Aiden tentu saja marah begitu mendengar laporan yang baru saja disampaikan oleh Alfred, "Beraninya Eva bertemu dengan Sebastian lagi."Alfred menatap lantai, ia merasa khawatir sekaligus takut jika entah bagaimana Aiden mungkin akan menemukan cara dalam menyalahkan dirinya atas tindakan Eva yang tidak patuh.Selama bertahun-tahun, Alfred dapat mempertahankan posisinya karena reputasi Alfred yang dikenal selalu berhasil melaksanakan perintah Aiden.Tapi, kini tampaknya kondisinya sungguh tidak baik bagi Alfred karena fakta kalau Alfred membutuhkan waktu yang lama dalam menemukan identitas pria misterius yang sering ditelepon dan ditemui oleh Eva menjadi nilai minus bagi Alfred."Katakan pada perawat untuk memberikan pesan kepada Eva," Aiden berkata, "Katakan pada istriku jika dia tidak menjawab panggilan telepon dariku ketika aku meneleponnya, aku akan memikirkan seribu satu cara yang berbeda dan menyakitkan dalam mencabut tabung pernapasan pengasuhnya."Alfred mengangguk cepat, "Baik,
"Nyonya Eva Malik, panggilan ini untukmu."Karena tergesa-gesa, perawat itu terpeleset di tangga dan jatuh ke tanah. Sebastian dan Eva melangkah maju untuk membantunya berdiri. Kepala perawat itu tersipu dan menatap penuh syukur."Terima kasih, Dokter Sebastian dan Nyonya Eva. Oh ya, Nyonya Eva, Tuan Aiden berkata bahwa jika Anda menolak untuk berbicara dengannya di ponsel, dia akan mencabut tabung pernapasan pengasuh Anda," Kepala perawat itu berkata.Eva meringis dan menggertakkan gigi. Rupanya iblis itu telah terbangun. Kenapa dia tidak sekalian mati saja? pikirnya pahit.Dengan enggan Eva mengambil ponsel yang disodorkan. Segera dia melihat wajah Aiden yang terpahat sempurna muncul di layar. Meski hanya lewat video call, tapi, aura pria itu masih terlihat mengancam."Siapa orang yang akan kau layani dengan pakaian pelayan itu?" Aiden bertanya dengan nada mengejek.Dia berdiri di depan aquarium ikan persegi panjang besar yang berisi spesies ikan langka. Mesin oksigen meniupkan gelem
"Apa sih yang kau lakukan di rumah sakit, Eva?" cibir Aiden."Sama seperti tujuan semua orang saat ke rumah sakit, Aiden, tentu saja untuk menemui dokter," jawabnya, "Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan?""Dokter Sebastian Lewis?" Aiden bersuara karena dia merasa kesal melihat mereka berdua main kode-kodean saat dirinya sedang menelepon."Ya?" tanya Sebastian."Aku berbicara dengan istriku. Eva aku ingin kau sudah berada di rumah ini dalam waktu kurang dari dua puluh lima menit," kata Aiden.Di layar, Aiden terlihat dengan santainya melemparkan makanan ikan ke dalam tangki. Ikan berenang ke permukaan dan melahap makanan. Eva seolah bisa mendengar nada mengancam dalam tindakan itu: Tunggu dan lihat apa yang akan kulakukan padamu nanti. Eva mengakhiri panggilan video, dia tidak tahan dengan Aiden.Eva mengembalikan ponsel ke kepala perawat saat lusinan mobil sport hitam berhenti di depan rumah sakit. Eva berpura-pura tidak peduli, tapi dia tahu dia harus segera pergi."Apakah mereka
Kalah dalam jumlah dan lemah karena afrodisiak apalagi ditambah Eva juga habis mandi air dingin, membuat Eva pasrah dan membiarkan mereka membawanya.Pelayan-pelayan itu menyeretnya melewati lorong rumah lalu masuk ke ruangan dimana seorang Victoria Malik telah duduk menunggu dengan angkuh. Di belakangnya berdiri Rebecca Jonas.Seorang pelayan mendorong Eva dari belakang, membuatnya jatuh berlutut di kaki Victoria Malik. Karpet wol berpola rumit namun, berselera tinggi bergesekan dengan kakinya yang telanjang.Eva berbalik lalu menatap tajam ke arah Adriana Thompson. Victoria Malik bermaksud mendisiplinkan Eva. Sebagai asisten Victoria, Adriana, selalu sangat ingin membantu Victoria dalam menghukum Eva. "Nyonya Victoria, Nona Jonas, Nyonya Eva telah berada di sini," Adriana mengumumkan."Ambil rotan pemukul."Tali yang diikat erat di lengan mencegah Eva melepaskan diri. Dikalahkan, dia berhenti berjuang dan berlutut di lantai."Aku tidak tahu kalau Anda sangat menyukaiku, Nyonya Victor
Adriana menunggu keputusan Victoria sedangkan Victoria menatap penuh tanya ke arah Rebecca.Rebecca lantas memelototi Eva dengan ganas lalu merendahkan suaranya, "Nyonya Victoria, aku tidak tahu apa-apa tentang wawancara itu."Victoria memandang Eva dengan hati-hati, "Permainan apa yang sedang kau mainkan sekarang ini, Eva?"Sejak kapan cucu menantunya ini menjadi begitu tak terduga? Dia benar-benar berbeda dengan Eva yang dulu. Di masa lalu wanita ini selalu patuh dalam menerima setiap hukuman. Apa jangan-jangan usaha bunuh diri di tepi pantai waktu itu membuatnya shock hingga mengubah kepribadiannya menjadi seperti ini? Pikir Victoria."Ah, aku tidak punya keberanian untuk melakukan permainan, Nyonya Victoria. Aku hanya bermaksud untuk bernegosiasi dengan Adriana saja," jawab Eva, "Kurasa dia bisa memecut wajahku jika dia mau. Namun, make upi tidak akan bisa menutupinya dengan sempurna, tapi tidak apa-apa. Itu akan menjadi wawancara yang menarik, bukan? Mungkin saja akan muncul beri
"Ah, ternyata Tuan Aiden Malik yang terhormat," Eva berkata dengan dingin, "Kejutan yang menyenangkan.""Jangan bicara padaku seperti itu, Eva," Aiden mengerutkan dahi. Mata pria itu memandangi tubuh Eva, "Di mana mereka memukulmu? Bagian mana yang terluka?""Apakah kau benar-benar khawatir atau hanya ingin tahu saja?"Mengabaikan pertanyaan itu, Aiden menarik lengan Eva dan memaksanya berputar dalam lingkaran lambat. Aiden tidak bisa menemukan jejak luka pada dirinya, segera rahangnya mengendur karena lega.Aiden mengkhawatirkannya. Dia tidak bisa membayangkan tubuh Eva yang sempurna ditandai dengan memar dan luka, pikiran itu membuatnya kesal. Setelah melihat sendiri kondisi Eva yang tak terluka, membuat Aiden merasa lega."Bawa Nyonya Eva kembali ke kamar dan panggil Dokter Benjamin untuk memeriksa kondisi istriku," perintahnya.Aiden memutuskan untuk berbicara dengan neneknya; Aiden perlu tahu apa yang terjadi di ruang duduk wanita tua itu. Namun, saat Aiden mendekati pintu, dia m
Aiden bergegas ke kamar tidur. Di pintu, seorang pelayan memberitahunya bahwa Eva sedang tidur. Istrinya terlihat meringkuk di bawah selimut lebar yang menyamarkan bentuk tubuhnya.Rambut pirang halusnya tergerai di atas bantal. Bulu matanya yang lentik berkedip dan bergetar. Lehernya yang putih dan tulang selangka yang halus mengintip dari balik selimut. Aiden merasakan hasrat memompa darahnya.Dulu Eva seperti boneka tanpa jiwa, tapi sekarang istrinya itu tampak seolah bertekad menantang dan mengganggu serta mempermalukannya. Aiden tidak menginginkan apa pun selain menaklukkan Eva.Istrinya itu mengerang dalam tidur. Wajahnya terkubur jauh di dalam bantal, tapi, menoleh ke arah Aiden. Pipi Eva luar biasa merah dan dia menggumamkan sesuatu. Aiden membungkuk, mencoba mendengar apa yang Eva katakan."Biarkan aku pergi, biarkan aku pergi," erangnya.Aiden mengerutkan dahi. Apakah di dalam mimpipun Eva berniat meninggalkankannya? Di masa lalu, Eva selalu ingin menempel padanya, tapi seka
Tiba-tiba Aiden meraih wajah Eva lalu menciumnya. Eva menggeliat, tapi dia tidak bisa kabur.Brengsek! Aiden menciumnya seolah tidak ada hari esok. Tentu saja Aiden ingin berhubungan badan dengan Eva, tapi sejujurnya dia menginginkan lebih dari itu.Eva merasakan pelukan Aiden semakin erat. Eva bertanya-tanya apakah mungkin Aiden mematahkan lengannya. Eva merasa hampir tidak bisa bernapas, dia juga hampir merasa tersedak oleh intensitas ciuman itu. Aiden menarik diri saat Eva mengira dirinya akan pingsan. Keduanya terengah-engah.Eva memelototi Aiden. Kenapa suaminya itu selalu menciumnya seperti sedang mencoba membunuhnya. Sungguh menakutkan.Aiden menyeret jari-jarinya yang kasar ke bibir merah Eva. Suaranya dalam dan serak, "Aku akan melanjutkan hukumanmu jika kau tidak berperilaku baik."Eva mengepalkan jari-jarinya. Dia ingin memukul Aiden, tetapi dia tidak memiliki kekuatan untuk itu."Habiskan buburnya lalu aku akan mengabulkan satu permintaanmu," Aiden menyodorkan sendok beris
Bandara terlihat ramai, tapi itu tidak membuat seorang gadis dengan tubuh model berjalan dengan angkuh sembari menarik tas kopernya.Di area penjemputan penumpang, mata gadis itu menatap sekeliling dimana ada banyak orang yang berdiri untuk menunggu kerabat, teman atapun rekan. Sampai akhirnya dia mendengar teriakan itu disertai lambaian tangan dari seorang yang ia kenali."Rebecca!" panggil Rachel sembari mengangkat selembar karton bertuliskan namanya.Rebecca segera menghampiri Rachel, keduanya saling berpelukan, "Apa kabar?" tanya Rachel pada Rebecca, "Lama kita tidak bertemu, kau semakin cantik saja adikku.""Kakak," seru Rebecca rasanya ia ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengan saudarinya itu, "Aku merindukanmu.""Sama. Ayo, kita ke apartemenku. Kau bisa menginap di sana.""Ngomong-ngomong, mana pacarmu katanya kau sudah punya pacar," tukas Rebecca sembari melihat kesana kemari."Ah, dia sedang bekerja dan tidak bisa ikut menjemputmu. Aku akan mengenalkanmu padanya
"Aduh, sudah-sudah. Cucu kita hanya ingin berbulan madu saja. Biarkan saja." Alaric menengahi, "Minum saja tehmu, Victoria."Aiden bergerak sigap mengambil cangkir teh Victoria lalu menyodorkannya ke wanita tua itu. Wanita tua itu mau tak mau tersenyum, "Kau ini, cucu nakal, mana ada bulan madu selama ini. Bilang saja kalau ini hanya akal-akalanmu untuk menolak kembali. Ya, kan?"Mendengar itu Aiden hanya tertawa saja.Beberapa waktu kemudian, keduanya lantas pulang dengan membawa banyak buah tangan. Alaric melambaikan tangan sedangkan Victoria berbalik masuk ke dalam mansion.---Alfred melihat adiknya yang sedang melakukan terapi. Sudah beberapa lama ini dia mengambil cuti karena hendak menemani adiknya menjalani terapi dan proses kesembuhan.Aiden telah memiliki bisnisnya sendiri dalam bidang pengiriman, meski tidak sebesar Malik Group tapi, meskipun begitu, hal tersebut tidak menghalangi Aiden dalam membiayai semua perawatan adik Alfred hingga hampir sembuh seperti ini.Alfred hany
"Halo!" ucap Aiden ketika menerima panggilan masuk tersebut. Dia sekarang berada di balkon dimana langit malam menjadi panoramanya..Terdengar deheman dari seberang sana sebelum kemudian suara familiar orang tua itu menyapa telinganya."Aiden ... ""Ya, kakek ...""Kapan kau kembali ke mansion Malik?" Pertanyaan itu membuat Aiden terdiam. Ini bukan kali pertama Alaric Malik menghubunginya dan memintanya kembali, "Bagaimana mungkin kau pergi di saat aku menyuruhmu pergi. Aku ini orang tua, sesekali marah adalah hal yang wajar. Kenapa kau harus mengambil hati hal tersebut. Kembalilah ke Mansion Malik. Nenekmu sangat merindukanmu. Sudah berapa lama kau tidak pulang?"Aiden menyandar ke dinding balkon sembari mendongak ke langit, "Maafkan aku, Kek. Bukan aku durhaka dan tidak peduli dengan kerinduanmu. Tapi, yang kalian inginkan untuk kembali ke mansion Malik hanyalah Aiden. Eva adalah istriku. Aku dan dia adalah satu kesatuan."Alaric terdiam beberapa saat, "Jika memang itu yang kau ingin
Eva membuka pintu dan mendapati Sebastian Lewis berdiri di sana."Siapa, sayang?" tanya Aiden sembari menghampiri Eva yang terpaku di depan pintu."Halo, Eva, Aiden!" sapa Sebastian ramah seolah sebelumnya mereka tidak pernah berselisih dan tanpa masalah, "Boleh aku masuk?"Eva yang tersadar bermaksud untuk mempersilahkan Sebastian masuk namun, belum sempat Eva melakukannya Aiden telah lebih dulu mengambil alih dengan melangkah maju dan menjawab, "Tidak!" sembari tersenyum.Sebastian yang telah menduga itu balas tersenyum, "Baiklah kalau begitu," katanya. Dia pura-pura hendak membalikkan tubuh lalu tanpa disangka ketika Aiden lengah dia bergerak maju dengan melewati bawah lengan Aiden yang terentang di pintu."Terima kasih telah mempersilahkan aku masuk, Malik!" ucap Sebastian kalem, dia lantas beralih duduk di sofa.Aiden yang melihat itu menghampiri Sebastian sembari mendesis, "Tidak ada yang mempersilahkanmu masuk, lalu siapa juga yang menyuruhmu duduk di sofa itu," sergah Aiden.Ev
Tanpa sadar, Eva tersentak saat Aiden berdiri lalu dengan lembut menggigit puting payudaranya dengan gemas."Aiden ... aku ..." Namun, seolah teringat sesuatu, setelah itu Aiden tidak melakukan apapun. Dia diam membuat Eva bertanya-tanya ada apa gerangan."Aiden, ada apa?" tanya Eva, dia beralih duduk di hadapan pria itu. Aiden menarik selimut lalu menutupi sebagian tubuh Eva yang terbuka dan tubuhnya sendiri. Ada apa ini? "Aku teringat kalau aku belum mendapatkan maaf yang semestinya darimu atas pemaksaan yang kulakukan padamu waktu itu, Eva." Terakhir kali Aiden mengatakannya, Eva sedang mabuk dan Aiden merasa permasalahan itu belum tuntas. Itu terasa mengganjal di hatinya. Aiden kini beralih duduk di tepi ranjang dengan kaki menyentuh lantai. "Aku memang suamimu, tapi, saat itu, aku sudah berlaku kasar dengan melakukannnya tanpa persetujuan darimu. Aku merasa telah melakukan kesalahan yang membuatmu ...""Aiden," Eva meraih bahu Aiden. Membuat tatapan mereka kembali bertemu, "Janga
Sepanjang jalan dari ruangan duduk sampai ke kamar kedua pakaian mereka berserakan. Eva meremas rambut Aiden saat pria itu menciumnya dengan penuh gairah.Hasrat keduanya begitu menggebu-gebu hingga terasa seolah akan meledak. Dengan bunyi gedebuk, pintu kamar tertutup di belakang mereka. Bibir mereka beradu dalam pelukan penuh gairah. Tangan Aiden dengan lembut memeluk leher Eva saat mulut mereka bertemu, keduanya mendambakan momen ini. Jarak ke tempat tidur mungkin tidak terlalu jauh, namun cobaan yang mereka alami sejak kecelakaan itu membuat ciuman ini terasa seperti hadiah yang telah lama ditunggu-tunggu.Eva terengah-engah ketika Aiden separuh mengangkat tubuhnya, dia melingkarkan lengannya di leher Aiden. Perbedaan tinggi badan mereka membuat dia harus memiringkan kepalanya sedikit ke atas.Aiden dengan lembut menggigit bibir Eva, lidahnya secara alami menyelinap di antara keduanya. Gesekan basah dan sensual di antara bibir mereka menciptakan suara lembab dan memikat yang memen
Ruangan itu cukup besar meski tidak sebesar ruangan-ruangan di mansion Malik. Sudah beberapa minggu ini, Eva tinggal di penthouse ini bersama Aiden.Sesekali Eva memainkan piano yang berada di salah satu sudut ruangan dimana jendela kaca besar berada. Dari kaca jendela besar itu pemandangan kota dapat terlihat dengan jelas. Intensitas cahayanya di malam hari dan siang hari.Awalnya Eva begitu terkejut ketika saat itu Aiden menggenggam tangannya. Pria itu lebih memilih Eva ketika Alaric yang murka akibat kecelakaan yang menimpa mereka menyuruh keduanya bercerai."Aiden adalah pewarisku. Pewaris Malik. Bisa-bisanya dia membahayakan nyawanya untukmu, Eva. Aku tidak bisa menerima ini. Segera bercerai dengan Aiden. Aku akan memberikan kompensasi yang sesuai untukmu." Itu adalah ultimatum yang diucapkan oleh Alaric.Tepat saat itu Aiden masuk."Eva adalah istriku, Kek. Sudah sepatutnya seorang suami melindungi istri," jawab Aiden, dia meraih tangan Eva lalu menyatukan kedua jemari mereka."B
Mata dan jari Eva perlahan menelusuri kulit Aiden."Bagaimana lukamu, Aiden?" tanya Eva, dia bertanya dengan tulus dan benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu.Mendengar pertanyaan yang sarat dengan kekhawatiran itu membuat Aiden berbalik menghadap Eva, sebuah senyum terulas di bibirnya."Apa kau mengkhawatirkanku, Eva?" tanyanya."Ya," jawab Eva dengan mimik wajah serius, membuat Aiden terhenyak sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala."Lama-lama aku bisa terbiasa dengan kekhawatiran dan kepedulianmu kepadaku, Eva," cetus Aiden, "Rasanya kita seperti pasangan suami istri sungguhan."Eva mengalungkan kedua lengannya di leher Aiden, "Kalau begitu biasakanlah, Aiden," Dia menatap kedua bola mata pria itu, "Bukankah itu yang kau dan aku inginkan? Menjadi pasangan suami istri sungguhan? Atau jangan-jangan sekarang kau berubah pikiran lagi, Aiden?"Aiden tak menyangka dengan penuturan Eva, "Sejujurnya aku yang mengira kau yang akan berubah pikiran, Eva. Setelah pertemuanmu dengan Dok
Lalu, tatapan Aiden beralih ke Rebecca yang berdiri di belakang Victoria. Rebecca yang menyadari hal tersebut buru-buru menghampiri Aiden lalu memeluknya tanpa mempertimbangkan perasaan Eva. Aiden meringis ketika merasakan sentuhan Rebecca mengenai luka di punggungnya. Eva yang melihat ringisan Aiden buru-buru menarik lepas lengan Rebecca dari suaminya.Menyadari itu, Aiden merasa takjub. Dia senang Eva peduli padanya tidak seperti dulu yang tidak peduli dan bahkan melemparkan Aiden pada wanita lain. Hatinya menjadi 'sangat ringan'."Aiden, syukurlah kau selamat. Huhu, aku benar-benar takut sewaktu mendengar kabar dari Nyonya Victoria tentang dirimu," Rebecca tebal muka dan mengabaikan tindakan Eva. Dia memberikan efek sedih dengan tangisannya. Tapi, Eva dan Aiden mana percaya lagi."Itu benar, Aiden. Rebecca sangat khawatir padamu. Dia bahkan menangis semalam." Victoria menambahkan, Rebecca di sebelahnya mengangguk mengiyakan."Lihat nih, mataku bengkak karena semalaman menangis meng