"Dinda, barusan Ferdi bilang kamu sudah menikah?""Ya," jawab Adinda sambil terus menarik lengan Kiara menuju ruang dosen.Kiara shock mendengarnya dia pun berhenti melangkah membuat Adinda pun ikut berhenti melangkah."Dan, kamu nggak ngasih tau aku? OMG," Kiara pun memegang dadanya seakan sangat shock dengan pengakuan Adinda."Panjang ceritanya, dan aku rasa tidak penting juga. Kamu tahu seperti apa ibu ku. Jangan tanyakan ini lagi atau aku akan mati bunuh diri!" ucap Adinda dengan sedikit mengancam.Dia sangat tak ingin membicarakan pernikahan paksanya itu.Menjijikkan sekali mengingat dirinya dijual oleh ibu angkatnya untuk menikah dengan anak majikannya itu.Belum lagi kesuciannya sudah hilang karena Dimas yang mengambil dengan paksa.Malam itu Dimas memperlakukan dirinya layaknya binatang.Membuat Adinda semakin merasa benci pada Dimas, seakan kematian pun tak lagi membuatnya takut.Sekaligus membuatnya semakin berani melawan setiap perlakuan kasar Dimas.Sedangkan Kiara pun ter
Belum selesai dengan pikirannya, kini Adinda sudah keluar dari kamar mandi.Tubuhnya terlihat lebih segar, rambutnya basah terurai.Namun, hanya berbalut handuk saja."Apa wanita ini tidak punya rasa malu?" tanya Dimas sambil menatap Adinda yang melewatinya.Dan Adinda yang mendengar pun memilih untuk terus melanjutkan langkah kakinya menuju almari."Percuma juga aku tutupi, kau sudah melihat dan menikmatinya juga!" jawab Adinda.Huuuufff!Dimas lagi-lagi menarik napas mendengar jawaban Adinda.Sepertinya keputusannya sudah tepat mengajukan kerja sama.Karena, Dimas sendiri mulai putus asa untuk membuat Adinda tunduk padanya dengan begitu saja.Lihat saja wanita itu lagi-lagi memakai handuk miliknya.Percuma juga mengatakan lagi dan lagi karena tidak berlaku apa-apa bagi seorang Adinda.Dia pun sejenak mengingat wajah ibunya, bingung mengapa bisa Laras mencarikan dirinya seorang istri pembangkang.Wanita yang lebih banyak membantah, padahal Dimas awalnya membayangkan jika istri piliha
"Kalau kali ini pun saya diturunkan di jalanan, saya tidak akan mau melanjutkan kerja sama kita!"Adinda melihat pria yang duduk di sampingnya sambil mengemudikan mobilnya.Dimas memang memilih mengemudikan mobilnya sendiri agar lebih meyakinkan bahwa mereka berdua memang pasangan suami istri pada umumnya.Padahal alasan sebenarnya adalah Dimas sedang berusaha untuk menghindari serangan jantung mendadak.Sebab, Adinda mengemudi seperti sedang balap liar--membuat Dimas merasa nyawanya terancam!Dan kali ini, Adinda malah kembali mengeluarkan kalimat peringatan?Luar biasa sekali wanita ini?"Semakin lama, saya rasa kamu semakin lancang!" geram Dimas."Ini kerja sama. Jadi, kita harus sama-sama --"Dimas langsung menutup mulut Adinda, hingga akhirnya tidak lagi berbicara."--Turun!" titah Dimas yang sudah memarkirkan mobilnya."Baru saja diperingatkan, sekarang sudah melakukan!" pekik Adinda.Dimas pun mengetuk kepala Adinda, kesal rasanya berbicara dengan wanita itu.Namun, ketukan pad
Adinda meletakkan gelas di tangannya setelah tandas diteguk Dimas.'Selamat' batin Adinda.Adinda tersenyum samar karena dirinya tak perlu meneguk minuman aneh itu.Ada Dimas.Adinda memang punya banyak ide dan dia memang wanita yang pintar dalam segala keadaan.Pantas saja Laras memilihnya untuk menjadi istri Dimas.Tentu saja Laras juga sudah mempertimbangkan dengan baik.Bahkan menyelidiki tentang Adinda, dia tak akan mungkin menikahkan anaknya dengan wanita asal-asalan.Menepikan tentang Laras.Lihat saja saat ini Adinda menuntun tangan Dimas untuk melingkar di pinggangnya.Membuat Dimas lagi-lagi merasa terkejut dengan ulah Adinda.Tapi hanya dibalas senyuman manja dari Adinda."Selamat ulang tahun dan semoga panjang umur," Dimas pun mengulurkan tangannya pada Megan.Dan langsung dibalas oleh Megan, "Terima kasih sudah hadir, aku merasa sangat senang."Dimas dan Megan pun saling melempar senyum sambil perlahan melepaskan tangan masing-masing.'Ternyata dia bisa senyum juga' batin
Dimas pun memilih untuk pergi dari sana.Adinda bingung saat tiba-tiba saja Dimas pergi meninggalkan dirinya di tengah-tengah tamu lainya.Tanpa kata, tanpa bicara untuk membuat alasan apapun juga.Dengan segera dia pun menyusul Dimas.Ternyata Dimas menuju toilet dan Adinda menunggu di luar saja karena dia bingung ada apa dengan pria aneh itu.Tapi ini tidak juga membuatnya merasa lucu.Sebab, dia sudah tahu sikap Dimas memang aneh dan suka semena-mena terhadap orang lain terutama dirinya.Sedangkan Dimas mulai mencuci wajahnya hingga berulangkali.Dia melihat wajahnya melalui pantulan cermin.Sambil berusaha mendinginkan otak yang mulai panas karena pikirannya yang tidak beres."Wanita itu seperti racun saja!" Geram Dimas sambil membayangkan wajah Adinda penuh dengan kekesalan.Kesal karena terus saja membuatnya merasa tidak nyaman.Sesaat kemudian dia pun merasa lebih baik, kemudian segera keluar dari kamar mandi."Tiga puluh menit!" kata Adinda yang berdiri di depan pintu kamar m
Beberapa saat kemudian Dimas tak lagi mendengar suara Adinda.Dia pun melihat ke samping ternyata sudah terlelap.Pantas saja Adinda tak lagi berbicara ngaur, ternyata minuman itu sudah membuatnya tertidur."Baru segitu sudah teler, dasar gembel!" umpat Dimas.Jangankan untuk menghabiskan satu botol seperti saat ini, satu gelas saja sudah membuatnya mabuk.Adinda tidak pernah meneguk minuman itu, dan kini terpaksa dia teguk.Nasib malang.*****Kini keduanya sampai di rumah.Dimas langsung turun dari mobilnya tapi saat itu matanya tanpa sengaja melihat Laras yang berdiri di balkon kamarnya dan melihat dirinya.Laras memang menantikan kepulangan Dimas dan Adinda.Hatinya merasa tenang saat melihat kedua orang itu sudah pulang.Artinya Adinda tak lagi diturunkan di jalanan seperti sebelumnya.Bahkan tanpa Dimas tahu jika dirinya mengirim orang untuk memata-matai Dimas saat membawa Adinda.Meskipun tidak diberitahu, Laras tahu kemana perginya Dimas membawa Adinda.Mungkin Dimas tak tahu
Adinda melihat wajahnya di cermin.Dia kini memakai handuk di tubuhnya dan seperti biasanya pula, itu adalah handuk milik Dimas.Sepertinya Adinda benar-benar tak perduli dengan apapun ucapan yang akan dia terima saat sang pemilik melihatnya.Apa lagi saat ini dia sibuk melihat dirinya di depan cermin meja rias.Mengamati satu persatu tanda merah keunguan yang masih menjadi misteri itu."Tanda ini?" tanya Adinda sambil mengingat sesuatu.Kemudian dia pun mulai menyimpulkan sesuatu yang ada di benaknya."Apa mungkin?" tanya Adinda lagi.Dia pun menepis pikirannya karena tak mungkin pula Dimas yang mencetak tanda itu.Karena, saat beberapa hari yang lalu pun dia pernah melihat tanda itu di tubuhnya.Dan itu setelah Dimas menyentuhnya.Dan kini muncul lagi.Apa mungkin?Ah, Adinda atau yang lebih sering di panggil Dinda itu semakin pusing dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya sendiri.Saat itu bertepatan dengan Dimas yang masuk ke dalam kamar.Dia melihat Dinda sedang berada d
Dimas pun menghentikan langkah kakinya setelah mendengar suara itu.Ternyata ibunya di sana dan tersenyum padanya."Jangan terlalu menutup diri, hanya dalam hitungan hari dia sudah membuat mu seperti ini. Dia hebat, 'kan?" Laras pun tersenyum pada putra tunggalnya itu, karena sepertinya keinginannya untuk memisahkan anaknya dengan Megan akan segera tercapai.Sesaat kemudian Dimas pun memilih kembali melanjutkan langkah kakinya menuju meja makan.Tanpa menjawab perkataan Laras sama sekali.Begitu juga dengan Dinda yang menyusul."Nyonya, maksudnya Ibu," sapa Dinda melihat Laras berdiri tak jauh di depan pintu kamarnya."Urus suamimu!" tegas Laras.Adinda pun mengangguk kemudian Laras pun segera pergi.Perasaannya benar-benar bahagia dan berharap Dinda bisa segera mengandung cucunya.Dengan begitu dia akan memiliki keturunan dari Dimas.Dia butuh cucu yang mengalir darah anaknya langsung.Dan Dinda bisa mengandung cucunya, karena wanita itu tak lepas dari pengawasannya sudah dipastikan
Kadang kala mendengar kebagian orang lain kita juga ingin merasakan seperti mereka. Namun, saat bahagia itu tiba tentu saja ada perjalanan yang penuh kerikil yang harus dilewati. Begitu pun juga dengan Dinda, awalnya dia juga menolak pernikahan paksa ini. Tapi takdir tetap saja membawanya untuk menjalaninya. Pernikahan yang tidak dia inginkan itu pula yang membawanya bertemu pada kedua orang tuanya. Hingga sadar bahwa dia tak lagi sendirian melewati semuanya. Belum lagi cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Dimas begitu besar. Meskipun perbedaan usia yang terbilang cukup jauh tapi bukan menjadi masalah untuk hidup terus berdampingan. Hingga kini mereka memiliki anak kembar yang lucu dan menggemaskan. Meskipun Dinda adalah ibu tiri untuk sahabatnya sendiri, tapi tidak membuat kedua merasa canggung. Moza yang awalnya menentang pernikahan ayahnya dan sahabatnya memilih untuk berdamai dengan keadaan. Apa lagi kenyataan pahit yang harus dia terima, bukan anak kan
Tuuut!!! Terdengar suara kentut yang cukup keras dan berasal dari Dinda. Membuat baby twins D seketika terjaga dan menangis keras. Padahal sudah payah Dinda menidurkan kedua bayinya itu. Tapi karena perkara kentut yang tak bisa dikondisikan malah membuat kedua bayi itu terusik. "Sayang," Dimas yang telah menunggunya sejak tadi di kamar pun memilih untuk segera menyusul ke kamar anaknya. Ternyata kedua anaknya tengah menangis keras. "Ada apa? Apa anak-anak rewel?" tanya Dimas. "Ini gara-gara kentut, tadi mereka udah tidur. Tapi Dinda malah kentut, mana suaranya keras banget. Bikin anak-anak kebangun," kesal Dinda. "Ahahahhaha," Dinda pun tertawa lucu mendengar ucapan Dinda, "kamu ini ada-ada saja, ayo tidurkan anak-anak dengan cepat, apa iya kita kalah sama pengantin baru itu," ujar Dimas. "Pengantin anak itu?" Dinda sepertinya bingung dengan maksud Dimas. "Sahabat mu itu dan Chandra, itu saja tidak tau!" "O, kirain tadi siapa. Ya, biarin aja mereka kan udah lam
"Baiklah, kamu tidur duluan, Mas mandi dulu, gerah," kata Chandra. Kiara mendengar suara gemerincing air dari kamar mandi. Saat itu Kiara pun segera keluar dari kamar. Dia pun pergi ke kamar Ibunya yang bersebelahan dengan kamarnya. "Ada apa?" tanya Diana. Awalnya Diana mengira jika saja Kiara sudah tidur. Ataupun mungkin saja terjadi hubungan antara suami dan istri dan rasanya itu sangat wajar. "Apa Mikayla rewel, Bu?" tanya Kiara yang hanya ingin membuat sebuah pertanyaan asal. Padahal dia sudah melihat sendiri jika saat ini anaknya tengah begitu terlelap dalam tidur di atas ranjang dengan Farhan yang juga berbaring di sampingnya. "Cucu Ibu baik-baik saja, kamu mendingan balik ke kamar mu, biasanya juga cucu Ibu tidurnya sama, Ibu," ujarnya. Karena Mikayla tidak minum asi, sehingga tidak sulit jika pun terus bersama dengan dirinya. "Oh," Kiara bingung harus beralasan apa lagi agar tetap berada di sana. Tapi jika bisa dia ingin tidur di kamar ini saja bersama
Kiara pun kini sudah berada di dalam kamar setelah pesta selesai. Malam ini semua keluarga menginap di hotel milik keluarga Chandra. Dimana pesta pun dilangsungkan di hotel tersebut. Kiara tidak tau apa yang terjadi padanya hari ini akan membawa kebahagiaan atau tidak nantinya Dia hanya sedang berjuang untuk putrinya, untuk terus bersama. Kini dia sedang berada di dalam kamar mandi, setelah selesai segera keluar dengan memakai piyama dan handuk putih yang membalut rambutnya. Saat itu matanya pun tertuju pada sebuah kado milik Dinda yang ada di sudut kamar. Dia sudah penasaran sejak tadi, apa lagi kini hanya sendiri saja di kamar. Membuatnya pun segera mengambilnya dan membawanya ke atas ranjang agar dia bisa duduk dengan nyaman. Tangan Kiara tampak bergerak melepaskan pita kado, kemudian bergerak membuka kotaknya. Mata Kiara pun melebar sempurna setelah melihat apa yang ada di hadapannya. "Tisu ajaib?!" tanya Kiara yang bingung. Meskipun sebelumnya sudah pernah
"Kamu masih ragu?" "Aku nggak tau, soalnya kamu aneh." "Kenapa begitu?" "Entahlah, tapi Mas boleh ngomong langsung ke Ibu dan Ayah. Kalau mereka setuju, Kiara juga setuju." *** Seperti yang dikatakan oleh Kiara, Chandra pun langsung berbicara pada kedua orang tua Kiara mengenai keinginan untuk rujuk kembali dengan Kiara. Dengan cara baik-baik tanpa ada beban yang tersimpan. "Diana, Farhan, terlepas dari masa lalu kita. Kini Kiara adalah ibu dari anak ku. Aku ingin anak ku dibesarkan di lingkungan yang baik-baik, memiliki orang tua yang lengkap." "Untuk itu aku mohon dengan sangat untuk mengijinkan aku dan Kiara menikah lagi, aku pun akan membahagiakannya," pinta Chandra. Farhan dan Diana pun tidak dapat lagi berkata-kata, sebab sudah menyaksikan sendiri seperti apa menderitanya Kiara selama beberapa bulan ini hamil tanpa suami. Mana mungkin dia kembali membiarkan putrinya kehilangan bayinya yang dibawa oleh Chandra. Sebab, kembali bersama adalah cara satu-satunya untuk men
"Boleh saya masuk?" tanya Chandra yang kini berdiri di depan pintu kamar. Kiara pun bingung harus menjawab apa. Iya atau tidak? Apa lagi kini keduanya hanya orang asing, bagaimana mungkin hanya berdua saja di dalam kamar tersebut. "Masuk saja," sahut Diana yang muncul dari arah belakang dan kini dia telah masuk terlebih dahulu dengan membawa makanan hangat untuk putrinya, Kiara. Sesaat kemudian Diana pun segera keluar dan kini Chandra pun mulai melangkah masuk. Kedua tangannya tampak memegang paper bag berisi perlengkapan bayi. Mulai dari susu, diapers, tisu, pakaian bayi dan lainnya. Kiara juga merasa tidak mampu untuk membeli susu formula dengan harga yang begitu mahal. Karena anaknya tidak tidak bisa minum susu formula sembarangan. Selain untuk perkembangan juga karena alergi. Kiara semakin stres memikirkan uang untuk bisa membeli susu formula untuk anaknya sendiri. "Boleh saya menggendongnya?" tanya Chandra lagi. Kiara pun perlahan memberikan pada Chandra
"Hay," Dinda dan Moza pun menjenguk Kiara dan bayinya yang sudah dibawa pulang ke rumah. Tentunya perasaan Kiara kini begitu bahagia melihat wajah bayi mungilnya yang sangat menggemaskan. "Kamu kapan hamilnya?" tanya Moza yang begitu penasaran. "Tau-tau udah lahiran aja," Dinda pun ikut menimpali. Kiara pun tersenyum mendengar ucapan kedua sahabatnya itu. Dia juga menyadarinya tapi selama hamil dia hanya di rumah saja menikmati kesendiriannya. Sedangkan dua sahabatnya juga sibuk dengan mengurus bayi mereka, bahkan sambil kuliah juga. Kegiatan yang begitu padat membuat mereka benar-benar hanya fokus pada kesibukan masing-masing. Berbeda dengan Kiara yang hanya di rumah saja hingga mereka tidak pernah bertemu. Apa lagi rumah mereka yang cukup berjauhan. "Pantesan waktu aku lahiran kamu gemukan, taunya isi," Moza pun mengingatkan kembali saat itu. Begitu juga dengan Dinda yang tidak lupa saat itu sempat berkomentar tentang penampilan Kiara dan bentuk tubuh yang berbed
Chandra tidak lagi peduli akan status perceraian mereka berdua. Kini dia harus melihat keadaan putrinya, menjaganya hingga nanti akhirnya dokter mengatakan sudah bisa dibawa pulang. Bahkan Chandra pun tidak peduli pada Diana dan Farhan yang selama ini menentang hubungan antara dirinya dan juga Kiara. Sebab, Chandra sudah terlalu merasa bersalah pada bayinya. Bayi yang lucu itu dia beri nama Mikayla Chandra Winata. Bahkan Chandra tidak mempertanyakan sama sekali kebenaran tentang dirinya yang ayah kandung bayi itu atau bukan. Karena Chandra bisa melihat wajahnya dalam wajah bayi itu. Jika pun Kiara yang tiba-tiba mengatakan bahwa itu bukan bayinya nanti, justru Chandra yang tidak percaya. "Kiara, biarkan bayi itu bersama ku saja, aku yang akan merawatnya, dan membesarkannya," pinta Chandra. Chandra akan melakukan segala cara untuk bisa menebus kesalahannya terhadap bayinya. Sebab, baru mengetahui saat bayi itu lahir. Bahkan setiap kali melihat bayi Mikayla seketik
Chandra tidak ingin banyak bertanya untuk apa uang yang diminta oleh Kiara. Bahkan dia juga cukup terkejut melihat nama Kiara yang muncul dilayar ponselnya. Awalnya Chandra tak percaya, tapi begitulah adanya. Bahkan saat sedang rapat pun dia tetap menerima panggilan telepon. Mungkin jika bukan Kiara yang menghubungi dia tak akan menjawab karena masih dalam rapat penting. Dan untuk mendengar suara Kiara saja rasanya sangat dirindukannya. Walaupun hanya sebentar saja mendengarnya. Bahkan dia langsung mengirimkan uang tanpa tau sebenarnya berapa banyak uang yang dibutuhkan oleh Kiara. Apakah uang itu cukup atau tidak. Chandra tidak tau. Hingga akhirnya kini Chandra selesai rapat. Dia duduk di ruangannya dengan perasaan yang penuh tanya. Dia ingin menghubungi Kiara kembali, tetapi ragu. Akhirnya dia pun hanya diam sambil terus memikirkan tentang Kiara. Bahkan kini sudah malam tapi dia masih saja berada di kantor dengan perasaan yang tidak tenang tanpa sebab yang