Tubuh Naura terasa lemas, dia tak sanggup berdiri bahkan mengambil ponsel yang sedari tadi berdering pun enggan.Nama Lala, Devan saling bersautan di ponselnya sedangkan empunya perlahan berbaring di atas lantai sembari menangis. Dada Naura terasa sesak, merasakan sakitnya di ceraikan tanpa tau penyebabnya.Perlahan Naura bangun, dia segera mengambil kunci mobil lalu pergi ke rumah mertuanya. Tak terasa lima belas menit perjalanan akhirnya Naura sampai di halaman kediaman mertuanya. Di tekannya bel, menunggu seseorang membukakan pintu. Sepuluh menit menunggu, terdengar seseorang membuka kunci.Ceklek."Bi Sarmi, Mamah ada di rumah?""Ibu enggak ada di rumah Bu, lagi ke Surabaya jenguk Pak Teddi.""Oh, kalau Mas Arkan ada?"Wanita itu menggeleng lalu menjawab, "Enggak ada Bu, udah lama Pak Arkan enggak ke sini."Raut wajah kecewa pun di tunjukan Naura. "Kalau begitu aku pulang ya. Makasih Bi."Setelah berpamitan Naura masuk ke dalam mobilnya menjauh dari kediaman orang tua Arkan."Apa
Suara sirine ambulan menggema sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Tubuh Naura terasa lemah, sampai ia tak sanggup membuka mata. Sayup terdengar suara Lala yang terus memanggil namanya, terus menggoyangkan tubuh Naura agar dia bangun. Namun, Naura tak bereaksi atau mungkin dia sedang sekarat?"Pak cepat Pak, teman saya keburu mati!" Lala terus berteriak ke supir agar segera mengantar mereka ke rumah sakit. Tak berapa lama, mobil ambulan itu pun berhenti di depan ruang UGD. Beberapa perawat sudah menanti kedatangan mereka dan bersiap membawa Naura ke dalam. "Dok, saya mohon selamatkan teman saya.""Saya akan melakukan sebisa saya dan sebaik mungkin."Lala tertunduk lesu sekaligus panik melihat keadaan Naura yang begitu lemah. Dokter pun terlihat mulai memeriksa sedangkan perawat memasangkan infus di tangannya.Panik, Lala berniat menghubungi Arkan. Namun, dia kembali ingat akan pesan Naura terakhir saat dia masih dalam keadaan sadar. 'Jangan beritahu siapapun.'"Apa yang terjadi den
Suara troli menggema di koridor, tanda perawat dan dokter datang untuk memeriksa keadaan pasien. Dia pun menoleh ke arah pintu dan mendapati tiga perawat serta satu dokter umum."Selamat pagi," sapa Dokter ketika masuk ke ruangan Naura. Dokter itu pun memeriksa keadaan Naura. "Kesehatan Bu Naura sudah cukup membaik, hari ini sudah di perbolehkan untuk pulang. Tapi sebelum itu lebih baik konsultasi ke dokter kandungan untuk memeriksa kesehatan janin lebih lanjut," jelas dokter. "Terima kasih, dok.""Sama-sama, Bu. Nanti tolong wali-nya ke ruang administrasi untuk menyelesaikan prosedur sebelum keluar dari sini," ucap dokter serta perawat yang menemani.Miris memang, disaat orang lain sakit di temani orang-orang terdekat. Naura hanya sendiri, bahkan dia tidak memberi tahu keadaannya saat ini kepada orang tuanya.Ceklek"Maaf aku telat, dokter udah ke sini?" tanya Lala dengan napas terengah-engah."Udah, hari ini aku sudah di bolehin pulang. Oh ya, tolong selesaikan administrasi-nya ya
Derap langkah terdengar begitu nyaring ketika Naura dan Lala berlari bersama di koridor menuju ke kelas mereka."Naura, pelan-pelan. Inget kamu kan lagi ha—" Belum sempat Lala melanjutkan ucapannya Naura sudah lebih dulu membekap mulutnya. Dengan napas terengah-engah Naura berucap, "Tutup mulutmu, jangan sampai orang di sini tahu kalau aku hamil." Lala mengangguk cepat, keduanya kembali berlari ke kelas. Untungnya dosen yang mengajar tidak datang, jadi Naura dan Lala bisa leluasa masuk ke dalam kelas dan beristirahat beberapa saat sebelum kelas di mulai."Aku dengar kalau saat skripsi kita hamil akan di permudah proses sidangnya.""Benarkah?" Lala mengangguk. "Makanya, untuk apa kamu merahasiakan kehamilanmu kalau itu bisa menguntungkan masa depanmu. Lagi pula kamu kan sudah nikah, jadi orang juga enggak berpikir yang bukan-bukan."Jika di pikir lagi apa yang di katakan Lala benar, namun tetap saja menuju skripsi masih membutuhkan beberapa bulan lagi. Notif pesan masuk di ponsel N
Semalaman Naura memikirkan penawaran Teddi. Meski dia memberikan penawaran yang begitu menggiurkan, namun dia harus menyelesaikan kuliahnya dan tak ingin terus menerus membebani mantan mertuanya itu."Aku enggak boleh menerima bantuan Papah lagi, apa lagi sekarang aku sudah bukan menantunya lagi," gumam Naura. Dia pun mengambil ponselnya berniat mengirimkan pesan ke Teddi. Namun, saat ingat kebaikannya, Naura pun berniat menemui Teddi secara langsung."Naura, ini ada surat," ucap Lala."Surat apa?""Di sini sih tulisannya dari pengadilan," tutur Lala memberikan surat yang dia ambil di kotak surat.Naura membuka surat tersebut, di bacanya setiap kalimat yang tertera di atas kertas. "Surat panggilan ternyata," tutur Naura."Surat panggilan apa?" Lala merebut kertas yang ada di tangan Naura. "Panggilan sidang. Kamu mau datang?"Entah pikiran Naura masih kacau, apa lagi sebelumnya pengacara Arkan meminta Naura untuk tidak datang ke pengadilan. "Bukannya ini hanya mediasi, kenapa kamu en
Naura tertunduk lesu, hati dan perasaannya masih tak karuan. Suara alunan musik di kafe pun tak mampu membuatnya tenang sama sekali.Tok ... tok.Seketika Naura mendongak melihat ke arah seseorang yang mengetuk mejanya. "Papah.""Maaf, Papah telat. Kamu enggak makan?" tanya Teddi menurunkan bokongnya di atas kursi."Aku pesan kopi," jawab Naura mengetuk gelasnya.Teddi menarik gelas milik Naura lalu memanggil waiter untuk datang ke meja mereka. "Enggak baik minum kopi, minuman yang lain aja gimana?""Ada yang bisa saya bantu, Pak.""Aku pesan capuccino dan— Naura kamu suka jus alpukat kan?" Naura hanya mengangguk. "Baiklah capuccino dan jus alpukat. Aku juga pesan french toast, salad buah dan cheesecake.""Baik, ada tambahan?""Untuk sementara hanya itu.""Baik, Pak ditunggu pesanannya. Permisi."Hanya mereka berdua yang duduk di meja yang paling ujung. Naura sengaja memilih meja yang berada di pojok agar tidak ada yang mendengar percakapan mereka berdua. Sejenak dia masih bungkam seo
3 Tahun Berlalu .....Bisnis Arkan maju pesat, dia bahkan membangun hotel di beberapa kota yang membuatnya semakin kaya. Meski begitu, kehidupan percintaannya selalu gagal karena dia sulit membuka hati untuk wanita lain.Tok ... Tok."Masuk," ujar Arkan mendengar suara ketukan pintu."Permisi, Pak." Seorang wanita cantik bertubuh semampai masuk ke dalam ruangan Arkan sambil membawa berkas yang ada di tangannya."Ini dokumen yang bapak minta. Oh iya, bagian finance yang baru menanyakan soal uang kontrak setiap bulannya senilai lima belas juta itu untuk perusahaan mana?"Arkan yang tengah sibuk dengan pekerjaannya pun mengangkat kepalanya menatap tajam ke arah sekretarisnya bernama Diana. "Sudah aku katakan berkali-kali, tulis saja untuk kontrak," jelasnya."Ba-baik Pak." Arkan mengibas tangannya, tanda jika dia tak ingin mendengar apa-apa lagi dari sekretarisnya itu.Sepeninggal Diana, Arkan menyandarkan punggungnya di kursi. Sudah tiga tahun lamanya dia masih mentransfer uang ke reken
Suara tangisan bayi menjadi irama terbaik setiap paginya. Dengan mata yang masih terpejam Naura menggeser tubuh bayinya lalu menepuk pelan pahanya agar bayinya kembali tidur. Namun, bukannya berhenti menangis putranya itu malah menangis begitu kencang. "Sayang, cup-cup-cup. Mau nenen ya, Mamah bikin dulu susunya."Naura mengikat rambutnya kemudian menggendong bayinya, membawanya ke dapur. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa Naura sudah menjadi seorang ibu di usianya yang memasuki 25 tahun. Meski menjadi single mom itu tidak mudah, tetapi Naura begitu menikmati pekerjaannya sembari mengurus bayi. "Selamat pagi," sapa wanita paruh baya yang tiba-tiba saja muncul di depan Naura. "Ah cucuku sudah bangun. Ayo, Nenek gendong."Naura membiarkan wanita itu mengambil putranya yang berada di gendongannya. "Tumben Ibu pagi-pagi udah di sini?" Wanita itu tersenyum sembari menimang bayi yang mereka panggil Axel. "Kamu hari ini jadi me