BASKARA's POVAku mendengar ada suara mobil datang ke rumah. Tak tahu itu siapa yang datang, tapi aku tak bisa berlama lagi di ruang tamu. Meski masih belum bisa berjalan dengan tegap. kakiku melangkah begitu saja mendengar beberapa orang yang datang.Seperti yang aku duga, itu adalah Andini dan rombongannya yang membawa dari klinik."Bas, mau ke mana kamu?" Mama belum selesai rupanya memberiku ceramah. Tamat sudah riwayat cintaku dengan Laura. Kenekatanku menjalin hubungan dengan wanita yang kupikir adalah pelabuhan terakhirku, berakhir seperti bom bunuh diri. Aku hancur tak berdaya."Mau ke belakang, Ma..." Jawabku. Aku tertatih mengangkat kaki dan tanganku mencari pegangan agar tubuhku seimbang dan stabil."Jangan bilang kamu mau menjenguk perempuan kampungan itu." Tegasnya. Matanya terlihat tak bisa dinego. Dia sangat marah."Ma... aku cuma mau melihat anakku. Itu saja!" Kualihkan tubuhku agar memunggunginya dan tak lagi tersulut emosi ketika harus berhadapan. Kami berdua memang
ANDINI's POVTak tahu apa yang merasuki Baskara, sejak pagi tadi selalu melontarkan kalimat yang membuatku tak bisa menjawab dengan benar di matanya. Baginya, aku tak lebih dari mesin penghasil anak buatnya."Ayo, mandi Bagas..." Aku memasukkannya ke dalam bak mandi yang sudah kupastikan temperaturnya sesuai untuk Bagas.Dia tak terlalu suka air terlalu hangat. Mirip dengan ayahnya yang lebih cenderung menyukai dingin. Andini, mengapa kamu malah ingat ayahnya sekarang? Huh, aku mendengus kesal."Auwaaa... Tuta... tuta..." Ucapnya sambil memainkan bebek plastik yang sudah lebih dulu aku masukkan di bak mandi."Iya, iya, nanti main lagi... ini sudah sore..." Gumamku. Seharian aku tidak tidur siang seperti biasa. Aku full mengasuh Bagas sendiri."Masih main-main, Bagas?" Mak Ijah tiba-tiba datang dan duduk di sampingku.Bagas senyum-senyum sendiri melihat kedatangan pengasuhnya. Terkadang aku merasa Mak Ijah lebih dekat dan memahami Bagas daripada aku yang ibunya sendiri."Ta...tata... B
BASKARA's POVMataku tak bisa terbuka lagi. Sepintas tadi aku melirik jam dinding, rupanya masih jam satu dini hari. Kepalaku terasa berat karena belum sepenuhnya kering dari kucuran shower yang hanya aku keringkan dengan handuk seadanya tadi sore."Ughhh..." Aku menggerakkan kedua lenganku yang terlalu lama dalam posisi yang sama. Kaku dan ngilu.Sementara aku mengingat kembali di mana aku sekarang, kudapati seseorang yang tertidur pulas di sampingku. Andini."Andini..." Aku gerakkan tubuhnya untuk membangunkannya. Aku baru saja ingat kalau bajuku basah semua. "Apa?" Dia menjawab dengan malas.Rasa kantuk memang masih menderaku juga. Tapi aku tak bisa terus-terusan di sini, bukan? Aku tidak mau jika saat pagi menjelang, ada yang memergokiku keluar dari kamar pembantu. Ini akan menjadi topik perbicangan yang tiada habisnya untuk para pembantu lainnya."Andini, cepat antarkan aku naik ke kamarku..." Bisikku padanya."Baskara... kembalilah sendiri..." Setelah menjawabku, Andini tertid
ANDINI's POVSemudah itukah mengatakan cerai?Renungan itu yang aku pikirkan hingga hari telah berganti, Bagas yang masih tertidur pulas, membuatku enggan meninggalkannya seorang diri.Bagi Baskara, kami memang menikah tanpa didasari rasa. Jadi, tentu mudah jika memang harus berpisah."Orang kaya memang tak punya hati. Hatinya sudah dibalut oleh tumpukan uang dan pundi-pundi hartanya." Gumamku pada diriku sendiri.Bagas bergerak-gerak. Mungkin popoknya sudah penuh."Bagas... ini sudah pagi, Nak... Ayo bangun..."Senyumnya merekah mendengar suaraku. Lalu dia membuka matanya yang bersih."Ayo, Bagas mandi dulu..." Dia masih malas-malasan."Ma...Ma..." Ucapnya untuk menimpali apa yang aku katakan. Tangannya yang mungil mulai minta dipegang."Mbak Andini, apa Bagas sudah bangun?" Mak Ijah rupanya membuka pintu mendengar kami bercerngkrama di dalam kamar."Sudah Mak. Barusan bangun..." Jawabku.Mak Ijah mendekati tubuh mungil itu dan menggendongnya. Dibawanya keluar kamar. Rutinitas setiap
BASKARA's POVApa aku tidak salah dengar? Andini hamil?Tak tahu harus bahagia atau menyesal dengan kabar yang dia sampaikan padaku. Niatku untuk memuaskan hasratku padanya tumbang seketika.Hamil?Aku bertanya lagi pada diriku sendiri.Andini tak berani menatap wajahku. Sejak tadi kami tiba di kantor, dia lebih banyak terdiam dan termenung. Aku tak tahu ke mana jalan pikirannya. Apa yang membuatnya seperti terus menerus larut dalam pikirannya sendiri."Berapa bulan?" Tanyaku."Dua..." Jawabnya lirih."Kenapa baru memberitahuku sekarang?" Aku tak mau melunak hanya karena dia hamil."Aku baru tahu minggu lalu." Tak ada raut wajah bahagia yang tersirat di sana. Dia hanya murung."Apa yang akan kamu lakukan padanya?" Tanyaku lagi. Aku sejujurnya takut jika ini akan menjadi penghalang skenario Mama untuk menyuruhku bercerai secepatnya dengan Andini."Kalau kamu mau menceraikan aku, sebaiknya secepatnya saja." Di luar dugaan, Andini mengusulkannya secepat ini."Apa maksudmu, Andini? Lalu b
ANDINI's POV "Mak, saya diijinkan nengokin Ibu..." Senyumku mungkin sudah lebih merekah dari rembulan purnama sekarang. Mak Ijah tak bergeming. Dia hanya melanjutkan kegiatannya setrika baju dan melipatnya dengan rapi. "Mak..." Sapaku lagi. Apa dia melamun? "Mbak Andini, seharusnya saya tidak perlu mengingatkan..." Kalimat itu tiba-tiba merubah suasana seketika. Aku sudah paham kira-kira apa yang akan dikatakannya. Mungkin aku memang sudah lupa diri. "Oh, iya Mak." Segera aku sudahi percakapan dan mencari keberadaan Bagas. Bibi Siti tadi menggendong untuk menidurkannya tapi sampai sekarang belum juga kembali. "Andini, kamu sudah ke rumah Ibumu hari ini?" Baskara yang baru datang dari luar menanyaiku. Tak bisa menjawab pertanyaannya, aku memilih untuk diam dulu. Rasanya sesak berada di antara kubu Mak Ijah dan Baskara. Siapa di antara keduanya yang benar-benar seharusnya aku percaya... "Hmm, belum." Mendengar jawabanku, Baskara berhenti sejenak. Dia tak melanjutkan langka
ANDINI's POV Ibu tidak terlihat sakit di mataku. Semua kondisi baik-baik saja. Rupanya saat dikabarkan kalau dia sedang di rumah sakit, itu hanyalah check up biasa. Baskara mengetahui hal itu tapi dia sengaja tidak memberitahuku. Katanya itu permintaan adikku padanya. Selain dia juga meminta bantuan untuk biaya pengobatan. Hutang budiku semakin banyak, hanya saja... pembalasan dendam yang aku sudah berjanji melakukannya harus tetap dilakukan. Ini lain soal. "Mbak, Ibu tadi tidak mau makan. Begitu tahu Mbak Andini mau ke sini... langsung lahap makannya." Seru adikku yang sedang menata baju-baju yang baru dicuci untuk dilipatnya. "Begitu ya?" Aku menoleh ke arah Ibu yang sedang main-main bersama Bagas. "Bagas tambah ganteng ya, Mbak..." Adikku sengaja memuji agar aku tidak marah. Mengetahui kelakuannya, aku sungguh sangat malu pada Baskara. "Iya. Dia sudah mau satu tahun bulan depan." Imbuhku. Aku memperhatikan baju-baju yang dilipat oleh adikku. Semuanya baru. "Baju kamu baru
BASKARA's POV "Visa sudah bisa aku urus besok, Bas..." Bayu memang menawarkan diri untuk membantu pengurusan visa ke Australia. "Aku pikir kamu nggak bakalan bawa Andini, tapi..." "Kenapa? Kamu tidak rela dia aku bawa? Kan Andini hanya jadi saksi saja... Bukan mau honeymoon sama aku." Kelakarku agar Bayu tidak terus menerus menyindirku. "Hahaha... kamu ada-ada saja. Dasar playboy!" Bagas tiba-tiba datang menghampiriku saat aku dan Bayu ada di gazebo belakang. "Biarkan dia di sini..." Kusuruh Mak Ijah membiarkan dia bersamaku,"Mak Ijah tolong buatkan minuman untukku dan Bayu. Seperti biasa..." Mak Ijah terlihat dengan berat hati menyerahkan Bagas padaku. Aku tahu dia sebenarnya ingin menguping pembicaraanku untuk dijadikan gosip, tapi... aku lebih tahu bagaimana mengusirnya secara halus. "Baik, Tuan. Permisi..." Langkahnya perlahan-lahan tak secepat biasanya. "Bas, kalau misalkan nanti kamu bisa melewati ini, setidaknya... aku yakin uang kamu bisa kembali. Karena uang mereka di
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan