"Mas," Dinda langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Dimas yang baru saja masuk ke dalam kamar.Perlahan Dimas tampak mulai menutup pintu dengan rapat."Moza, ikut pulang sama, Mas?""Kamu belum tidur?" tanya Dimas kembali karena awalnya mengira jika Dinda telah tidur apa lagi sudah pukul 02:30 wib."Belum, lagian kamu kok tanya balik," kata Dinda.Tapi saat itu Dimas langsung saja berjalan ke arah ranjang setelah melepas jaketnya dan melempar dengan asal dia pun segera berbaring di atas ranjang."Tidur di sini," Dimas menunjuk ranjang kosong di sampingnya.Dinda pun menurut dan berbaring di samping Dimas.Karena dia sangat penasaran dengan apa yang terjadi barusan.Namun, saat itu Dimas langsung memeluk Dinda sambil menangis.Membuat Dinda merasa kebingungan bahkan sangat penasaran dengan apa yang terjadi barusan."Mas, kamu kenapa?" tanya Dinda panik.Dimas hanya diam sambil terus memeluk Dinda dengan perasaan yang begitu kacau."Mas, Moza nggak kenapa-napa kan?" Din
*****"Ini kopinya, Mas," Dinda pun meletakkan di atas meja makan.Pagi ini Dimas tampak tidak bersemangat sama sekali.Mungkin karena kejadian tadi malam dan hari ini sesuai dengan apa yang dia katakan pada Dinda bahwa dia akan menjemput Moza."Ma, Papa jadi berangkat ke luar kota?" tanya Dinda pada Miranda yang juga kini duduk di kursi meja makan."Jadi, pagi-pagi sekali Papa sudah berangkat. Katanya supaya sore nanti sudah kembali," jelas Miranda."Nggak nginep ya, Ma?""Enggak, ya udah kalian lanjutkan sarapan. Mama sudah selesai, Mama ada arisan dengan teman-teman Mama. Termasuk Ibu mertua mu juga ikut," kata Miranda."Ya, Ma," Dinda pun mengerti.Dinda pun melihat Dimas yang mulai menyeruput kopi buatannya.Kemudian dia pun menghubungi Gilang namun ternyata Gilang sudah tiba."Saya di sini, Bos," kata Gilang sambil melihat ponselnya yang menyala dan tertulis nama Dimas di sana."Hilman di mana?" tanya Dimas dengan segera."Dia sudah berangkat pagi-pagi sekali dengan Tuan Wijaya
"Ini rumah saya, Mbak. Maksudnya kosan saya," kata Nilam.Nilam pun segera membuka pintu dan mempersilahkan Moza untuk masuk.Moza merasa tempat tersebut sangat kecil.Mungkin karena telah terbiasa hidup dalam keadaan yang penuh dengan kemewahan."Mbak Moza, minum dulu, deh," Nilam pun memberikan mineral pada Moza.Moza pun menerimanya dan langsung meneguknya.Sejak kemarin Moza memang belum makan apapun."Panggil saya, Moza aja. Nggak usah pakai, Mbak. Saya yakin usia kamu lebih tua dari pada saya," ujar Moza."Saya masih muda juga, saya belum kawin," Nilam pun cengengesan karena tak ingin disebut tua.Dan Moza merasa Nilam memang seseorang yang sangat baik."Kamu mandi dulu, aku masakin makanan dulu. Ini handuknya," Nilam pun memberikan handuk pada Moza.Bukan hanya handuk saja, bahkan sampai meminjamkan piamanya.Moza tahu itu adalah pakaian murah tapi paling tidak Nilam sudah sangat baik bisa memberikan pakaiannya.Setelah Moza selesai mandi Nilam pun selesai memasak.Tepatnya men
Dimas masih tidak bisa tenang sebelum menemukan Moza.Bahkan wajahnya juga tampak sangat serius memikirkan keadaan Moza saat ini."Aku yakin Moza baik-baik saja," Dinda mengelus lengan Dimas dengan lembut.Dia tahu saat ini pikiran Dimas terkuras habis memikirkan putrinya itu.Dinda pun dapat mengerti karena bagaimana pun juga Dimas yang merawat serta membesarkan Moza."Semoga saja apa yang kamu katakan benar," kata Dimas.Dinda pun tersenyum."Mas, di depan sana ada toko roti enak banget. Kemarin Dinda beli di sana soalnya pas pulang dari kampus," kata Dinda.Dimas pun mengangguk karena saat ini dia hanya ingin bertemu dengan anaknya."Mas, harus cobain deh," kata Dinda lagi berharap bisa menghibur Dimas.Dimas pun lagi-lagi tersenyum sambil mengacak lembut rambut Dinda.Sedangkan Gilang mengemudikan mobil karena Dimas hari ini berangkat ke kantor dan Dinda juga ikut karena itu bisa membuatnya bersemangat dalam bekerja."Gilang, berhenti di toko roti di depan sana," pinta Dinda.Gila
Moza tidak langsung pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Nilam.Nilam yang dari tadi berdiri di tempatnya menyaksikan sendiri apa yang terjadi antara Moza dan dua orang yang tidak ia kenal.Tetapi sedikit banyaknya Nilam menyimpulkan bahwa dua orang itu adalah bagian dari keluarga Moza."Nilam, makasih kamu udah jadi orang yang menyelamatkan aku.Aku pulang ya sama, Papi. Tapi, kita tetap temenan kan?" tanya Moza dengan penuh harap.Moza tak dapat melupakan segala kebaikan Nilam selama beberapa hari ini.Bahkan jika tidak ada Nilam mungkin kini Moza sudah tinggal nama karena bunuh diri."Aku pasti kangen banget sama kamu, padahal sejak ada kamu aku jadi punya teman," kata Nilam."Aku bakalan sering nginep di kosan kamu, sama datang ke sini. Aku janji," Moza pun tersenyum dan segera memeluk Nilam."Janji ya," kata Nilam yang juga membalas pelukan Moza."Iya, itu pasti. Kita sahabat," kata Moza sambil menarik masing-masing pipi Nilam."Sakit!""Senyum dong, biasanya kamu kan aneh," c
"Kamu udah lega kan, Mas? Moza udah ketemu," kata Dinda.Dimas pun tersenyum sambil tangannya menarik Dinda untuk duduk atas pangkuannya.Kini keduanya berada di kantor karena ada hal yang harus di kerjakan oleh Dimas.Tetapi sebentar lagi mereka akan pulang untuk makan malam bersama karena mengetahui Miranda telah sibuk memasak makan malam.Apa lagi Moza juga kini telah berada di rumah keluarga Wijaya.Tentunya akan sangat membahagiakan sekali bisa makan malam bersama.Bahkan Laras juga diundang untuk datang."Anak, Ayah sedang apa?" tanya Dimas sambil mengelus perut Dinda."Sedang santai, Ayah," jawab Dinda sambil tertawa.Karena melihat wajah Dimas yang kini menatapnya bingung."Santai di pantai! Bukan di perut!""Hehehe," Dinda pun terkekeh geli melihat wajah kesal Dimas."Jangan-jangan mereka pengen dijenguk Ayah," kata Dimas.Wajah Dinda pun memerah mendengar ucapan Dimas barusan."Kenapa?" tanya Dimas sambil menahan tawa dan ia tahu Dinda tengah menahan malu karena ucapannya."
*****Setelah makan malam selesai Dimas pun menemui Moza yang kini berada di kamarnya.Tok tok tok.Dimas mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk.Bagaimana pun juga Moza sudah dewasa dan Dimas harus menjaga batasannya juga.Itu berlaku untuk anak kandung maupun bukan.Sebab semua orang berhak memiliki privasi.Sementara Moza yang mendengar suara ketukan pintu pun segera mengusap wajahnya yang basah karena air mata.Sejujurnya Moza belum bisa berdamai dengan dirinya atas apa yang telah terjadi padanya.Akan tetapi Moza tidak ingin menunjukkan kepada siapapun tentang apa yang dia rasakan saat ini.Mungkin ini adalah hukuman atas semua kejahatan yang dilakukan olehnya dengan sengaja.Namun, Dimas mengerti bahwa anaknya itu sangat terluka dengan keadaannya saat ini."Papi?" Moza pun tersenyum melihat Dimas yang menghampirinya.Dimas menatap wajah Moza dan tampak jelas mata anaknya itu sembab.Sudah pasti karena menangis."Boleh, Papi masuk?" tanya Dimas."Boleh, Pi," jawab Moza.Sed
Dimas pun berjongkok dan memasangkan cincin tersebut di jari manis Dinda.Sangat cocok dan pas di jari manis Dinda.Tapi ada satu cincin lagi yang tersisa di dalam kotak perhiasan itu."Mas, yang ini buat siapa?" tanya Dinda."Buat suami mu," jawab Dimas kesal.Sulit sekali berinteraksi dengan bocah karena semuanya harus dijabarkan agar dia mengerti."Buat, Mas?" "Suami mu ada berapa?""Emang boleh lebih dari satu?" tanya Dinda kembali dengan konyolnya.Membuat Dimas pun tersenyum tapi sesaat kemudian berubah kesal."Memangnya kamu mau punya berapa suami?""Berapa ya?" Dinda pun tampak berpikir keras.Membuat Dimas pun mengetuk kepala Dinda."Mas!" pekik Dinda tanpa rasa bersalah."Coba saja kalau kamu berani macam-macam di belakang Mas!" "Cie, ada yang cemburu," goda Dinda."Kau itu istri ku!" Dimas pun menarik pinggang Dinda hingga keduanya tanpa jarak."Ahk!" desah Dinda kala merasa terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Dimas."Kamu itu hanya milikku!"Mata Dinda bisa menatap l
Kadang kala mendengar kebagian orang lain kita juga ingin merasakan seperti mereka. Namun, saat bahagia itu tiba tentu saja ada perjalanan yang penuh kerikil yang harus dilewati. Begitu pun juga dengan Dinda, awalnya dia juga menolak pernikahan paksa ini. Tapi takdir tetap saja membawanya untuk menjalaninya. Pernikahan yang tidak dia inginkan itu pula yang membawanya bertemu pada kedua orang tuanya. Hingga sadar bahwa dia tak lagi sendirian melewati semuanya. Belum lagi cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Dimas begitu besar. Meskipun perbedaan usia yang terbilang cukup jauh tapi bukan menjadi masalah untuk hidup terus berdampingan. Hingga kini mereka memiliki anak kembar yang lucu dan menggemaskan. Meskipun Dinda adalah ibu tiri untuk sahabatnya sendiri, tapi tidak membuat kedua merasa canggung. Moza yang awalnya menentang pernikahan ayahnya dan sahabatnya memilih untuk berdamai dengan keadaan. Apa lagi kenyataan pahit yang harus dia terima, bukan anak kan
Tuuut!!! Terdengar suara kentut yang cukup keras dan berasal dari Dinda. Membuat baby twins D seketika terjaga dan menangis keras. Padahal sudah payah Dinda menidurkan kedua bayinya itu. Tapi karena perkara kentut yang tak bisa dikondisikan malah membuat kedua bayi itu terusik. "Sayang," Dimas yang telah menunggunya sejak tadi di kamar pun memilih untuk segera menyusul ke kamar anaknya. Ternyata kedua anaknya tengah menangis keras. "Ada apa? Apa anak-anak rewel?" tanya Dimas. "Ini gara-gara kentut, tadi mereka udah tidur. Tapi Dinda malah kentut, mana suaranya keras banget. Bikin anak-anak kebangun," kesal Dinda. "Ahahahhaha," Dinda pun tertawa lucu mendengar ucapan Dinda, "kamu ini ada-ada saja, ayo tidurkan anak-anak dengan cepat, apa iya kita kalah sama pengantin baru itu," ujar Dimas. "Pengantin anak itu?" Dinda sepertinya bingung dengan maksud Dimas. "Sahabat mu itu dan Chandra, itu saja tidak tau!" "O, kirain tadi siapa. Ya, biarin aja mereka kan udah lam
"Baiklah, kamu tidur duluan, Mas mandi dulu, gerah," kata Chandra. Kiara mendengar suara gemerincing air dari kamar mandi. Saat itu Kiara pun segera keluar dari kamar. Dia pun pergi ke kamar Ibunya yang bersebelahan dengan kamarnya. "Ada apa?" tanya Diana. Awalnya Diana mengira jika saja Kiara sudah tidur. Ataupun mungkin saja terjadi hubungan antara suami dan istri dan rasanya itu sangat wajar. "Apa Mikayla rewel, Bu?" tanya Kiara yang hanya ingin membuat sebuah pertanyaan asal. Padahal dia sudah melihat sendiri jika saat ini anaknya tengah begitu terlelap dalam tidur di atas ranjang dengan Farhan yang juga berbaring di sampingnya. "Cucu Ibu baik-baik saja, kamu mendingan balik ke kamar mu, biasanya juga cucu Ibu tidurnya sama, Ibu," ujarnya. Karena Mikayla tidak minum asi, sehingga tidak sulit jika pun terus bersama dengan dirinya. "Oh," Kiara bingung harus beralasan apa lagi agar tetap berada di sana. Tapi jika bisa dia ingin tidur di kamar ini saja bersama
Kiara pun kini sudah berada di dalam kamar setelah pesta selesai. Malam ini semua keluarga menginap di hotel milik keluarga Chandra. Dimana pesta pun dilangsungkan di hotel tersebut. Kiara tidak tau apa yang terjadi padanya hari ini akan membawa kebahagiaan atau tidak nantinya Dia hanya sedang berjuang untuk putrinya, untuk terus bersama. Kini dia sedang berada di dalam kamar mandi, setelah selesai segera keluar dengan memakai piyama dan handuk putih yang membalut rambutnya. Saat itu matanya pun tertuju pada sebuah kado milik Dinda yang ada di sudut kamar. Dia sudah penasaran sejak tadi, apa lagi kini hanya sendiri saja di kamar. Membuatnya pun segera mengambilnya dan membawanya ke atas ranjang agar dia bisa duduk dengan nyaman. Tangan Kiara tampak bergerak melepaskan pita kado, kemudian bergerak membuka kotaknya. Mata Kiara pun melebar sempurna setelah melihat apa yang ada di hadapannya. "Tisu ajaib?!" tanya Kiara yang bingung. Meskipun sebelumnya sudah pernah
"Kamu masih ragu?" "Aku nggak tau, soalnya kamu aneh." "Kenapa begitu?" "Entahlah, tapi Mas boleh ngomong langsung ke Ibu dan Ayah. Kalau mereka setuju, Kiara juga setuju." *** Seperti yang dikatakan oleh Kiara, Chandra pun langsung berbicara pada kedua orang tua Kiara mengenai keinginan untuk rujuk kembali dengan Kiara. Dengan cara baik-baik tanpa ada beban yang tersimpan. "Diana, Farhan, terlepas dari masa lalu kita. Kini Kiara adalah ibu dari anak ku. Aku ingin anak ku dibesarkan di lingkungan yang baik-baik, memiliki orang tua yang lengkap." "Untuk itu aku mohon dengan sangat untuk mengijinkan aku dan Kiara menikah lagi, aku pun akan membahagiakannya," pinta Chandra. Farhan dan Diana pun tidak dapat lagi berkata-kata, sebab sudah menyaksikan sendiri seperti apa menderitanya Kiara selama beberapa bulan ini hamil tanpa suami. Mana mungkin dia kembali membiarkan putrinya kehilangan bayinya yang dibawa oleh Chandra. Sebab, kembali bersama adalah cara satu-satunya untuk men
"Boleh saya masuk?" tanya Chandra yang kini berdiri di depan pintu kamar. Kiara pun bingung harus menjawab apa. Iya atau tidak? Apa lagi kini keduanya hanya orang asing, bagaimana mungkin hanya berdua saja di dalam kamar tersebut. "Masuk saja," sahut Diana yang muncul dari arah belakang dan kini dia telah masuk terlebih dahulu dengan membawa makanan hangat untuk putrinya, Kiara. Sesaat kemudian Diana pun segera keluar dan kini Chandra pun mulai melangkah masuk. Kedua tangannya tampak memegang paper bag berisi perlengkapan bayi. Mulai dari susu, diapers, tisu, pakaian bayi dan lainnya. Kiara juga merasa tidak mampu untuk membeli susu formula dengan harga yang begitu mahal. Karena anaknya tidak tidak bisa minum susu formula sembarangan. Selain untuk perkembangan juga karena alergi. Kiara semakin stres memikirkan uang untuk bisa membeli susu formula untuk anaknya sendiri. "Boleh saya menggendongnya?" tanya Chandra lagi. Kiara pun perlahan memberikan pada Chandra
"Hay," Dinda dan Moza pun menjenguk Kiara dan bayinya yang sudah dibawa pulang ke rumah. Tentunya perasaan Kiara kini begitu bahagia melihat wajah bayi mungilnya yang sangat menggemaskan. "Kamu kapan hamilnya?" tanya Moza yang begitu penasaran. "Tau-tau udah lahiran aja," Dinda pun ikut menimpali. Kiara pun tersenyum mendengar ucapan kedua sahabatnya itu. Dia juga menyadarinya tapi selama hamil dia hanya di rumah saja menikmati kesendiriannya. Sedangkan dua sahabatnya juga sibuk dengan mengurus bayi mereka, bahkan sambil kuliah juga. Kegiatan yang begitu padat membuat mereka benar-benar hanya fokus pada kesibukan masing-masing. Berbeda dengan Kiara yang hanya di rumah saja hingga mereka tidak pernah bertemu. Apa lagi rumah mereka yang cukup berjauhan. "Pantesan waktu aku lahiran kamu gemukan, taunya isi," Moza pun mengingatkan kembali saat itu. Begitu juga dengan Dinda yang tidak lupa saat itu sempat berkomentar tentang penampilan Kiara dan bentuk tubuh yang berbed
Chandra tidak lagi peduli akan status perceraian mereka berdua. Kini dia harus melihat keadaan putrinya, menjaganya hingga nanti akhirnya dokter mengatakan sudah bisa dibawa pulang. Bahkan Chandra pun tidak peduli pada Diana dan Farhan yang selama ini menentang hubungan antara dirinya dan juga Kiara. Sebab, Chandra sudah terlalu merasa bersalah pada bayinya. Bayi yang lucu itu dia beri nama Mikayla Chandra Winata. Bahkan Chandra tidak mempertanyakan sama sekali kebenaran tentang dirinya yang ayah kandung bayi itu atau bukan. Karena Chandra bisa melihat wajahnya dalam wajah bayi itu. Jika pun Kiara yang tiba-tiba mengatakan bahwa itu bukan bayinya nanti, justru Chandra yang tidak percaya. "Kiara, biarkan bayi itu bersama ku saja, aku yang akan merawatnya, dan membesarkannya," pinta Chandra. Chandra akan melakukan segala cara untuk bisa menebus kesalahannya terhadap bayinya. Sebab, baru mengetahui saat bayi itu lahir. Bahkan setiap kali melihat bayi Mikayla seketik
Chandra tidak ingin banyak bertanya untuk apa uang yang diminta oleh Kiara. Bahkan dia juga cukup terkejut melihat nama Kiara yang muncul dilayar ponselnya. Awalnya Chandra tak percaya, tapi begitulah adanya. Bahkan saat sedang rapat pun dia tetap menerima panggilan telepon. Mungkin jika bukan Kiara yang menghubungi dia tak akan menjawab karena masih dalam rapat penting. Dan untuk mendengar suara Kiara saja rasanya sangat dirindukannya. Walaupun hanya sebentar saja mendengarnya. Bahkan dia langsung mengirimkan uang tanpa tau sebenarnya berapa banyak uang yang dibutuhkan oleh Kiara. Apakah uang itu cukup atau tidak. Chandra tidak tau. Hingga akhirnya kini Chandra selesai rapat. Dia duduk di ruangannya dengan perasaan yang penuh tanya. Dia ingin menghubungi Kiara kembali, tetapi ragu. Akhirnya dia pun hanya diam sambil terus memikirkan tentang Kiara. Bahkan kini sudah malam tapi dia masih saja berada di kantor dengan perasaan yang tidak tenang tanpa sebab yang