. Farhan dan Diana pun tidak dapat lagi berkata-kata, sebab sudah menyaksikan sendiri seperti apa menderitanya Kiara selama beberapa bulan ini hamil tanpa suami. Mana mungkin dia kembali membiarkan putrinya kehilangan bayinya yang dibawa oleh Chandra. Sebab, kembali bersama adalah cara satu-satunya untuk men
"Boleh saya masuk?" tanya Chandra yang kini berdiri di depan pintu kamar. Kiara pun bingung harus menjawab apa. Iya atau tidak? Apa lagi kini keduanya hanya orang asing, bagaimana mungkin hanya berdua saja di dalam kamar tersebut. "Masuk saja," sahut Diana yang muncul dari arah belakang dan kini dia telah masuk terlebih dahulu dengan membawa makanan hangat untuk putrinya, Kiara. Sesaat kemudian Diana pun segera keluar dan kini Chandra pun mulai melangkah masuk. Kedua tangannya tampak memegang paper bag berisi perlengkapan bayi. Mulai dari susu, diapers, tisu, pakaian bayi dan lainnya. Kiara juga merasa tidak mampu untuk membeli susu formula dengan harga yang begitu mahal. Karena anaknya tidak tidak bisa minum susu formula sembarangan. Selain untuk perkembangan juga karena alergi. Kiara semakin stres memikirkan uang untuk bisa membeli susu formula untuk anaknya sendiri. "Boleh saya menggendongnya?" tanya Chandra lagi. Kiara pun perlahan memberikan pada Chandra
"Hay," Dinda dan Moza pun menjenguk Kiara dan bayinya yang sudah dibawa pulang ke rumah. Tentunya perasaan Kiara kini begitu bahagia melihat wajah bayi mungilnya yang sangat menggemaskan. "Kamu kapan hamilnya?" tanya Moza yang begitu penasaran. "Tau-tau udah lahiran aja," Dinda pun ikut menimpali. Kiara pun tersenyum mendengar ucapan kedua sahabatnya itu. Dia juga menyadarinya tapi selama hamil dia hanya di rumah saja menikmati kesendiriannya. Sedangkan dua sahabatnya juga sibuk dengan mengurus bayi mereka, bahkan sambil kuliah juga. Kegiatan yang begitu padat membuat mereka benar-benar hanya fokus pada kesibukan masing-masing. Berbeda dengan Kiara yang hanya di rumah saja hingga mereka tidak pernah bertemu. Apa lagi rumah mereka yang cukup berjauhan. "Pantesan waktu aku lahiran kamu gemukan, taunya isi," Moza pun mengingatkan kembali saat itu. Begitu juga dengan Dinda yang tidak lupa saat itu sempat berkomentar tentang penampilan Kiara dan bentuk tubuh yang berbed
Chandra tidak lagi peduli akan status perceraian mereka berdua. Kini dia harus melihat keadaan putrinya, menjaganya hingga nanti akhirnya dokter mengatakan sudah bisa dibawa pulang. Bahkan Chandra pun tidak peduli pada Diana dan Farhan yang selama ini menentang hubungan antara dirinya dan juga Kiara. Sebab, Chandra sudah terlalu merasa bersalah pada bayinya. Bayi yang lucu itu dia beri nama Mikayla Chandra Winata. Bahkan Chandra tidak mempertanyakan sama sekali kebenaran tentang dirinya yang ayah kandung bayi itu atau bukan. Karena Chandra bisa melihat wajahnya dalam wajah bayi itu. Jika pun Kiara yang tiba-tiba mengatakan bahwa itu bukan bayinya nanti, justru Chandra yang tidak percaya. "Kiara, biarkan bayi itu bersama ku saja, aku yang akan merawatnya, dan membesarkannya," pinta Chandra. Chandra akan melakukan segala cara untuk bisa menebus kesalahannya terhadap bayinya. Sebab, baru mengetahui saat bayi itu lahir. Bahkan setiap kali melihat bayi Mikayla seketik
Chandra tidak ingin banyak bertanya untuk apa uang yang diminta oleh Kiara. Bahkan dia juga cukup terkejut melihat nama Kiara yang muncul dilayar ponselnya. Awalnya Chandra tak percaya, tapi begitulah adanya. Bahkan saat sedang rapat pun dia tetap menerima panggilan telepon. Mungkin jika bukan Kiara yang menghubungi dia tak akan menjawab karena masih dalam rapat penting. Dan untuk mendengar suara Kiara saja rasanya sangat dirindukannya. Walaupun hanya sebentar saja mendengarnya. Bahkan dia langsung mengirimkan uang tanpa tau sebenarnya berapa banyak uang yang dibutuhkan oleh Kiara. Apakah uang itu cukup atau tidak. Chandra tidak tau. Hingga akhirnya kini Chandra selesai rapat. Dia duduk di ruangannya dengan perasaan yang penuh tanya. Dia ingin menghubungi Kiara kembali, tetapi ragu. Akhirnya dia pun hanya diam sambil terus memikirkan tentang Kiara. Bahkan kini sudah malam tapi dia masih saja berada di kantor dengan perasaan yang tidak tenang tanpa sebab yang