“Sudah merasa nyaman?”Fathul menghentikan suapannya dan mengalihkan perhatian pada Raihanah yang sedang menuangkan air ke gelas pria itu. “Ana masak diam-diam dan memberikan memo untuk antum selama lima hari ini, supaya antum bisa punya ruang lebih.”Lagi-lagi Fathul hanya mampu mengangguk tanpa tahu harus menjawab apa. Ia bahkan sempat berpikir untuk meminta maaf, sebab dirinya seperti orang yang tidak tahu berterima kasih.“Antum tidak perlu merasa berutang. Ana suka melakukan semua itu.”“Suka?” Tanpa sadar Fathul menaikkan sebelah alis. “Ana suka masak dan lebih suka lagi jika ada orang yang makan masakan ana.”Fathul menatap wanita itu lekat-lekat. Matanya berbinar antusias dan senyumnya amat cerah. “Antum boleh bilang mau makan apa, ana akan berusaha masakin.” Lagi-lagi Fathul terbius. Wanita itu memandangnya dengan senyum manis yang menyenangkan. Gigi-gigi putihnya yang rapi terlihat manis. Bolehkah dia begini? Bolehkah dia merasa nyaman akan kehadiran wanita asing ini?
Fathul membuka pintu lobi instaFood dan mendapati suasana berbeda dari biasanya. Interior lobi masih sama, serba putih, rapi, dan bersih. Hanya saja terasa lebih sejuk atau mungkin perasaannya yang menjadi lebih ringan. Pekerjaan super banyak dan jadwal yang padat tidak membuat mood-nya buruk. Apa karena sarapan yang lengkap dan jus yang dia minum pagi ini? Atau karena selama dua hari di akhir minggu ia punya jadwal berbeda dari biasanya? Selama dua hari, akhir minggunya dipenuhi dengan belanja dan mengisi stok kulkas, membersihkan rumah dan menemukan kegiatan-kegiatan yang menarik. Merawat rumah ternyata tidak seburuk itu. “Eh, baru datang?” Toro sudah menunggu di depan ruangannya yang terkunci. Pria yang sudah beristri itu bersedekap dan memicing heran. “Tumben telat.”“Masih ada waktu sepuluh menit.” Fathul melirik arloji di pergelangan kiri sambil membuka pintu ruangannya. “Biasanya lu datang 30 menit lebih awal, bahkan datang lebih pagi daripada satpam.” Toro mengekori Fathul
Untuk kedua kalinya, Raihanah menapaki lantai lobi InstaFood. Tujuannya langsung mengarah ke ruangan yang dikelilingi oleh kaca transparan. Petugas yang sama yang ia temui dulu langsung terkejut sesaat ketika Raihanah masuk. Seperti kata Fathul, mereka sudah tahu kalau Raihanah adalah istri pria itu. Jadi, Raihanah merasa dirinya tidak perlu berhati-hati untuk menghindari gosip. “Pak Fathul ada, Mbak Rachmi?” Raihanah tak pernah melupakan senyum cerahnya yang melunturkan kekesalan Rachmi saat itu juga.Amboi, suaranya merdu kali! Rachmi sampai menahan napas. Pantas saja Pak Fathul kepincut. “Sa-saya telepon dulu, Bu.”Raihanah tersenyum tipis, bergeser dan mempersilakan pengunjung lain yang berada di belakangnya maju. Rantang yang dibungkus kain putih ia jaga dalam pelukannya. “Pak Fathul akan turun sebentar lagi, Bu.” Rachmi jadi canggung. Dia memang menyukai Pak Fathul sejak dulu, berharap dilirik dan menjadi pendamping pria itu, tapi agaknya cukup sulit untuk membenci wanita ya
Raihanah mampir ke minimarket di samping gedung apartemen sehabis mengantarkan makan siang. Belanjaannya tidak banyak. Ia cuma membeli beberapa camilan dan biskuit cokelat. Mungkin bagus untuk pelengkap teh sambil mengobrol dengan Fathul. Ia akhirnya sampai di apartemen. Hendak menaruh sepatunya ke rak di samping pintu ketika ia menemukan high heels yang tergeletak di depan pintu. Sepertinya ia tidak pernah melihat sepatu ini sebelumnya. Saat meninggalkan apartemen, benda itu tidak ada. Cepat-cepat Raihanah masuk dan memeriksa setiap ruangan, lalu tahu-tahu menemukan seorang wanita yang sedang berdiri di depan kulkas. Wanita itu menoleh. Rambut hitam panjang bergelombang hasil salonnya dan riasan yang semakin menambah kecantikannya. Raihanah tak lantas menanyakan identitas wanita itu. Karena dia tidak seperti perampok yang hendak menjarah seisi apartemen ini. “Ah, kamu istrinya?” Raihanah bisa mencium kekesalan dari pertanyaan itu. “Anda siapa?” Raihanah bertanya dengan hati-hat
Raihanah membeku sekian lama bahkan ketika Meisya sudah meninggalkan apartemen bermenit-menit yang lalu. Sumbangan katanya? Dirinya adalah sumbangan bagi Fathul? Ia tidak pernah tahu soal itu. Lukman memberikan amanat, bukan sumbangan. Tak sekalipun Lukman pernah menganggapnya sama seperti barang yang tak lagi dia butuhkan ataupun inginkan. Dada Raihanah berdenyut nyeri. Jujur, ia merasa kecewa pada Fathul yang bahkan menceritakan soal dirinya kepada mantan pacarnya. Terlebih mengatakan jika Raihanah tak lebih dari sumbangan. Denyut perih itu ikut menghadirkan amarah yang perlahan menguasai hati Raihanah. Ia menggigit bibir, masih mencoba menelaah alasan dari anggapan buruk Fathul tersebut. Jadi, selama ini Fathul mengaggapnya seperti itu. Makanya dia disuruh diam saja dan tidak melewati batasan apa pun. Desah napas Raihanah mengencang. *** Pukul tujuh malam Fathul sampai di apartemen. Suasana di dalam cukup sepi. Setelah membuka sepatu, ia tak langsung ke kamar seperti biasa.
Raihanah tidak datang mengantarkan makan siang. Fathul duduk termenung di kursi kerjanya sambil meratapi layar ponsel. Menunggu kabar atau apa pun itu. Lalu ia menyadari sesuatu. Kontak Raihanah tidak pernah ada dalam ponselnya. Fathul memejamkan mata menyadari kekonyolannya. Baru pukul tiga sore dan ia sudah memikirkan untuk kembali ke apartemen. “Sumbangan ….” Fathul menghela napas. Wanita itu mungkin marah setelah mendengarkan perkataan Meisya dan tak lagi mau memasak atau memperhatikannya. Ini bisa jadi kesempatan untuk menjauh dari Raihanah, tapi Fathul malah merasa janggal. Deru napasnya semakin cepat dan pikirannya terus tertumbuk di apartemen hingga laptop yang menyala dan dokumen-dokumen penting di atas meja tidak lagi menarik. Dalam sekali hentakan, Fathul mendorong kursi dan dengan cepat membereskan tasnya sebelum dia semakin ragu. Semua anggota timnya menengok heran pada sang manajer yang hobi lembur itu. “Saya pulang dulu, ada urusan di rumah. Untuk list kerjaan yan
Pria itu menatapnya intens dengan kaki panjang yang menjulur ke lantai. Lalu menarik napas panjang sebelum menghampiri Raihanah. “Kita ke laundry dulu.” “Iya.” Raihanah membiarkan Fathul masuk ke kamar pria itu, memberikan dirinya waktu untuk bernapas dengan benar. Lima menit kemudian Fathul keluar dengan menenteng satu kantongan hitam berisi pakaian. Berjalan lebih dulu, tapi langkahnya lebih lambat dari biasanya. Fathul menaruh kantongan hitam itu di kursi belakang, yang bisa Raihanah lirik lewat kaca spion tengah. Saat mobil melaju pelan membelah Jakarta yang langitnya mulai menguning, Raihanah tak sengaja melirik cincin yang tersemat di jari Fathul. Tak sekali pun benda itu meninggalkan jari Fathul. Mungkin karena tak punya waktu melepasnya atau Fathul memang tak memperhatikan keberadaan cincin itu atau justru ada alasan yang lain. “Kenapa?” Sepertinya pria itu tahu arah pandangan Raihanah.“Antum tidak melepas cincinnya.”Fathul mengangkat tangan kanannya. “Buat apa?”‘Kare
Raihanah ingat perempuan itu mengaku sebagai mantan pacar Fathul. Mereka mengobrol tanpa canggung. Sepertinya mereka memutuskan hubungan secara baik-baik. Meisya memperlihatkan layar ponselnya kepada Fathul dan pria itu secara otomatis mendekatkan kepala. Raihanah tidak lantas mundur dan menunggu percakapan mereka berakhir. “Kak Fathul?” Fathul mengangkat wajah dan terkejut menatapnya. Matanya sempat melirik Meisya sekilas. “Iya?”“Televisinya mau dibawa sendiri atau diantarkan oleh pemiliknya?”Meisya yang berdiri di samping pria itu tidak menyembunyikan raut tidak sukanya. Dari matanya seolah bertanya dengan sinis mengapa Raihanah bisa ada di sini juga. Jika Fathul juga menyukai Meisya, maka Raihanah tidak akan mengganggu. Setidaknya dia akan pergi setelah amanat Lukman sudah dia laksakaan dan membiarkan Fathul bersamanya. Namun, untuk saat ini Raihanah tidak ingin mengalah dulu. “Ukurannya berapa?” “21 inch.”“Kenapa kecil?” “Oh, antum butuh yang lebih besar?”Fathul menjauh
“Tapi istri seperti Raihanah tidak pantas disumbangkan. Dia terlalu baik dan nyaris sempurna untuk diberikan pada adik tiri rendahan seperti saya.”Sampai di situ, Fathul memutar tubuhnya kembali dan cepat-cepat meninggalkan kamar sebelum sempat melihat ekspresi bersalah di wajah Ramlah. Dulu saat menatap anak itu, diam-diam Ramlah memberikan tatapan penghakiman agar anak itu sadar bahwa ibunya sudah merebut tiang rumah orang lain. Tapi sepertinya apa yang dia lakukan dulu begitu membekas di hati anak itu hingga sekarang. “Bang Misan, kebaikan yang kau berikan pada orang lain, menciptakan luka di hati banyak orang.”Hati Ramlah terenyuh. Matanya terasa pedih menahan genangan air yang siap tumpah. “Selama puluhan tahun, kupikir kau sengaja mendua karena aku tak cukup cantik dalam pandanganmu, tak cukup baik, dan tidak cukup sempurna menjadi istrimu. Ternyata kau hanya membantu wanita itu dan tak pernah menyentuhnya sekalipun. Maaf karena telah berburuk sangka selama puluhan tahun
Fathul mengetuk pintu kamar sebelah sembari memegang nampan berisi sup ayam, nasi, dan segelas air. “Masuk.” Ia perlahan mendorong pintu dan menemukan Ramlah yang sedang berjalan dengan hati-hati sambil berpegangan pada dinding. Sepertinya ia baru saja dari kamar mandi. Fathul berdiri mematung sampai Ramlah duduk di tepi ranjang. Mata mereka bertemu dan saling berpandangan. Fathul menemukan kepasrahan dalam mata wanita itu. “Tidak usah repot-repot.” Fathul meletakkan nampan di atas nakas lalu mengambil bungkusan obat di laci ketiga. Satu per satu butiran pil ia keluarkan dari kemasannya. Lima butir obat diberikannya pada Ramlah. “Hanah tidak bersalah," ucap Fathul tiba-tiba.Ramlah mematung dengan gelas di tangan kiri dan obat di tangan kanan. Dilihatnya tekad yang besar di mata anak itu. “Sayalah yang mengejarnya lebih dulu. Saya yang jatuh cinta dengannya pertama kali.” “Melihatmu repot-repot datang untuk menjelaskan itu, membuatku seperti mertua yang egois dan jahat.”“Mesk
“Aku cukup kaget karena Nak Fathul tiba-tiba menghubungi dan meminta bertemu. Bagaimana kabar istrimu?”Di mushola pesantren Al-Jannah—tempat yang sama saat dia melakukan akad pernikahan bersama Raihanah—Fathul menemui Ustadz Ridwan. Senyum pria yang sebaya dengan Misan Malik itu selalu saja terlihat bijak. Setiap kali melihatnya, Fathul sering kali teringat dengan Misan.“Saya minta maaf kalau sudah menyita waktu Ustadz.”“Nak Fathul adalah putra dari sahabatku, tidak mungkin aku menolak. Nah, kapan pun kamu meminta untuk bertemu, Insya Allah aku akan selalu menyediakan waktu.”“Terima kasih, Ustadz.” Fathul mendapatkan tepukan ringan yang terasa hangat di punggung. Ia memperbaiki posisi duduk, menunduk dalam-dalam dan memasang wajah yang serius. “Sebagai istri yang diamanatkan oleh Lukman agar saya menjaganya, bolehkah saya menaruh perasaan padanya, Ustadz?”Ustadz Lukman menatapnya lama lalu sekejap kemudian bernapas lega. “Tak ada yang salah dengan mencintai istri sendiri, Nak.
“Akhirnya aku menemukan rumahku.” Raihanah tertegun, dia uraikan pelukan mereka untuk mencari tahu maksud perkataan pria itu. Yang ia tangkap pertama kali adalah tatapan hangat nan intens yang Fathul lemparkan padanya. “Aku tidak tahu, tapi kamu seolah selalu bisa mengerti semua isi hatiku dengan baik. Apa rahasianya, hm?” Raihanah tak mampu mengantisipasi serangan perasaan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Harusnya ia tak melangkah sejauh ini. Mestinya dia tidak memberikan harapan sebesar itu pada Fathul. Jari pria itu mengusap pipinya. Entah kapan kening mereka tiba-tiba menyatu hingga ia bisa merasakan embusan napas Fathul di wajahnya. “Apakah aku diizinkan?” Raihanah memejamkan mata, merasakan pergolakan batin yang hebat dalam dirinya. Sekarang dia adalah istri Fathul, istri yang sah secara agama dan negara. Saat pria itu menyentuhnya, Raihanah merasa baik-baik saja. Ia merasa tak keberatan. Maka Raihanah mengangguk pelan. Membiarkan kala Fathul membuka mukenanya hingga h
Untuk pertama kalinya setelah memutuskan tinggal di apartemen ini, akhirnya Raihanah bisa berdiri sebagai makmum. Di depannya Fathul mengangkat tangan sebagai permulaan sholat mereka. Punggung pria itu tampak tegang. Suaranya bergetar ketika memulai bacaan Al-Fatihah. Dalam tundukan kepalanya, Raihanah sempat terpaku mendengar lantunan ayat yang indah, merdu dengan tajwid yang benar dan pelafalan yang jelas.Fathul sudah sangat lama tidak melakukannya. Rasanya seperti berada dalam kegelapan. Namun, tak menyesakkan sama sekali. Pikirannya tenang dan tak tercampur dengan apa pun. Aliran darahnya bagai air yang mengalir pelan. Ini adalah gelap yang menenangkan. Seusai doa diaminkan, pria itu berbalik. Memperlihatkan wajahnya yang sendu dengan sorot mata yang kebingungan. Napasnya terhela dengan berat. Ia menatap Raihanah seolah meminta pendapat soal caranya mengimami. Raihanah meraih tangan Fathul dan mengecupnya, menempelkannya di kening cukup lama dan mendoakan dalam hati semoga Fat
Raihanah bangun di sepertiga malam dan mendapati ada lengan yang melingkar di perutnya. Untuk waktu yang lama ia terdiam kaku. Mengingat dirinya sedang di posisi apa sebelum tidur. Seingatnya Fathul menautkan jari jemari mereka seperti kemarin malam lalu mengobrol sejenak kemudian tertidur. Jantung Raihanah hampir mencelos keluar. Ia bekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara apa pun. Perlahan dengan tangan gemetar, Raihanah mencoba melepaskan belitan Fathul. Mengangkat lengan yang berat itu dengan hati-hati. Fathul bergerak. Spontan Raihanah berhenti. Setelah memastikan Fathul tidak bergerak lagi, ia meletakkan tangan pria itu sambil berusaha tidak membuat suara apa pun.Ia mengambil wudhu lalu menggelar sajadah di samping ranjang. Menunaikan Tahajud dan mendoakan agar Fathul diberikan hidayah dan keberanian untuk menggapai iman. “Ya Malik, Ya Quddus, hamba memohonkan hidayah dan petunjuk untuk suami hamba.” Diliriknya Fathul yang tengah tertidur dengan lelap. “Dia bukan pria yang
“Katanya lo telat hari ini–yang mana nggak pernah lo lakuin selama kerja di kantor ini–dan lebih gilanya lo bilang tadi pagi lo nyiapin waktu buat dengerin omelan istri. What the–” Toro melongo hebat ketika melihat ekspresi dingin yang runtuh seperti gurun es yang disinari cahaya matahari itu. Rahang Toro hampir mencapai lantai. “Apa gerangan yang terjadi?” Dipasangnya ekspresi paling serius. Fathul malah cuek. “Apa ada masalah? Belum pernah diomeli istri, ya?” Toro memasang ekspresi jijik. Kenapa ada orang yang terlihat sebangga itu habis diomeli istri? “Ngomel mah tiap hari, tapi perasaan gue nggak pernah senyum-senyum begitu habis diomelin. Lo ada masalah kejiwaan apa gimana? Istrinya Lukman bikin lo pusing tiap hari, ya?”“Dia istriku, bukan lagi istri Lukman.”Toro mengernyit. Seingatnya beberapa bulan yang lalu, saat Toro juga menyebut Raihanah sebagai istri Lukman, Fathul tidak menampakkan respons apa pun. Kenapa pria itu malah mengeraskan wajah sekarang?“Oke, sakarepmu.”
Setelah mengantar Ummi kembali ke kamar, Raihanah menarik kaki ke kamar Fathul saat mendengar suara berisik dari dalam. Kamar pria itu sangat berantakan. Pakaian, kertas-kertas, dan buku bertebaran. Didapatinya Fathul sedang berdiri dengan kemeja yang kerahnya terangkat dan tidak terkancing sepenuhnya serta rambut yang belum tertata. Pria itu menyorotnya dengan bingung. “Butuh bantuan?”Fathul melirik lantai di sekitarnya dan merasa sedikit malu. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. “Saya cari dasi.” “Dasi warna apa?” Raihanah maju, menunduk di antara laci-laci lemari pria itu. “Abu-abu gelap. Mungkin ketinggalan di tempat laundry.”Fathul mendapatkan helaan napas Raihanah lima detik kemudian. “Makanya biar ana yang cuci. Apa sudah antum susun di tempatnya? Dasi harus disatukan dengan dasi juga. Jangan bercampur dengan yang lain.” Wanita itu mulai mencari-cari di tumpukan pakaian yang tidak terbentuk susunannya itu. Fathul terdiam kaku mendengar omelan itu. Raihanah sampai mendeca
Pukul 5.30 ketika Raihanah keluar dari kamar, ia berpapasan dengan Fathul yang kebetulan juga sedang membuka pintu kamarnya. Dengan jaket dan kaos serta celana olahraga pendek dan sepatu, pria itu pasti ingin berolahraga.Namun, anehnya Raihanah malah merasa canggung untuk sekadar menyapa. Ada apa dengan dirinya? Ia tiba-tiba mengingat soal semalam. Dalam sekejap pipinya memerah.“Pagi.” Fathul malah menyapa lebih dulu dengan senyuman.“Ya, pagi,” cicit Raihanah, terlihat seperti tikus yang hendak kabur dari kejaran kucing.“Mau jalan-jalan pagi?”Raihanah menoleh kaget. “Hm?”“Jalan-jalan pagi berdua dengan saya.”Ditatap dengan mata penuh harapan itu membuat Raihanah mengalihkan muka dengan salah tingkah. “Ana mesti masak untuk sarapan.”“Kita bisa beli di luar.”“Ummi sendirian di kamar–” Raihanah terdiam, menemukan ide yang sangat brilian. “Bagaimana kalau jalan-jalan bertiga? Ummi cukup lama tidak keluar.”Fathul tampak berpikir. Sinar harapan di matanya agak pudar. “Boleh.”“Kal