Setelah semua proses pemakaman selesai, Raihanah masih terdiam di ruang tengah. Di ujung sofa, ia merenung cukup lama. Rasa sesak di dada sangat menyiksa sampai membuatnya menghela napas berulang kali.
Abaya putih masih melekat di tubuhnya. Wajah sembab dan hidung memerah serta berair. Meski sudah mempersiapkan diri, tapi rasanya ternyata masih sesakit itu.
Ia menikah dengan Lukman tiga tahun yang lalu. Dua tahun mereka habiskan dengan penuh kebahagiaan dan satu tahunnya lagi habis dengan penyakit yang menimpa pria itu.
Begitu sulit untuk ikhlas kendati akal sehatnya terus menyuruh. Ia mengingat setiap pesan Lukman yang dibungkus dalam percakapan mereka sehari-hari.
Seperti lima bulan yang lalu. Saat Raihanah menyiapkan obat untuk Lukman sementara pria itu memaksakan diri untuk bersandar di sofa meski napasnya terengah-engah.
“Hanah, kalau Abang dipanggil Allah, Hanah mau menikah lagi tidak?”
Raihanah mengerutkan kening cukup dalam sambil menghentikan gerakannya membuka bungkusan obat. Ia bergeser ke sudut sofa untuk melihat wajah Lukman secara jelas.
“Abang kenapa bertanya begitu?” Raihanah tidak senang dengan pernyataan itu.
“Tidak. Di umur berapa pun, Abang pasti bakal dipanggil, ‘kan? Hanah pun begitu, Ummi juga. Semua manusia akan dipanggil oleh Allah kalau sudah tiba waktunya.”
“Ah, begitu ya.” Raihanah kembali membuka bungkusan obat dan mengumpulkannya di atas telapak tangan dengan perasaan yang cukup lega.
“Kalau misal, Abang yang dipanggil duluan. Jika ada pria baik-baik yang ditakdirkan untukmu, maukah Hanah menikah dengannya?”
Menarik napas dalam-dalam, Raihanah menghitung jumlah pil di tangannya sambil memikirkan jawaban dari pertanyaan Lukman. Akhir-akhir ini Lukman sering menanyakan hal-hal aneh.
“Hanah menghormati pria itu, tapi … Abang tahu laki-laki yang Hanah hormati dan cintai hanya Abang.”
Lukman tersenyum miris. “Abang tidak tahu harus merasa senang atau tidak saat mendengarnya.”
Sampai di situ, ingatan Raihanah berhenti. Ia bisa menyimpulkan maksud Lukman menanyakan hal itu. Ternyata Lukman sudah memikirkannya sejak lama.
“Abang sudah berjanji pada orang tuamu. Abang khawatir tidak bisa memenuhi janji itu untuk waktu yang lama.”
Itu adalah sekian banyak perkataan aneh yang diucapkan Lukman seolah dia sudah tahu seberapa lama lagi waktunya di dunia ini.
Hari ini Lukman membuktikannya. Ia tidak mampu menjaga janjinya pada kedua orang tua Raihanah. Namun, Raihanah tidak pernah berekspektasi jika pria itu akan akan menikahkannya dengan laki-laki lain.
“Hanah, sudah dua jam kamu di sini.”
Ramlah datang dari dalam. Masih dengan gamis yang sama. Sama seperti Raihanah, wajah Ummi juga pucat. Lingkaran hitam membias di bawah mata dan mereka sama-sama tahu, bahwa mereka tidak baik-baik saja.
“Sekarang sudah tenang. Semua orang sudah pergi. Rasanya sangat sepi, Ummi. Hanah sedang mencoba membiasakan diri.” Raihanah mengedarkan pandangan pada rumah besar yang keseluruhannya bercat putih itu.
Lebih tepatnya sengaja menghindari tatapan Ummi, sebab air matanya pasti akan bercucuran lagi.
“Membiasakan diri bukan berarti kamu harus melamun selama berjam-jam. Sana mandi. Biar Ummi yang bereskan rumah.”
Raihanah menggeleng cepat. “Mana bisa begitu. Biar Hanah yang beres-beres.”
“Nggak, Ummi aja.” Ummi memberikan tatapan tegasnya. “Ganti baju kamu, udah bau asem itu.” Ummi mengibaskan tangan di depan hidung sambil mengernyit.
Raihanah mencebik berpura-pura kesal sambil bangkit dari sofa. Mendumelkan betapa serakahnya sang ummi yang ingin mengambil semua pekerjaan rumah.
Mereka saling bercanda dan menggoda, mengobrol seperti biasanya tanpa memperlihatkan lubang besar yang menganga itu. Ada celah kosong yang berusaha mereka tutupi.
“Hanah, ini surat terakhir yang diberikan Lukman, sengaja dititipkan ke Ummi. Ummi kasih sekarang saja.”
Tepat di saat Raihanah selesai mandi, Ummi mengetuk pintu dengan gamis yang sudah diganti dengan daster panjang. Tangannya sedikit bergetar. Saat melarikan pandangan ke wajah Ummi, mata wanita itu memerah dan sembab.
Raihanah tahu, isi amplop putih itu bukanlah kabar yang baik.
“Setelah itu, keluarlah untuk makan malam. Ummi sudah masakkan sop kol kesukaan kamu.”
Ummi memutar tubuh dengan badan yang tegap. Memperlihatkan ketegaran yang palsu, sebab Raihanah bisa membayangkan seberapa banyak Ummi menangis dan meratap. Ummi selalu saja begitu. Bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.
Mengabaikan rasa pening di kepala, Raihanah kembali menutup pintu kamar. Duduk di tepi ranjang hanya untuk mendapati hatinya yang meragu. Ada ranjau berbahaya di dalam amplop itu yang akan membuat perasaannya semakin amburadul. Raihanah sangat yakin.
Jari-jari lentiknya membuka lipatan kertas. Di bagian atas muncul kalimat pembuka.
-Surat terakhir-
Hanya dengan itu, dada Raihanah tertusuk dengan sangat cepat. Ia tidak berani membuka lipatan selanjutnya. Pendingin ruangan yang tidak menyala menambah rasa panas di sekujur tubuh.
Raihanah, istriku.
Ini adalah déjà vu yang sangat perih. Saat Abang menyaksikanmu menangisi kedua orang tuamu yang sedang meregang nyawa di rumah sakit. Ketika mereka memberi Abang pesan terakhir untuk menikahimu detik itu juga.Sejak saat itu, Abang berjanji untuk memberimu rumah yang nyaman dan aman, rumah yang kamu senangi, rumah yang meskipun tidak ada Abang di dalamnya, kamu akan tetap tersenyum.
Saat kamu membaca surat Abang ini, maka kamu pasti sudah mendengar kembali pesan terakhir dari orang yang akan menghilang dari hidupmu, pesan terakhir dari Abang.
Janganlah menangis terlalu lama, Raihanah. Abang tidak menginginkannya. Abang titipkan Raihanah pada adik Abang dengan harapan Raihanah akan mendapatkan rumah yang nyaman. Dengan begitu, Abang tidak akan malu jika bertemu dengan orang tuamu nanti.
Di mana pun Abang berada, meski tidak lagi bernapas di dunia ini, Abang akan selalu mencintai Raihanah.
Sampai di situ, tangan Raihanah gemetar hebat. Matanya berembun sampa-sampai deretan huruf yang ditulis agak berantakan itu menjadu buram. Matanya terasa pedih seperti baru saja diolesi saos.
Ternyata Lukman sudah merencanakannya dari jauh-jauh hari. Niatnya telah ia matangkan untuk menikahkan Raihanah dengan adiknya.
Tiga hari berlalu sejak pemakaman Lukman. Raihanah layaknya robot yang menampilkan senyum tipis saat menyambut kedatangan Ustadz Ridwan. Di depan pintu yang sangat lebar itu, Fathul muncul di belakangnya dengan raut datar tanpa senyum sedikit pun. Baru kali ini Raihanah bisa melihat jelas seperti apa rupa adik suaminya itu. Jika Lukman berambut ikal dengan kulit cerah dan bersih, maka Fathul memiliki kulit kecokelatan dengan wajah seperti perpaduan Turki dan Indonesia. Dia tidak setinggi Lukman, hanya saja caranya berjalan sangatlah tegap, pun saat ia duduk. Tubuhnya lebih berotot dan sorot matanya dingin seperti tidak peduli pada sekitar. Tatap mata, ragam ekspresi, serta cara bicaranya sangat berbeda dengan Lukman yang hangat dan lembut. Raihanah meletakkan satu cangkit teh di hadapan Ustadz Ridwan lalu menggeser cangkir lainnya untuk Fathul. Lelaki itu tidak menngucapkan apa-apa seperti Ustadz Ridwan yang mengucapkan terima kasih. “Untuk memulai, alangkah baiknya kita berdo
Fathul menahan napas. Sejak dulu, ibunya dicap sebagai perebut suami orang, dirinya pun diperlakukan sebagai anak yang harus tahu diri. Karena itu, ia wajib melunasi semua utangnya sekali lagi dengan cara menikahi wanita itu.Raihanah melihat Fathul mengangguk pelan sambil mengucapkan kata ‘ya’ yang terdengar samar. Raihanah tertegun. Ia pikir pria itu akan menolak, sebab sampai saat ini, raut wajahnya amat tertekan. Ia tampak tidak suka berada di tempat ini.“Alhamdulillah. Kalau begitu, Nak Fathul bisa menunggu selama 130 hari. Jika kau ingin berkunjung dan berkenalan dengan Hanah, aku akan mendampingi.”Fathul terdiam seperti biasanya. Tidak pernah terpikir akan kembali datang untuk mengunjungi wanita bernama Raihanah itu. Memangnya untuk apa?Suasana rumah Malik pun terasa pengap dan tidak nyaman.“Sebenarnya juga tidak masalah kau sering berkunjung. Kau adalah bagian keluarga Malik. Menjenguk ibumu yang sedang berduka juga sangat bagus. Bukan begitu, Dik Ramlah?”Fathul melihat R
Mata bulat itu mengerjap. Bulu matanya yang panjang bergerak-gerak. Fathul harap ini adalah pembicaraan pertama dan terakhir mereka. Ia tidak ingin berurusan lebih jauh dengan anggota keluarga Malik. “Rumah saya tidak sebesar rumah Malik untuk menjaga dan melindungimu.”Ia tidak ingin wanita ini berharap apa-apa, sebab dia memang tidak punya apa-apa. Alih-alih mengangguk paham atau bersendu ria, Raihanah malah memicing berani. “Ana tidak perlu dilindungi dan dijaga. Ana pun tidak berharap lebih kepada orang lain. Yang ingin ana perjelas bukan kesediaan antum melindungi ana. Jika pernikahan ini membebani dan mengganggu untuk antum, maka jangan lakukan.”Fathul tertegun. Ia berdiri tegak dan menjauhkan wajah. Wanita ini menerobos masuk ke mobilnya bukan untuk menuntut pertanggung jawaban untuk menjadi suami yang baik?Raihanah menunduk, terlihat seperti merasa bersalah. “Permintaan Bang Lukman sangat tiba-tiba dan terburu-buru. Dia tidak berpikir dengan jernih. Jangan diterima kalau i
Setelah kedatangan Ustadz Ridwan, Ummi juga ikut keluar dari kamarnya. Ustadz Ridwan membawa beberapa santrinya sebagai saksi, sembari meminta maaf karena ia datang lewat tiga puluh menit dari janjinya. Fathul mesti menunggu satu setengah jam. “Alhamdulillah, kita kembali bersua di tempat ini. Sudah lewat 123 hari sejak Nak Lukman meninggalkan kita. Hari ini kita berkumpul untuk mendengar kembali keputusan Nak Fathul.”Fathul duduk dengan kaki terbuka lebar. Kedua tangannya ia satukan di atas paha. Tatapannya lurus ke depan, tajam dengan ekspresi yang dingin. Kemeja dan celana hitamnya semakin menambah aura gelap pria itu. Orang-orang menunggu jawabannya. Ramlah terlihat was-was dan Raihanah menahan napas. Kedua wanita itu pasti mengharapkan kata ‘tidak’ dari mulutnya.“Saya tetap menerima.”Suasana menjadi sangat hening. Hanya Ustadz Ridwan dan ketiga santrinya yang terlihat tenang. “Dengan beberapa syarat kecil.”Maka semakin terbitlah kerutan di antara kedua alis Ramlah. “Meni
Satu langkah lagi, maka Raihanah sudah meninggalkan kediaman Malik yang telah menampungnya selama lebih dari tiga tahun. Rumah yang menjadi saksi suka dan dukanya selama menikah dengan Lukman. Ada pria yang menunggunya di luar sana dan pria itu bukanlah Lukman. Raihanah mencoba mempertahankan senyum di hadapan Ummi dan Ustadz Ridwan sembari menenteng tas kecil bersama satu buah koper. “Hanah baik-baik saja. Ummi tidak perlu khawatir.”Kekhawatiran Ummi terlihat jelas dari wajahnya yang berkerut masam. Sudah berulang kali ia membujuk Ummi untuk ikut dengannya bersama Fathul, tapi Ummi menolak, sebab tidak ingin meninggalkan rumah Malik. Namun, Raihanah tahu arti di balik penolakan itu. Ditolehkannya kepalanya sekilas pada Fathul yang menunggu di samping mobil. Ekspresi lelaki itu tidak pernah berubah, datar dan kaku. “Nak Hanah, hari esok itu selalu berbeda. Tidak ada yang sama. Jika hari ini kau merasa buruk, tidak ada jaminan esok juga akan buruk. Begitu pun sebaliknya.”Raihana
Raihanah ditinggalkan sendirian di dalam kamar yang pencahayaannya kurang ini. Ia tidak tahu mengapa Fathul semarah itu. Apakah karena Raihanah menyelonong masuk ke kamarnya atau mungkin … ia tidak ingin Raihanah berlama-lama tinggal di sini?Raihanah sempat panik karena tiba-tiba Fathul membanting pintu kamarnya di tengah pembicaraan mereka. Ia sampai tidak sadar sudah menerobos ke kamar pria itu. Baru sekarang ia merasakan bahwa kamar yang luas ini terasa pengap. Meski siang, tapi tidak banyak cahaya yang menerangi karena gorden tidak dibuka. Matanya tidak sengaja tertambat pada ranjang yang berantakan. Lemari di sampingnya terbuka dan baju-baju di dalamnya acak-acakan. Ia juga melihat meja kerja yang penuh dengan buku. Beberapa berhamburan di lantai serta kertas-kertas laporan yang tergeletak begitu saja. Raihanah menggigit bibir, menahan diri untuk tidak langsung meluncur membereskan kekacauan itu, sebab ini bukan kamarnya. Dia bahkan mengepalkan tangan erat-erat, gemas dengan
Fathul ingin menghancurkan kepercayaan diri itu. Ia ingin mengikis keangkuhan yang tergambar dari sorot mata itu. Wanita ini bukanlah siapa-siapa. Hanya perempuan yang tak lagi diinginkan Lukman dan diberikan padanya. Ia muak sekali. Utang-utangnya pada keluarga Malik telah lunas ketika dia menikahi Raihanah. Selesai. Bukan berarti wanita ini bisa mengatur dirinya maupun rumahnya seenaknya. Fathul maju dan membangun tembok yang sangat tinggi, melindungi dirinya sendiri dari anggota keluarga Malik yang lagi-lagi mencoba menguasainya. “Sudah saya tekankan di awal, kamu tidak perlu melakukan apa pun. Cukup diam di sini, karena apa pun yang kamu lakukan, saya tidak akan luluh. Saya mengorbankan kehidupan saya untuk menikahimu, harusnya kamu tahu diri.”Ah, andai saja Lukman mendengarnya. Fathul ingin pria itu tahu, seberapa muak dirinya dengan Malik. Raihanah menunduk dan bahunya tampak melemas. Fathul menarik napas untuk menyingkirkan perasaan aneh yang menyertai kemarahannya. “Kar
Fathul mengais-ngais kesadarannya agar tetap terjaga. Entah sejak kapan dia tumbang sampai tidak sadarkan diri. Setiap satu tahun sekali, dia pasti akan demam parah. Jika sudah begitu, hanya Toro yang dia hubungi untuk membawakannya obat dan makanan.Sekarang ia tidak perlu melakukan itu, karena saat dia bangun Raihanah sudah berdiri di ambang pintu, bahkan sampai memberinya bubur dan obat. Saat rasa sakit di kepala semakin menghantam, Fathul memejamkan mata rapat-rapat. Telinganya berdenging dan rasanya ia ingin ambruk kembali ke tempat tidur. Namun, Raihanah pasti akan masuk lagi beberapa menit kemudian dan bersikeras ikut campur.Diliriknya nakas yang berada di samping kanannya. Jaraknya cukup jauh. Ia mesti memutari ranjang. Fathul mencoba menjejakkan kaki kembali ke lantai. Kepalanya tiba-tiba tersengat hingga membuatnya kembali duduk. Fathul memijit kening. Meski begitu, ia tetap mencoba bangkit dan bertumpu pada pinggiran ranjang hingga akhirnya bisa meraih mangkuk bubur itu.
“Tapi istri seperti Raihanah tidak pantas disumbangkan. Dia terlalu baik dan nyaris sempurna untuk diberikan pada adik tiri rendahan seperti saya.”Sampai di situ, Fathul memutar tubuhnya kembali dan cepat-cepat meninggalkan kamar sebelum sempat melihat ekspresi bersalah di wajah Ramlah. Dulu saat menatap anak itu, diam-diam Ramlah memberikan tatapan penghakiman agar anak itu sadar bahwa ibunya sudah merebut tiang rumah orang lain. Tapi sepertinya apa yang dia lakukan dulu begitu membekas di hati anak itu hingga sekarang. “Bang Misan, kebaikan yang kau berikan pada orang lain, menciptakan luka di hati banyak orang.”Hati Ramlah terenyuh. Matanya terasa pedih menahan genangan air yang siap tumpah. “Selama puluhan tahun, kupikir kau sengaja mendua karena aku tak cukup cantik dalam pandanganmu, tak cukup baik, dan tidak cukup sempurna menjadi istrimu. Ternyata kau hanya membantu wanita itu dan tak pernah menyentuhnya sekalipun. Maaf karena telah berburuk sangka selama puluhan tahun
Fathul mengetuk pintu kamar sebelah sembari memegang nampan berisi sup ayam, nasi, dan segelas air. “Masuk.” Ia perlahan mendorong pintu dan menemukan Ramlah yang sedang berjalan dengan hati-hati sambil berpegangan pada dinding. Sepertinya ia baru saja dari kamar mandi. Fathul berdiri mematung sampai Ramlah duduk di tepi ranjang. Mata mereka bertemu dan saling berpandangan. Fathul menemukan kepasrahan dalam mata wanita itu. “Tidak usah repot-repot.” Fathul meletakkan nampan di atas nakas lalu mengambil bungkusan obat di laci ketiga. Satu per satu butiran pil ia keluarkan dari kemasannya. Lima butir obat diberikannya pada Ramlah. “Hanah tidak bersalah," ucap Fathul tiba-tiba.Ramlah mematung dengan gelas di tangan kiri dan obat di tangan kanan. Dilihatnya tekad yang besar di mata anak itu. “Sayalah yang mengejarnya lebih dulu. Saya yang jatuh cinta dengannya pertama kali.” “Melihatmu repot-repot datang untuk menjelaskan itu, membuatku seperti mertua yang egois dan jahat.”“Mesk
“Aku cukup kaget karena Nak Fathul tiba-tiba menghubungi dan meminta bertemu. Bagaimana kabar istrimu?”Di mushola pesantren Al-Jannah—tempat yang sama saat dia melakukan akad pernikahan bersama Raihanah—Fathul menemui Ustadz Ridwan. Senyum pria yang sebaya dengan Misan Malik itu selalu saja terlihat bijak. Setiap kali melihatnya, Fathul sering kali teringat dengan Misan.“Saya minta maaf kalau sudah menyita waktu Ustadz.”“Nak Fathul adalah putra dari sahabatku, tidak mungkin aku menolak. Nah, kapan pun kamu meminta untuk bertemu, Insya Allah aku akan selalu menyediakan waktu.”“Terima kasih, Ustadz.” Fathul mendapatkan tepukan ringan yang terasa hangat di punggung. Ia memperbaiki posisi duduk, menunduk dalam-dalam dan memasang wajah yang serius. “Sebagai istri yang diamanatkan oleh Lukman agar saya menjaganya, bolehkah saya menaruh perasaan padanya, Ustadz?”Ustadz Lukman menatapnya lama lalu sekejap kemudian bernapas lega. “Tak ada yang salah dengan mencintai istri sendiri, Nak.
“Akhirnya aku menemukan rumahku.” Raihanah tertegun, dia uraikan pelukan mereka untuk mencari tahu maksud perkataan pria itu. Yang ia tangkap pertama kali adalah tatapan hangat nan intens yang Fathul lemparkan padanya. “Aku tidak tahu, tapi kamu seolah selalu bisa mengerti semua isi hatiku dengan baik. Apa rahasianya, hm?” Raihanah tak mampu mengantisipasi serangan perasaan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Harusnya ia tak melangkah sejauh ini. Mestinya dia tidak memberikan harapan sebesar itu pada Fathul. Jari pria itu mengusap pipinya. Entah kapan kening mereka tiba-tiba menyatu hingga ia bisa merasakan embusan napas Fathul di wajahnya. “Apakah aku diizinkan?” Raihanah memejamkan mata, merasakan pergolakan batin yang hebat dalam dirinya. Sekarang dia adalah istri Fathul, istri yang sah secara agama dan negara. Saat pria itu menyentuhnya, Raihanah merasa baik-baik saja. Ia merasa tak keberatan. Maka Raihanah mengangguk pelan. Membiarkan kala Fathul membuka mukenanya hingga h
Untuk pertama kalinya setelah memutuskan tinggal di apartemen ini, akhirnya Raihanah bisa berdiri sebagai makmum. Di depannya Fathul mengangkat tangan sebagai permulaan sholat mereka. Punggung pria itu tampak tegang. Suaranya bergetar ketika memulai bacaan Al-Fatihah. Dalam tundukan kepalanya, Raihanah sempat terpaku mendengar lantunan ayat yang indah, merdu dengan tajwid yang benar dan pelafalan yang jelas.Fathul sudah sangat lama tidak melakukannya. Rasanya seperti berada dalam kegelapan. Namun, tak menyesakkan sama sekali. Pikirannya tenang dan tak tercampur dengan apa pun. Aliran darahnya bagai air yang mengalir pelan. Ini adalah gelap yang menenangkan. Seusai doa diaminkan, pria itu berbalik. Memperlihatkan wajahnya yang sendu dengan sorot mata yang kebingungan. Napasnya terhela dengan berat. Ia menatap Raihanah seolah meminta pendapat soal caranya mengimami. Raihanah meraih tangan Fathul dan mengecupnya, menempelkannya di kening cukup lama dan mendoakan dalam hati semoga Fat
Raihanah bangun di sepertiga malam dan mendapati ada lengan yang melingkar di perutnya. Untuk waktu yang lama ia terdiam kaku. Mengingat dirinya sedang di posisi apa sebelum tidur. Seingatnya Fathul menautkan jari jemari mereka seperti kemarin malam lalu mengobrol sejenak kemudian tertidur. Jantung Raihanah hampir mencelos keluar. Ia bekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara apa pun. Perlahan dengan tangan gemetar, Raihanah mencoba melepaskan belitan Fathul. Mengangkat lengan yang berat itu dengan hati-hati. Fathul bergerak. Spontan Raihanah berhenti. Setelah memastikan Fathul tidak bergerak lagi, ia meletakkan tangan pria itu sambil berusaha tidak membuat suara apa pun.Ia mengambil wudhu lalu menggelar sajadah di samping ranjang. Menunaikan Tahajud dan mendoakan agar Fathul diberikan hidayah dan keberanian untuk menggapai iman. “Ya Malik, Ya Quddus, hamba memohonkan hidayah dan petunjuk untuk suami hamba.” Diliriknya Fathul yang tengah tertidur dengan lelap. “Dia bukan pria yang
“Katanya lo telat hari ini–yang mana nggak pernah lo lakuin selama kerja di kantor ini–dan lebih gilanya lo bilang tadi pagi lo nyiapin waktu buat dengerin omelan istri. What the–” Toro melongo hebat ketika melihat ekspresi dingin yang runtuh seperti gurun es yang disinari cahaya matahari itu. Rahang Toro hampir mencapai lantai. “Apa gerangan yang terjadi?” Dipasangnya ekspresi paling serius. Fathul malah cuek. “Apa ada masalah? Belum pernah diomeli istri, ya?” Toro memasang ekspresi jijik. Kenapa ada orang yang terlihat sebangga itu habis diomeli istri? “Ngomel mah tiap hari, tapi perasaan gue nggak pernah senyum-senyum begitu habis diomelin. Lo ada masalah kejiwaan apa gimana? Istrinya Lukman bikin lo pusing tiap hari, ya?”“Dia istriku, bukan lagi istri Lukman.”Toro mengernyit. Seingatnya beberapa bulan yang lalu, saat Toro juga menyebut Raihanah sebagai istri Lukman, Fathul tidak menampakkan respons apa pun. Kenapa pria itu malah mengeraskan wajah sekarang?“Oke, sakarepmu.”
Setelah mengantar Ummi kembali ke kamar, Raihanah menarik kaki ke kamar Fathul saat mendengar suara berisik dari dalam. Kamar pria itu sangat berantakan. Pakaian, kertas-kertas, dan buku bertebaran. Didapatinya Fathul sedang berdiri dengan kemeja yang kerahnya terangkat dan tidak terkancing sepenuhnya serta rambut yang belum tertata. Pria itu menyorotnya dengan bingung. “Butuh bantuan?”Fathul melirik lantai di sekitarnya dan merasa sedikit malu. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. “Saya cari dasi.” “Dasi warna apa?” Raihanah maju, menunduk di antara laci-laci lemari pria itu. “Abu-abu gelap. Mungkin ketinggalan di tempat laundry.”Fathul mendapatkan helaan napas Raihanah lima detik kemudian. “Makanya biar ana yang cuci. Apa sudah antum susun di tempatnya? Dasi harus disatukan dengan dasi juga. Jangan bercampur dengan yang lain.” Wanita itu mulai mencari-cari di tumpukan pakaian yang tidak terbentuk susunannya itu. Fathul terdiam kaku mendengar omelan itu. Raihanah sampai mendeca
Pukul 5.30 ketika Raihanah keluar dari kamar, ia berpapasan dengan Fathul yang kebetulan juga sedang membuka pintu kamarnya. Dengan jaket dan kaos serta celana olahraga pendek dan sepatu, pria itu pasti ingin berolahraga.Namun, anehnya Raihanah malah merasa canggung untuk sekadar menyapa. Ada apa dengan dirinya? Ia tiba-tiba mengingat soal semalam. Dalam sekejap pipinya memerah.“Pagi.” Fathul malah menyapa lebih dulu dengan senyuman.“Ya, pagi,” cicit Raihanah, terlihat seperti tikus yang hendak kabur dari kejaran kucing.“Mau jalan-jalan pagi?”Raihanah menoleh kaget. “Hm?”“Jalan-jalan pagi berdua dengan saya.”Ditatap dengan mata penuh harapan itu membuat Raihanah mengalihkan muka dengan salah tingkah. “Ana mesti masak untuk sarapan.”“Kita bisa beli di luar.”“Ummi sendirian di kamar–” Raihanah terdiam, menemukan ide yang sangat brilian. “Bagaimana kalau jalan-jalan bertiga? Ummi cukup lama tidak keluar.”Fathul tampak berpikir. Sinar harapan di matanya agak pudar. “Boleh.”“Kal