Lisa yang mendengar pertengkaran Lius dengan Lea tersenyum penuh kemenangan, ia menghapus jejak air matanya dengan senyum smirk di wajahnya. Tak hanya itu saja, ia bahkan merasa bangga karena berhasil mempengaruhi Lius dengan fitnah yang di sebarnya.
“Bagaimana, Ma?”
“Sempurna, kamu memang putri mama terbaik.” Memberikan pelukan pada putri tersayangnya itu.
Keduanya merasa menjadi pemenang atas masalah yang sedang di hadapinya, sedang Lea ia jadikan kambing hitam untuk semua akar masalah dari mereka.
“Mama yakin, saat ini Lius tengah menghajarnya dengan begitu murka. Bayangan kamu disiksa akan membuat Lius terbakar dengan emosinya.”
“Benar, dan aku harap bayi dalam kandungan perempuan busuk itu mati di tangan papa nya sendiri.”
Mereka pun tertawa bersama untuk semua penderitaan yang akan Lea hadapi.
Lea merasakan kebas pada pipi sebelah kanannya, Lius menamparnya dengan cukup keras.
Tak cukup hanya itu, bahkan hinaan dari mulut suaminya itu begitu menyakiti dan menginjak-injak harga dirinya.
“Aku? Melempar tubuhku pada laki-laki lain?” gumamnya mengulang hinaan suaminya.
Lea tertawa, ia merasa lucu dengan tuduhan yang di lontarkan suaminya barusan. Bagaimana bisa ia dituduh dengan begitu keji sedang Lius tahu dengan betul kegiatan diluar rumah nya.
“Lucu sekali hidupku ini. Aku yang tidak pernah melewati batas malah di tuduh murahan, tapi kakakku yang jelas-jelas salah malah di anggap paling suci.” Ucapnya dengan penuh rasa kecewa.
Lea kembali tertawa dengan penuh pilu, air matanya bahkan tak berhenti mengalir membasahi pipi. Hatinya terlalu sakit saat ini untuk sekedar tertawa, berpura-pura bahagia seperti sebelumnya.
________________________
Saat sedang bergumam, tiba-tiba pintu ruang rawatnya dibuka dengan begitu perlahan. Ternyata Lius masuk dengan wajah frustasinya. Lea terus menetap suaminya itu, berharap dengan cemas jika suaminya itu sudah baik-baik saja.
“Apa kau sudah baik-baik saja,Lius?” cicit Lea.
Tak ada jawaban, Lea di acuhkan oleh Lius yang lebih memilih merebahkan tubuhnya di atas sofa. Lius menutup kedua mata dengan lengannya, berusaha menghalau rasa pusing yang tengah menyerangnya.
“Sekarang katakan dengan jujur, siapa ayah dari bayi dalam kandungmu itu.” Lirihnya tanpa mengubah posisinya.
“Percuma rasanya kau keluar untuk menenangkan diri jika nyatanya pikiranmu itu masih buntu,” balas Lea.
Adelius membuka matanya, ia bangkit dari posisinya dan berjalan menghampiri istrinya itu. Tatapannya begitu tajam, seakan bisa menelan Lea saat itu juga.
“Apa susahnya tinggal jawab, kenapa terus saja memancing emosiku ini!” teriaknya kembali tersulut emosi.
Lea berteriak ketika Lius memukul tiang infus miliknya hingga terjatuh, jarum yang menembus kulitnya pun di paksa keluar dengan begitu saja.
“Sakit, Lius.”
“Sekarang katakan, dengan laki-laki mana kamu hamil.”
Lea menatap manik mata Lius dengan begitu dalam, ia benar-benar terluka kali ini dengan sikap suaminya. Tak pernah terbayangkan ia akan menerima tuduhan sekeji ini, terlebih dari suaminya sendiri.
“Jawab!” teriaknya.
“Sehina itu aku di matamu?”
Lius meremas rambutnya, ia merasa frustasi menghadapi Lea saat ini. Baginya Lea terlalu bertele-tele, itu membuat ia yakin jika memang Lea tidak mengandung darah dagingnya.
“Jadi memang itu bukan anakku.” Putusnya.
“Jangan bercanda, Lius. Ini anakmu, ini darah dagingmu.” Teriaknya tak kalah emosi.
“Itu bukan anakku, itu anak hasil dari kelakuan bejatmu.”
Keduanya terlibat cekcok yang begitu panjang untuk pertama kalinya selama pernikahan, dan disini Lea sama sekali tak mau mengalah seperti biasanya.
Lea tak terima jika bayi dalam kandungannya dihina begitu kejam oleh ayahnya sendiri, ia tak masalah jika dirinya yang dihina tapi tidak dengan anaknya.
Lea menatap nyalang pada Lius, namun belum sempat ia membuka suara seseorang tiba-tiba mengetuk pintu ruang rawatnya.
Seorang laki-laki paruh baya masuk dengan tas kerjanya, Lea mengenali siapa laki-laki yang tengah berjalan mendekat pada mereka.
“Selamat malam, Tuan, Nyonya.”
“Ehm, kamu membawa apa yang aku perintahkan?” Tanya Lius to the point.
“Pak Erik, kenapa anda datang kesini?” Tanya Lea merasa curiga.
Namun laki-laki yang di sapa pak Erik sama sekali tak menanggapi Lea, ia hanya menatap sekilas sebelum mengalihkan pandangannya.
“Ini yang anda perintahkan,” memberikan sebuah map coklat.
Lius nampak tersenyum membuka isi map tersebut, lalu detik kemudian ia melempar map itu tepat mengenai wajah istrinya.
“Tanda tangani surat itu,” titahnya.
“Apa ini?” namun Lius diam tak menanggapinya.
Tangan Lea bergetar hebat saat membaca tulisan yang tertera di kertas itu. Surat cerai, Lius menginginkan Lea menandatangi surat cerai.
“Kau gila Adelius! Aku sedang mengandung anakmu, tapi kau malah ingin membuangku?” tangisnya.
Lius nampak acuh dengan Lea yang sudah berderai air mata, sedang pak Erik benar-benar tak tahu harus bagaimana. Ia ingin menjaga pernikahan anak majikannya, namun ia juga tak bisa mengabaikan permintaan itu.
Sebagai pengacara kepercayaan keluarga Dharmendra, pak Erik diambang dua pilihan. Menjaga amanah tuan besarnya, atau mengikuti keinginan tuan mudanya.
“Maafkan saya, Tuan.” Batin pak Erik tertunduk lesu.
Lea menangis, ia menolak dengan apa yang suaminya inginkan. Ia tak bisa menyerah begitu saja, terlebih ada anak yang akan hadir dalam pernikahannya.
“Aku tidak ingin berpisah.”
Keputusan itu membuat Lius menatapnya murka, ada rasa marah juga benci yang kini Lius rasakan.
“Berani sekali menolak permintaanku, kau pikir siapa dirimu ini?”
“Aku adalah istrimu, calon ibu dari anak-anakmu.” Seru Lea dengan begitu tegas dan beraninya, ia bahkan menatap balik manik tajam milik suaminya.
Lius menyeringai, ia melangkah mendekat dan dengan gerakan cepat mencekik leher istrinya.
“Keberanianmu cukup besar dengan mengaku sebagai nyonya Adelius.”
“Tuan, tolong hentikan.” Cegah pak Erik yang tak tega melihat wajah kesakitan Lea. Namun Lius mengabaikan, ia sudah di penuhi amarah hingga ingin menelan Lea saat itu juga.
“Nyatanya aku memanglah nyonya Adelius,” serunya dengan terbata.
Lius terdiam, ia lalu mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Lea.
“Kau bisa tetap menjadi istri ku, tapi ada syaratnya.”
“Sebutkan.” Tantang Lea.
Lius menyeringai untuk kesekian kalinya.
“Gugurkan bayi ini.”
“Kau bisa tetap menjadi istri ku, tapi ada syaratnya.” “Sebutkan.” Tantang Lea. Lius menyeringai untuk kesekian kalinya. “Gugurkan bayi ini.” Lea terdiam, ia terpaku mendengar apa yang baru saja di ucapkan oleh suaminya. Bagaimana bisa Lius meminta dirinya untuk membunuh darah dagingnya sendiri? “Mudah bukan?” menjauhkan wajahnya dari telinga Lea. Lea hanya diam, matanya menatap tak percaya sosok laki-laki di depannya kini. Lius menyunggingkan senyumnya, senyum merehkan istri yang berada di hadapannya. “Bahkan binatang buas sekalipun, mereka tak akan pernah melukai anak-anaknya. Lalu bagaimana bisa seorang ayah meminta anaknya untuk dimusnahkan?” “Kau menyamakan aku dengan binatang?” menunjuk dirinya sendiri. “Tidak, sama sekali tidak. Karena binatang jauh lebih baik daripada kau, Adelius Dharmendra yang terhormat."”tegasnya. Tak terima dengan penghinaan itu, Lius mengangkat tangannya hendak melayangkan tamparan untuk keseian kalinya. Beruntung pak Erik datang dan segera me
“Tunggu dia membunuh bayi itu!”Lio tercengang mendengar penuturan saudarinya, bagaimana bisa mengharapkan kematian bayi yang sama sekali tak berdosa itu?“Apa maksudmu dengan berkata begitu, Rania?”Yap, seseorang yang saat ini sedang bersama dengan Adelio adalah Rania saudarinya. Rania mendatangi adiknya setelah menerima kabar tentang rencana yang telah di susun oleh Lio.Merasa tak benar dengan situasinya itu, Rania berusaha untuk menjadi penengah antara kedua adiknya. Namun setelah mendengar semua cerita yang tak diketahuinya, Rania memutuskan untuk membantu Lio.“Tenangkan dulu dirimu, jangan terlalu menonjolkan emosimu itu. “ kesal Rania pada adiknya.Lio menghempaskan dirinya dengan begitu kasar di sebalah Rania, ia mendengus kesal mendengar komentar pedas dari saudarinya.“Lalu apa maksudmu berkata begitu?” malasnya.Rania yang kesal menoyor kepala adiknya.“Saat ini Lius tengah berada di dalam pengaruh Lisa, kakak yakin jika apa yang terjadi saat ini juga campur tangan wanita
Pagi-pagi sekali, Lius berjalan perlahan masuk ke dalam ruang rawat Lea. Ia menatap diam Lea yang sedang tidur meringkuk memeluk perutnya.“Apa aku melakukan kesalahan?” batin Lius mulai bimbang.Ia berjalan masuk, duduk terdiam memandang Lea dari sofa tempatnya. Ada rasa damai saat memandang wajah lelap istrinya, namun ada rasa marah yang juga terselip dalam hatinya.Entah apa yang membuat Lius merasa marah, karena tuduhannya terhadap Lea atau justru ada penyebab lainnya.“Kenapa aku merasa bimbang melihatnya, kenapa dengan aku ini. “ batinnya begitu frustasi.Lius menghela nafasnya dengan kasar, menengadahkan kepalanya dan menutup mata dengan sebelah tangannya.Hari semakin siang, tepat pukul 10.00 pagi seorang dokter masuk dan mendekati Lea yang ternyata masih terlelap dalam tidurnya.“Bagaimana?” Tanya Dokter pada suster yang menemaninya.“Tensi darahnya sudah normal,
Sepanjang perjalanan pulang Lea hanya diam, menatap luar gedung-gedung tingkat yang di lewatinya. Perlakuan Lius hari ini benar-benar sudah keterlaluan, ia hampir saja melukai bayi dalam kandungannya.“Nyonya, kita sudah sampai.” Ucap supir yang menjemputnya.Lea tersadar dari lamunannya, ia segera turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih. Ia disambut oleh pak Erik yang sudah ada di depan rumah.“Selamat datang kembali, Nyonya.”“Pak Erik, kenapa ada disini?”“Karena Mommy yang memintanya.”Lea mengenali suara itu, air matanya mulai menganak di pelupuk matanya. Sosok wanita yang begitu elegant tengan berdiri di depannya, aura dinginnya begitu mendominasi hingga ia pun merasakan sesak dengan keringat dingin membasahi keningnya.Wanita itu mulai berjalan mendekat, membuat Lea semakin memundurkan setiap langkahnya.“Kenapa menghindar? Apa kau takut dengan Mommy mu ini?
Lea terbangun ketika mendengar pintu kamarnya di ketuk, ia melirik jam weker yang ada di sebelah tempat tidurnya.“Masih jam 6 pagi ternyata,” gumamnya.Ia pun perlahan beringsut turun dari ranjangnya, berjalan sembari mengikat rambut panjangnya.“Sayang, ini Mommy.”Sekar tersenyum saat wajah bantal Lea muncul di hadapannya, ia pun segera memeluk tubuh itu dengan begitu hangat.“Selamat pagi sayang.”“Pagi, Mommy.” Balasnya penuh senyuman.Sekar melerai pelukannya, merapikan anak rambut Lea yang berantakan menutupi wajah cantiknya. Lea memejamkan matanya saat jari-jari lentik itu menyentuh setiap helai rambutnya.“Mau olah raga bareng?” tanya Sekar.“Aku mandi dulu kalau begitu, Mom?”“No, nanti aja mandinya. Sekarang ganti baju saja.”Sekar mendorong masuk tubuh Lea ke dalam kamar, menutup pintu dengan begitu perlahan.
Sekar begitu panik, ia ikut mendorong brangkar Lea menuju UGD. Rasa marah, cemas juga bersalah menjadi satu membuat Sekar begitu tak tenang.“Maafin, Mommy. Kalau saja aku nggak ninggalin Lea lama,” sesalnya.Sekar mondar mandir sembari memperhatikan pintu ruang UGD yang tak kunjung terbuka.Dan tak lama seorang dokter keluar, dengan segera Sekar menghampirinya.“Bagaimana putri saya, Dok?”“Tidak ada masalah yang berarti dengan pasien, hanya luka goresan pada kaki juga pergelangan tangannya saja.”“Lalu kandungannya gimana?”Dokter tersebut menjelaskan dengan detail kondisi Lea juga kandungannya, Sekar bisa bernafas lega mendengar jika mereka baik-baik saja.Tak perlu rawat inap, Lea segera di bawa pulang oleh Sekar ke rumahnya.Lasmi yang kesal karena di dorong hingga terjatuh pulang dengan wajah kesalnya, terlebih baju yang di kenakannya itu harus terkena t
“Apa putriku belum bangun, Bik?”“Belum, Nyonya. Apa perlu saya bangunkan?”Sekar menggeleng, pagi ini ia ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Tak tega jika harus meninggalkan Lea seorang diri di rumah, Sekar berencana membawa serta Lea bersamanya.“Pagi semua,” Lea tiba-tiba sudah berdiri memeluk Sekar dari samping.Sekar tersenyum, ia membalas pelukan itu dan segera meminta Lea untuk duduk dengannya.“Sayang, hari ini Mom ada urusan. Mungkin sore baru kembali, kamu ikut ya?”Lea menghentikan gerakannya mengoles selai di atas roti, ia menatap Sekar yang juga tengah menatapnya dengan penuh harap.“Lea di rumah saja ya, Mom.”“Tapi, Mommy nggak tenang kalau kamu di rumah sendirian gini. Mom takut kejadian kemarin keulang lagi.”Lea jelas melihat gurat cemas di wajah mertuanya, ia pun tersenyum dan segera menggenggam tangan Sekar.“Mommy
Para pelayan di buat berdebar ketika mendengar suara pecah belah dari dalam kamar, mereka mencemaskan kondisi nona mudanya yang saat ini tengah mengandung.“Dimana tuan Lius?”Semua pelayan berucap syukur saat melihat pak Erik datang, mereka segera berusaha membuka pintu kamar dimana Lius mengunci diri bersama Lea.“Tuan Lius, tolong buka pintunya. Jangan melakukan hal yang akan membuat anda menyesal nantinya.” Teriak pak Erik.Tak ada sahutan, hanya suara barang berjatuhan yang nyaring terdengar di dalam sana.“Bagaimana ini, Pak?”“Apa bisa di buka dengan kunci cadangan?”“Tidak bisa, kunci yang ada didalam sepertinya tidak di lepas oleh tuan muda.”“Kita dobrak.”Lius tengah berusaha membuka paksa pintu kamar mandi, ia tahu jika Lea ada didalam sana.“Buka,” teriaknya.“Kenapa, kenapa Lius? Kenapa kau begitu kejam p
Sony geram dengan wajah berani Jo terhadapnya, ia pun marah dan terjadilah pertarungan disana.Dengan menahan sakit, Jo terus melawan. Juli tak terima melihat putranya hampir kalah, ia pun segera mendekati Divya dan mengancam Jo disana.“Berani kau memukul putraku, maka gadis ini akan aku pukul balik.”Divya hanya bisa menangis, menjerit bahkan memohon saat melihat Jo habis babak belur di tangan Sony. Belum lagi luka di perutnya kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah.Jo sudah tak sanggup, ia jatuh dan hilang kesadaran.Divya yang panik mendorong Juli dan berlari kepada JO.“Kalian biadab, binatang kalian semua.” Makinya.Divya memeluk tubuh Jo kedalam pelukannya, gadis itu menangis tersedu-sedu memohon pada Jo untuk kembali membuka mata.Sony sangat puas, ia pun meninggalkan ruangan dengan tawa senang diikuti Juli di belakang.Tak ada ranjang yang layak, semua tempat nampak kumuh tak terawat. Hanya ada ranjang usang yang kemarin digunakannya.Dengan susah payah Divya menarik tu
Namun tekat bulat Jo membuat laki-laki itu segera kabur dan mengabaikan teriakan Brian.Brian panik, kondisi Jo masih belum pulih. Belum lagi lukanya baru saja kembali dijahit, Brian benar-benar dibuat sangat panik.“Kamu coba kejar dia, papa akan kembali ke atas dan memberitahu semuanya.”Mengangguk, Brian segera menyusul dengan menggunakan mobilnya.Di dalam taxi, Jo mencoba melacak keberadaan Divya dari ponsel pintarnya. Namun sayang sejak tadi tak kunjung dia menemukan titik lokasi keberadaan Divya.“Permisi, Tuan. Tujuan kita kemana ya?” tanya supir taxi.“Jalan XX depan bangunan kosong.”Taxi melaju dengan kencang membelah kemacetan, namun fokus Jo masih dengan ponsel di tangannya.Setibanya disana, Jo berjalan menyusuri jalan sepi tanpa penghuni.“Kenapa titik lokasinya ada disini? daerah ini bukankah sudah tidak berpenghuni?” gumam Jo.Sepanjang jalan kakinya
Semua tengah bersantai, berkumpul bersama walau di rumah sakit tempatnya.Lio sengaja meluangkan waktu demi memberi perhatian lebih pada Jo yang sedang terluka. Bagi Lio, Jo sudah seperti anak juga baginya.Lio memesan banyak makanan juga cemilan, ia tak ingin keluarganya kelaparan atau kekurangan makanan.“Adek, jangan diisengin dong Jo nya.” Dengan lembut menegur sang putri.Divya hanya cengengesan saat mendengar sang ayah menegur tingkahnya. Ia pun kembali menyuapi Jo dengan buah anggur di tangannya.Brian fokus dengan laptopnya, sedang Daniel sibuk bermesraan dengan Luna tanpa melihat tempat mereka berada.“Bucin terus, nggak lihat-lihat tempat.”“Dih, sirik aja. Makanya punya pacar,” ejek Daniel.Tiba-tiba saja Divya bangkit dari tempat, berjalan keluar meninggalkan ruang rawat.“Adek, mau kemana?”“Sebentar, Pah. Nggak lama,” serunya sebelum benar-b
Pagi yang begitu cerah, semua orang tengah bersiap untuk menjengur Jo di rumah sakit.Tak lupa Lea juga membawa banyak masakan untuk anak-anak yang sejak semalam menginap disana.“Pakaian untuk mereka sudah siap?”“Sudah, Mom.”Sekar sudah tak sabar mengunjungi Jo disana, ia juga merindukan cucu-cucunya yang sejak semalam tak pulang.Mengendarai dua mobil, mereka melesat menuju rumah sakit.Tiba disana, semua orang dibuat tercengang dengan keadaan di dalam.“Astaga, ini kenapa begini?” seru Rania melihat putra juga keponakannya tengah berlutut dengan memegang kedua telinganya.“Bangun, “ titah Lio pada keduanya.Luna hanya diam, gadis itu tersenyum sembari meletakkan buah yang sedari tadi dipangkunya.“Ada apa? Kenapa panas sekali suasananya?” tanya Sekar pada Luna.“Mereka berdua bikin lukanya Jo kembali terbuka dan harus kembali di jahit, O
Lea berhasil menenangkan suaminya, di dalam pelukan wanita itu Lio terlelap dengan begitu damai.Lea terus membelai rambut Lio, dengan penuh kasih dan sayang ia mengecup kening laki-lakinya.“Maaf jika diamku membuatmu hancur dan seakan dibohongi. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu, ayah yang mengingikan semua ini dan bukan aku.” Gumamnya dengan berlinang air mata.Kembali mengingat kejadian lampau itu membuat luka yang masih belum kering kembali basah.Menatap jam dinding, Lea tersadar jika ini hampir tengah malam.Sejak tadi ia tak mendengar suara anak-anak, ia pun juga belum turun untuk melihat mereka semua.“Kemana lagi anak-anak?”Deg, ia pun ingat tentang keadaan Jo saat ini. Dengan cepat ia berusaha menghubungi Brian sang putra.Tak menunggu lama, Brian segera menerima panggilan ibunya.Dengan nada yang sangat cemas, Lea menanyakan tentang keadaan Jo saat ini. Wanita itu benar-benar men
Divya sama sekali tak meninggalkan kekasihnya barang sedikitpun, semenjak tahu kejadian sebenarnya ia menolak meninggalkan sang kekasih lama-lama.Bagi Divya, ia harus memastikan sendiri keselamatan laki-lakinya.Memang belum secara resmi mereka bersama, namun keadaan saat ini sudah membuat kebahagiaan tersendiri bagi dua anak manusia itu.“Sayang, kamu istirahat ya. Dari tadi kamu udah ngurusin aku,” ucap Jo.“Aku akan istirahat, tapi tidak sekarang. Masih ada yang harus aku kerjakan.”“Apa?”Namun Divya tak menjawab, ia terlihat sibuk dengan gawai pipih yang tengah di genggamnya.Jo sebenarnya tahu apa yang saat ini tengah di lakukan kekasih kecilnya, ia tahu apa yang menjadi tujuan dari perbuatan Divya saat ini.Ia tak ingin melarangnya, ia tak ingin kemarahan Divya tak tersalurkan. Namun dibalik itu semua, ia tetap memantau dan mengendalikan perbuatan dari kekasihnya.“Aku ti
Divya berusaha melangkahkan kakinya, namun rasanya begitu berat. Belum lagi air matanya yang tak berhenti mengalir deras di pipi, membuat dirinya bingung sendiri.“Nggak mungkin, semuanya hanya salah paham.” Gumamnya sembari melangkah perlahan.Brian tak sanggup melihat adiknya terluka, namun ia juga tak sanggup jika harus masuk dan melihat semuanya.Begitu juga dengan Daniel, laki-laki itu hanya diam menyesali semua yang sudah terjadi.“Seharusnya dari awal kita memberitahunya, kalau begini kita sama saja menusuknya.”Brian hanya diam, menundukkan kepala tanpa tahu apa yang dikatakan.Divya semakin dekat dengan pintu, jantungnya semakin berdetak dengan begitu tak menentu. Begitu sakit, seakan ada sesuatu yang menghantam dadanya.Suasana begitu berbeda, kini di depannya banyak berbaring jasad yang sudah tak bernyawa.Tubuh Divya luruh ke bawah, air matanya semakin deras mengalir membasahi pipinya. Isakan
Rahasia yang selama ini coba di lupakan pada akhirnya terbongkar dengan cara yang tak terduga. Sekar yang sudah lama memendam rasa bersalah membongkar semua kejahatan putra keduanya di depan semua orang.Lio tak tahu apapun tentang itu semua, ia sama terkejutnya dengan Brian yang masih bersitegang dengan Lius.“Maksud oma?” tanya Brian.“Ayah kandungmu lah penyebab kakek Wilson meninggal.” Seru Sekar tanpa ingin menutup-nutupinya lagi.“Mom,” teriak Lius.Lio terduduk lemas, ia tak percaya dengan apa yang sudah di dengarnya ini. Selama ini ia tak tahu apapuun tentang kesakitan dan fakta yang dirasakan oleh istrinya.“Bagaimana bisa, bukankah ayah Wilson meninggal karena jatuh dari tangga?”“Ayah mertuamu tidak jatuh dari tangga, tapi jatuh dari lantai dua rumah lama kita.” Sahut Antonio.Lebih lanjut Antonio juga menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan kemaraha
Nindya kembali ke rumah, ia segera mengemas semua pakaian dan berniat meninggalkan semuanya.Ia merasa puas terakhir kali melihat keadaan Jo yang mengenaskan, ada rasa bahagia dan terluka dalam satu waktu bersamaan.Nindya menangis, ia menatap kedua tangan yang sudah dengan tega melukai Jo hingga seperti tadi. Menyesal?Tidak, sama sekali Nindya tak merasa menyesal dengan apa yang sudah diperbuatnya. Hanya saja hatinya ikut terluka saat melihat air mata yang mengalir keluar dari mata indah pujaan hatinya.“Andai bapak menerima cinta saya, andai bapak tidak terpengaruh dengan wanita licik itu maka semuanya tidak akan jadi seperti ini.”Cepat-cepat Nindya mengemas barang bawaannya, juga beberap obat yang diperlukannya saat ini.Membuka pintu lemari, Nindya mengambil semua uang yang ada disana.“Dengan uang ini aku bisa mengembalikan wajahku seperti semula, maafkan Nindya nek karena menjual rumah itu.”Deng