Tiba-tiba Aiden meraih wajah Eva lalu menciumnya. Eva menggeliat, tapi dia tidak bisa kabur.Brengsek! Aiden menciumnya seolah tidak ada hari esok. Tentu saja Aiden ingin berhubungan badan dengan Eva, tapi sejujurnya dia menginginkan lebih dari itu.Eva merasakan pelukan Aiden semakin erat. Eva bertanya-tanya apakah mungkin Aiden mematahkan lengannya. Eva merasa hampir tidak bisa bernapas, dia juga hampir merasa tersedak oleh intensitas ciuman itu. Aiden menarik diri saat Eva mengira dirinya akan pingsan. Keduanya terengah-engah.Eva memelototi Aiden. Kenapa suaminya itu selalu menciumnya seperti sedang mencoba membunuhnya. Sungguh menakutkan.Aiden menyeret jari-jarinya yang kasar ke bibir merah Eva. Suaranya dalam dan serak, "Aku akan melanjutkan hukumanmu jika kau tidak berperilaku baik."Eva mengepalkan jari-jarinya. Dia ingin memukul Aiden, tetapi dia tidak memiliki kekuatan untuk itu."Habiskan buburnya lalu aku akan mengabulkan satu permintaanmu," Aiden menyodorkan sendok beris
Alfred terkejut melihat Aiden tersenyum."Tuan Aiden, Nona Rebecca ingin bertemu dengan Anda," Alfred berkata.Aiden mendongak ke arah Alfred. "Suruh dia masuk, Alfred."Alfred menepi dari pintu, tak lama Rebecca melangkah masuk. Gadis itu berdiri sembari menatap sepatunya dengan rasa bersalah seperti anak kecil yang telah melakukan kesalahan. Ekspresinya yang menyedihkan tampaknya dirancang untuk membangkitkan simpati pria yang ada di hadapannya."Aiden," gumam Rebecca.Alfred menganggap Aiden ingin melakukan percakapan pribadi, jadi dia bergerak untuk menutup pintu sembari keluar dari ruangan, tetapi Aiden menghentikannya dengan gerakan tangan. Alfred membeku di samping pintu yang setengah terbuka. Rebecca menyeringai cemas, dia tidak ingin kepala pelayan mendengar apa yang dia katakan."Aiden, aku ingin memberitahumu kalau aku membela Eva ketika Nyonya Victoria hendak memecutnya. Tapi Eva tampaknya bertekad untuk membuat nenekmu marah," katanya, "Kau tahu kan betapa keras kepalanya
Rebecca merasa ragu-ragu. Pipinya terasa panas."Aiden, malam itu kita … Bukankah kita melakukannya? Apa kau tidak ingat?"Hal terakhir yang Rebecca ingat adalah mencium bau lilin di kamar Aiden. Ketika dia bangun dan menemukan lehernya dipenuhi ruam biru dan ungu, dia mengira Aiden yang telah memberi kecupan dan gigitan di lehernya. Rebecca menunggu Aiden datang padanya, tapi pria itu tak kunjung datang. Rebecca akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mendatangi pria itu.Aiden bersandar di kursi dan menatap layar tabletnya. Tanpa mendongak dia dengan tenang bertanya, "Apakah aku melakukan sesuatu? Kurasa ada kesalahpahaman di sini.""Ayolah, Aiden," Rebecca cemberut, "Apakah kau masih marah padaku? Waktu itu aku merasa gugup dan salah satu pelayan menyuruhku menggunakan borrachero untuk menenangkan sarafku. Aku tidak bermaksud menyakitimu."Air mata besar mulai menetes di pipi Rebecca. Aiden mengerutkan dahi. Dia pernah mendengar orang mengatakan bahwa wanita selembut air dan mudah m
"Aku tidak tidur denganmu, Rebecca. Maafkan aku, tapi, aku hanya tidur dengan wanita yang membuatku tertarik." Aiden berbicara perlahan demi menghindari kemungkinan salah paham."Itu tidak mungkin!" Rebecca terengah-engah, "Mengapa kau mengundangku untuk tinggal di mansion ini jika kau sama sekali tidak tertarik denganku?"Aiden mengambil sebotol wine lalu menuangnya ke gelas. Dia tahu bahwa Eva yang mengundang Rebecca. Aiden mengizinkannya karena dia ingin tahu permainan apa yang sedang dimainkan istrinya.Secara pribadi, Aiden sama sekali tidak suka ada wanita di sekitarnya, bahkan kehadiran pelayan mengganggunya. Aiden selalu berusaha menjauh dari mereka sebisa mungkin. Dia lebih mengandalkan Alfred. Jika beberapa tugas memerlukan kontak fisik, dia bersikeras agar Alfred melakukannya."Apakah kau tidak menikmati keramahan mansion kami?" Aiden bertanya."Tentu saja aku menikmatinya. Hanya saja … kupikir kau ...""Nenekku sangat menyukaimu. Kau harus menghabiskan lebih banyak waktu d
Di kamar tidur, Eva terbangun dari tidurnya yang gelisah. Pintunya terbuka agar udara segar bersirkulasi. Samar-samar Eva mendengar percakapan antara Rebecca dan Aiden di ruang kerja sebelah.Kata-kata itu berputar-putar dalam pikirannya yang panas."Aku tidak menyentuhmu, Rebecca. Menurut Benjamin, tanda di lehermu itu akibat reaksi alergi.""Aku hanya tidak tertarik padamu.""Apakah kau menggunakan aku untuk melindungi Rachel?""Jika Rachel kembali, apakah kau akan memberikan segalanya untuknya, Aiden?""Aku tahu Eva akan terpaksa cerai denganmu jika dia tidak melahirkan ahli waris dalam tiga tahun pertama pernikahan kalian. Itulah sebabnya kau meminta Rachel untuk menunggu selama tiga tahun. Aku benar kan, Aiden?"Suara Aiden dan Rebecca membuat Eva terjaga. Dia mengerutkan dahi kesal karena kedua orang itu telah mengganggu tidurnya. Tapi perlahan, pikiran Evamulai bekerja. Jadi saudara perempuan Rebecca, Rachel, adalah kekasih masa kecil Aiden yang sebenarnya. Itu mengejutkan. Aid
Eva mencoba untuk menyingkirkan pikiran itu dari benaknya. Obat telah membuatnya merasa lebih baik dan dia ingin bangun dari tempat tidur. Eva tidak menyadari dia ada di kamar Aiden sampai pelayan muncul untuk membantunya berpakaian."Tolong ambilkan pakaian dari kamarku ya?""Tuan Aiden meminta kami untuk memindahkan semua pakaian Nyonya Eva ke kamarnya," pelayan itu memberitahunya.Pelayan itu membuka pintu lemari dan menunjukkan Eva pakaiannya yang tergantung di seberang pakaian Aiden. Eva bingung. Setelah lebih dari dua tahun menikah, Aiden ingin dia berbagi kamar? Apakah dia tidak khawatir menyakiti perasaan Rachel?Eva mengangkat bahu. Mungkin Rachel adalah tipe wanita yang mau memaafkan pria seperti Aiden karena mencintai wanita lain. Hah, lagipula, Aiden kan tidak mencintainya. Pria itu hanya tertarik menggunakan tubuhnya sambil menunggu Rachel.Eva melihat-lihat pakaiannya dan memutuskan untuk mengenakan pakaian army yang santai. Dia mengenakan pakaian yang terlihat seperti di
"Apa yang sedang kau lakukan?"Eva memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku sebelum Aiden sempat melihat siapa yang dia kirimi pesan. Aiden memeluk Eva dari belakang lalu menarik Eva ke tubuhnya. Eva dapat mencium aroma cologne Aiden yang terasa familiar. Aiden memeluk Eva secara alami dan longgar."Kau membuat pasta?" Aiden bertanya dari balik rambut Eva.Eva memberi isyarat kepada juru masak untuk menurunkan makanan dari kompor lalu mencoba menjauh dari Aiden, tetapi pria itu memeluknya lebih erat."Mereka bilang kau membuat pasta. Apakah ini untukku, Eva sayang?""Tidak," Eva menjawab datar. Dia menjauh dari suaminya, mencoba melepaskan diri dari sentuhan Aiden. Posturnya menolak, tapi Aiden terlalu dekat dengannya. Pria itu bahkan terlihat tidak peduli dengan penolakan Eva. Bagi Aiden, Eva adalah istrinya, masa iya tidak boleh dipeluk."Kalau begitu aku akan meminta koki membuatkan sesuatu untukmu." ucap Eva kemudian.Eva berbalik untuk memanggil koki yang sedang menggulung adona
"Halo! Salam semuanya. Saya harap saya tidak mengganggu," kata Sebastian dengan sopan.Para pelayan tidak bisa tidak menatapnya. Sebastian Lewis adalah seorang pria dengan pekerjaan yang bagus didukung dengan wajah yang tampan, apalagi temperamennya yang rendah hati serta sikapnya yang halus sangat kontras dengan sikap Aiden yang meski luar biasa tampan, namun adalah seorang dominan dan arogan. "Sedari tadi kami semua menebak-nebak siapa yang dibawa pulang oleh Tuan Alaric," kata Rebecca dengan senyum menawan, "Merupakan suatu kehormatan makan bersama dengan seorang dokter yang memiliki keahlian luar biasa, Dr. Lewis!""Anda terlalu menyanjung," jawab Sebastian. Dia lantas menoleh demi melihat Eva dengan raut prihatin, "Kudengar Nyonya Eva Malik tidak sehat?""Bukankah sedikit aneh untuk terlalu memedulikan istri orang lain, Dokter?" Aiden bertanya dengan posesif.Aiden melingkarkan sehelai rambut Eva di jarinya dan menatap Sebastian dengan mata dingin. Dokter Lewis benar-benar berani
Bandara terlihat ramai, tapi itu tidak membuat seorang gadis dengan tubuh model berjalan dengan angkuh sembari menarik tas kopernya.Di area penjemputan penumpang, mata gadis itu menatap sekeliling dimana ada banyak orang yang berdiri untuk menunggu kerabat, teman atapun rekan. Sampai akhirnya dia mendengar teriakan itu disertai lambaian tangan dari seorang yang ia kenali."Rebecca!" panggil Rachel sembari mengangkat selembar karton bertuliskan namanya.Rebecca segera menghampiri Rachel, keduanya saling berpelukan, "Apa kabar?" tanya Rachel pada Rebecca, "Lama kita tidak bertemu, kau semakin cantik saja adikku.""Kakak," seru Rebecca rasanya ia ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengan saudarinya itu, "Aku merindukanmu.""Sama. Ayo, kita ke apartemenku. Kau bisa menginap di sana.""Ngomong-ngomong, mana pacarmu katanya kau sudah punya pacar," tukas Rebecca sembari melihat kesana kemari."Ah, dia sedang bekerja dan tidak bisa ikut menjemputmu. Aku akan mengenalkanmu padanya
"Aduh, sudah-sudah. Cucu kita hanya ingin berbulan madu saja. Biarkan saja." Alaric menengahi, "Minum saja tehmu, Victoria."Aiden bergerak sigap mengambil cangkir teh Victoria lalu menyodorkannya ke wanita tua itu. Wanita tua itu mau tak mau tersenyum, "Kau ini, cucu nakal, mana ada bulan madu selama ini. Bilang saja kalau ini hanya akal-akalanmu untuk menolak kembali. Ya, kan?"Mendengar itu Aiden hanya tertawa saja.Beberapa waktu kemudian, keduanya lantas pulang dengan membawa banyak buah tangan. Alaric melambaikan tangan sedangkan Victoria berbalik masuk ke dalam mansion.---Alfred melihat adiknya yang sedang melakukan terapi. Sudah beberapa lama ini dia mengambil cuti karena hendak menemani adiknya menjalani terapi dan proses kesembuhan.Aiden telah memiliki bisnisnya sendiri dalam bidang pengiriman, meski tidak sebesar Malik Group tapi, meskipun begitu, hal tersebut tidak menghalangi Aiden dalam membiayai semua perawatan adik Alfred hingga hampir sembuh seperti ini.Alfred hany
"Halo!" ucap Aiden ketika menerima panggilan masuk tersebut. Dia sekarang berada di balkon dimana langit malam menjadi panoramanya..Terdengar deheman dari seberang sana sebelum kemudian suara familiar orang tua itu menyapa telinganya."Aiden ... ""Ya, kakek ...""Kapan kau kembali ke mansion Malik?" Pertanyaan itu membuat Aiden terdiam. Ini bukan kali pertama Alaric Malik menghubunginya dan memintanya kembali, "Bagaimana mungkin kau pergi di saat aku menyuruhmu pergi. Aku ini orang tua, sesekali marah adalah hal yang wajar. Kenapa kau harus mengambil hati hal tersebut. Kembalilah ke Mansion Malik. Nenekmu sangat merindukanmu. Sudah berapa lama kau tidak pulang?"Aiden menyandar ke dinding balkon sembari mendongak ke langit, "Maafkan aku, Kek. Bukan aku durhaka dan tidak peduli dengan kerinduanmu. Tapi, yang kalian inginkan untuk kembali ke mansion Malik hanyalah Aiden. Eva adalah istriku. Aku dan dia adalah satu kesatuan."Alaric terdiam beberapa saat, "Jika memang itu yang kau ingin
Eva membuka pintu dan mendapati Sebastian Lewis berdiri di sana."Siapa, sayang?" tanya Aiden sembari menghampiri Eva yang terpaku di depan pintu."Halo, Eva, Aiden!" sapa Sebastian ramah seolah sebelumnya mereka tidak pernah berselisih dan tanpa masalah, "Boleh aku masuk?"Eva yang tersadar bermaksud untuk mempersilahkan Sebastian masuk namun, belum sempat Eva melakukannya Aiden telah lebih dulu mengambil alih dengan melangkah maju dan menjawab, "Tidak!" sembari tersenyum.Sebastian yang telah menduga itu balas tersenyum, "Baiklah kalau begitu," katanya. Dia pura-pura hendak membalikkan tubuh lalu tanpa disangka ketika Aiden lengah dia bergerak maju dengan melewati bawah lengan Aiden yang terentang di pintu."Terima kasih telah mempersilahkan aku masuk, Malik!" ucap Sebastian kalem, dia lantas beralih duduk di sofa.Aiden yang melihat itu menghampiri Sebastian sembari mendesis, "Tidak ada yang mempersilahkanmu masuk, lalu siapa juga yang menyuruhmu duduk di sofa itu," sergah Aiden.Ev
Tanpa sadar, Eva tersentak saat Aiden berdiri lalu dengan lembut menggigit puting payudaranya dengan gemas."Aiden ... aku ..." Namun, seolah teringat sesuatu, setelah itu Aiden tidak melakukan apapun. Dia diam membuat Eva bertanya-tanya ada apa gerangan."Aiden, ada apa?" tanya Eva, dia beralih duduk di hadapan pria itu. Aiden menarik selimut lalu menutupi sebagian tubuh Eva yang terbuka dan tubuhnya sendiri. Ada apa ini? "Aku teringat kalau aku belum mendapatkan maaf yang semestinya darimu atas pemaksaan yang kulakukan padamu waktu itu, Eva." Terakhir kali Aiden mengatakannya, Eva sedang mabuk dan Aiden merasa permasalahan itu belum tuntas. Itu terasa mengganjal di hatinya. Aiden kini beralih duduk di tepi ranjang dengan kaki menyentuh lantai. "Aku memang suamimu, tapi, saat itu, aku sudah berlaku kasar dengan melakukannnya tanpa persetujuan darimu. Aku merasa telah melakukan kesalahan yang membuatmu ...""Aiden," Eva meraih bahu Aiden. Membuat tatapan mereka kembali bertemu, "Janga
Sepanjang jalan dari ruangan duduk sampai ke kamar kedua pakaian mereka berserakan. Eva meremas rambut Aiden saat pria itu menciumnya dengan penuh gairah.Hasrat keduanya begitu menggebu-gebu hingga terasa seolah akan meledak. Dengan bunyi gedebuk, pintu kamar tertutup di belakang mereka. Bibir mereka beradu dalam pelukan penuh gairah. Tangan Aiden dengan lembut memeluk leher Eva saat mulut mereka bertemu, keduanya mendambakan momen ini. Jarak ke tempat tidur mungkin tidak terlalu jauh, namun cobaan yang mereka alami sejak kecelakaan itu membuat ciuman ini terasa seperti hadiah yang telah lama ditunggu-tunggu.Eva terengah-engah ketika Aiden separuh mengangkat tubuhnya, dia melingkarkan lengannya di leher Aiden. Perbedaan tinggi badan mereka membuat dia harus memiringkan kepalanya sedikit ke atas.Aiden dengan lembut menggigit bibir Eva, lidahnya secara alami menyelinap di antara keduanya. Gesekan basah dan sensual di antara bibir mereka menciptakan suara lembab dan memikat yang memen
Ruangan itu cukup besar meski tidak sebesar ruangan-ruangan di mansion Malik. Sudah beberapa minggu ini, Eva tinggal di penthouse ini bersama Aiden.Sesekali Eva memainkan piano yang berada di salah satu sudut ruangan dimana jendela kaca besar berada. Dari kaca jendela besar itu pemandangan kota dapat terlihat dengan jelas. Intensitas cahayanya di malam hari dan siang hari.Awalnya Eva begitu terkejut ketika saat itu Aiden menggenggam tangannya. Pria itu lebih memilih Eva ketika Alaric yang murka akibat kecelakaan yang menimpa mereka menyuruh keduanya bercerai."Aiden adalah pewarisku. Pewaris Malik. Bisa-bisanya dia membahayakan nyawanya untukmu, Eva. Aku tidak bisa menerima ini. Segera bercerai dengan Aiden. Aku akan memberikan kompensasi yang sesuai untukmu." Itu adalah ultimatum yang diucapkan oleh Alaric.Tepat saat itu Aiden masuk."Eva adalah istriku, Kek. Sudah sepatutnya seorang suami melindungi istri," jawab Aiden, dia meraih tangan Eva lalu menyatukan kedua jemari mereka."B
Mata dan jari Eva perlahan menelusuri kulit Aiden."Bagaimana lukamu, Aiden?" tanya Eva, dia bertanya dengan tulus dan benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu.Mendengar pertanyaan yang sarat dengan kekhawatiran itu membuat Aiden berbalik menghadap Eva, sebuah senyum terulas di bibirnya."Apa kau mengkhawatirkanku, Eva?" tanyanya."Ya," jawab Eva dengan mimik wajah serius, membuat Aiden terhenyak sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala."Lama-lama aku bisa terbiasa dengan kekhawatiran dan kepedulianmu kepadaku, Eva," cetus Aiden, "Rasanya kita seperti pasangan suami istri sungguhan."Eva mengalungkan kedua lengannya di leher Aiden, "Kalau begitu biasakanlah, Aiden," Dia menatap kedua bola mata pria itu, "Bukankah itu yang kau dan aku inginkan? Menjadi pasangan suami istri sungguhan? Atau jangan-jangan sekarang kau berubah pikiran lagi, Aiden?"Aiden tak menyangka dengan penuturan Eva, "Sejujurnya aku yang mengira kau yang akan berubah pikiran, Eva. Setelah pertemuanmu dengan Dok
Lalu, tatapan Aiden beralih ke Rebecca yang berdiri di belakang Victoria. Rebecca yang menyadari hal tersebut buru-buru menghampiri Aiden lalu memeluknya tanpa mempertimbangkan perasaan Eva. Aiden meringis ketika merasakan sentuhan Rebecca mengenai luka di punggungnya. Eva yang melihat ringisan Aiden buru-buru menarik lepas lengan Rebecca dari suaminya.Menyadari itu, Aiden merasa takjub. Dia senang Eva peduli padanya tidak seperti dulu yang tidak peduli dan bahkan melemparkan Aiden pada wanita lain. Hatinya menjadi 'sangat ringan'."Aiden, syukurlah kau selamat. Huhu, aku benar-benar takut sewaktu mendengar kabar dari Nyonya Victoria tentang dirimu," Rebecca tebal muka dan mengabaikan tindakan Eva. Dia memberikan efek sedih dengan tangisannya. Tapi, Eva dan Aiden mana percaya lagi."Itu benar, Aiden. Rebecca sangat khawatir padamu. Dia bahkan menangis semalam." Victoria menambahkan, Rebecca di sebelahnya mengangguk mengiyakan."Lihat nih, mataku bengkak karena semalaman menangis meng