Lio sempat merasakan pergerakan dari jemari Lea yang berada di genggaman nya, ia sempat terkejut namun detik kemudian bernafas lega.
"Beristirahatlah, aku akan menjagamu mulai sekarang."
Tak bisa berlama-lama membuat Lio memutuskan untuk segera meninggalkan ruang rawat Lea, ia tak ingin adik kembarnya tiba-tiba datang dan melihatnya.
Sebelum ia meninggalkan rumah sakit, Lio sudah memerintahkan beberapa anak buahnya untuk mengawasi Lea dari kejauhan. Ia tak bisa langsung berada untuk melindungi Lea, tidak untuk saat ini.
Dengan perasaan leganya, Lio benar-benar meninggalkan rumah sakit dan kembali ke negara nya hari itu juga. Belum saat nya untuk Lio berada satu tempat dengan Lea, karena itu akan membahayakan keselamatan Lea juga bayi yang saat ini di kandungnya.
"Saya pergi, terus awasi mereka dan pastikan dia selalu baik-baik saja."
Begitulah titah Lio sebelum benar-benar meninggalkan negara dimana Lea berada.
Sedang di rumah sakit, Lius terlihat mencemaskan keadaan Lisa saat ini. Ia melihat memar yang di tinggalkan saudara kembarnya di lengan kekasihnya itu, ada rasa marah juga bimbang di saat bersamaan.
"Aku benar-benar tidak tahu sayang apa salahku, dia tiba-tiba datang dan mengancamku," sendurnya.
Lio tak langsung merespon kekasihnya, ia terdiam dan hanya mendengarkan apa yang di bicarakan kekasih juga mertuanya itu.
Lius tahu siapa kakak kembarnya itu, Lius paham dengan sangat baik siapa itu Lio. Saudara nya itu tak akan mengusik orang jika orang itu tak mengusiknya lebih dulu.
Namun apa yang dilakukan Lisa hingga dapat mengusik ketenangan seorang Lio? Orang yang tak berada satu negara dengan mereka.
"Sayang, kamu tidak mendengarku?" menyentuh lengan Lius dengan mesra.
Lius yang mendapat sentuhan di buat terkejut, ia segera memalingkan wajahnya menatap Lisa sang kekasih. Dengan seulas senyum itu, Lius meyakinkan Lisa jika dirinya percaya dengan apa yang baru saja Lisa ceritakan.
Namun jauh di dalam hatinya, nyatanya ia meragukan setiap ucapan itu.
"Aku percaya, sekarang istirahatlah."
Lea mulai membuka matanya dengan perlahan, ia menyisir setiap sudut ruangan tempatnya berada.
"Aku di rumah sakit," serunya.
Ia menyentuh dadanya, ada rasa sesak menyadari kesendiriannya saat ini. Di tengah rasa sakit tubuhnya bahkan ia harus seorang diri melewati semuanya. Lea hanya bisa menitikan air matanya, tak ada yang mampu di perbuatnya saat ini.
Namun tiba-tiba ia teringat lagi dengan seseorang yang tadi bersamanya, ia kembali membuka matanya dan mengingat sosok itu.
Ia terus menduga itu adalah suaminya, tapi dalam hati kecilnya selalu menolak isi pikirannya itu. Lea terus berharap jika perhatian juga sentuhan lembut itu dari suaminya, namun semakin berharap semakin sakit pula hatinya.
Jangankan berlaku lembut saat dirinya sakit seperti ini, bahkan Lius mengambil kehormatannya saja dengan cara yang sangatlah kasar dan menimbulkan sakit yang luar biasa padanya saat itu.
"Jika bukan Lius, lalu siapa yang tadi bersama denganku disini? Siapa yang begitu lembut terhadapku?" gumamnya.
Tiba-tiba pintu di buka dengan kerasnya, lalu muncullah sosok Lius yang sedari tadi di carinya.
"Lius, " lirih Lea memanggil.
Namun Lius tak merespon itu, ia terus berjalan hingga berhenti tepat di samping ranjang istrinya. Tak ada sapaan atau perlakuan lembut yang sempat Lea pikirkan.
"Kenapa bisa?"
Lea mengerutkan dahinya mendapat pertanyaan tersebut, entah apa yang sedang coba di pertanyakan oleh suaminya itu.
"Kenapa bisa hamil?"
"Pertanyaan macam apa itu?" sahut Lea tak mengerti jalan pikiran suaminya.
Lius sempat membuang mukanya, rasanya begitu enggan bersitatap dengan istrinya itu.
"Katakan dengan sejujurnya, anak siapa yang sedang kau kandung itu."
Jedar!!
Air matanya lolos dengan begitu saja, hatinya terasa di remas dengan kuat hingga menimbulkan sakit yang tak bisa di tahannya. Lius terkejut dengan respon istrinya, ia sempat merasa bersalah dengan pertanyaan yang baru saja di lontarkan nya itu.
"Anak siapa katamu?" ulang Lea sembari memejamkan matanya, sekuat tenaga ia menahan emosi juga sakit hatinya.
"Ehm," singkatnya.
"Dimana hati nuranimu? Pantaskan kamu menanyakan hal itu terhadap istrimu, Lius?"
"Aku hanya ingin kau berkata jujur tentang kandunganmu itu, dan berhenti mengatakan hal-hal yang tidak penting terhadapku karena itu tidak akan mengubah apapun itu."
Lea hanya bisa menangis memejamkan matanya, roboh sudah kini benteng pertahanan yang selama ini dibangunnya dengan susah payah.
"Sekali lagi ku tanya, anak siapa yang sedang kau kandung!"
Belum usai tentang kehamilan Lea, kini Lius harus dipusingkan dengan kehamilan Lisa kekasihnya. Ia semakin murka dengan Lea, lantaran masih mengira jika semua ini adalah ulah dari istrinya itu. "Sekali lagi ku tanya, anak siapa yang sedang kau kandung!" teriaknya. Namun Lea tetap diam tidak menanggapi suaminya, hanya air mata yang saat ini bisa mewakili kesakitan atas dirinya. Terdengar Lius menghela nafas frustasinya, sembari bekacak pinggang ia mengatakan fakta tentang kehamilan Lisa kakaknya. Dengan perlahan Lea bergerak bersandar pada kepala ranjang, menatap Lius yang tengah tajam menatapnya "Lisa hamil." Ulangnya sembari menatap wajah tenang istrinya. Hanya itu yang di ucapkan Lius, namun matanya terus tajam menatap pada Lea. "Lalu?" sahutnya yang tak ingin mengambil pusing berita mengejutkan itu. "Lalu katamu? Haha, santai sekali jawabanmu itu!" teriak Lius menunjuk Lea. “Apa kau lupa siapa yang menyebabkan semua kekacauan ini? Apa kau amnesia hingga dengan santainya me
Lisa yang mendengar pertengkaran Lius dengan Lea tersenyum penuh kemenangan, ia menghapus jejak air matanya dengan senyum smirk di wajahnya. Tak hanya itu saja, ia bahkan merasa bangga karena berhasil mempengaruhi Lius dengan fitnah yang di sebarnya. “Bagaimana, Ma?” “Sempurna, kamu memang putri mama terbaik.” Memberikan pelukan pada putri tersayangnya itu. Keduanya merasa menjadi pemenang atas masalah yang sedang di hadapinya, sedang Lea ia jadikan kambing hitam untuk semua akar masalah dari mereka. “Mama yakin, saat ini Lius tengah menghajarnya dengan begitu murka. Bayangan kamu disiksa akan membuat Lius terbakar dengan emosinya.” “Benar, dan aku harap bayi dalam kandungan perempuan busuk itu mati di tangan papa nya sendiri.” Mereka pun tertawa bersama untuk semua penderitaan yang akan Lea hadapi. Lea merasakan kebas pada pipi sebelah kanannya, Lius menamparnya dengan cukup keras. Tak cukup hanya itu, bahkan hinaan dari mulut suaminya itu begitu menyakiti dan menginjak-injak
“Kau bisa tetap menjadi istri ku, tapi ada syaratnya.” “Sebutkan.” Tantang Lea. Lius menyeringai untuk kesekian kalinya. “Gugurkan bayi ini.” Lea terdiam, ia terpaku mendengar apa yang baru saja di ucapkan oleh suaminya. Bagaimana bisa Lius meminta dirinya untuk membunuh darah dagingnya sendiri? “Mudah bukan?” menjauhkan wajahnya dari telinga Lea. Lea hanya diam, matanya menatap tak percaya sosok laki-laki di depannya kini. Lius menyunggingkan senyumnya, senyum merehkan istri yang berada di hadapannya. “Bahkan binatang buas sekalipun, mereka tak akan pernah melukai anak-anaknya. Lalu bagaimana bisa seorang ayah meminta anaknya untuk dimusnahkan?” “Kau menyamakan aku dengan binatang?” menunjuk dirinya sendiri. “Tidak, sama sekali tidak. Karena binatang jauh lebih baik daripada kau, Adelius Dharmendra yang terhormat."”tegasnya. Tak terima dengan penghinaan itu, Lius mengangkat tangannya hendak melayangkan tamparan untuk keseian kalinya. Beruntung pak Erik datang dan segera me
“Tunggu dia membunuh bayi itu!”Lio tercengang mendengar penuturan saudarinya, bagaimana bisa mengharapkan kematian bayi yang sama sekali tak berdosa itu?“Apa maksudmu dengan berkata begitu, Rania?”Yap, seseorang yang saat ini sedang bersama dengan Adelio adalah Rania saudarinya. Rania mendatangi adiknya setelah menerima kabar tentang rencana yang telah di susun oleh Lio.Merasa tak benar dengan situasinya itu, Rania berusaha untuk menjadi penengah antara kedua adiknya. Namun setelah mendengar semua cerita yang tak diketahuinya, Rania memutuskan untuk membantu Lio.“Tenangkan dulu dirimu, jangan terlalu menonjolkan emosimu itu. “ kesal Rania pada adiknya.Lio menghempaskan dirinya dengan begitu kasar di sebalah Rania, ia mendengus kesal mendengar komentar pedas dari saudarinya.“Lalu apa maksudmu berkata begitu?” malasnya.Rania yang kesal menoyor kepala adiknya.“Saat ini Lius tengah berada di dalam pengaruh Lisa, kakak yakin jika apa yang terjadi saat ini juga campur tangan wanita
Pagi-pagi sekali, Lius berjalan perlahan masuk ke dalam ruang rawat Lea. Ia menatap diam Lea yang sedang tidur meringkuk memeluk perutnya.“Apa aku melakukan kesalahan?” batin Lius mulai bimbang.Ia berjalan masuk, duduk terdiam memandang Lea dari sofa tempatnya. Ada rasa damai saat memandang wajah lelap istrinya, namun ada rasa marah yang juga terselip dalam hatinya.Entah apa yang membuat Lius merasa marah, karena tuduhannya terhadap Lea atau justru ada penyebab lainnya.“Kenapa aku merasa bimbang melihatnya, kenapa dengan aku ini. “ batinnya begitu frustasi.Lius menghela nafasnya dengan kasar, menengadahkan kepalanya dan menutup mata dengan sebelah tangannya.Hari semakin siang, tepat pukul 10.00 pagi seorang dokter masuk dan mendekati Lea yang ternyata masih terlelap dalam tidurnya.“Bagaimana?” Tanya Dokter pada suster yang menemaninya.“Tensi darahnya sudah normal,
Sepanjang perjalanan pulang Lea hanya diam, menatap luar gedung-gedung tingkat yang di lewatinya. Perlakuan Lius hari ini benar-benar sudah keterlaluan, ia hampir saja melukai bayi dalam kandungannya.“Nyonya, kita sudah sampai.” Ucap supir yang menjemputnya.Lea tersadar dari lamunannya, ia segera turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih. Ia disambut oleh pak Erik yang sudah ada di depan rumah.“Selamat datang kembali, Nyonya.”“Pak Erik, kenapa ada disini?”“Karena Mommy yang memintanya.”Lea mengenali suara itu, air matanya mulai menganak di pelupuk matanya. Sosok wanita yang begitu elegant tengan berdiri di depannya, aura dinginnya begitu mendominasi hingga ia pun merasakan sesak dengan keringat dingin membasahi keningnya.Wanita itu mulai berjalan mendekat, membuat Lea semakin memundurkan setiap langkahnya.“Kenapa menghindar? Apa kau takut dengan Mommy mu ini?
Lea terbangun ketika mendengar pintu kamarnya di ketuk, ia melirik jam weker yang ada di sebelah tempat tidurnya.“Masih jam 6 pagi ternyata,” gumamnya.Ia pun perlahan beringsut turun dari ranjangnya, berjalan sembari mengikat rambut panjangnya.“Sayang, ini Mommy.”Sekar tersenyum saat wajah bantal Lea muncul di hadapannya, ia pun segera memeluk tubuh itu dengan begitu hangat.“Selamat pagi sayang.”“Pagi, Mommy.” Balasnya penuh senyuman.Sekar melerai pelukannya, merapikan anak rambut Lea yang berantakan menutupi wajah cantiknya. Lea memejamkan matanya saat jari-jari lentik itu menyentuh setiap helai rambutnya.“Mau olah raga bareng?” tanya Sekar.“Aku mandi dulu kalau begitu, Mom?”“No, nanti aja mandinya. Sekarang ganti baju saja.”Sekar mendorong masuk tubuh Lea ke dalam kamar, menutup pintu dengan begitu perlahan.
Sekar begitu panik, ia ikut mendorong brangkar Lea menuju UGD. Rasa marah, cemas juga bersalah menjadi satu membuat Sekar begitu tak tenang.“Maafin, Mommy. Kalau saja aku nggak ninggalin Lea lama,” sesalnya.Sekar mondar mandir sembari memperhatikan pintu ruang UGD yang tak kunjung terbuka.Dan tak lama seorang dokter keluar, dengan segera Sekar menghampirinya.“Bagaimana putri saya, Dok?”“Tidak ada masalah yang berarti dengan pasien, hanya luka goresan pada kaki juga pergelangan tangannya saja.”“Lalu kandungannya gimana?”Dokter tersebut menjelaskan dengan detail kondisi Lea juga kandungannya, Sekar bisa bernafas lega mendengar jika mereka baik-baik saja.Tak perlu rawat inap, Lea segera di bawa pulang oleh Sekar ke rumahnya.Lasmi yang kesal karena di dorong hingga terjatuh pulang dengan wajah kesalnya, terlebih baju yang di kenakannya itu harus terkena t
Sony geram dengan wajah berani Jo terhadapnya, ia pun marah dan terjadilah pertarungan disana.Dengan menahan sakit, Jo terus melawan. Juli tak terima melihat putranya hampir kalah, ia pun segera mendekati Divya dan mengancam Jo disana.“Berani kau memukul putraku, maka gadis ini akan aku pukul balik.”Divya hanya bisa menangis, menjerit bahkan memohon saat melihat Jo habis babak belur di tangan Sony. Belum lagi luka di perutnya kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah.Jo sudah tak sanggup, ia jatuh dan hilang kesadaran.Divya yang panik mendorong Juli dan berlari kepada JO.“Kalian biadab, binatang kalian semua.” Makinya.Divya memeluk tubuh Jo kedalam pelukannya, gadis itu menangis tersedu-sedu memohon pada Jo untuk kembali membuka mata.Sony sangat puas, ia pun meninggalkan ruangan dengan tawa senang diikuti Juli di belakang.Tak ada ranjang yang layak, semua tempat nampak kumuh tak terawat. Hanya ada ranjang usang yang kemarin digunakannya.Dengan susah payah Divya menarik tu
Namun tekat bulat Jo membuat laki-laki itu segera kabur dan mengabaikan teriakan Brian.Brian panik, kondisi Jo masih belum pulih. Belum lagi lukanya baru saja kembali dijahit, Brian benar-benar dibuat sangat panik.“Kamu coba kejar dia, papa akan kembali ke atas dan memberitahu semuanya.”Mengangguk, Brian segera menyusul dengan menggunakan mobilnya.Di dalam taxi, Jo mencoba melacak keberadaan Divya dari ponsel pintarnya. Namun sayang sejak tadi tak kunjung dia menemukan titik lokasi keberadaan Divya.“Permisi, Tuan. Tujuan kita kemana ya?” tanya supir taxi.“Jalan XX depan bangunan kosong.”Taxi melaju dengan kencang membelah kemacetan, namun fokus Jo masih dengan ponsel di tangannya.Setibanya disana, Jo berjalan menyusuri jalan sepi tanpa penghuni.“Kenapa titik lokasinya ada disini? daerah ini bukankah sudah tidak berpenghuni?” gumam Jo.Sepanjang jalan kakinya
Semua tengah bersantai, berkumpul bersama walau di rumah sakit tempatnya.Lio sengaja meluangkan waktu demi memberi perhatian lebih pada Jo yang sedang terluka. Bagi Lio, Jo sudah seperti anak juga baginya.Lio memesan banyak makanan juga cemilan, ia tak ingin keluarganya kelaparan atau kekurangan makanan.“Adek, jangan diisengin dong Jo nya.” Dengan lembut menegur sang putri.Divya hanya cengengesan saat mendengar sang ayah menegur tingkahnya. Ia pun kembali menyuapi Jo dengan buah anggur di tangannya.Brian fokus dengan laptopnya, sedang Daniel sibuk bermesraan dengan Luna tanpa melihat tempat mereka berada.“Bucin terus, nggak lihat-lihat tempat.”“Dih, sirik aja. Makanya punya pacar,” ejek Daniel.Tiba-tiba saja Divya bangkit dari tempat, berjalan keluar meninggalkan ruang rawat.“Adek, mau kemana?”“Sebentar, Pah. Nggak lama,” serunya sebelum benar-b
Pagi yang begitu cerah, semua orang tengah bersiap untuk menjengur Jo di rumah sakit.Tak lupa Lea juga membawa banyak masakan untuk anak-anak yang sejak semalam menginap disana.“Pakaian untuk mereka sudah siap?”“Sudah, Mom.”Sekar sudah tak sabar mengunjungi Jo disana, ia juga merindukan cucu-cucunya yang sejak semalam tak pulang.Mengendarai dua mobil, mereka melesat menuju rumah sakit.Tiba disana, semua orang dibuat tercengang dengan keadaan di dalam.“Astaga, ini kenapa begini?” seru Rania melihat putra juga keponakannya tengah berlutut dengan memegang kedua telinganya.“Bangun, “ titah Lio pada keduanya.Luna hanya diam, gadis itu tersenyum sembari meletakkan buah yang sedari tadi dipangkunya.“Ada apa? Kenapa panas sekali suasananya?” tanya Sekar pada Luna.“Mereka berdua bikin lukanya Jo kembali terbuka dan harus kembali di jahit, O
Lea berhasil menenangkan suaminya, di dalam pelukan wanita itu Lio terlelap dengan begitu damai.Lea terus membelai rambut Lio, dengan penuh kasih dan sayang ia mengecup kening laki-lakinya.“Maaf jika diamku membuatmu hancur dan seakan dibohongi. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu, ayah yang mengingikan semua ini dan bukan aku.” Gumamnya dengan berlinang air mata.Kembali mengingat kejadian lampau itu membuat luka yang masih belum kering kembali basah.Menatap jam dinding, Lea tersadar jika ini hampir tengah malam.Sejak tadi ia tak mendengar suara anak-anak, ia pun juga belum turun untuk melihat mereka semua.“Kemana lagi anak-anak?”Deg, ia pun ingat tentang keadaan Jo saat ini. Dengan cepat ia berusaha menghubungi Brian sang putra.Tak menunggu lama, Brian segera menerima panggilan ibunya.Dengan nada yang sangat cemas, Lea menanyakan tentang keadaan Jo saat ini. Wanita itu benar-benar men
Divya sama sekali tak meninggalkan kekasihnya barang sedikitpun, semenjak tahu kejadian sebenarnya ia menolak meninggalkan sang kekasih lama-lama.Bagi Divya, ia harus memastikan sendiri keselamatan laki-lakinya.Memang belum secara resmi mereka bersama, namun keadaan saat ini sudah membuat kebahagiaan tersendiri bagi dua anak manusia itu.“Sayang, kamu istirahat ya. Dari tadi kamu udah ngurusin aku,” ucap Jo.“Aku akan istirahat, tapi tidak sekarang. Masih ada yang harus aku kerjakan.”“Apa?”Namun Divya tak menjawab, ia terlihat sibuk dengan gawai pipih yang tengah di genggamnya.Jo sebenarnya tahu apa yang saat ini tengah di lakukan kekasih kecilnya, ia tahu apa yang menjadi tujuan dari perbuatan Divya saat ini.Ia tak ingin melarangnya, ia tak ingin kemarahan Divya tak tersalurkan. Namun dibalik itu semua, ia tetap memantau dan mengendalikan perbuatan dari kekasihnya.“Aku ti
Divya berusaha melangkahkan kakinya, namun rasanya begitu berat. Belum lagi air matanya yang tak berhenti mengalir deras di pipi, membuat dirinya bingung sendiri.“Nggak mungkin, semuanya hanya salah paham.” Gumamnya sembari melangkah perlahan.Brian tak sanggup melihat adiknya terluka, namun ia juga tak sanggup jika harus masuk dan melihat semuanya.Begitu juga dengan Daniel, laki-laki itu hanya diam menyesali semua yang sudah terjadi.“Seharusnya dari awal kita memberitahunya, kalau begini kita sama saja menusuknya.”Brian hanya diam, menundukkan kepala tanpa tahu apa yang dikatakan.Divya semakin dekat dengan pintu, jantungnya semakin berdetak dengan begitu tak menentu. Begitu sakit, seakan ada sesuatu yang menghantam dadanya.Suasana begitu berbeda, kini di depannya banyak berbaring jasad yang sudah tak bernyawa.Tubuh Divya luruh ke bawah, air matanya semakin deras mengalir membasahi pipinya. Isakan
Rahasia yang selama ini coba di lupakan pada akhirnya terbongkar dengan cara yang tak terduga. Sekar yang sudah lama memendam rasa bersalah membongkar semua kejahatan putra keduanya di depan semua orang.Lio tak tahu apapun tentang itu semua, ia sama terkejutnya dengan Brian yang masih bersitegang dengan Lius.“Maksud oma?” tanya Brian.“Ayah kandungmu lah penyebab kakek Wilson meninggal.” Seru Sekar tanpa ingin menutup-nutupinya lagi.“Mom,” teriak Lius.Lio terduduk lemas, ia tak percaya dengan apa yang sudah di dengarnya ini. Selama ini ia tak tahu apapuun tentang kesakitan dan fakta yang dirasakan oleh istrinya.“Bagaimana bisa, bukankah ayah Wilson meninggal karena jatuh dari tangga?”“Ayah mertuamu tidak jatuh dari tangga, tapi jatuh dari lantai dua rumah lama kita.” Sahut Antonio.Lebih lanjut Antonio juga menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan kemaraha
Nindya kembali ke rumah, ia segera mengemas semua pakaian dan berniat meninggalkan semuanya.Ia merasa puas terakhir kali melihat keadaan Jo yang mengenaskan, ada rasa bahagia dan terluka dalam satu waktu bersamaan.Nindya menangis, ia menatap kedua tangan yang sudah dengan tega melukai Jo hingga seperti tadi. Menyesal?Tidak, sama sekali Nindya tak merasa menyesal dengan apa yang sudah diperbuatnya. Hanya saja hatinya ikut terluka saat melihat air mata yang mengalir keluar dari mata indah pujaan hatinya.“Andai bapak menerima cinta saya, andai bapak tidak terpengaruh dengan wanita licik itu maka semuanya tidak akan jadi seperti ini.”Cepat-cepat Nindya mengemas barang bawaannya, juga beberap obat yang diperlukannya saat ini.Membuka pintu lemari, Nindya mengambil semua uang yang ada disana.“Dengan uang ini aku bisa mengembalikan wajahku seperti semula, maafkan Nindya nek karena menjual rumah itu.”Deng