Alfred menarik napas dalam-dalam. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jennifer melebarkan mata karena terkejut. Semua orang selalu mengatakan bahwa Aiden Malik telah menghabiskan dua tahun terakhir menghindari Eva seolah-olah istrinya adalah wabah penyakit. Orang-orang terus mengatakan kalau mereka akan bercerai, tapi sekarang lihat apa yang pria itu lakukan.Ini tidak mungkin! Bagaimana bisa? Jennifer dan Alfred bingung sedangkan Eva membeku, pikirannya seolah mengembara. Seluruh tubuhnya terasa kaku seperti batu. Aiden memberi Eva tatapan menggoda lalu menghisap jari Eva lebih keras. Aiden seharusnya hanya membantu mendisinfeksi luka saja, tapi tubuh Eva tiba-tiba terasa panas. Wajahnya terasa seperti terbakar. Eva lantas menarik jarinya."Apa kau gugup?" Aiden bertanya sambil tertawa."Tidak," Eva menyahut cepat. "Kenapa juga aku harus gugup?"Eva mengeluarkan suara kecil dan tidak jelas di belakang tenggorokannya."Kalau begitu kau mau aku menghisap jarimu lagi, sayang?"
Eva terlalu sibuk dengan pemeriksaan fisik untuk peduli dengan apa yang dipikirkan orang. Dia sangat gugup, hingga kehilangan nafsu makan. Setelah beberapa gigitan, dia merasa kenyang.Alfred mendekati Aiden, "Tuan Aiden, Steven Lewis telah menunggu Tuan di Rumah Sakit St. Lewis."Eva berhenti menyeka mulutnya dengan serbet. Dia menyadari kalau dia akhirnya kehabisan waktu, tidak ada jalan menghindar dari pemeriksaan fisik.Perjalanan ke rumah sakit sangat indah. Saat mobil menuruni gunung, melewati pohon cinar tua yang tumbuh di kedua sisi jalan. Daunnya berdesir dan bergetar saat angin bertiup, tetapi Eva terlalu sedih untuk menghargai keindahannya.Rumah sakit ini terletak di kaki gunung. Mobil Aiden menuruni jalur gunung zig-zag diikuti puluhan mobil yang dipenuhi pengawal. Perawat dan pasien berhenti sejenak untuk menyaksikan kedatangan yang mencolok itu. Tidak mungkin menghindari menarik perhatian ketika Aiden bersikeras melakukan perjalanan seperti ini, pikir Eva sedih.Mobil A
Ruangan itu terang tapi agak kecil. Berbagai tabung reaksi dan jarum diletakkan di atas salah satu meja logam, dan kaca transparan berkilauan terkena cahaya."Kami akan melakukan tes darah terlebih dahulu untuk memeriksa berbagai tingkat mikronutrien," kata Steven Lewis.Dia mendorong kacamata ke atas hidungnya, ekspresinya menjadi serius. Dalam satu detik, pria paruh baya yang ramah di gerbang rumah sakit telah menjadi ahli yang tegas. Eva duduk di seberangnya lalu menawarkan tangan kirinya.Eva meletakkan telapak tangan di atas meja logam yang sudah dibersihkan, logam itu terasa dingin, dia merasa gelisah.Steven Lewis menyiapkan jarum. Dia melihat Eva pucat membuat Steven khawatir kalau Eva mungkin saja takut pada jarum atau darah. Steven tidak tahu kalau Eva lebih takut pada hasil tes daripada rasa sakit fisik apa pun."Kau akan merasakan sedikit sengatan, tapi tidak sakit," Steven menghiburnya, "Ini tidak akan lama.""Aku tahu," kata Eva dengan ketenangan palsu.Dia mengintip ke a
Aiden menciumnya dengan mengejutkan.Ciuman ini berbeda. Awalnya ciuman ini sangat lembut, begitu lembut sampai Eva merasa kalau dia berada di awan. Sampai kemudian ciuman itu berubah menjadi lebih intens dan mendesak daripada yang tadi. Aiden menggigit bibirnya, bertekad untuk mengalahkannya, dan Eva merasakan darah di mulutnya. Ciuman itu terasa seperti ujian seolah-olah Aiden mencoba mengambil keputusan tentang sesuatu atau menenangkan kekacauan batin.Eva merasa ngeri dan tercekik. Kepalanya berputar, dia berpikir kalau dia akan pingsan. Eva mengerahkan kekuatannya dan mencoba mendorong Aiden menjauh darinya. Eva terkejut ketika Aiden mengizinkannya untuk mendorongnya menjauh dan mengakhiri ciuman gila itu. Aiden menjauh dengan lesu lalu menyeka darah dari mulutnya seperti vampir.Matanya terlihat gila dan haus darah, "Apakah kau tahu apa yang aku benci, Eva?"Dia berhenti, memberi Eva kesempatan untuk menjawab, tapi Eva menganga dan menatap Aiden tanpa berkata-kata. Eva melihat bi
"Tuan Aiden, hasil tesnya sudah keluar."Alfred menyerahkan hasil tes itu kepada Aiden lalu menatap Eva yang memicu terornya. Eva hanya bisa melihat bagian belakang kertas putih kosong yang akan menentukan nasibnya. Aiden membaca sekilas laporan berbagai ukuran serta bagan sebelum membaca hasil tes. Dia mengangkat mata dari kertas lalu menatap tajam ke arah Steven Lewis."Apakah ini asli?" Tanya Aiden."Ya, Tuan Aiden," jawab Alfred dengan jujur, "Saya berada di sana sepanjang waktu. Tidak ada yang mengutak-atik apapun.""Tuan Aiden, jika Anda ragu, Anda dapat memeriksakan hasilnya di rumah sakit lain," kata Steven Lewis.Steven melepas sarung tangan lateksnya lalu membuangnya di tempat sampah. Tiba-tiba dia merasakan dingin di pelipisnya. Setelah menerima beberapa sinyal rahasia dari Aiden, Alfred menodongkan pistol ke kepala Profesor.Aiden mendekati Steven Lewis, "Sebastian adalah putramu dan kau mungkin ingin melindunginya. Jika itu benar, aku tidak peduli dengan hubungan keluarga
Eva terengah-engah selama beberapa menit sebelum kemudian bertanya, "Aiden, bisakah kau membiarkan aku memilihmu atas keinginanku sendiri?""Apa maksudmu?" tanya Aiden."Apa kau pikir kau benar-benar bisa memenangkan hatiku kembali? Bisakah kau mengIzinkanku untuk jatuh cinta padamu lagi, Aiden? Untuk melahirkan anakmu saat aku siap?""Apakah ini permainan untuk mengulur waktu, Eva?" Aiden bertanya dengan curiga, meskipun dia merasakan jantungnya berdebar penuh harap, "Apakah kau takut aku akan menyakiti Sebastian atau keluarganya?""Tidak," jawab Eva tanpa ragu. Dia mencoba untuk tetap tenang meski merasa bingung. Eva tahu kalau seluruh pemeriksaan fisik adalah siasat yang kejam sehingga Aiden bisa membuatnya khawatir dan menderita sebelum mengejar Sebastian.Itu semua salahku, pikirnya, Sebastian hanyalah seorang dokter yang tidak bersalah, dan aku telah mempertaruhkan nyawa Sebastian dengan meminta bantuannya. Aku tidak bisa membuat Sebastian kehilangan nyawa gara-gara aku.Aiden me
Eva merasakan sentakan listrik.Eva tahu jawaban dari pertanyaan Aiden, tetapi keberanian Aiden mengejutkannya, matanya membelalak. Dia tidak percaya Aiden akan mengatakan 'hal itu' di sini. Eva juga tidak mengerti kenapa Aiden ingin bercinta dengannya dan mengirim permintaan pertemanan di media sosial ketika Aiden jelas-jelas mencintai Rachel. Ya kan? Setidaknya itu yang Eva tangkap dari obrolan Aiden dan Rebecca yang sebelumnya tidak sengaja ia dengar.Eva mendesah. Sepertinya Aiden bisa terangsang oleh semua wanita. Aiden sepertinya selalu menginginkannya. Eva bertanya-tanya dari mana asal rumor yang mengatakan kalau Aiden tidak tertarik pada wanita. Jelas-jelas itu adalah omong kosong. 'Senjata' Aiden bahkan sekeras ini."Kenapa tidak, Suamiku?" Jawab Eva, dia tersenyum dengan semua pesona yang bisa dikerahkannya.Eva melihat melewati bahu Aiden ke arah Alfred yang berdiri di sudut, "Apa kau mau bergabung dengan kami, Tuan Alfred?""Aku tidak akan … aku … aku tidak," Alfred menjad
"Apakah kau tertarik pada wanita itu, Sebastian?" tanya Steven menuntut.Sebastian mencoba menghindar dengan cara menunduk tetapi file-file itu tetap menghantam kepalanya, "Tidak.""TIDAK?" Steven bertanya dengan tidak percaya.Dia tidak percaya anaknya. Jika Sebastian tidak tertarik pada Eva, dia tidak akan pernah melakukan hal bodoh seperti berbohong kepada Aiden Malik. Jika tersiar kabar bahwa Sebastian mencoba merayu salah satu istri pasiennya, seluruh rumah sakit akan hancur. Keluarga kaya dan berkuasa tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah sakit Lewis lagi."Katakan padaku, Sebastian, kenapa Eva memakai cincin nenekmu?" dia bertanya."Jadi bagaimana jika dia memang memakai cincin itu?" kata Sebastian."Apa yang kau pikirkan, Sebastian?" Steven berkata, dengan marah, "Itu adalah pusaka keluarga kita dan itu dimaksudkan untuk calon istrimu. Dapatkan cincin itu kembali!"Sebastian mengenang kegembiraan dan kepuasan yang dia rasakan saat melihat cincin itu melingkar di jari Ev
Bandara terlihat ramai, tapi itu tidak membuat seorang gadis dengan tubuh model berjalan dengan angkuh sembari menarik tas kopernya.Di area penjemputan penumpang, mata gadis itu menatap sekeliling dimana ada banyak orang yang berdiri untuk menunggu kerabat, teman atapun rekan. Sampai akhirnya dia mendengar teriakan itu disertai lambaian tangan dari seorang yang ia kenali."Rebecca!" panggil Rachel sembari mengangkat selembar karton bertuliskan namanya.Rebecca segera menghampiri Rachel, keduanya saling berpelukan, "Apa kabar?" tanya Rachel pada Rebecca, "Lama kita tidak bertemu, kau semakin cantik saja adikku.""Kakak," seru Rebecca rasanya ia ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengan saudarinya itu, "Aku merindukanmu.""Sama. Ayo, kita ke apartemenku. Kau bisa menginap di sana.""Ngomong-ngomong, mana pacarmu katanya kau sudah punya pacar," tukas Rebecca sembari melihat kesana kemari."Ah, dia sedang bekerja dan tidak bisa ikut menjemputmu. Aku akan mengenalkanmu padanya
"Aduh, sudah-sudah. Cucu kita hanya ingin berbulan madu saja. Biarkan saja." Alaric menengahi, "Minum saja tehmu, Victoria."Aiden bergerak sigap mengambil cangkir teh Victoria lalu menyodorkannya ke wanita tua itu. Wanita tua itu mau tak mau tersenyum, "Kau ini, cucu nakal, mana ada bulan madu selama ini. Bilang saja kalau ini hanya akal-akalanmu untuk menolak kembali. Ya, kan?"Mendengar itu Aiden hanya tertawa saja.Beberapa waktu kemudian, keduanya lantas pulang dengan membawa banyak buah tangan. Alaric melambaikan tangan sedangkan Victoria berbalik masuk ke dalam mansion.---Alfred melihat adiknya yang sedang melakukan terapi. Sudah beberapa lama ini dia mengambil cuti karena hendak menemani adiknya menjalani terapi dan proses kesembuhan.Aiden telah memiliki bisnisnya sendiri dalam bidang pengiriman, meski tidak sebesar Malik Group tapi, meskipun begitu, hal tersebut tidak menghalangi Aiden dalam membiayai semua perawatan adik Alfred hingga hampir sembuh seperti ini.Alfred hany
"Halo!" ucap Aiden ketika menerima panggilan masuk tersebut. Dia sekarang berada di balkon dimana langit malam menjadi panoramanya..Terdengar deheman dari seberang sana sebelum kemudian suara familiar orang tua itu menyapa telinganya."Aiden ... ""Ya, kakek ...""Kapan kau kembali ke mansion Malik?" Pertanyaan itu membuat Aiden terdiam. Ini bukan kali pertama Alaric Malik menghubunginya dan memintanya kembali, "Bagaimana mungkin kau pergi di saat aku menyuruhmu pergi. Aku ini orang tua, sesekali marah adalah hal yang wajar. Kenapa kau harus mengambil hati hal tersebut. Kembalilah ke Mansion Malik. Nenekmu sangat merindukanmu. Sudah berapa lama kau tidak pulang?"Aiden menyandar ke dinding balkon sembari mendongak ke langit, "Maafkan aku, Kek. Bukan aku durhaka dan tidak peduli dengan kerinduanmu. Tapi, yang kalian inginkan untuk kembali ke mansion Malik hanyalah Aiden. Eva adalah istriku. Aku dan dia adalah satu kesatuan."Alaric terdiam beberapa saat, "Jika memang itu yang kau ingin
Eva membuka pintu dan mendapati Sebastian Lewis berdiri di sana."Siapa, sayang?" tanya Aiden sembari menghampiri Eva yang terpaku di depan pintu."Halo, Eva, Aiden!" sapa Sebastian ramah seolah sebelumnya mereka tidak pernah berselisih dan tanpa masalah, "Boleh aku masuk?"Eva yang tersadar bermaksud untuk mempersilahkan Sebastian masuk namun, belum sempat Eva melakukannya Aiden telah lebih dulu mengambil alih dengan melangkah maju dan menjawab, "Tidak!" sembari tersenyum.Sebastian yang telah menduga itu balas tersenyum, "Baiklah kalau begitu," katanya. Dia pura-pura hendak membalikkan tubuh lalu tanpa disangka ketika Aiden lengah dia bergerak maju dengan melewati bawah lengan Aiden yang terentang di pintu."Terima kasih telah mempersilahkan aku masuk, Malik!" ucap Sebastian kalem, dia lantas beralih duduk di sofa.Aiden yang melihat itu menghampiri Sebastian sembari mendesis, "Tidak ada yang mempersilahkanmu masuk, lalu siapa juga yang menyuruhmu duduk di sofa itu," sergah Aiden.Ev
Tanpa sadar, Eva tersentak saat Aiden berdiri lalu dengan lembut menggigit puting payudaranya dengan gemas."Aiden ... aku ..." Namun, seolah teringat sesuatu, setelah itu Aiden tidak melakukan apapun. Dia diam membuat Eva bertanya-tanya ada apa gerangan."Aiden, ada apa?" tanya Eva, dia beralih duduk di hadapan pria itu. Aiden menarik selimut lalu menutupi sebagian tubuh Eva yang terbuka dan tubuhnya sendiri. Ada apa ini? "Aku teringat kalau aku belum mendapatkan maaf yang semestinya darimu atas pemaksaan yang kulakukan padamu waktu itu, Eva." Terakhir kali Aiden mengatakannya, Eva sedang mabuk dan Aiden merasa permasalahan itu belum tuntas. Itu terasa mengganjal di hatinya. Aiden kini beralih duduk di tepi ranjang dengan kaki menyentuh lantai. "Aku memang suamimu, tapi, saat itu, aku sudah berlaku kasar dengan melakukannnya tanpa persetujuan darimu. Aku merasa telah melakukan kesalahan yang membuatmu ...""Aiden," Eva meraih bahu Aiden. Membuat tatapan mereka kembali bertemu, "Janga
Sepanjang jalan dari ruangan duduk sampai ke kamar kedua pakaian mereka berserakan. Eva meremas rambut Aiden saat pria itu menciumnya dengan penuh gairah.Hasrat keduanya begitu menggebu-gebu hingga terasa seolah akan meledak. Dengan bunyi gedebuk, pintu kamar tertutup di belakang mereka. Bibir mereka beradu dalam pelukan penuh gairah. Tangan Aiden dengan lembut memeluk leher Eva saat mulut mereka bertemu, keduanya mendambakan momen ini. Jarak ke tempat tidur mungkin tidak terlalu jauh, namun cobaan yang mereka alami sejak kecelakaan itu membuat ciuman ini terasa seperti hadiah yang telah lama ditunggu-tunggu.Eva terengah-engah ketika Aiden separuh mengangkat tubuhnya, dia melingkarkan lengannya di leher Aiden. Perbedaan tinggi badan mereka membuat dia harus memiringkan kepalanya sedikit ke atas.Aiden dengan lembut menggigit bibir Eva, lidahnya secara alami menyelinap di antara keduanya. Gesekan basah dan sensual di antara bibir mereka menciptakan suara lembab dan memikat yang memen
Ruangan itu cukup besar meski tidak sebesar ruangan-ruangan di mansion Malik. Sudah beberapa minggu ini, Eva tinggal di penthouse ini bersama Aiden.Sesekali Eva memainkan piano yang berada di salah satu sudut ruangan dimana jendela kaca besar berada. Dari kaca jendela besar itu pemandangan kota dapat terlihat dengan jelas. Intensitas cahayanya di malam hari dan siang hari.Awalnya Eva begitu terkejut ketika saat itu Aiden menggenggam tangannya. Pria itu lebih memilih Eva ketika Alaric yang murka akibat kecelakaan yang menimpa mereka menyuruh keduanya bercerai."Aiden adalah pewarisku. Pewaris Malik. Bisa-bisanya dia membahayakan nyawanya untukmu, Eva. Aku tidak bisa menerima ini. Segera bercerai dengan Aiden. Aku akan memberikan kompensasi yang sesuai untukmu." Itu adalah ultimatum yang diucapkan oleh Alaric.Tepat saat itu Aiden masuk."Eva adalah istriku, Kek. Sudah sepatutnya seorang suami melindungi istri," jawab Aiden, dia meraih tangan Eva lalu menyatukan kedua jemari mereka."B
Mata dan jari Eva perlahan menelusuri kulit Aiden."Bagaimana lukamu, Aiden?" tanya Eva, dia bertanya dengan tulus dan benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu.Mendengar pertanyaan yang sarat dengan kekhawatiran itu membuat Aiden berbalik menghadap Eva, sebuah senyum terulas di bibirnya."Apa kau mengkhawatirkanku, Eva?" tanyanya."Ya," jawab Eva dengan mimik wajah serius, membuat Aiden terhenyak sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala."Lama-lama aku bisa terbiasa dengan kekhawatiran dan kepedulianmu kepadaku, Eva," cetus Aiden, "Rasanya kita seperti pasangan suami istri sungguhan."Eva mengalungkan kedua lengannya di leher Aiden, "Kalau begitu biasakanlah, Aiden," Dia menatap kedua bola mata pria itu, "Bukankah itu yang kau dan aku inginkan? Menjadi pasangan suami istri sungguhan? Atau jangan-jangan sekarang kau berubah pikiran lagi, Aiden?"Aiden tak menyangka dengan penuturan Eva, "Sejujurnya aku yang mengira kau yang akan berubah pikiran, Eva. Setelah pertemuanmu dengan Dok
Lalu, tatapan Aiden beralih ke Rebecca yang berdiri di belakang Victoria. Rebecca yang menyadari hal tersebut buru-buru menghampiri Aiden lalu memeluknya tanpa mempertimbangkan perasaan Eva. Aiden meringis ketika merasakan sentuhan Rebecca mengenai luka di punggungnya. Eva yang melihat ringisan Aiden buru-buru menarik lepas lengan Rebecca dari suaminya.Menyadari itu, Aiden merasa takjub. Dia senang Eva peduli padanya tidak seperti dulu yang tidak peduli dan bahkan melemparkan Aiden pada wanita lain. Hatinya menjadi 'sangat ringan'."Aiden, syukurlah kau selamat. Huhu, aku benar-benar takut sewaktu mendengar kabar dari Nyonya Victoria tentang dirimu," Rebecca tebal muka dan mengabaikan tindakan Eva. Dia memberikan efek sedih dengan tangisannya. Tapi, Eva dan Aiden mana percaya lagi."Itu benar, Aiden. Rebecca sangat khawatir padamu. Dia bahkan menangis semalam." Victoria menambahkan, Rebecca di sebelahnya mengangguk mengiyakan."Lihat nih, mataku bengkak karena semalaman menangis meng