Raihanah ditinggalkan sendirian di dalam kamar yang pencahayaannya kurang ini. Ia tidak tahu mengapa Fathul semarah itu. Apakah karena Raihanah menyelonong masuk ke kamarnya atau mungkin … ia tidak ingin Raihanah berlama-lama tinggal di sini?Raihanah sempat panik karena tiba-tiba Fathul membanting pintu kamarnya di tengah pembicaraan mereka. Ia sampai tidak sadar sudah menerobos ke kamar pria itu. Baru sekarang ia merasakan bahwa kamar yang luas ini terasa pengap. Meski siang, tapi tidak banyak cahaya yang menerangi karena gorden tidak dibuka. Matanya tidak sengaja tertambat pada ranjang yang berantakan. Lemari di sampingnya terbuka dan baju-baju di dalamnya acak-acakan. Ia juga melihat meja kerja yang penuh dengan buku. Beberapa berhamburan di lantai serta kertas-kertas laporan yang tergeletak begitu saja. Raihanah menggigit bibir, menahan diri untuk tidak langsung meluncur membereskan kekacauan itu, sebab ini bukan kamarnya. Dia bahkan mengepalkan tangan erat-erat, gemas dengan
Fathul ingin menghancurkan kepercayaan diri itu. Ia ingin mengikis keangkuhan yang tergambar dari sorot mata itu. Wanita ini bukanlah siapa-siapa. Hanya perempuan yang tak lagi diinginkan Lukman dan diberikan padanya. Ia muak sekali. Utang-utangnya pada keluarga Malik telah lunas ketika dia menikahi Raihanah. Selesai. Bukan berarti wanita ini bisa mengatur dirinya maupun rumahnya seenaknya. Fathul maju dan membangun tembok yang sangat tinggi, melindungi dirinya sendiri dari anggota keluarga Malik yang lagi-lagi mencoba menguasainya. “Sudah saya tekankan di awal, kamu tidak perlu melakukan apa pun. Cukup diam di sini, karena apa pun yang kamu lakukan, saya tidak akan luluh. Saya mengorbankan kehidupan saya untuk menikahimu, harusnya kamu tahu diri.”Ah, andai saja Lukman mendengarnya. Fathul ingin pria itu tahu, seberapa muak dirinya dengan Malik. Raihanah menunduk dan bahunya tampak melemas. Fathul menarik napas untuk menyingkirkan perasaan aneh yang menyertai kemarahannya. “Kar
Fathul mengais-ngais kesadarannya agar tetap terjaga. Entah sejak kapan dia tumbang sampai tidak sadarkan diri. Setiap satu tahun sekali, dia pasti akan demam parah. Jika sudah begitu, hanya Toro yang dia hubungi untuk membawakannya obat dan makanan.Sekarang ia tidak perlu melakukan itu, karena saat dia bangun Raihanah sudah berdiri di ambang pintu, bahkan sampai memberinya bubur dan obat. Saat rasa sakit di kepala semakin menghantam, Fathul memejamkan mata rapat-rapat. Telinganya berdenging dan rasanya ia ingin ambruk kembali ke tempat tidur. Namun, Raihanah pasti akan masuk lagi beberapa menit kemudian dan bersikeras ikut campur.Diliriknya nakas yang berada di samping kanannya. Jaraknya cukup jauh. Ia mesti memutari ranjang. Fathul mencoba menjejakkan kaki kembali ke lantai. Kepalanya tiba-tiba tersengat hingga membuatnya kembali duduk. Fathul memijit kening. Meski begitu, ia tetap mencoba bangkit dan bertumpu pada pinggiran ranjang hingga akhirnya bisa meraih mangkuk bubur itu.
Fathul berakhir dengan disuapi lagi. Baru kali ini ia diberikan perawatan penuh ketika sakit. Rasanya aneh, bahkan di rumah sakit saja perawatannya tidak seintens ini. Dengan telaten Raihanah mengusap bekas kuah sup yang membasahi sekitar bibirnya. Fathul ingin menolak, tapi dia akan terlihat seperti orang yang tidak tahu berterima kasih.“Habis. Bagus.” Wanita itu tersenyum lebar sambil memperlihatkan isi mangkuk yang sudah kosong.Fathul menerima segelas air yang diulurkan Raihanah. Lebih dari rasa sakit yang sejak tadi menerjang kepalanya dan rasa tidak enak di badan, Fathul merasakan hal yang mengganjal. Keberadaan Raihanah yang duduk di pinggir ranjangnya dan menyiapkan obat terasa asing, tapi tidak membahayakan. Tidak pula terasa canggung.Setelah meminum tiga pil, Fathul menarik napas. Menambatkan pandangannya pada Raihanah yang sedang membereskan bungkusan obat.“Kenapa melakukan ini?” Suaranya masih serak dan tenggorokan Fathul terasa sakit setiap kali dia mengeluarkan suar
Kantor InstaFood cukup minimalis jika dilihat dari luar. Namun, saat Raihanah masuk, ada banyak orang yang berlalu lalang di lobi, entah membawa dokumen, troli makanan, gadget, dan segelas kopi. Hari yang sangat sibuk. Namun, mereka masih sempat menoleh padanya, menatap Raihanah aneh seperti melihat orang asing yang tiba-tiba masuk ke wilayah mereka, membawa rantang pula. Seisi lobi bernuansa Pinjerest, tenang dan estetik. Dipenuhi warna putih dan warna-warna pastel. Ia mendorong pintu kaca yang di atasnya tertulis ‘pusat informasi’ mungkin sama dengan meja resepsionis. Namun, baru kali ini Raihanah menemukan meja resepsionis yang berada dalam ruangan yang dikelilingi dinding kaca sehingga mudah melihatnya dari luar. Di dalam ruangan transparan itu, ada beberapa sofa dan meja juga, seperti ruang tunggu. “Assalamu’alaikum, Mbak.”“Wa’alaikumsalam, ada yang bisa kami bantu, Bu?” Untuk sejenak petugas yang berseragam sangat rapi di balik meja menengok ke luar. “Sudah ada kartu akses
Raihanah baru saja melepas mukenanya ketika terdengar suara pintu yang terbuka. Tubuhnya dengan cepat merespons dan buru-buru keluar kamar. Seperti dugaannya, ia mendapati Fathul yang berjongkok sambil melepas sepatu. Pria itu mengangkat mata sekilas, meliriknya tajam lalu bangkit, menghampiri Raihanah sembari memberikan rantang dan bungkusan. Baru kali ini Raihanah merasa gugup ketika menerima bekas bekal. Sebab besar kemungkinan isi rantang dan bungkusan itu masih utuh. “Oh, ini ringan.”Ia cukup terkejut. Ditatapnya Fathul dengan mulut menganga. Satu pertanyaan muncul di benaknya. Semua makanan ini tidak dibuang, ‘kan? “Sisanya saya simpan dan makan di sore hari.”Raihanah tidak menemukan tanda kebohongan di wajah Fathul. “Ana pikir antum menolak untuk memakannya.”Kedua alis pria itu mengerut. “Kalau berpikir begitu, kenapa memasak untuk saya? Ah, kenapa sampai mengantarkan makanan ke kantor?”Di luar dugaan, Raihanah tersenyum. Bukan senyum canggung yang sedang mencari jawab
Raihanah mengangguk. Seumur hidupnya Fathul tidak pernah diberikan catatan belanjaan seperti ini, apalagi oleh seorang wanita yang tinggal di rumahnya. “Antum mesti tahu siklus perputaran uang yang antum kasih ke ana. Biaya 500 ribu seminggu itu ana pakai untuk bahan-bahan masakan, buah, dan barang-barang sepele di dapur.”“Kenapa tidak ada kopi dan pel?” Seingatnya, Fathul tidak pernah membeli pel. Layanan jasa cleaning service yang dia panggil selalu membawa alat pembersih sendiri. “Oh, itu ana beli dengan uang sendiri.”Desahan napas Fathul melantun agak keras. “Semua yang dibeli untuk rumah ini pakai uang di ATM saja bahkan untuk kebutuhan kamu, pakai saja.”Ada perasaan yang mengganjal ketika Fathul tahu Raihanah hanya memakai uang di ATM itu untuk bahan masakan. Ia pikir wanita itu akan memakainya untuk membeli apa saja yang dia inginkan. Dia bukan pria pelit yang membiarkan perempuan yang tinggal di rumahnya memakai uang sendiri. “Tapi saldonya banyak. Itu bukan tabungan pr
Raihanah memakai gamis hitam dan hijab yang serasi dengan gamisnya. Ketika ia mengangkat ujung gamisnya untuk menghindari air menggenang di lantai pasar, celana lebar yang dipasangkan dengan kaos kaki terlihat. Di lorong panjang itu, terdapat banyak ikan yang disusun di dalam akuarium atau dalam keranjang berisi air. Orang-orang bebas memilih, mau yang masih hidup atau yang sudah mati. Raihanah tampak antusias, seperti pelanggan tetap yang sudah lama tidak berkunjung. Ia beberapa kali menunduk sambil memperhatikan deretan ikan dan hewan-hewan laut itu, kali ini tanpa mengangkat ujung gamis, membiarkan kain itu terkena lantai yang becek dan basah. Fathul sampai gemas karena ujung gamisnya sudah basah. Untung saja berwarna hitam sehingga nodanya tidak terlihat. Ingin sekali dia mengangkat ujung baju wanita itu. “Ana mau masak tumis cumi sambal hitam, udang balado, dan ikan bandeng bakar. Antum suka?”Dari kemarin-kemarin, wanita ini selalu membicarakan soal makananan yang Fathul suk
“Tapi istri seperti Raihanah tidak pantas disumbangkan. Dia terlalu baik dan nyaris sempurna untuk diberikan pada adik tiri rendahan seperti saya.”Sampai di situ, Fathul memutar tubuhnya kembali dan cepat-cepat meninggalkan kamar sebelum sempat melihat ekspresi bersalah di wajah Ramlah. Dulu saat menatap anak itu, diam-diam Ramlah memberikan tatapan penghakiman agar anak itu sadar bahwa ibunya sudah merebut tiang rumah orang lain. Tapi sepertinya apa yang dia lakukan dulu begitu membekas di hati anak itu hingga sekarang. “Bang Misan, kebaikan yang kau berikan pada orang lain, menciptakan luka di hati banyak orang.”Hati Ramlah terenyuh. Matanya terasa pedih menahan genangan air yang siap tumpah. “Selama puluhan tahun, kupikir kau sengaja mendua karena aku tak cukup cantik dalam pandanganmu, tak cukup baik, dan tidak cukup sempurna menjadi istrimu. Ternyata kau hanya membantu wanita itu dan tak pernah menyentuhnya sekalipun. Maaf karena telah berburuk sangka selama puluhan tahun
Fathul mengetuk pintu kamar sebelah sembari memegang nampan berisi sup ayam, nasi, dan segelas air. “Masuk.” Ia perlahan mendorong pintu dan menemukan Ramlah yang sedang berjalan dengan hati-hati sambil berpegangan pada dinding. Sepertinya ia baru saja dari kamar mandi. Fathul berdiri mematung sampai Ramlah duduk di tepi ranjang. Mata mereka bertemu dan saling berpandangan. Fathul menemukan kepasrahan dalam mata wanita itu. “Tidak usah repot-repot.” Fathul meletakkan nampan di atas nakas lalu mengambil bungkusan obat di laci ketiga. Satu per satu butiran pil ia keluarkan dari kemasannya. Lima butir obat diberikannya pada Ramlah. “Hanah tidak bersalah," ucap Fathul tiba-tiba.Ramlah mematung dengan gelas di tangan kiri dan obat di tangan kanan. Dilihatnya tekad yang besar di mata anak itu. “Sayalah yang mengejarnya lebih dulu. Saya yang jatuh cinta dengannya pertama kali.” “Melihatmu repot-repot datang untuk menjelaskan itu, membuatku seperti mertua yang egois dan jahat.”“Mesk
“Aku cukup kaget karena Nak Fathul tiba-tiba menghubungi dan meminta bertemu. Bagaimana kabar istrimu?”Di mushola pesantren Al-Jannah—tempat yang sama saat dia melakukan akad pernikahan bersama Raihanah—Fathul menemui Ustadz Ridwan. Senyum pria yang sebaya dengan Misan Malik itu selalu saja terlihat bijak. Setiap kali melihatnya, Fathul sering kali teringat dengan Misan.“Saya minta maaf kalau sudah menyita waktu Ustadz.”“Nak Fathul adalah putra dari sahabatku, tidak mungkin aku menolak. Nah, kapan pun kamu meminta untuk bertemu, Insya Allah aku akan selalu menyediakan waktu.”“Terima kasih, Ustadz.” Fathul mendapatkan tepukan ringan yang terasa hangat di punggung. Ia memperbaiki posisi duduk, menunduk dalam-dalam dan memasang wajah yang serius. “Sebagai istri yang diamanatkan oleh Lukman agar saya menjaganya, bolehkah saya menaruh perasaan padanya, Ustadz?”Ustadz Lukman menatapnya lama lalu sekejap kemudian bernapas lega. “Tak ada yang salah dengan mencintai istri sendiri, Nak.
“Akhirnya aku menemukan rumahku.” Raihanah tertegun, dia uraikan pelukan mereka untuk mencari tahu maksud perkataan pria itu. Yang ia tangkap pertama kali adalah tatapan hangat nan intens yang Fathul lemparkan padanya. “Aku tidak tahu, tapi kamu seolah selalu bisa mengerti semua isi hatiku dengan baik. Apa rahasianya, hm?” Raihanah tak mampu mengantisipasi serangan perasaan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Harusnya ia tak melangkah sejauh ini. Mestinya dia tidak memberikan harapan sebesar itu pada Fathul. Jari pria itu mengusap pipinya. Entah kapan kening mereka tiba-tiba menyatu hingga ia bisa merasakan embusan napas Fathul di wajahnya. “Apakah aku diizinkan?” Raihanah memejamkan mata, merasakan pergolakan batin yang hebat dalam dirinya. Sekarang dia adalah istri Fathul, istri yang sah secara agama dan negara. Saat pria itu menyentuhnya, Raihanah merasa baik-baik saja. Ia merasa tak keberatan. Maka Raihanah mengangguk pelan. Membiarkan kala Fathul membuka mukenanya hingga h
Untuk pertama kalinya setelah memutuskan tinggal di apartemen ini, akhirnya Raihanah bisa berdiri sebagai makmum. Di depannya Fathul mengangkat tangan sebagai permulaan sholat mereka. Punggung pria itu tampak tegang. Suaranya bergetar ketika memulai bacaan Al-Fatihah. Dalam tundukan kepalanya, Raihanah sempat terpaku mendengar lantunan ayat yang indah, merdu dengan tajwid yang benar dan pelafalan yang jelas.Fathul sudah sangat lama tidak melakukannya. Rasanya seperti berada dalam kegelapan. Namun, tak menyesakkan sama sekali. Pikirannya tenang dan tak tercampur dengan apa pun. Aliran darahnya bagai air yang mengalir pelan. Ini adalah gelap yang menenangkan. Seusai doa diaminkan, pria itu berbalik. Memperlihatkan wajahnya yang sendu dengan sorot mata yang kebingungan. Napasnya terhela dengan berat. Ia menatap Raihanah seolah meminta pendapat soal caranya mengimami. Raihanah meraih tangan Fathul dan mengecupnya, menempelkannya di kening cukup lama dan mendoakan dalam hati semoga Fat
Raihanah bangun di sepertiga malam dan mendapati ada lengan yang melingkar di perutnya. Untuk waktu yang lama ia terdiam kaku. Mengingat dirinya sedang di posisi apa sebelum tidur. Seingatnya Fathul menautkan jari jemari mereka seperti kemarin malam lalu mengobrol sejenak kemudian tertidur. Jantung Raihanah hampir mencelos keluar. Ia bekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara apa pun. Perlahan dengan tangan gemetar, Raihanah mencoba melepaskan belitan Fathul. Mengangkat lengan yang berat itu dengan hati-hati. Fathul bergerak. Spontan Raihanah berhenti. Setelah memastikan Fathul tidak bergerak lagi, ia meletakkan tangan pria itu sambil berusaha tidak membuat suara apa pun.Ia mengambil wudhu lalu menggelar sajadah di samping ranjang. Menunaikan Tahajud dan mendoakan agar Fathul diberikan hidayah dan keberanian untuk menggapai iman. “Ya Malik, Ya Quddus, hamba memohonkan hidayah dan petunjuk untuk suami hamba.” Diliriknya Fathul yang tengah tertidur dengan lelap. “Dia bukan pria yang
“Katanya lo telat hari ini–yang mana nggak pernah lo lakuin selama kerja di kantor ini–dan lebih gilanya lo bilang tadi pagi lo nyiapin waktu buat dengerin omelan istri. What the–” Toro melongo hebat ketika melihat ekspresi dingin yang runtuh seperti gurun es yang disinari cahaya matahari itu. Rahang Toro hampir mencapai lantai. “Apa gerangan yang terjadi?” Dipasangnya ekspresi paling serius. Fathul malah cuek. “Apa ada masalah? Belum pernah diomeli istri, ya?” Toro memasang ekspresi jijik. Kenapa ada orang yang terlihat sebangga itu habis diomeli istri? “Ngomel mah tiap hari, tapi perasaan gue nggak pernah senyum-senyum begitu habis diomelin. Lo ada masalah kejiwaan apa gimana? Istrinya Lukman bikin lo pusing tiap hari, ya?”“Dia istriku, bukan lagi istri Lukman.”Toro mengernyit. Seingatnya beberapa bulan yang lalu, saat Toro juga menyebut Raihanah sebagai istri Lukman, Fathul tidak menampakkan respons apa pun. Kenapa pria itu malah mengeraskan wajah sekarang?“Oke, sakarepmu.”
Setelah mengantar Ummi kembali ke kamar, Raihanah menarik kaki ke kamar Fathul saat mendengar suara berisik dari dalam. Kamar pria itu sangat berantakan. Pakaian, kertas-kertas, dan buku bertebaran. Didapatinya Fathul sedang berdiri dengan kemeja yang kerahnya terangkat dan tidak terkancing sepenuhnya serta rambut yang belum tertata. Pria itu menyorotnya dengan bingung. “Butuh bantuan?”Fathul melirik lantai di sekitarnya dan merasa sedikit malu. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. “Saya cari dasi.” “Dasi warna apa?” Raihanah maju, menunduk di antara laci-laci lemari pria itu. “Abu-abu gelap. Mungkin ketinggalan di tempat laundry.”Fathul mendapatkan helaan napas Raihanah lima detik kemudian. “Makanya biar ana yang cuci. Apa sudah antum susun di tempatnya? Dasi harus disatukan dengan dasi juga. Jangan bercampur dengan yang lain.” Wanita itu mulai mencari-cari di tumpukan pakaian yang tidak terbentuk susunannya itu. Fathul terdiam kaku mendengar omelan itu. Raihanah sampai mendeca
Pukul 5.30 ketika Raihanah keluar dari kamar, ia berpapasan dengan Fathul yang kebetulan juga sedang membuka pintu kamarnya. Dengan jaket dan kaos serta celana olahraga pendek dan sepatu, pria itu pasti ingin berolahraga.Namun, anehnya Raihanah malah merasa canggung untuk sekadar menyapa. Ada apa dengan dirinya? Ia tiba-tiba mengingat soal semalam. Dalam sekejap pipinya memerah.“Pagi.” Fathul malah menyapa lebih dulu dengan senyuman.“Ya, pagi,” cicit Raihanah, terlihat seperti tikus yang hendak kabur dari kejaran kucing.“Mau jalan-jalan pagi?”Raihanah menoleh kaget. “Hm?”“Jalan-jalan pagi berdua dengan saya.”Ditatap dengan mata penuh harapan itu membuat Raihanah mengalihkan muka dengan salah tingkah. “Ana mesti masak untuk sarapan.”“Kita bisa beli di luar.”“Ummi sendirian di kamar–” Raihanah terdiam, menemukan ide yang sangat brilian. “Bagaimana kalau jalan-jalan bertiga? Ummi cukup lama tidak keluar.”Fathul tampak berpikir. Sinar harapan di matanya agak pudar. “Boleh.”“Kal