Dimas pun bingung mengapa bisa Wijaya yang mengirimkan itu semuanya."Gilang, kenapa Tuan Wijaya mengirimkan ini semua? Apa maksudnya?" tanya Dimas pada Gilang yang mungkin saja mengerti dengan semuanya.'Makanya kendalikan tempramental mu itu, Bos. Kan, ketinggalan informasi,' batin Gilang.Namun, saat itu Gilang menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.Membuat Dimas pun segera pulang untuk menemui Laras.Vina mengatakan bahwa tidak boleh mengatakan ini padanya.Artinya Laras tahu tentang kehamilan Dinda dan tidak mengatakan padanya.Dimas butuh penjelasan dari Ibunya itu.Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Laras.Hingga sesampainya di rumah Dimas langsung saja mencari keberadaan Laras ke kamarnya.Ternyata saat Dimas membuka pintu Laras sedang duduk bersantai di sofa dengan televisi menyala dan ditemani secangkir teh hangat.Tapi kini pandangan Laras tertuju pada Dimas.Namun, Laras tidak perduli sama sekali.Biarkan anaknya itu menjalani hukumannya agar tidak terbiasa m
Keesokan harinya.Wijaya benar-benar menjadikan Dinda sebagai CEO di perusahaannya.Sepertinya Wijaya begitu dendam akan Dimas yang merendahkan putrinya.Hingga saat ini Wijaya begitu memaksa Dinda, karena Dinda menolak dengan alasan tidak mungkin bisa memimpin perusahaan yang begitu besar dan beberapa anak cabang."Pa, Dinda nggak bisa. Mana ada sekecil Dinda yang memimpin perusahaan.Lagian Dinda belum juga sarjana," tolak Dinda."Papa, yang akan membantu mu, semua pekerjaan Papa yang urus.Kamu hanya duduk belajar agar kelak kamu tidak bingung saat Papa benar-benar menyerahkan semuanya pada mu," terang Wijaya."Tapi kalau misalnya perusahaan mengalami kerugian gimana?""Kamu yang berada di depan, tapi di belakang kamu, Papa yang bekerja," terang Wijaya lagi agar Dinda tidak lagi beralas banyak.Tujuan Wijaya hanya ingin membuktikan bahwa Dinda bukan orang miskin yang bisa di injak-injak harga dirinya oleh Dimas."Tapi, ini tanggung jawabnya terlalu besar, Pa.""Ayolah, Nak. Demi, P
*****Megan yang sedari tadi menunggu Dimas kembali ke kamar akhirnya memutuskan untuk pergi menyusul Dimas ke ruang kerjanya.Malam sudah semakin larut tetapi Dimas belum juga muncul.Dan benar saja Dimas ada di sana sambil memijat kepalanya yang terasa pusing.Kepala Dimas terasa sangat berat, rasa mualnya semakin menjadi-jadi.Membuat pria itu merasa tidak nyaman untuk beraktivitas seperti biasanya."Kamu sedang sakit?" tanya Megan sambil berjalan mendekati Dimas.Dimas yang mendengar suara pun menurunkan tangannya dan melihat Megan yang semakin mendekatinya."Mau aku pijat?" tanya Megan lagi sambil mengarahkan tangannya pada lengan Dimas.Bermaksud untuk memijat Dimas.Tapi saat itu tangan Megan pun ditepis.Membuat emosi Megan pun seketika itu mendidih."Kamu kenapa sih? Setiap aku pegang selalu saja begitu!Aku ini istri mu!Kamu paham nggak sih?!" kesal Megan.Mendengar perkataan Megan, Dimas pun hanya diam saja seakan tidak ingin perduli.Sedangkan Dimas hanya membayangkan waj
Pagi ini Dimas tidak lagi bisa menahan rasa mualnya yang semakin menjadi-jadi.Bahkan untuk mencium aroma makanan saja dia rasanya sangat tidak nyaman.Megan yang menyiapkan sarapan pagi ini tampak lebih bersemangat.Ini demi bisa membuat Dimas merasa simpatik padanya dan mungkin saja Dimas bisa kembali seperti dulu lagi.Hubungan yang hangat tentunya akan bisa merubah segalanya.Termasuk membuatnya menjadi ratu seperti apa yang dia impikan selama ini.Belum lagi Erlangga belum juga bebas, hanya Dimas yang bisa membebaskan Erlangga sehingga apapun akan dia lakukan untuk itu."Kamu mau sarapan apa?" tanya Megan dengan senyuman penuh kebanggaan karena telah memasak.Dimas yang ditanyai melihat makanan yang tersaji di meja makan.Sebenarnya Dimas sedang menahan lapar tetapi dia juga merasa mual dan nafsu makannya benar-benar hilang."Sudahlah, aku mual!" Dimas pun gegas bangkit dari duduknya kemudian segera pergi.Tanpa sarapan pagi.Sedangkan Megan merasa kesal karena sudah memasak tapi
"Bos, sudah sampai."Dimas pun tersadar dari lamunannya dan melihat sekiranya.Ah, ternyata benar sudah sampai di kantor.Dengan lesu Dimas pun turun dari mobil.Saat memasuki ruang kerja Dimas langsung saja melemparkan tubuhnya pada sofa.Sulit sekali bekerja dengan keadaan yang kurang baik seperti ini."Sayang," Megan langsung saja masuk ke ruang kerja Dimas.Dimas yang sedang mencari ketenangan tidak perduli dengan kehadiran Megan."Dimas, ini aku bawakan makanan. Soalnya tadi pagi juga kamu tidak sarapan," kata Megan sambil meletakkan kotak bekal yang dia bawa pada meja.Dimas pun masih saja diam membuat Megan lagi-lagi merasa diacuhkan.Jika bukan karena sesuatu keuntungan besar maka dia tidak akan melakukan ini.Ini seperti sedang mengemis.Sialan."Sayang, ini aku masak sendiri," kata Megan lagi.Padahal yang memasak adalah pembantu, sebab masakannya sangat tidak enak.Tapi biarlah Dimas berpikir jika itu adalah masakannya."Aku suapin gimana?" Megan terus berusaha untuk berbic
Dimas tidak bisa tenang sebelum bertemu dengan Moza.Karena Dimas masih jelas mengingat saat air mata putrinya itu menetes dan jelas sangat terluka.Apa lagi keinginan untuk memiliki keluarga yang utuh adalah impian Moza sejak masih kecil.Moza pernah menangis ketika pulang sekolah saat Dimas menanyakan alasannya ternyata karena melihat temannya yang sering kali dijemput oleh kedua orang tuanya.Membuat perasaan Dimas menjadi terbebani dengan kesedihan anaknya itu.Hingga Dimas pun berjanji akan bersatu kembali dengan Megan suatu hari nanti.Dan saat itu pula Moza kembali bersemangat menjalani hari-harinya.Membuat Dimas pun merasa bahagia dan hari ini untuk pertama kalinya dia membuat anaknya itu menangis.Hingga saat ini Dimas pun sampai di rumah untuk langsung menemui Moza untuk meminta maaf.Namun, saat Dimas masuk ke kamar Moza ternyata ada Megan di sana.Megan menatapnya dengan tajam seakan bendera perang masih berkibar.Akan tetapi Dimas tidak perduli sama sekali karena tujuann
Dimas pun baru tersadar kembali setelah Megan pergi membawa Moza.Namun, apa yang dikatakan oleh Megan sebelumnya masih saja terus terngiang-ngiang di benaknya.Dimas melihat sekelilingnya dimana itu adalah kamar anaknya Moza.Di kamar itu dia menggendong Moza kecilnya.Membacakan buku cerita sebelum tidur.Mengikatkan rambut anaknya saat akan pergi ke sekolah.Dan itu semua tidak mudah, untuk sekedar mengikat rambut saja Dimas harus belajar terlebih dahulu.Dia hanya ingin Moza merasakan jadi sayang penuh meskipun tanpa seorang Ibu."Apa benar Moza bukan anak ku?"Dimas menatap kedua tangannya.Dimana tangannya yang selama ini merawat dan membesarkan seorang putri yang begitu cantik.Menyayangi dengan sepenuh hati tanpa ada rasa benci karena Megan meninggalkan dirinya tanpa alasan yang jelas.Seketika itu Dimas mendengar ucapan Laras yang Pern terucap memintanya untuk mempertanyakan pada Megan 'apakah Moza anaknya atau bukan'.Mengapa saat itu Laras mengatakan hal seperti ini.Hal ya
2 hari kemudian.Ting!Ponsel Dimas pun berbunyi ternyata sebuah notifikasi sebuah pesan masuk.Dengan malas Dimas pun meraih ponselnya dan membuka pesan tersebut.Satu pesan dari Moza.[Waktu itu Dinda di hotel dan Ferdi, itu jebakan dari Moza. Maaf ya Pi, Moza udah jadi orang jahat] Moza.Degh!Dimas pun terdiam sejenak sambil kembali membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Moza.Dua hari sudah Moza pergi dari rumah dan pagi ini entah mengapa Moza mengirimkan pesan dan mengatakan sebuah kebenaran.Tampaknya Moza merasa bersalah atas semuanya karena kebaikan Dimas padanya selama ini.Padahal dirinya bukan anak kandung Dimas.Bertapa Moza sangat menyesal telah menghancurkan rumah tangga Dimas dan Dinda.Hingga pagi ini tanpa sepengetahuan Megan dia pun langsung saja memberitahu Dimas agar tidak terus terbebani karena rasa bersalah yang kian semakin dalam.Dan Dimas pun kembali kecewa akan dirinya sendiri yang tidak mencari tau kebenarannya terlebih dahulu sebelum menuduh.Bahkan disa
Kadang kala mendengar kebagian orang lain kita juga ingin merasakan seperti mereka. Namun, saat bahagia itu tiba tentu saja ada perjalanan yang penuh kerikil yang harus dilewati. Begitu pun juga dengan Dinda, awalnya dia juga menolak pernikahan paksa ini. Tapi takdir tetap saja membawanya untuk menjalaninya. Pernikahan yang tidak dia inginkan itu pula yang membawanya bertemu pada kedua orang tuanya. Hingga sadar bahwa dia tak lagi sendirian melewati semuanya. Belum lagi cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Dimas begitu besar. Meskipun perbedaan usia yang terbilang cukup jauh tapi bukan menjadi masalah untuk hidup terus berdampingan. Hingga kini mereka memiliki anak kembar yang lucu dan menggemaskan. Meskipun Dinda adalah ibu tiri untuk sahabatnya sendiri, tapi tidak membuat kedua merasa canggung. Moza yang awalnya menentang pernikahan ayahnya dan sahabatnya memilih untuk berdamai dengan keadaan. Apa lagi kenyataan pahit yang harus dia terima, bukan anak kan
Tuuut!!! Terdengar suara kentut yang cukup keras dan berasal dari Dinda. Membuat baby twins D seketika terjaga dan menangis keras. Padahal sudah payah Dinda menidurkan kedua bayinya itu. Tapi karena perkara kentut yang tak bisa dikondisikan malah membuat kedua bayi itu terusik. "Sayang," Dimas yang telah menunggunya sejak tadi di kamar pun memilih untuk segera menyusul ke kamar anaknya. Ternyata kedua anaknya tengah menangis keras. "Ada apa? Apa anak-anak rewel?" tanya Dimas. "Ini gara-gara kentut, tadi mereka udah tidur. Tapi Dinda malah kentut, mana suaranya keras banget. Bikin anak-anak kebangun," kesal Dinda. "Ahahahhaha," Dinda pun tertawa lucu mendengar ucapan Dinda, "kamu ini ada-ada saja, ayo tidurkan anak-anak dengan cepat, apa iya kita kalah sama pengantin baru itu," ujar Dimas. "Pengantin anak itu?" Dinda sepertinya bingung dengan maksud Dimas. "Sahabat mu itu dan Chandra, itu saja tidak tau!" "O, kirain tadi siapa. Ya, biarin aja mereka kan udah lam
"Baiklah, kamu tidur duluan, Mas mandi dulu, gerah," kata Chandra. Kiara mendengar suara gemerincing air dari kamar mandi. Saat itu Kiara pun segera keluar dari kamar. Dia pun pergi ke kamar Ibunya yang bersebelahan dengan kamarnya. "Ada apa?" tanya Diana. Awalnya Diana mengira jika saja Kiara sudah tidur. Ataupun mungkin saja terjadi hubungan antara suami dan istri dan rasanya itu sangat wajar. "Apa Mikayla rewel, Bu?" tanya Kiara yang hanya ingin membuat sebuah pertanyaan asal. Padahal dia sudah melihat sendiri jika saat ini anaknya tengah begitu terlelap dalam tidur di atas ranjang dengan Farhan yang juga berbaring di sampingnya. "Cucu Ibu baik-baik saja, kamu mendingan balik ke kamar mu, biasanya juga cucu Ibu tidurnya sama, Ibu," ujarnya. Karena Mikayla tidak minum asi, sehingga tidak sulit jika pun terus bersama dengan dirinya. "Oh," Kiara bingung harus beralasan apa lagi agar tetap berada di sana. Tapi jika bisa dia ingin tidur di kamar ini saja bersama
Kiara pun kini sudah berada di dalam kamar setelah pesta selesai. Malam ini semua keluarga menginap di hotel milik keluarga Chandra. Dimana pesta pun dilangsungkan di hotel tersebut. Kiara tidak tau apa yang terjadi padanya hari ini akan membawa kebahagiaan atau tidak nantinya Dia hanya sedang berjuang untuk putrinya, untuk terus bersama. Kini dia sedang berada di dalam kamar mandi, setelah selesai segera keluar dengan memakai piyama dan handuk putih yang membalut rambutnya. Saat itu matanya pun tertuju pada sebuah kado milik Dinda yang ada di sudut kamar. Dia sudah penasaran sejak tadi, apa lagi kini hanya sendiri saja di kamar. Membuatnya pun segera mengambilnya dan membawanya ke atas ranjang agar dia bisa duduk dengan nyaman. Tangan Kiara tampak bergerak melepaskan pita kado, kemudian bergerak membuka kotaknya. Mata Kiara pun melebar sempurna setelah melihat apa yang ada di hadapannya. "Tisu ajaib?!" tanya Kiara yang bingung. Meskipun sebelumnya sudah pernah
"Kamu masih ragu?" "Aku nggak tau, soalnya kamu aneh." "Kenapa begitu?" "Entahlah, tapi Mas boleh ngomong langsung ke Ibu dan Ayah. Kalau mereka setuju, Kiara juga setuju." *** Seperti yang dikatakan oleh Kiara, Chandra pun langsung berbicara pada kedua orang tua Kiara mengenai keinginan untuk rujuk kembali dengan Kiara. Dengan cara baik-baik tanpa ada beban yang tersimpan. "Diana, Farhan, terlepas dari masa lalu kita. Kini Kiara adalah ibu dari anak ku. Aku ingin anak ku dibesarkan di lingkungan yang baik-baik, memiliki orang tua yang lengkap." "Untuk itu aku mohon dengan sangat untuk mengijinkan aku dan Kiara menikah lagi, aku pun akan membahagiakannya," pinta Chandra. Farhan dan Diana pun tidak dapat lagi berkata-kata, sebab sudah menyaksikan sendiri seperti apa menderitanya Kiara selama beberapa bulan ini hamil tanpa suami. Mana mungkin dia kembali membiarkan putrinya kehilangan bayinya yang dibawa oleh Chandra. Sebab, kembali bersama adalah cara satu-satunya untuk men
"Boleh saya masuk?" tanya Chandra yang kini berdiri di depan pintu kamar. Kiara pun bingung harus menjawab apa. Iya atau tidak? Apa lagi kini keduanya hanya orang asing, bagaimana mungkin hanya berdua saja di dalam kamar tersebut. "Masuk saja," sahut Diana yang muncul dari arah belakang dan kini dia telah masuk terlebih dahulu dengan membawa makanan hangat untuk putrinya, Kiara. Sesaat kemudian Diana pun segera keluar dan kini Chandra pun mulai melangkah masuk. Kedua tangannya tampak memegang paper bag berisi perlengkapan bayi. Mulai dari susu, diapers, tisu, pakaian bayi dan lainnya. Kiara juga merasa tidak mampu untuk membeli susu formula dengan harga yang begitu mahal. Karena anaknya tidak tidak bisa minum susu formula sembarangan. Selain untuk perkembangan juga karena alergi. Kiara semakin stres memikirkan uang untuk bisa membeli susu formula untuk anaknya sendiri. "Boleh saya menggendongnya?" tanya Chandra lagi. Kiara pun perlahan memberikan pada Chandra
"Hay," Dinda dan Moza pun menjenguk Kiara dan bayinya yang sudah dibawa pulang ke rumah. Tentunya perasaan Kiara kini begitu bahagia melihat wajah bayi mungilnya yang sangat menggemaskan. "Kamu kapan hamilnya?" tanya Moza yang begitu penasaran. "Tau-tau udah lahiran aja," Dinda pun ikut menimpali. Kiara pun tersenyum mendengar ucapan kedua sahabatnya itu. Dia juga menyadarinya tapi selama hamil dia hanya di rumah saja menikmati kesendiriannya. Sedangkan dua sahabatnya juga sibuk dengan mengurus bayi mereka, bahkan sambil kuliah juga. Kegiatan yang begitu padat membuat mereka benar-benar hanya fokus pada kesibukan masing-masing. Berbeda dengan Kiara yang hanya di rumah saja hingga mereka tidak pernah bertemu. Apa lagi rumah mereka yang cukup berjauhan. "Pantesan waktu aku lahiran kamu gemukan, taunya isi," Moza pun mengingatkan kembali saat itu. Begitu juga dengan Dinda yang tidak lupa saat itu sempat berkomentar tentang penampilan Kiara dan bentuk tubuh yang berbed
Chandra tidak lagi peduli akan status perceraian mereka berdua. Kini dia harus melihat keadaan putrinya, menjaganya hingga nanti akhirnya dokter mengatakan sudah bisa dibawa pulang. Bahkan Chandra pun tidak peduli pada Diana dan Farhan yang selama ini menentang hubungan antara dirinya dan juga Kiara. Sebab, Chandra sudah terlalu merasa bersalah pada bayinya. Bayi yang lucu itu dia beri nama Mikayla Chandra Winata. Bahkan Chandra tidak mempertanyakan sama sekali kebenaran tentang dirinya yang ayah kandung bayi itu atau bukan. Karena Chandra bisa melihat wajahnya dalam wajah bayi itu. Jika pun Kiara yang tiba-tiba mengatakan bahwa itu bukan bayinya nanti, justru Chandra yang tidak percaya. "Kiara, biarkan bayi itu bersama ku saja, aku yang akan merawatnya, dan membesarkannya," pinta Chandra. Chandra akan melakukan segala cara untuk bisa menebus kesalahannya terhadap bayinya. Sebab, baru mengetahui saat bayi itu lahir. Bahkan setiap kali melihat bayi Mikayla seketik
Chandra tidak ingin banyak bertanya untuk apa uang yang diminta oleh Kiara. Bahkan dia juga cukup terkejut melihat nama Kiara yang muncul dilayar ponselnya. Awalnya Chandra tak percaya, tapi begitulah adanya. Bahkan saat sedang rapat pun dia tetap menerima panggilan telepon. Mungkin jika bukan Kiara yang menghubungi dia tak akan menjawab karena masih dalam rapat penting. Dan untuk mendengar suara Kiara saja rasanya sangat dirindukannya. Walaupun hanya sebentar saja mendengarnya. Bahkan dia langsung mengirimkan uang tanpa tau sebenarnya berapa banyak uang yang dibutuhkan oleh Kiara. Apakah uang itu cukup atau tidak. Chandra tidak tau. Hingga akhirnya kini Chandra selesai rapat. Dia duduk di ruangannya dengan perasaan yang penuh tanya. Dia ingin menghubungi Kiara kembali, tetapi ragu. Akhirnya dia pun hanya diam sambil terus memikirkan tentang Kiara. Bahkan kini sudah malam tapi dia masih saja berada di kantor dengan perasaan yang tidak tenang tanpa sebab yang