Ikhsan masih saja tak bisa berhenti memikirkan Naila yang saat ini berada di rumah sakit, pikirannya terus saja menerawang jauh ke sana.
Ia tak tenang, ia merasa keselamatan Naila selalu terancam jika tak berada di dalam panti.
“Aku harus membawanya kembali.” Gumamnya.
Ia pun nekat mengendarai mobil panti di malam hari, keluar menuju kota tempat Naila berada.
Namun Ayu melihat saat mobil itu melaju, tapi ia tak tahu jika calon suaminya lah yang berada di dalamnya.
“Siapa ya yang bawa mobil malam-malam begini?” ucapnya.
Setiba nya di rumah sakit, dahi Ikhsan berkerut saat melihat banyaknya orang-orang berseragam hitam berkeliaran di setiap sudut rumah sakit.
Ia merasa curiga, dan pikirannya segera mengarah pada Toni yang ia tahu bukan orang bisa itu.
Ikhsan semakin yakin jika Toni bukan laki-laki baik seperti yang orang-orang lihat selama ini. Baginya, Toni tak lebih dari bahaya yang akan mengancam kesela
Panti menjadi heboh dengan kedatangan Naila, bahkan Abah sampai keluar dari kamarnya karena gaduh yang terjadi.“Ada apa ini?” tanya Abah.“Assalamualaikum, Abah.”“Waalaikum salam wr. wb.”“Astaghfirullahal ‘adziim. Apa yang sudah kamu lakukan ini Gus Ikhsan?” lanjutnya.Raut wajah Abah jelas penuh dengan kekecewaan, bukan hanya tentang kedatangan Naila namun dengan kondisi keduanya datang.“Letakkan tubuh yang bukan mukhrim mu itu ke sofa.” Perintahnya.Ikhsan tahu akan kesalahannya, namun ego nya membuatnya merasa apa yang dilakukan ini benar.Tak banyak kata, abah segera memerintahkan beberapa santi wati untuk menyadarkan Naila dan meminta Ikhsan menemuinya di ruangan.“Nai, bangun dong.”Terlihat salah seorang santri wati membuka botol minyak angina dan mengarahkannya ke hidung Naila.Ayu melihatnya, wanita itu bahkan melihat
Mereka menemukan lokasi yang dikirimkan Lea, tak hanya lokasi namun juga ponsel yang sengaja di buangnya.Leo menyimpan ponsel adiknya, melangkah maju bergerak bersama yang lain menembus padang ilalang.Sebuah tanda di keluarkan, semua orang menghentikan langkah kakinya. Menatap sekeliling dengan perasaan was-wasnya.“Ada apa?”“Yang di depan memberi tanda untuk berhenti. Sepertinya mereka menemukan tempatnya.” Jelas Toni paham.Leo hanya manggut-manggut, matanya terus mengawasi sekitar. Menatap curiga setiap tumbuhan ilalang yang bergerak searah angina.Terdengar suara langkah kaki mendekat, membuat semua orang waspada dan bersiap untuk menyerang.“Jangan gegabah,” ucap Toni penuh penekanan.Ia takut jika yang bergerak mendekat bukanlah musuh, melainkan tuannya atau bisa nona mudanya.Namun semua tebakan mereka salah, itu adalah anak buah yang sedari tadi memimpin jalan di depan.
Naila duduk di atas ranjangnya, tak bisa memejamkan mata dan terus merasa gelisah tak beralasan.Berkali-kali ia mencoba memejamkan mata, bahkan sampai menghitung domba yang biasanya digunakan untuk membangun dunia mimpi.Namun tak ada gunyanya, ia masih tak bisa memejamkan mata. Seakan matanya meminta dirinya untuk tetap terjaga.“Kenapa perasaanku secemas ini?” gumamnya.“Apa terjadi sesuatu dengan si om ya?”Semakin tak tenang saja dibuatnya. Ia berjalan mondar-mandir sudah seperti setrikaan londry.“Naila?”Panggilan itu menghentikan gerakan kakinya, matanya menatap sendu teman lama yang kini terasa asing baginya.“Ada apa?”Ayu masuk dan memilih duduk di pinggir ranjang Naila, tak lupa ia juga menutup pintu kamar.“Bagaimana keadaanmu?”“Tidak usah basa-basi, katakan apa maumu datang menemuiku malam-malam.”Naila menatap jau
Lisa datang bertepatan dengan mobil yang di kendarai Antonio juga datang, keduanya turun dari mobil dan berlari bersamaan menuju lokasi penyekapan.Dibawah bangunan sudah terlihat banyak anak buah Lio berjaga, mereka juga menyiapkan segala bentuk pertolongan pertama.Antonio menatap ke atas, matanya membulat saat melihat cucu nya ada di atas sana dengan posisi sangat berbahaya.“Cucuku,” gumamnya.Lisa menatap arah pandang Antonio, ia pun sama terkejutnya melihat bayi lucu itu lemas di ujung bangunan bersama sang suami tercinta.“Lius,” membekap mulutnya tak percaya.Lisa ingin naik menyusul semuanya, namun salah seorang anak buah mencekal tangannya dan menariknya kembali ke bawah.Pada mulanya Lisa marah dan tak terima, namun saat mendengar penjelasannya ia pun mengalah dan menunggu di bawah.Begitu juga dengan Antonio, ia tak bisa berbuat banyak. Nyawa anak juga cucunya sedang di pertaruhkan disini.
Sekar tak hentinya menangis, selama di perjalanan ia terus menggumamkan nama sang putra. Begitu juga dengan, Wilson.Mendengar apa yang terjadi kepada menantunya membuat hatinya terluka, terlebih apa yang menimpanya itu hanya karena ingin menyelamatkan sang cucu.“Begitu besar pengorbananmu, Nak. Ayah mohon bertahanlah, “ batinnya begitu sendu.Mobil berhenti di pelataran rumah sakit, Sekar bergegas turun diikuti yang lainnya. Mereka semua segera menuju ruang operasi.Melihat kedatangan istrinya, Antonio segera berdiri dan memeluknya. Leo yang juga melihat sang ayah segera berdiri membawa serta Brian dalam gendongannya.“Ayah,” sendu Leo. Wilson tahu apa yang kini tengah di rasakan sang putra, ia memeluk Leo untuk menguatkannya.“Harus kuat, adikmu butuh kita untuk bisa bangkit.” Bisiknya.Mata Lea terus menatap pintu di depannya, ia sangat berharap suaminya keluar dari sana lalu memeluknya dengan s
Sudah hampir satu bulan lamanya semenjak kasus penculikan Brian, namun masih tak ada tanda-tanda dari Lio untuk segera sadar.Selama itu pula Lea masih setia mendampingi suaminya, setiap hari ia selalu menghabiskan waktunya di rumah sakit.Brian juga tak ingin kalah dengan ibu nya, bocah yang sudah paham situasinya itu selalu merengek pada oma nya pergi menyusul sang ibu.Toni masih tak bisa melupakan apa yang telah menimpa tuannya, hal itu membuat api kemarahan tak pernah padam dalam hatin nya.Hingga saat ini ia masih ingin sekali membunuh, Lius dengan tangannya. Melihat kilat kebencian itu membuat, Antonio, tak bisa berbuat banyak. Ia sangat paham dengan amarah yang saat ini selalu menyelimuti hati Toni.Rania sudah kembali seperti biasa, berjalan dengan lancar tanpa bantuan dari kursi roda maupun tongkatnya.Hari ini, semua orang hendak berkumpul mengunjungi Lio. Tak ada yang ingin tertinggal dalam moment itu, termasuk Naila yang b
Di tengah tingginya pepohonan, berdirilah dua insan manusia dengan saling berhadapan. Ikhsan benar-benar tak ingin berbasa-basi dengan calon istrinya itu, ia ingin semuanya jelas dan mengakhiri ini semua.Namun ia tak bisa melakukan itu semua, ada banyak hal yang akan di pertaruhkan untuk egonya.Bukan hanya orang tuanya, namun nama panti juga akan terseret jika ia menuruti semua ego hatinya.“Apa tujuanmu sebenarnya?”Ayu menengadahkan kepalanya, menatap tinggi calon suami yang kini berdiri tegak didepan mata.“Kau bukannya tahu, bukan kamu yang ingin saya peristri. Jelas kamu tahu siapa orangnya.”Ayu tertuduk, meremas kedua tangannya yang kini terasa dingin oleh keringatnya.Ia tahu kemana arah pembicaraan Ikhsan kali ini, dan Ayu pun sudah menyiapkan mental untuk semua pertanyaan itu. Namun ketika hari itu datang, rasanya lidahnya begitu kelu hanya untuk berucap.Tak ada keberania untuknya berbicara,
Toni selalu saja terngiang dengan ucapan Naila, semua yang dikerjakannya menjadi tak karuan karena pikirannya yang sedang tak baik-baik saja.Berulang kali ia terdengar menggerutu, bahkan membuang nafasnya secara kasar berkali-kali dalam satu waktu.Toni dibuat frustasi, ia pun terlihat mengacak-acak rambutnya hingga berantakan. Kini penampilannya benar-benar kacau tak seperti biasanya.Tak ingin membuat kesalahan yang lebih fatal, ia memilih menyudahi semua pekerjaannya hari ini. Tujuannya saat ini ada menemui tuannya, itu adalah satu-satunya obat bagi dirinya yang tak tahu harus bagaimana.Setibanya di halaman rumah sakit, ia buru-buru menaiki lift menuju ruangan Lio di rawat. Beberapa kali ia kembali mendesah sembari menatap ponsel pintarnya.Kali ini bukan Naila, namun memikirkan Lius yang masih dalam pengawasan para anak buahnya. Antonio yang belum mengambil keputusan membuat Toni mau tak mau harus mengurusnya, mengatasi semua keluhan para ana
Sony geram dengan wajah berani Jo terhadapnya, ia pun marah dan terjadilah pertarungan disana.Dengan menahan sakit, Jo terus melawan. Juli tak terima melihat putranya hampir kalah, ia pun segera mendekati Divya dan mengancam Jo disana.โBerani kau memukul putraku, maka gadis ini akan aku pukul balik.โDivya hanya bisa menangis, menjerit bahkan memohon saat melihat Jo habis babak belur di tangan Sony. Belum lagi luka di perutnya kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah.Jo sudah tak sanggup, ia jatuh dan hilang kesadaran.Divya yang panik mendorong Juli dan berlari kepada JO.โKalian biadab, binatang kalian semua.โ Makinya.Divya memeluk tubuh Jo kedalam pelukannya, gadis itu menangis tersedu-sedu memohon pada Jo untuk kembali membuka mata.Sony sangat puas, ia pun meninggalkan ruangan dengan tawa senang diikuti Juli di belakang.Tak ada ranjang yang layak, semua tempat nampak kumuh tak terawat. Hanya ada ranjang usang yang kemarin digunakannya.Dengan susah payah Divya menarik tu
Namun tekat bulat Jo membuat laki-laki itu segera kabur dan mengabaikan teriakan Brian.Brian panik, kondisi Jo masih belum pulih. Belum lagi lukanya baru saja kembali dijahit, Brian benar-benar dibuat sangat panik.“Kamu coba kejar dia, papa akan kembali ke atas dan memberitahu semuanya.”Mengangguk, Brian segera menyusul dengan menggunakan mobilnya.Di dalam taxi, Jo mencoba melacak keberadaan Divya dari ponsel pintarnya. Namun sayang sejak tadi tak kunjung dia menemukan titik lokasi keberadaan Divya.“Permisi, Tuan. Tujuan kita kemana ya?” tanya supir taxi.“Jalan XX depan bangunan kosong.”Taxi melaju dengan kencang membelah kemacetan, namun fokus Jo masih dengan ponsel di tangannya.Setibanya disana, Jo berjalan menyusuri jalan sepi tanpa penghuni.“Kenapa titik lokasinya ada disini? daerah ini bukankah sudah tidak berpenghuni?” gumam Jo.Sepanjang jalan kakinya
Semua tengah bersantai, berkumpul bersama walau di rumah sakit tempatnya.Lio sengaja meluangkan waktu demi memberi perhatian lebih pada Jo yang sedang terluka. Bagi Lio, Jo sudah seperti anak juga baginya.Lio memesan banyak makanan juga cemilan, ia tak ingin keluarganya kelaparan atau kekurangan makanan.“Adek, jangan diisengin dong Jo nya.” Dengan lembut menegur sang putri.Divya hanya cengengesan saat mendengar sang ayah menegur tingkahnya. Ia pun kembali menyuapi Jo dengan buah anggur di tangannya.Brian fokus dengan laptopnya, sedang Daniel sibuk bermesraan dengan Luna tanpa melihat tempat mereka berada.“Bucin terus, nggak lihat-lihat tempat.”“Dih, sirik aja. Makanya punya pacar,” ejek Daniel.Tiba-tiba saja Divya bangkit dari tempat, berjalan keluar meninggalkan ruang rawat.“Adek, mau kemana?”“Sebentar, Pah. Nggak lama,” serunya sebelum benar-b
Pagi yang begitu cerah, semua orang tengah bersiap untuk menjengur Jo di rumah sakit.Tak lupa Lea juga membawa banyak masakan untuk anak-anak yang sejak semalam menginap disana.“Pakaian untuk mereka sudah siap?”“Sudah, Mom.”Sekar sudah tak sabar mengunjungi Jo disana, ia juga merindukan cucu-cucunya yang sejak semalam tak pulang.Mengendarai dua mobil, mereka melesat menuju rumah sakit.Tiba disana, semua orang dibuat tercengang dengan keadaan di dalam.“Astaga, ini kenapa begini?” seru Rania melihat putra juga keponakannya tengah berlutut dengan memegang kedua telinganya.“Bangun, “ titah Lio pada keduanya.Luna hanya diam, gadis itu tersenyum sembari meletakkan buah yang sedari tadi dipangkunya.“Ada apa? Kenapa panas sekali suasananya?” tanya Sekar pada Luna.“Mereka berdua bikin lukanya Jo kembali terbuka dan harus kembali di jahit, O
Lea berhasil menenangkan suaminya, di dalam pelukan wanita itu Lio terlelap dengan begitu damai.Lea terus membelai rambut Lio, dengan penuh kasih dan sayang ia mengecup kening laki-lakinya.“Maaf jika diamku membuatmu hancur dan seakan dibohongi. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu, ayah yang mengingikan semua ini dan bukan aku.” Gumamnya dengan berlinang air mata.Kembali mengingat kejadian lampau itu membuat luka yang masih belum kering kembali basah.Menatap jam dinding, Lea tersadar jika ini hampir tengah malam.Sejak tadi ia tak mendengar suara anak-anak, ia pun juga belum turun untuk melihat mereka semua.“Kemana lagi anak-anak?”Deg, ia pun ingat tentang keadaan Jo saat ini. Dengan cepat ia berusaha menghubungi Brian sang putra.Tak menunggu lama, Brian segera menerima panggilan ibunya.Dengan nada yang sangat cemas, Lea menanyakan tentang keadaan Jo saat ini. Wanita itu benar-benar men
Divya sama sekali tak meninggalkan kekasihnya barang sedikitpun, semenjak tahu kejadian sebenarnya ia menolak meninggalkan sang kekasih lama-lama.Bagi Divya, ia harus memastikan sendiri keselamatan laki-lakinya.Memang belum secara resmi mereka bersama, namun keadaan saat ini sudah membuat kebahagiaan tersendiri bagi dua anak manusia itu.“Sayang, kamu istirahat ya. Dari tadi kamu udah ngurusin aku,” ucap Jo.“Aku akan istirahat, tapi tidak sekarang. Masih ada yang harus aku kerjakan.”“Apa?”Namun Divya tak menjawab, ia terlihat sibuk dengan gawai pipih yang tengah di genggamnya.Jo sebenarnya tahu apa yang saat ini tengah di lakukan kekasih kecilnya, ia tahu apa yang menjadi tujuan dari perbuatan Divya saat ini.Ia tak ingin melarangnya, ia tak ingin kemarahan Divya tak tersalurkan. Namun dibalik itu semua, ia tetap memantau dan mengendalikan perbuatan dari kekasihnya.“Aku ti
Divya berusaha melangkahkan kakinya, namun rasanya begitu berat. Belum lagi air matanya yang tak berhenti mengalir deras di pipi, membuat dirinya bingung sendiri.“Nggak mungkin, semuanya hanya salah paham.” Gumamnya sembari melangkah perlahan.Brian tak sanggup melihat adiknya terluka, namun ia juga tak sanggup jika harus masuk dan melihat semuanya.Begitu juga dengan Daniel, laki-laki itu hanya diam menyesali semua yang sudah terjadi.“Seharusnya dari awal kita memberitahunya, kalau begini kita sama saja menusuknya.”Brian hanya diam, menundukkan kepala tanpa tahu apa yang dikatakan.Divya semakin dekat dengan pintu, jantungnya semakin berdetak dengan begitu tak menentu. Begitu sakit, seakan ada sesuatu yang menghantam dadanya.Suasana begitu berbeda, kini di depannya banyak berbaring jasad yang sudah tak bernyawa.Tubuh Divya luruh ke bawah, air matanya semakin deras mengalir membasahi pipinya. Isakan
Rahasia yang selama ini coba di lupakan pada akhirnya terbongkar dengan cara yang tak terduga. Sekar yang sudah lama memendam rasa bersalah membongkar semua kejahatan putra keduanya di depan semua orang.Lio tak tahu apapun tentang itu semua, ia sama terkejutnya dengan Brian yang masih bersitegang dengan Lius.“Maksud oma?” tanya Brian.“Ayah kandungmu lah penyebab kakek Wilson meninggal.” Seru Sekar tanpa ingin menutup-nutupinya lagi.“Mom,” teriak Lius.Lio terduduk lemas, ia tak percaya dengan apa yang sudah di dengarnya ini. Selama ini ia tak tahu apapuun tentang kesakitan dan fakta yang dirasakan oleh istrinya.“Bagaimana bisa, bukankah ayah Wilson meninggal karena jatuh dari tangga?”“Ayah mertuamu tidak jatuh dari tangga, tapi jatuh dari lantai dua rumah lama kita.” Sahut Antonio.Lebih lanjut Antonio juga menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan kemaraha
Nindya kembali ke rumah, ia segera mengemas semua pakaian dan berniat meninggalkan semuanya.Ia merasa puas terakhir kali melihat keadaan Jo yang mengenaskan, ada rasa bahagia dan terluka dalam satu waktu bersamaan.Nindya menangis, ia menatap kedua tangan yang sudah dengan tega melukai Jo hingga seperti tadi. Menyesal?Tidak, sama sekali Nindya tak merasa menyesal dengan apa yang sudah diperbuatnya. Hanya saja hatinya ikut terluka saat melihat air mata yang mengalir keluar dari mata indah pujaan hatinya.“Andai bapak menerima cinta saya, andai bapak tidak terpengaruh dengan wanita licik itu maka semuanya tidak akan jadi seperti ini.”Cepat-cepat Nindya mengemas barang bawaannya, juga beberap obat yang diperlukannya saat ini.Membuka pintu lemari, Nindya mengambil semua uang yang ada disana.“Dengan uang ini aku bisa mengembalikan wajahku seperti semula, maafkan Nindya nek karena menjual rumah itu.”Deng