Dengan hati yang berat Ikhsan melangkah keluar meninggalkan ruang rawat Naila, meninggalkan perempuan itu dengan orang-orang yang dirasanya begitu asing.
Hatinya begitu sakit saat mengetahui kenyataan jika Naila lebih memilih bersama laki-laki asing ketimbang dengan dirinya yang sudah menjalani kehidupan bersama di panti.
“Bagaimana bisa kau datang kemari, Ayu?”
Seketika Ayu menghentikan langkahnya, diam berdiri mematung menatap tubuh Ikhsan melewatinya begitu saja.
“Maafkan aku, aku harus memilih untuk egois.” Batinnya.
Rania menunjukkan kemajuannya pada Naila, ia berdiri dan berjalan dengan kedua kakinya tanpa bantuan siapapun. Melihat hal tersebut membuat Naila begitu bahagia.
“Kau lihat, aku sudah bisa berdiri dan berjalan lagi.”
Naila tak menjawab, ia terlalu terkejut juga senang dalam waktu bersamaan. Air matanya lah yang deras mengalir.
Ketulusan hati Naila nyatanya terlihat jelas di m
Pagi kembali menyapa, memberi kehangat menggantikan dinginnya malam.Lisa menatap tak percaya, ada sang suami dengan seorang anak yang tidur diatas ranjang bersama dengannya. Ada tatapan sendu saat matanya menatap lelapnya Brian, “Andai kau lahir dari rahimku, buah cintaku dengan Lius. Betapa akan sempurna dunia ku ini.”Tangannya terulur, membelai pipi gembul Brian yang begitu menggemaskan. Bocah itu tidur dengan begitu lelap, bahkan sentuhan tangan Lisa tak mampu mengusiknya dari mimpi.Lisa beralih menatap sang suami, ada rasa kecewa ketika ia mengingat keinginan sang suami untuk bisa kembali lagi dengan mantan istri.Lius perlahan membuka matanya, belaian halus dari tangan Lisa membuatnya terusik dan kembali membuka mata.“Morning sayang,” dengan suara serak khas bangun tidurnya.Lisa tak menyahutinya, ia hanya tersenyum dan melabuhkan lumatan di bibir sang suami.Mendapat asupan pagi hari dari Lisa membuat
Lio tak lagi bisa menunggu, semakin hari semakin sakit hatinya melihat kondisi sang istri. Malam itu ia bergerak seorang diri demi bisa merebut kembali Brian kedalam pelukannya.Malam yang cukup dingin, ketika semua orang terlelap di bawah tebal selimut ada salah seorang anak manusia yang berjalan dengan begitu misterius.Lio menerobos penjagaan Lius, laki-laki itu begitu nekat hanya untuk bisa bertemu dengan putra sambungnya.Lio menghabisi semua anak buah yang tengah berjala di lantai paling atas hotel, ia memasuki lorong yang memang sudah di kosongkan sesuai dengan permintaan Lius.“Penyusup!” teriak salah seorang anak buah dari sudut lorong.Suasana begitu ricuh, bau anyir darah menyeruak menusuk hidung tiap orang. Namun Lio tak gentar, ia terus melangkah maju dengan tangan kosongnya.Walau harus terluka, ia terus melangkah untuk bisa semakin dekat dengan putra sambungnya.“Papa akan menjemputmu, Nak.” Bati
Leo sudah mendengar semua yang terjadi dengan adiknya, dengan perasaan cemas ia melaju membelah kota dengan kecepatan tinggi. Pikirannya kini hanya tentang Lea, tentang adiknya yang tak baik-baik saja setelah sang anak hilang.Setibanya di tempat, sudah banyak anak buah Lio yang berkeliaran. Ia pun mengabaikannya, dengan berlari ia segera menuju lift tempat adiknya menginap.Dan benar, setibanya disana ia melihat Toni yang tengah berbicara dengan seseorang lewat sambungan telepon.“Tuan Leo, nona ada di dalam.”“Ton, bagaimana dengan Lio?”Toni menggelengkan kepalanya penuh sesal, hingga pagi menjelang ia masih tak bisa mendapatkan informasi tentang keberadaan tuannya itu.Ia yang mendapat kabar malam itu segera bergerak dan memerintahkan seluruh anak buah untuk menyebar. Namun cara itupun tak membuahkan hasil apapun hingga pagi ini.“Aku akan menemui adikku dulu, “ menepuk bahu Toni.L
Brian terbangun dari tidurnya, bocah itu menatap sekeliling yang nampak asing dengan ingatannya. Dengan perlahan ia turun dari tumpukan kardus tempatnya terlelap semalam.Bocah yang belum mengerti situasi itu melangkah keluar dari ruangan, mengikuti gema suara yang tertangkap oleh telinganya.Pada awalnya ia menatap punggung lebar milik Lius, namun saat tubuh itu menyingkir ia lihat sosok yang begitu di rindukan.“Papapppapapapaaaaaa.”Mendengar itu Lius terperanjat kaget, ia segera berbalik dan menyadari jika bocah itu sudah berjalan menuju ke arahnya.Ingin sekali ia menahan tubuh itu, namun kakinya seakan tertahan dimana kini ia berpijak. Matanya terus menatap lekat langkah Brian, semakin dekat dengan sosok yang menjadi ayah dalam hidupnya.“Papapppapapapaaaaaa.”Sekali lagi Brian memanggil Lio yang masih memejamkan mata, kaki mungil itu semakin dekat hingga ia berhasil mengikis jarak.“Papapppa
Ikhsan masih saja tak bisa berhenti memikirkan Naila yang saat ini berada di rumah sakit, pikirannya terus saja menerawang jauh ke sana.Ia tak tenang, ia merasa keselamatan Naila selalu terancam jika tak berada di dalam panti.“Aku harus membawanya kembali.” Gumamnya.Ia pun nekat mengendarai mobil panti di malam hari, keluar menuju kota tempat Naila berada.Namun Ayu melihat saat mobil itu melaju, tapi ia tak tahu jika calon suaminya lah yang berada di dalamnya.“Siapa ya yang bawa mobil malam-malam begini?” ucapnya.Setiba nya di rumah sakit, dahi Ikhsan berkerut saat melihat banyaknya orang-orang berseragam hitam berkeliaran di setiap sudut rumah sakit.Ia merasa curiga, dan pikirannya segera mengarah pada Toni yang ia tahu bukan orang bisa itu.Ikhsan semakin yakin jika Toni bukan laki-laki baik seperti yang orang-orang lihat selama ini. Baginya, Toni tak lebih dari bahaya yang akan mengancam kesela
Panti menjadi heboh dengan kedatangan Naila, bahkan Abah sampai keluar dari kamarnya karena gaduh yang terjadi.“Ada apa ini?” tanya Abah.“Assalamualaikum, Abah.”“Waalaikum salam wr. wb.”“Astaghfirullahal ‘adziim. Apa yang sudah kamu lakukan ini Gus Ikhsan?” lanjutnya.Raut wajah Abah jelas penuh dengan kekecewaan, bukan hanya tentang kedatangan Naila namun dengan kondisi keduanya datang.“Letakkan tubuh yang bukan mukhrim mu itu ke sofa.” Perintahnya.Ikhsan tahu akan kesalahannya, namun ego nya membuatnya merasa apa yang dilakukan ini benar.Tak banyak kata, abah segera memerintahkan beberapa santi wati untuk menyadarkan Naila dan meminta Ikhsan menemuinya di ruangan.“Nai, bangun dong.”Terlihat salah seorang santri wati membuka botol minyak angina dan mengarahkannya ke hidung Naila.Ayu melihatnya, wanita itu bahkan melihat
Mereka menemukan lokasi yang dikirimkan Lea, tak hanya lokasi namun juga ponsel yang sengaja di buangnya.Leo menyimpan ponsel adiknya, melangkah maju bergerak bersama yang lain menembus padang ilalang.Sebuah tanda di keluarkan, semua orang menghentikan langkah kakinya. Menatap sekeliling dengan perasaan was-wasnya.“Ada apa?”“Yang di depan memberi tanda untuk berhenti. Sepertinya mereka menemukan tempatnya.” Jelas Toni paham.Leo hanya manggut-manggut, matanya terus mengawasi sekitar. Menatap curiga setiap tumbuhan ilalang yang bergerak searah angina.Terdengar suara langkah kaki mendekat, membuat semua orang waspada dan bersiap untuk menyerang.“Jangan gegabah,” ucap Toni penuh penekanan.Ia takut jika yang bergerak mendekat bukanlah musuh, melainkan tuannya atau bisa nona mudanya.Namun semua tebakan mereka salah, itu adalah anak buah yang sedari tadi memimpin jalan di depan.
Naila duduk di atas ranjangnya, tak bisa memejamkan mata dan terus merasa gelisah tak beralasan.Berkali-kali ia mencoba memejamkan mata, bahkan sampai menghitung domba yang biasanya digunakan untuk membangun dunia mimpi.Namun tak ada gunyanya, ia masih tak bisa memejamkan mata. Seakan matanya meminta dirinya untuk tetap terjaga.“Kenapa perasaanku secemas ini?” gumamnya.“Apa terjadi sesuatu dengan si om ya?”Semakin tak tenang saja dibuatnya. Ia berjalan mondar-mandir sudah seperti setrikaan londry.“Naila?”Panggilan itu menghentikan gerakan kakinya, matanya menatap sendu teman lama yang kini terasa asing baginya.“Ada apa?”Ayu masuk dan memilih duduk di pinggir ranjang Naila, tak lupa ia juga menutup pintu kamar.“Bagaimana keadaanmu?”“Tidak usah basa-basi, katakan apa maumu datang menemuiku malam-malam.”Naila menatap jau
Sony geram dengan wajah berani Jo terhadapnya, ia pun marah dan terjadilah pertarungan disana.Dengan menahan sakit, Jo terus melawan. Juli tak terima melihat putranya hampir kalah, ia pun segera mendekati Divya dan mengancam Jo disana.โBerani kau memukul putraku, maka gadis ini akan aku pukul balik.โDivya hanya bisa menangis, menjerit bahkan memohon saat melihat Jo habis babak belur di tangan Sony. Belum lagi luka di perutnya kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah.Jo sudah tak sanggup, ia jatuh dan hilang kesadaran.Divya yang panik mendorong Juli dan berlari kepada JO.โKalian biadab, binatang kalian semua.โ Makinya.Divya memeluk tubuh Jo kedalam pelukannya, gadis itu menangis tersedu-sedu memohon pada Jo untuk kembali membuka mata.Sony sangat puas, ia pun meninggalkan ruangan dengan tawa senang diikuti Juli di belakang.Tak ada ranjang yang layak, semua tempat nampak kumuh tak terawat. Hanya ada ranjang usang yang kemarin digunakannya.Dengan susah payah Divya menarik tu
Namun tekat bulat Jo membuat laki-laki itu segera kabur dan mengabaikan teriakan Brian.Brian panik, kondisi Jo masih belum pulih. Belum lagi lukanya baru saja kembali dijahit, Brian benar-benar dibuat sangat panik.“Kamu coba kejar dia, papa akan kembali ke atas dan memberitahu semuanya.”Mengangguk, Brian segera menyusul dengan menggunakan mobilnya.Di dalam taxi, Jo mencoba melacak keberadaan Divya dari ponsel pintarnya. Namun sayang sejak tadi tak kunjung dia menemukan titik lokasi keberadaan Divya.“Permisi, Tuan. Tujuan kita kemana ya?” tanya supir taxi.“Jalan XX depan bangunan kosong.”Taxi melaju dengan kencang membelah kemacetan, namun fokus Jo masih dengan ponsel di tangannya.Setibanya disana, Jo berjalan menyusuri jalan sepi tanpa penghuni.“Kenapa titik lokasinya ada disini? daerah ini bukankah sudah tidak berpenghuni?” gumam Jo.Sepanjang jalan kakinya
Semua tengah bersantai, berkumpul bersama walau di rumah sakit tempatnya.Lio sengaja meluangkan waktu demi memberi perhatian lebih pada Jo yang sedang terluka. Bagi Lio, Jo sudah seperti anak juga baginya.Lio memesan banyak makanan juga cemilan, ia tak ingin keluarganya kelaparan atau kekurangan makanan.“Adek, jangan diisengin dong Jo nya.” Dengan lembut menegur sang putri.Divya hanya cengengesan saat mendengar sang ayah menegur tingkahnya. Ia pun kembali menyuapi Jo dengan buah anggur di tangannya.Brian fokus dengan laptopnya, sedang Daniel sibuk bermesraan dengan Luna tanpa melihat tempat mereka berada.“Bucin terus, nggak lihat-lihat tempat.”“Dih, sirik aja. Makanya punya pacar,” ejek Daniel.Tiba-tiba saja Divya bangkit dari tempat, berjalan keluar meninggalkan ruang rawat.“Adek, mau kemana?”“Sebentar, Pah. Nggak lama,” serunya sebelum benar-b
Pagi yang begitu cerah, semua orang tengah bersiap untuk menjengur Jo di rumah sakit.Tak lupa Lea juga membawa banyak masakan untuk anak-anak yang sejak semalam menginap disana.“Pakaian untuk mereka sudah siap?”“Sudah, Mom.”Sekar sudah tak sabar mengunjungi Jo disana, ia juga merindukan cucu-cucunya yang sejak semalam tak pulang.Mengendarai dua mobil, mereka melesat menuju rumah sakit.Tiba disana, semua orang dibuat tercengang dengan keadaan di dalam.“Astaga, ini kenapa begini?” seru Rania melihat putra juga keponakannya tengah berlutut dengan memegang kedua telinganya.“Bangun, “ titah Lio pada keduanya.Luna hanya diam, gadis itu tersenyum sembari meletakkan buah yang sedari tadi dipangkunya.“Ada apa? Kenapa panas sekali suasananya?” tanya Sekar pada Luna.“Mereka berdua bikin lukanya Jo kembali terbuka dan harus kembali di jahit, O
Lea berhasil menenangkan suaminya, di dalam pelukan wanita itu Lio terlelap dengan begitu damai.Lea terus membelai rambut Lio, dengan penuh kasih dan sayang ia mengecup kening laki-lakinya.“Maaf jika diamku membuatmu hancur dan seakan dibohongi. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu, ayah yang mengingikan semua ini dan bukan aku.” Gumamnya dengan berlinang air mata.Kembali mengingat kejadian lampau itu membuat luka yang masih belum kering kembali basah.Menatap jam dinding, Lea tersadar jika ini hampir tengah malam.Sejak tadi ia tak mendengar suara anak-anak, ia pun juga belum turun untuk melihat mereka semua.“Kemana lagi anak-anak?”Deg, ia pun ingat tentang keadaan Jo saat ini. Dengan cepat ia berusaha menghubungi Brian sang putra.Tak menunggu lama, Brian segera menerima panggilan ibunya.Dengan nada yang sangat cemas, Lea menanyakan tentang keadaan Jo saat ini. Wanita itu benar-benar men
Divya sama sekali tak meninggalkan kekasihnya barang sedikitpun, semenjak tahu kejadian sebenarnya ia menolak meninggalkan sang kekasih lama-lama.Bagi Divya, ia harus memastikan sendiri keselamatan laki-lakinya.Memang belum secara resmi mereka bersama, namun keadaan saat ini sudah membuat kebahagiaan tersendiri bagi dua anak manusia itu.“Sayang, kamu istirahat ya. Dari tadi kamu udah ngurusin aku,” ucap Jo.“Aku akan istirahat, tapi tidak sekarang. Masih ada yang harus aku kerjakan.”“Apa?”Namun Divya tak menjawab, ia terlihat sibuk dengan gawai pipih yang tengah di genggamnya.Jo sebenarnya tahu apa yang saat ini tengah di lakukan kekasih kecilnya, ia tahu apa yang menjadi tujuan dari perbuatan Divya saat ini.Ia tak ingin melarangnya, ia tak ingin kemarahan Divya tak tersalurkan. Namun dibalik itu semua, ia tetap memantau dan mengendalikan perbuatan dari kekasihnya.“Aku ti
Divya berusaha melangkahkan kakinya, namun rasanya begitu berat. Belum lagi air matanya yang tak berhenti mengalir deras di pipi, membuat dirinya bingung sendiri.“Nggak mungkin, semuanya hanya salah paham.” Gumamnya sembari melangkah perlahan.Brian tak sanggup melihat adiknya terluka, namun ia juga tak sanggup jika harus masuk dan melihat semuanya.Begitu juga dengan Daniel, laki-laki itu hanya diam menyesali semua yang sudah terjadi.“Seharusnya dari awal kita memberitahunya, kalau begini kita sama saja menusuknya.”Brian hanya diam, menundukkan kepala tanpa tahu apa yang dikatakan.Divya semakin dekat dengan pintu, jantungnya semakin berdetak dengan begitu tak menentu. Begitu sakit, seakan ada sesuatu yang menghantam dadanya.Suasana begitu berbeda, kini di depannya banyak berbaring jasad yang sudah tak bernyawa.Tubuh Divya luruh ke bawah, air matanya semakin deras mengalir membasahi pipinya. Isakan
Rahasia yang selama ini coba di lupakan pada akhirnya terbongkar dengan cara yang tak terduga. Sekar yang sudah lama memendam rasa bersalah membongkar semua kejahatan putra keduanya di depan semua orang.Lio tak tahu apapun tentang itu semua, ia sama terkejutnya dengan Brian yang masih bersitegang dengan Lius.“Maksud oma?” tanya Brian.“Ayah kandungmu lah penyebab kakek Wilson meninggal.” Seru Sekar tanpa ingin menutup-nutupinya lagi.“Mom,” teriak Lius.Lio terduduk lemas, ia tak percaya dengan apa yang sudah di dengarnya ini. Selama ini ia tak tahu apapuun tentang kesakitan dan fakta yang dirasakan oleh istrinya.“Bagaimana bisa, bukankah ayah Wilson meninggal karena jatuh dari tangga?”“Ayah mertuamu tidak jatuh dari tangga, tapi jatuh dari lantai dua rumah lama kita.” Sahut Antonio.Lebih lanjut Antonio juga menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan kemaraha
Nindya kembali ke rumah, ia segera mengemas semua pakaian dan berniat meninggalkan semuanya.Ia merasa puas terakhir kali melihat keadaan Jo yang mengenaskan, ada rasa bahagia dan terluka dalam satu waktu bersamaan.Nindya menangis, ia menatap kedua tangan yang sudah dengan tega melukai Jo hingga seperti tadi. Menyesal?Tidak, sama sekali Nindya tak merasa menyesal dengan apa yang sudah diperbuatnya. Hanya saja hatinya ikut terluka saat melihat air mata yang mengalir keluar dari mata indah pujaan hatinya.“Andai bapak menerima cinta saya, andai bapak tidak terpengaruh dengan wanita licik itu maka semuanya tidak akan jadi seperti ini.”Cepat-cepat Nindya mengemas barang bawaannya, juga beberap obat yang diperlukannya saat ini.Membuka pintu lemari, Nindya mengambil semua uang yang ada disana.“Dengan uang ini aku bisa mengembalikan wajahku seperti semula, maafkan Nindya nek karena menjual rumah itu.”Deng