Setelah bertahun-tahun berlalu, ini adalah kali pertama Lukman kembali menghubunginya. Fathul tidak punya ekspektasi akan dipanggil oleh keluarga Malik, tapi lebih tidak terduga lagi lokasinya bukan di rumah Malik, melainkan di rumah sakit.
Fathul tidak merepotkan diri untuk menerka siapa gerangan yang sakit. Setelah memarkirkan mobilnya, ia lantas turun dan melewati koridor dengan langkah yang santai, tidak terburu-buru meski suara Lukman di dalam telepon tadi terdengar lemah dan putus-putus.
Lelaki dengan tinggi 182 cm itu memasuki ruangan VIP dan membuka pintu kamar nomor 6 yang terletak di ujung lorong. Tiga orang yang berada dalam ruangan langsung menoleh dengan tatapan yang berbeda.
Ia melihat Lukman, sang kakak tiri yang berbaring pucat di ranjang rumah sakit, Ramlah–ibu tirinya, dan satu lagi perempuan berwajah pucat yang duduk di samping ranjang.
Fathul masuk tanpa sedikit pun simpati di wajahnya. Apa yang harus dia katakan setelah ini? Haruskah dia menanyakan kenapa Lukman bisa terbaring lemah di sana?
“Ada apa?” Ia malah melontarkan pertanyaan dengan nada yang dingin.
Lukman mengangguk sedangkan Ramlah membuang muka. Bahu perempuan paruh baya itu sedikit bergetar dan ia tampak lebih kurus sejak 13 tahun yang lalu.
Tentu saja, pasti banyak yang berubah selama 13 tahun.
“Kemarilah, Fathul.” Nada suara Lukman terdengar lebih lemas ketimbang di telepon.
Wajah pria berusia 32 tahun itu sangat pucat dan tirus. Matanya yang dulu berpijar percaya diri kini menjadi kuyu, menatap Fathul dengan harapan yang besar. Kegagahan yang dulu melingkupinya seolah hilang, yang tersisa hanya badan panjang yang dibalut kulit dan tulang.
Fathul mendekat ke sisi ranjang yang lain, sengaja menjaga jarak. Memandang tubuh kurus Fathul dan menghindari tatapan mata sang kakak.
“Sudah lama sekali, Fathul. Kau tidak pernah datang ke rumah lagi.”
Fathul tidak berniat membalas sapaan basa-basi itu.
“Kau semakin tinggi dan gagah.” Nampak senyum tipis dari bibir kering dan pucat itu.
Fathul menanggapinya dengan anggukan, sengaja memperlihatkan sorot mata tidak sabar. Sejujurnya, dia tidak ingin berlama-lama di sini.
“Aku memanggilmu untuk berjumpa di kali yang terakhir.” Lukman menelan ludah, menatap langit-langit dan seolah ragu mengatakan sesuatu.
Meski samar, Fathul sempat mengerutkan kening. Apa yang terjadi pada lelaki ini?
“Tubuhku tidak bisa bertahan lagi dan menampung jiwa yang berdosa ini.” Lukman menatapnya dalam, seolah banyak sekali kata yang tak mampu pria itu ucapkan.
Saat Fathul memberinya pandangan bertanya-tanya, Lukman pun memasang senyum dengan mata yang memancarkan kesedihan.
“Aku menderita kanker darah kalau itu yang hendak kau tanyakan.” Kepala lelaki itu menoleh pada sisi ranjang yang lain. “Raihanah, Sayang, sapalah dia, adik Abang. Namanya Fathul.”
Wanita yang sejak tadi menunduk itu memberikan anggukan tanpa mengangkat wajahnya. Fathul tidak repot-repot membalasnya.
“Dia istriku, bidadari yang selama ini menemaniku.”
Fathul hanya mengedipkan mata untuk merespons perkataan Lukman. Namun, sekejap kemudian, tangan Lukman bergerak lemah menyentuh lengan Fathul. Membuat Fathul hampir saja menaikkan sebelah alis, sebab selama hidupnya, tidak sekalipun Lukman sudi untuk menyentuhnya.
“Ini permintaan terakhirku, Fathul. Bawalah dia dan berikan rumah yang nyaman untuknya.”
Wanita bernama Raihanah itu tersengat dan langsung mengangkat wajah menatap Lukman dengan mata membelalak. Ramlah yang sejak tadi terdiam ikut mendekati ranjang, rautnya panik.
Sedang Fathul membeku. Jika dia dipanggil lagi seperti sebelumnya, maka pasti ada sesuatu yang hendak diberikan Lukman padanya, lebih tepatnya ada hal yang akan disumbangkan untuknya seperti perusahaan yang hampir bangkrut atau beasiswa pendidikan yang sudah kadaluwarsa.
Namun, ini di luar ekspektasinya. Bukannya Fathul senang disumbangkan barang bekas ataupun perusahaan yang hampir bangkrut, tapi ia tidak pernah berpikir Lukman akan menyumbangkan seorang istri kepadanya.
“A-apa maksud Abang?”
Bibir yang sejak tadi tertutup rapat itu akhirnya terbuka dan mengeluarkan suara yang lembut, sedikit renyah, dan berkesan di telinga Fathul.
Lukman menoleh, memberikan senyum untuk menenangkan wanita itu. “Maafkan Abang ya, Hanah Sayang. Sampai di sini kesanggupan Abang menjagamu. Badan Abang tidak sanggup lagi bertahan.”
“Apa yang Abang bicarakan?”
Fathul melihat setetes air mata yang jatuh ke pipi pucat wanita bernama Raihanah itu.
“Jangan bicara yang tidak-tidak, Lukman. Ayo kita pindah ke ruang ICU. Biar Ummi yang kasih tahu suster.”
“Ummi, aku malah pengen pulang ke rumah, tapi waktuku nggak banyak. Doakan perjalananku, ya.”
“Subhanallah, perjalanan apa?! Demi Allah, jangan katakan itu!” Kedua mata Ramlah berlarian panik dan memerah.
Barangkali hanya Fathul yang tidak dihinggapi kepanikan dan ketakutan. Hatinya terasa kosong, meski ia tahu Lukman tengah memberinya isyarat penting sebelum lelaki itu benar-benar pergi.
Lukman menggenggam tangan Raihanah dengan sekuat tenaga. “Kalian berdua adalah tiang-tiang yang membuatku berdiri tegak selama ini. Terima kasih banyak.”
Raihanah menggigit bibir sampai sudutnya berdarah. Wanita itu terlihat sangat tersiksa, sama seperti ekspresi Ramlah saat Misan Malik, suaminya sekaligus pemimpin keluarga Malik meninggal dunia.
Fathul tidak punya kesedihan dalam hatinya. Ia hanya menyayangkan, sebab keturunan satu-satunya Misan Malik sebentar lagi akan pergi dan meninggalkan nama Malik yang luhur serta mulia.
Andai penyakit dan kematian bisa disumbangkan, maka pasti Lukman akan menyumbangkan kedua hal itu padanya.
Namun, Fathul tidak mengharapkan sumbangan dalam bentuk seorang istri.
“Bismillah, atas nama Allah yang agung, Abang memberikan talak kepada Raihanah. Maafkan Abang.”
Raihanah menangis tersedu-sedu sampai napasnya terputus-putus. Mereka pasti saling mencintai. Wanita itu tentulah sangat dimuliakan di rumah Malik.
“Kita berpisah bukan karena kematian Abang, tapi karena Abang melimpahkan tanggung jawab untuk menjaga Raihanah pada adik Abang.”
Fathul mengernyit. Ia belum memberikan persetujuan. Bagaimana jika Lukman bisa sembuh setelah ini? Apakah istri yang sudah dia sumbangkan akan diambil kembali? Seperti perusahaan sumbangan yang berhasil ia kembangkan dan majukan tiba-tiba diambil lagi oleh pria itu.
Fathul membenci permainan kekanakan semacam itu. Wanita ini bisa menjaga dirinya sendiri dan hidup bersama orang tuanya atau dengan Ramlah saja. Kenapa harus dijaga segala?
“Apa yang kamu lakukan, Lukman?! Kematian adalah rahasia Allah. Insya Allah, kamu bisa sembuh stelah ini!”
“Ummi, Lukman tahu diri, bahwa Allah sudah memanggil Lukman. Karena itu, saya tidak bisa meninggalkan kalian sendirian tanpa amanat yang jelas.”
Mata Lukman mulai meredup. Ia tampak sedang menahan rasa sakit. Meski begitu bibirnya tetap bergetar seperti tengah mengucapkan sesuatu secara berulang-ulang. Fathul mengenali gerak bibir yang tengah berzikir itu.
“Fathul, maukah kau menerima sesuatu dariku untuk yang terakhir kalinya?”
Fathul belum sempat memberikan respons ketika dengan tangan yang bergetar, Lukman membuka cincin di jari manisnya lalu mengulurkannya pada Fathul.
“Nikahilah istriku. Bawa dia pulang ke rumahmu.”
“Datanglah ke rumah, Fathul. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Lima tahun setelah Misan Malik meninggal, Lukman memanggilnya ke rumah Malik, rumah yang ia tinggalkan sejak tiga hari setelah Misan Malik dimakamkan. “Ah, tidak. Kita ketemu di kafe saja. Aku akan berikan alamatnya." Setelahnya Fathul sampai di kafe yang disebutkan pria itu. Tempat itu cukup sederhana dari luar, tapi ternyata dari dalam lumayan mewah. Lukman duduk di salah satu sofa yang menghadap jendela. Fathul duduk tanpa berbasa-basi, hanya Lukman yang mengucapkan salam tanpa mau dia jawab. Dia tahu mengapa Lukman batal mengundangnya ke rumah, sebab Ramlah, ibu pria itu sekaligus ibu tiri Fathul akan terpengaruh dengan kehadirannya. “Mau pesan sesuatu?” tanya Lukman, tampak bersih dengan topi dan jaket putih, serta celana jeans yang sepertinya masih baru. Sedang Fathul berpakaian ala kadarnya. Kaos kebesaran yang ujungnya belel dan celana jeans robek yang kotor. Ia sedang bekerja dan tiba-tiba dipanggil.
Fathul menghadiri acara pemakaman, bahkan membantu banyak hal. Namun, setiap gerakannya tidak disertai perasaan sedih ataupun rasa kehilangan. Biasa saja, seperti menghadiri pemakaman orang asing. Rumah Malik yang selama tiga belas tahun tidak pernah dia datangi lagi itu sedang ramai-ramainya. Orang-orang datang dan silih berganti mendoakan serta mengucapkan turut berduka. Banyak mobil yang memenuhi halaman depan rumah serta yang berjejeran di pinggir jalan. Orang-orang berpakaian putih. Fathul hanya menemukan dua sampai tiga orang yang berpakaian serba hitam, termasuk dirinya. “Mari, Nak Fathul. Kita mandikan jenazahnya.” Fathul mengangguk dan mengikuti langkah Ustadz Ridwan. Melewati ruang tengah, dilihatnya Ramlah yang sedang dipeluk oleh beberapa perempuan. Di ujung ruangan, ia menemukan Raihanah yang duduk bersila sambil terus membaca surah Yasin dengan Al-Qur’an kecil di pangkuannya, kendati wajah wanita itu pucat dan hidungnya memerah karena tangis. Banyak orang yang m
Fathul tertegun. Kapan wanita itu menyetujuinya? Bukankah sejak tadi dia diam saja? Diliriknya Raihanah yang duduk di ujung sofa. Bibirnya tidak bergerak sedikit pun. Fathul mengernyit ragu. Harusnya perempuan itu protes dan menyangkal habis-habisan. Beberapa pasang mata yang terfokus padanya menanti jawaban Fathul. Dengan tarikan napas yang cukup kencang, dengan tegas Fathul membuka bibirnya. “Saya tidak bisa.” Siapa yang mau menyetujui ide gila dari orang sekarat yang hendak mati? Ustadz Ridwan mengangguk paham. “Memang seharusnya begitu. Aku pun berpikir keputusan Lukman tidaklah dipikirkan secara matang. Namun, perbincangan kami beberapa hari yang lalu, membuatku cukup mengerti alasan Lukman ingin kau menikahi Raihanah setelah masa iddahnya selesai.” Memangnya apa alasannya? Fathul hanya berpikir, untuk yang terakhir kalinya, Lukman ingin memberinya sumbangan, berupa perusahaan yang akan bangkrut, barang bekas yang tak lagi dia inginkan atau warisan yang tidak bernilai. N
Setelah semua proses pemakaman selesai, Raihanah masih terdiam di ruang tengah. Di ujung sofa, ia merenung cukup lama. Rasa sesak di dada sangat menyiksa sampai membuatnya menghela napas berulang kali. Abaya putih masih melekat di tubuhnya. Wajah sembab dan hidung memerah serta berair. Meski sudah mempersiapkan diri, tapi rasanya ternyata masih sesakit itu. Ia menikah dengan Lukman tiga tahun yang lalu. Dua tahun mereka habiskan dengan penuh kebahagiaan dan satu tahunnya lagi habis dengan penyakit yang menimpa pria itu. Begitu sulit untuk ikhlas kendati akal sehatnya terus menyuruh. Ia mengingat setiap pesan Lukman yang dibungkus dalam percakapan mereka sehari-hari. Seperti lima bulan yang lalu. Saat Raihanah menyiapkan obat untuk Lukman sementara pria itu memaksakan diri untuk bersandar di sofa meski napasnya terengah-engah. “Hanah, kalau Abang dipanggil Allah, Hanah mau menikah lagi tidak?” Raihanah mengerutkan kening cukup dalam sambil menghentikan gerakannya membuka bungk
Tiga hari berlalu sejak pemakaman Lukman. Raihanah layaknya robot yang menampilkan senyum tipis saat menyambut kedatangan Ustadz Ridwan. Di depan pintu yang sangat lebar itu, Fathul muncul di belakangnya dengan raut datar tanpa senyum sedikit pun. Baru kali ini Raihanah bisa melihat jelas seperti apa rupa adik suaminya itu. Jika Lukman berambut ikal dengan kulit cerah dan bersih, maka Fathul memiliki kulit kecokelatan dengan wajah seperti perpaduan Turki dan Indonesia. Dia tidak setinggi Lukman, hanya saja caranya berjalan sangatlah tegap, pun saat ia duduk. Tubuhnya lebih berotot dan sorot matanya dingin seperti tidak peduli pada sekitar. Tatap mata, ragam ekspresi, serta cara bicaranya sangat berbeda dengan Lukman yang hangat dan lembut. Raihanah meletakkan satu cangkit teh di hadapan Ustadz Ridwan lalu menggeser cangkir lainnya untuk Fathul. Lelaki itu tidak menngucapkan apa-apa seperti Ustadz Ridwan yang mengucapkan terima kasih. “Untuk memulai, alangkah baiknya kita berdo
Fathul menahan napas. Sejak dulu, ibunya dicap sebagai perebut suami orang, dirinya pun diperlakukan sebagai anak yang harus tahu diri. Karena itu, ia wajib melunasi semua utangnya sekali lagi dengan cara menikahi wanita itu.Raihanah melihat Fathul mengangguk pelan sambil mengucapkan kata ‘ya’ yang terdengar samar. Raihanah tertegun. Ia pikir pria itu akan menolak, sebab sampai saat ini, raut wajahnya amat tertekan. Ia tampak tidak suka berada di tempat ini.“Alhamdulillah. Kalau begitu, Nak Fathul bisa menunggu selama 130 hari. Jika kau ingin berkunjung dan berkenalan dengan Hanah, aku akan mendampingi.”Fathul terdiam seperti biasanya. Tidak pernah terpikir akan kembali datang untuk mengunjungi wanita bernama Raihanah itu. Memangnya untuk apa?Suasana rumah Malik pun terasa pengap dan tidak nyaman.“Sebenarnya juga tidak masalah kau sering berkunjung. Kau adalah bagian keluarga Malik. Menjenguk ibumu yang sedang berduka juga sangat bagus. Bukan begitu, Dik Ramlah?”Fathul melihat R
Mata bulat itu mengerjap. Bulu matanya yang panjang bergerak-gerak. Fathul harap ini adalah pembicaraan pertama dan terakhir mereka. Ia tidak ingin berurusan lebih jauh dengan anggota keluarga Malik. “Rumah saya tidak sebesar rumah Malik untuk menjaga dan melindungimu.”Ia tidak ingin wanita ini berharap apa-apa, sebab dia memang tidak punya apa-apa. Alih-alih mengangguk paham atau bersendu ria, Raihanah malah memicing berani. “Ana tidak perlu dilindungi dan dijaga. Ana pun tidak berharap lebih kepada orang lain. Yang ingin ana perjelas bukan kesediaan antum melindungi ana. Jika pernikahan ini membebani dan mengganggu untuk antum, maka jangan lakukan.”Fathul tertegun. Ia berdiri tegak dan menjauhkan wajah. Wanita ini menerobos masuk ke mobilnya bukan untuk menuntut pertanggung jawaban untuk menjadi suami yang baik?Raihanah menunduk, terlihat seperti merasa bersalah. “Permintaan Bang Lukman sangat tiba-tiba dan terburu-buru. Dia tidak berpikir dengan jernih. Jangan diterima kalau i
Setelah kedatangan Ustadz Ridwan, Ummi juga ikut keluar dari kamarnya. Ustadz Ridwan membawa beberapa santrinya sebagai saksi, sembari meminta maaf karena ia datang lewat tiga puluh menit dari janjinya. Fathul mesti menunggu satu setengah jam. “Alhamdulillah, kita kembali bersua di tempat ini. Sudah lewat 123 hari sejak Nak Lukman meninggalkan kita. Hari ini kita berkumpul untuk mendengar kembali keputusan Nak Fathul.”Fathul duduk dengan kaki terbuka lebar. Kedua tangannya ia satukan di atas paha. Tatapannya lurus ke depan, tajam dengan ekspresi yang dingin. Kemeja dan celana hitamnya semakin menambah aura gelap pria itu. Orang-orang menunggu jawabannya. Ramlah terlihat was-was dan Raihanah menahan napas. Kedua wanita itu pasti mengharapkan kata ‘tidak’ dari mulutnya.“Saya tetap menerima.”Suasana menjadi sangat hening. Hanya Ustadz Ridwan dan ketiga santrinya yang terlihat tenang. “Dengan beberapa syarat kecil.”Maka semakin terbitlah kerutan di antara kedua alis Ramlah. “Meni
“Tapi istri seperti Raihanah tidak pantas disumbangkan. Dia terlalu baik dan nyaris sempurna untuk diberikan pada adik tiri rendahan seperti saya.”Sampai di situ, Fathul memutar tubuhnya kembali dan cepat-cepat meninggalkan kamar sebelum sempat melihat ekspresi bersalah di wajah Ramlah. Dulu saat menatap anak itu, diam-diam Ramlah memberikan tatapan penghakiman agar anak itu sadar bahwa ibunya sudah merebut tiang rumah orang lain. Tapi sepertinya apa yang dia lakukan dulu begitu membekas di hati anak itu hingga sekarang. “Bang Misan, kebaikan yang kau berikan pada orang lain, menciptakan luka di hati banyak orang.”Hati Ramlah terenyuh. Matanya terasa pedih menahan genangan air yang siap tumpah. “Selama puluhan tahun, kupikir kau sengaja mendua karena aku tak cukup cantik dalam pandanganmu, tak cukup baik, dan tidak cukup sempurna menjadi istrimu. Ternyata kau hanya membantu wanita itu dan tak pernah menyentuhnya sekalipun. Maaf karena telah berburuk sangka selama puluhan tahun
Fathul mengetuk pintu kamar sebelah sembari memegang nampan berisi sup ayam, nasi, dan segelas air. “Masuk.” Ia perlahan mendorong pintu dan menemukan Ramlah yang sedang berjalan dengan hati-hati sambil berpegangan pada dinding. Sepertinya ia baru saja dari kamar mandi. Fathul berdiri mematung sampai Ramlah duduk di tepi ranjang. Mata mereka bertemu dan saling berpandangan. Fathul menemukan kepasrahan dalam mata wanita itu. “Tidak usah repot-repot.” Fathul meletakkan nampan di atas nakas lalu mengambil bungkusan obat di laci ketiga. Satu per satu butiran pil ia keluarkan dari kemasannya. Lima butir obat diberikannya pada Ramlah. “Hanah tidak bersalah," ucap Fathul tiba-tiba.Ramlah mematung dengan gelas di tangan kiri dan obat di tangan kanan. Dilihatnya tekad yang besar di mata anak itu. “Sayalah yang mengejarnya lebih dulu. Saya yang jatuh cinta dengannya pertama kali.” “Melihatmu repot-repot datang untuk menjelaskan itu, membuatku seperti mertua yang egois dan jahat.”“Mesk
“Aku cukup kaget karena Nak Fathul tiba-tiba menghubungi dan meminta bertemu. Bagaimana kabar istrimu?”Di mushola pesantren Al-Jannah—tempat yang sama saat dia melakukan akad pernikahan bersama Raihanah—Fathul menemui Ustadz Ridwan. Senyum pria yang sebaya dengan Misan Malik itu selalu saja terlihat bijak. Setiap kali melihatnya, Fathul sering kali teringat dengan Misan.“Saya minta maaf kalau sudah menyita waktu Ustadz.”“Nak Fathul adalah putra dari sahabatku, tidak mungkin aku menolak. Nah, kapan pun kamu meminta untuk bertemu, Insya Allah aku akan selalu menyediakan waktu.”“Terima kasih, Ustadz.” Fathul mendapatkan tepukan ringan yang terasa hangat di punggung. Ia memperbaiki posisi duduk, menunduk dalam-dalam dan memasang wajah yang serius. “Sebagai istri yang diamanatkan oleh Lukman agar saya menjaganya, bolehkah saya menaruh perasaan padanya, Ustadz?”Ustadz Lukman menatapnya lama lalu sekejap kemudian bernapas lega. “Tak ada yang salah dengan mencintai istri sendiri, Nak.
“Akhirnya aku menemukan rumahku.” Raihanah tertegun, dia uraikan pelukan mereka untuk mencari tahu maksud perkataan pria itu. Yang ia tangkap pertama kali adalah tatapan hangat nan intens yang Fathul lemparkan padanya. “Aku tidak tahu, tapi kamu seolah selalu bisa mengerti semua isi hatiku dengan baik. Apa rahasianya, hm?” Raihanah tak mampu mengantisipasi serangan perasaan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Harusnya ia tak melangkah sejauh ini. Mestinya dia tidak memberikan harapan sebesar itu pada Fathul. Jari pria itu mengusap pipinya. Entah kapan kening mereka tiba-tiba menyatu hingga ia bisa merasakan embusan napas Fathul di wajahnya. “Apakah aku diizinkan?” Raihanah memejamkan mata, merasakan pergolakan batin yang hebat dalam dirinya. Sekarang dia adalah istri Fathul, istri yang sah secara agama dan negara. Saat pria itu menyentuhnya, Raihanah merasa baik-baik saja. Ia merasa tak keberatan. Maka Raihanah mengangguk pelan. Membiarkan kala Fathul membuka mukenanya hingga h
Untuk pertama kalinya setelah memutuskan tinggal di apartemen ini, akhirnya Raihanah bisa berdiri sebagai makmum. Di depannya Fathul mengangkat tangan sebagai permulaan sholat mereka. Punggung pria itu tampak tegang. Suaranya bergetar ketika memulai bacaan Al-Fatihah. Dalam tundukan kepalanya, Raihanah sempat terpaku mendengar lantunan ayat yang indah, merdu dengan tajwid yang benar dan pelafalan yang jelas.Fathul sudah sangat lama tidak melakukannya. Rasanya seperti berada dalam kegelapan. Namun, tak menyesakkan sama sekali. Pikirannya tenang dan tak tercampur dengan apa pun. Aliran darahnya bagai air yang mengalir pelan. Ini adalah gelap yang menenangkan. Seusai doa diaminkan, pria itu berbalik. Memperlihatkan wajahnya yang sendu dengan sorot mata yang kebingungan. Napasnya terhela dengan berat. Ia menatap Raihanah seolah meminta pendapat soal caranya mengimami. Raihanah meraih tangan Fathul dan mengecupnya, menempelkannya di kening cukup lama dan mendoakan dalam hati semoga Fat
Raihanah bangun di sepertiga malam dan mendapati ada lengan yang melingkar di perutnya. Untuk waktu yang lama ia terdiam kaku. Mengingat dirinya sedang di posisi apa sebelum tidur. Seingatnya Fathul menautkan jari jemari mereka seperti kemarin malam lalu mengobrol sejenak kemudian tertidur. Jantung Raihanah hampir mencelos keluar. Ia bekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara apa pun. Perlahan dengan tangan gemetar, Raihanah mencoba melepaskan belitan Fathul. Mengangkat lengan yang berat itu dengan hati-hati. Fathul bergerak. Spontan Raihanah berhenti. Setelah memastikan Fathul tidak bergerak lagi, ia meletakkan tangan pria itu sambil berusaha tidak membuat suara apa pun.Ia mengambil wudhu lalu menggelar sajadah di samping ranjang. Menunaikan Tahajud dan mendoakan agar Fathul diberikan hidayah dan keberanian untuk menggapai iman. “Ya Malik, Ya Quddus, hamba memohonkan hidayah dan petunjuk untuk suami hamba.” Diliriknya Fathul yang tengah tertidur dengan lelap. “Dia bukan pria yang
“Katanya lo telat hari ini–yang mana nggak pernah lo lakuin selama kerja di kantor ini–dan lebih gilanya lo bilang tadi pagi lo nyiapin waktu buat dengerin omelan istri. What the–” Toro melongo hebat ketika melihat ekspresi dingin yang runtuh seperti gurun es yang disinari cahaya matahari itu. Rahang Toro hampir mencapai lantai. “Apa gerangan yang terjadi?” Dipasangnya ekspresi paling serius. Fathul malah cuek. “Apa ada masalah? Belum pernah diomeli istri, ya?” Toro memasang ekspresi jijik. Kenapa ada orang yang terlihat sebangga itu habis diomeli istri? “Ngomel mah tiap hari, tapi perasaan gue nggak pernah senyum-senyum begitu habis diomelin. Lo ada masalah kejiwaan apa gimana? Istrinya Lukman bikin lo pusing tiap hari, ya?”“Dia istriku, bukan lagi istri Lukman.”Toro mengernyit. Seingatnya beberapa bulan yang lalu, saat Toro juga menyebut Raihanah sebagai istri Lukman, Fathul tidak menampakkan respons apa pun. Kenapa pria itu malah mengeraskan wajah sekarang?“Oke, sakarepmu.”
Setelah mengantar Ummi kembali ke kamar, Raihanah menarik kaki ke kamar Fathul saat mendengar suara berisik dari dalam. Kamar pria itu sangat berantakan. Pakaian, kertas-kertas, dan buku bertebaran. Didapatinya Fathul sedang berdiri dengan kemeja yang kerahnya terangkat dan tidak terkancing sepenuhnya serta rambut yang belum tertata. Pria itu menyorotnya dengan bingung. “Butuh bantuan?”Fathul melirik lantai di sekitarnya dan merasa sedikit malu. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. “Saya cari dasi.” “Dasi warna apa?” Raihanah maju, menunduk di antara laci-laci lemari pria itu. “Abu-abu gelap. Mungkin ketinggalan di tempat laundry.”Fathul mendapatkan helaan napas Raihanah lima detik kemudian. “Makanya biar ana yang cuci. Apa sudah antum susun di tempatnya? Dasi harus disatukan dengan dasi juga. Jangan bercampur dengan yang lain.” Wanita itu mulai mencari-cari di tumpukan pakaian yang tidak terbentuk susunannya itu. Fathul terdiam kaku mendengar omelan itu. Raihanah sampai mendeca
Pukul 5.30 ketika Raihanah keluar dari kamar, ia berpapasan dengan Fathul yang kebetulan juga sedang membuka pintu kamarnya. Dengan jaket dan kaos serta celana olahraga pendek dan sepatu, pria itu pasti ingin berolahraga.Namun, anehnya Raihanah malah merasa canggung untuk sekadar menyapa. Ada apa dengan dirinya? Ia tiba-tiba mengingat soal semalam. Dalam sekejap pipinya memerah.“Pagi.” Fathul malah menyapa lebih dulu dengan senyuman.“Ya, pagi,” cicit Raihanah, terlihat seperti tikus yang hendak kabur dari kejaran kucing.“Mau jalan-jalan pagi?”Raihanah menoleh kaget. “Hm?”“Jalan-jalan pagi berdua dengan saya.”Ditatap dengan mata penuh harapan itu membuat Raihanah mengalihkan muka dengan salah tingkah. “Ana mesti masak untuk sarapan.”“Kita bisa beli di luar.”“Ummi sendirian di kamar–” Raihanah terdiam, menemukan ide yang sangat brilian. “Bagaimana kalau jalan-jalan bertiga? Ummi cukup lama tidak keluar.”Fathul tampak berpikir. Sinar harapan di matanya agak pudar. “Boleh.”“Kal