Adriana menunggu keputusan Victoria sedangkan Victoria menatap penuh tanya ke arah Rebecca.Rebecca lantas memelototi Eva dengan ganas lalu merendahkan suaranya, "Nyonya Victoria, aku tidak tahu apa-apa tentang wawancara itu."Victoria memandang Eva dengan hati-hati, "Permainan apa yang sedang kau mainkan sekarang ini, Eva?"Sejak kapan cucu menantunya ini menjadi begitu tak terduga? Dia benar-benar berbeda dengan Eva yang dulu. Di masa lalu wanita ini selalu patuh dalam menerima setiap hukuman. Apa jangan-jangan usaha bunuh diri di tepi pantai waktu itu membuatnya shock hingga mengubah kepribadiannya menjadi seperti ini? Pikir Victoria."Ah, aku tidak punya keberanian untuk melakukan permainan, Nyonya Victoria. Aku hanya bermaksud untuk bernegosiasi dengan Adriana saja," jawab Eva, "Kurasa dia bisa memecut wajahku jika dia mau. Namun, make upi tidak akan bisa menutupinya dengan sempurna, tapi tidak apa-apa. Itu akan menjadi wawancara yang menarik, bukan? Mungkin saja akan muncul beri
"Ah, ternyata Tuan Aiden Malik yang terhormat," Eva berkata dengan dingin, "Kejutan yang menyenangkan.""Jangan bicara padaku seperti itu, Eva," Aiden mengerutkan dahi. Mata pria itu memandangi tubuh Eva, "Di mana mereka memukulmu? Bagian mana yang terluka?""Apakah kau benar-benar khawatir atau hanya ingin tahu saja?"Mengabaikan pertanyaan itu, Aiden menarik lengan Eva dan memaksanya berputar dalam lingkaran lambat. Aiden tidak bisa menemukan jejak luka pada dirinya, segera rahangnya mengendur karena lega.Aiden mengkhawatirkannya. Dia tidak bisa membayangkan tubuh Eva yang sempurna ditandai dengan memar dan luka, pikiran itu membuatnya kesal. Setelah melihat sendiri kondisi Eva yang tak terluka, membuat Aiden merasa lega."Bawa Nyonya Eva kembali ke kamar dan panggil Dokter Benjamin untuk memeriksa kondisi istriku," perintahnya.Aiden memutuskan untuk berbicara dengan neneknya; Aiden perlu tahu apa yang terjadi di ruang duduk wanita tua itu. Namun, saat Aiden mendekati pintu, dia m
Aiden bergegas ke kamar tidur. Di pintu, seorang pelayan memberitahunya bahwa Eva sedang tidur. Istrinya terlihat meringkuk di bawah selimut lebar yang menyamarkan bentuk tubuhnya.Rambut pirang halusnya tergerai di atas bantal. Bulu matanya yang lentik berkedip dan bergetar. Lehernya yang putih dan tulang selangka yang halus mengintip dari balik selimut. Aiden merasakan hasrat memompa darahnya.Dulu Eva seperti boneka tanpa jiwa, tapi sekarang istrinya itu tampak seolah bertekad menantang dan mengganggu serta mempermalukannya. Aiden tidak menginginkan apa pun selain menaklukkan Eva.Istrinya itu mengerang dalam tidur. Wajahnya terkubur jauh di dalam bantal, tapi, menoleh ke arah Aiden. Pipi Eva luar biasa merah dan dia menggumamkan sesuatu. Aiden membungkuk, mencoba mendengar apa yang Eva katakan."Biarkan aku pergi, biarkan aku pergi," erangnya.Aiden mengerutkan dahi. Apakah di dalam mimpipun Eva berniat meninggalkankannya? Di masa lalu, Eva selalu ingin menempel padanya, tapi seka
Tiba-tiba Aiden meraih wajah Eva lalu menciumnya. Eva menggeliat, tapi dia tidak bisa kabur.Brengsek! Aiden menciumnya seolah tidak ada hari esok. Tentu saja Aiden ingin berhubungan badan dengan Eva, tapi sejujurnya dia menginginkan lebih dari itu.Eva merasakan pelukan Aiden semakin erat. Eva bertanya-tanya apakah mungkin Aiden mematahkan lengannya. Eva merasa hampir tidak bisa bernapas, dia juga hampir merasa tersedak oleh intensitas ciuman itu. Aiden menarik diri saat Eva mengira dirinya akan pingsan. Keduanya terengah-engah.Eva memelototi Aiden. Kenapa suaminya itu selalu menciumnya seperti sedang mencoba membunuhnya. Sungguh menakutkan.Aiden menyeret jari-jarinya yang kasar ke bibir merah Eva. Suaranya dalam dan serak, "Aku akan melanjutkan hukumanmu jika kau tidak berperilaku baik."Eva mengepalkan jari-jarinya. Dia ingin memukul Aiden, tetapi dia tidak memiliki kekuatan untuk itu."Habiskan buburnya lalu aku akan mengabulkan satu permintaanmu," Aiden menyodorkan sendok beris
Alfred terkejut melihat Aiden tersenyum."Tuan Aiden, Nona Rebecca ingin bertemu dengan Anda," Alfred berkata.Aiden mendongak ke arah Alfred. "Suruh dia masuk, Alfred."Alfred menepi dari pintu, tak lama Rebecca melangkah masuk. Gadis itu berdiri sembari menatap sepatunya dengan rasa bersalah seperti anak kecil yang telah melakukan kesalahan. Ekspresinya yang menyedihkan tampaknya dirancang untuk membangkitkan simpati pria yang ada di hadapannya."Aiden," gumam Rebecca.Alfred menganggap Aiden ingin melakukan percakapan pribadi, jadi dia bergerak untuk menutup pintu sembari keluar dari ruangan, tetapi Aiden menghentikannya dengan gerakan tangan. Alfred membeku di samping pintu yang setengah terbuka. Rebecca menyeringai cemas, dia tidak ingin kepala pelayan mendengar apa yang dia katakan."Aiden, aku ingin memberitahumu kalau aku membela Eva ketika Nyonya Victoria hendak memecutnya. Tapi Eva tampaknya bertekad untuk membuat nenekmu marah," katanya, "Kau tahu kan betapa keras kepalanya
Rebecca merasa ragu-ragu. Pipinya terasa panas."Aiden, malam itu kita … Bukankah kita melakukannya? Apa kau tidak ingat?"Hal terakhir yang Rebecca ingat adalah mencium bau lilin di kamar Aiden. Ketika dia bangun dan menemukan lehernya dipenuhi ruam biru dan ungu, dia mengira Aiden yang telah memberi kecupan dan gigitan di lehernya. Rebecca menunggu Aiden datang padanya, tapi pria itu tak kunjung datang. Rebecca akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mendatangi pria itu.Aiden bersandar di kursi dan menatap layar tabletnya. Tanpa mendongak dia dengan tenang bertanya, "Apakah aku melakukan sesuatu? Kurasa ada kesalahpahaman di sini.""Ayolah, Aiden," Rebecca cemberut, "Apakah kau masih marah padaku? Waktu itu aku merasa gugup dan salah satu pelayan menyuruhku menggunakan borrachero untuk menenangkan sarafku. Aku tidak bermaksud menyakitimu."Air mata besar mulai menetes di pipi Rebecca. Aiden mengerutkan dahi. Dia pernah mendengar orang mengatakan bahwa wanita selembut air dan mudah m
"Aku tidak tidur denganmu, Rebecca. Maafkan aku, tapi, aku hanya tidur dengan wanita yang membuatku tertarik." Aiden berbicara perlahan demi menghindari kemungkinan salah paham."Itu tidak mungkin!" Rebecca terengah-engah, "Mengapa kau mengundangku untuk tinggal di mansion ini jika kau sama sekali tidak tertarik denganku?"Aiden mengambil sebotol wine lalu menuangnya ke gelas. Dia tahu bahwa Eva yang mengundang Rebecca. Aiden mengizinkannya karena dia ingin tahu permainan apa yang sedang dimainkan istrinya.Secara pribadi, Aiden sama sekali tidak suka ada wanita di sekitarnya, bahkan kehadiran pelayan mengganggunya. Aiden selalu berusaha menjauh dari mereka sebisa mungkin. Dia lebih mengandalkan Alfred. Jika beberapa tugas memerlukan kontak fisik, dia bersikeras agar Alfred melakukannya."Apakah kau tidak menikmati keramahan mansion kami?" Aiden bertanya."Tentu saja aku menikmatinya. Hanya saja … kupikir kau ...""Nenekku sangat menyukaimu. Kau harus menghabiskan lebih banyak waktu d
Di kamar tidur, Eva terbangun dari tidurnya yang gelisah. Pintunya terbuka agar udara segar bersirkulasi. Samar-samar Eva mendengar percakapan antara Rebecca dan Aiden di ruang kerja sebelah.Kata-kata itu berputar-putar dalam pikirannya yang panas."Aku tidak menyentuhmu, Rebecca. Menurut Benjamin, tanda di lehermu itu akibat reaksi alergi.""Aku hanya tidak tertarik padamu.""Apakah kau menggunakan aku untuk melindungi Rachel?""Jika Rachel kembali, apakah kau akan memberikan segalanya untuknya, Aiden?""Aku tahu Eva akan terpaksa cerai denganmu jika dia tidak melahirkan ahli waris dalam tiga tahun pertama pernikahan kalian. Itulah sebabnya kau meminta Rachel untuk menunggu selama tiga tahun. Aku benar kan, Aiden?"Suara Aiden dan Rebecca membuat Eva terjaga. Dia mengerutkan dahi kesal karena kedua orang itu telah mengganggu tidurnya. Tapi perlahan, pikiran Evamulai bekerja. Jadi saudara perempuan Rebecca, Rachel, adalah kekasih masa kecil Aiden yang sebenarnya. Itu mengejutkan. Aid