Eva terengah-engah, tapi dia tidak bisa mendapatkan cukup udara. Semuanya menjadi gelap. Ketika dia sadar, Eva menyadari kalau borgol dan penutup mata telah dilepas. Dia membuka mata dan melihat ke sekeliling ruangan, tetapi dia tidak bisa melihat apa-apa, semuanya gelap. Eva mengulurkan tangan, dia merasakan tubuh yang hangat di sebelahnya.Eva curiga pria di sebelahnya adalah pria yang sama yang menyetubuhinya. Hal itu membuat Eva ingin menangis. Dengan hati-hati Eva meraih meja samping tempat tidur, melingkarkan tangannya di sekitar lampu. Dia memiliki niat untuk memukul pria itu sampai mati.Namun, saat Eva mengangkat lampu di udara, pria yang sedang tertidur itu menoleh. Seberkas cahaya bulan menyinari wajah pria itu. Kepala Eva berputar.Tidak! Ini tidak mungkin, pikirnya, Aku pasti mengalami delusi. Itu tidak mungkin dia. Pria itu tidak mungkin Aiden Malik, suaminya.Eva menjatuhkan lampu. Bunyi gedebuk itu lantas membangunkan Aiden. Pria itu melihat ekspresi kaget Eva dan cembe
Perceraian dengan Aiden adalah hal yang selama ini Eva perjuangkan mati-matian.Selama ini Eva berusaha keras agar Aiden mau menceraikannya, tapi, sekarang ketika Aiden menanyakannya, kenapa tekad yang Eva miliki tak lagi sama?Meski Rebecca mengatakan kalau Eva hanyalah mesin pembuat anak bagi keluarga Malik dan akan segera dibuang ketika tidak berguna lagi. Karena sesungguhnya yang diinginkan Aiden adalah Rachel dan bukan dirinya.Memangnya Eva mau percaya apa dengan perkataan Rebecca? Tapi, tetap saja hal itu sedikit banyak turut mempengaruhi mood dan perasaan Eva. Ditambah Rebecca yang mati-matian berusaha memisahkan Aiden darinya. Sampai di titik ini Eva lelah."Jawab aku, Eva," ucapan Aiden membawa Eva kembali ke alam nyata.Dia menarik napas sebelum kemudian menjawab dengan perkataan, "Ya, Aiden.""Ya apa?""Ya. Aku masih menginginkan perceraian ini," Eva menatap Aiden yang ada di atasnya, "Aku ingin bercerai darimu, Aiden. Ceraikan saja aku."Eva berusaha mengeraskan hatinya. D
Alfred dengan hati-hati mengambil surat itu. Dia bingung dengan situasinya. Selama bertahun-tahun dia menyaksikan Eva memuja Aiden, tetapi sekarang tampaknya keadaan telah berubah.Aiden sangat menderita sedangkan Eva tidak menyadari atau mungkin acuh tak acuh terhadap rasa sakit yang ditimbulkannya terhadap bosnya itu. Wanita itu mengabaikan dan menolak Aiden. Kejam sekali, batin Alfred. Dia memperhatikan saat Eva keluar dari ruangan lalu menghela napas berat.Aduh, bagaimana ini kalau Tuan Alaric Malik sampai tahu mengenai perceraian mereka? Kepala Alfred jadi pusing.Eva keluar dari vila lalu melihat jet kecil menunggu di halaman depan. Logo M di badan pesawat memperjelas kalau pesawat jet itu milik armada Malik.Dengan pandangan sekilas, dia melihat kembali ke vila dan melihat logo M yang sama tertanam di dinding. Eva mengerutkan dahi dan bertanya-tanya siapa yang menculiknya.Dia yakin itu Rebecca, tapi sekarang dia tidak begitu yakin. Sepertinya Rebecca tidak akan berani membawa
Eva mengambil cangkir lalu meniup dengan lembut untuk mendinginkan susu panas. Susu itu seputih pakaian yang Eva kenakan, dan Eva menarik rambut panjangnya menjadi ekor kuda samping. Eva terlihat mempesona saat dia meniup susu itu dengan lembut. Sungguh menyebalkan, kenapa istrinya cantik sekali dengan pose seperti itu.Aiden tiba-tiba mencengkeram iPad-nya lebih erat. Dia mengulurkan tangan lalu meletakkan sandwich itu ke meja.Eva melirik sandwich itu.Seharusnya aku tahu dia akan seperti ini, pikirnya, Dua minggu ke depan akan terasa lama dan mengerikan.Mata Eva berkaca-kaca karena panasnya uap. Dia dengan lembut mengulurkan tangannya lalu menawarkan mug berisi susu itu padanya."Minumlah selagi masih hangat. Kalau sudah dingin tidak baik untuk perutmu," kata Eva."Itu bukan urusanmu," katanya lagi."Kita adalah suami dan istri, bisakah kau menemukan cara untuk mengendalikan amarahmu itu?" tanya Eva. Kembali Eva masih menawari Aiden susu, tapi pria itu menolak untuk meminumnya."K
Pesawat berguncang keras dan mulai miring berbahaya ke kiri. Pecahan kaca mengotori lantai. Jika Eva jatuh ke lantai, dia akan terluka parah. Dengan gerakan cepat, Aiden melompat dari tempat duduknya lalu memeluk istrinya dengan protektif. Saat Aiden mencapai Eva, pesawat miring lagi hingga membuatnya jatuh. Aiden menarik Eva ke atas tubuhnya, agar Eva tidak terluka.Punggung Aiden tertembus pecahan kaca. Aiden mengerang pelan, karena sungguh punggung tertusuk pecahan kaca itu sangat menyakitkan.Meskipun Eva ramping, berat badan Eva di atas Aiden telah memaksa pecahan kaca itu menembus semakin dalam ke punggungnya. Eva mencoba berebut agar dia tidak menyakiti Aiden, tapi Aiden memeluk istrinya dengan erat dan protektif. Dia sama sekali tidak mau Eva terluka. Cukup dia saja."Tuan Aiden," teriak Alfred.Pesawat kembali stabil. Alfred serta para pengawal bergegas membantu. Alfred membantu Eva berdiri sedangkan seorang pengawal menarik Aiden berdiri. Puluhan pecahan kaca menembus punggun
Saat dokter selesai melepas pecahan kaca, dia mengoleskan obat ke luka. Beberapa tancapan pecahan kaca itu cukup dalam hingga dokter harus menjahitnya."Saya harus menjahit luka di punggung Anda untuk robekan yang dalam. Apa Anda benar-benar yakin untuk tidak menggunakan obat bius juga kali ini?" Dokter bertanya."Ya," jawab Aiden."Baiklah kalau begitu."Tubuh Aiden menegang dan kaku saat jarum dan benang menembus kulitnya, tapi dia berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Karena ada Eva di sampingnya, dia tidak ingin Eva mimpi buruk karena mendengar suara erangan kesakitan yang lolos dari bibirnya. Namun, meskipun begitu seluruh tubuh Aiden memancarkan rasa dingin.Meskipun Aiden tidak menyuarakan rasa sakitnya, Eva tahu seberapa sakitnya hal itu. Genggaman tangan Aiden yang menegang sudah cukup memberitahunya akan hal itu. Eva merasakan sensasi memilukan di dadanya. Dia tidak menyangka kalau dia bisa merasa seperti ini terhadap Aiden. Dengan lembut, Eva mengelus tangan suaminya. Ber
Eva duduk di ambang jendela kamar tanpa membukanya. Di luar masih hujan, angin kencang mengguncang kaca jendela di bingkainya. Eva memikirkan Sebastian dan bertanya-tanya mengapa pria itu tidak bisa dihubungi atau menghubunginya. Eva seharusnya bersama pengasuhnya, Maria, dan dia merasa takut ada yang tidak beres.Eva takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada keduanya. Tapi, tidak mungkin kan dia bertanya kepada Aiden, 'Aiden, apa kau tahu dimana Sebastian? Aiden, apa kau menangkap Sebastian? Aiden, Sebastian tidak kenapa-kenapa kan? Aiden, kau apakan Sebastian? Aiden, Sebastian baik-baik saja kan?'Tidak mungkin kan dia menanyakan hal seperti itu kepada suaminya. Bisa-bisa Aiden mengamuk. Jadi, Eva hanya bisa berusaha mencari cara lain untuk mencari tahu.Sepertinya Sebastian juga menyewa perawat baru secara diam-diam untuk membantu melindungi Maria dari Aiden, tetapi semuanya terjadi begitu cepat, Eva tidak punya waktu untuk mendapatkan informasi kontak perawat tersebut. Jadi,
"Astaga, itu Eva Malik!" dia berteriak.Di antara para wanita Eva mengenali Lily Newman dari insiden di toko perhiasan."Lily, kau kenal dia?" tanya salah seorang wanita."Bukankah kau baru saja mengatakan ingin merayu Aiden Malik?" salah satu wanita berkata dengan jahat. Dasar teman toxic, lihat teman susah bukannya dibantu malah senang menambahi bumbu. "Mungkin kau juga harus meminta restu dari istrinya, Lily."Lily membisikkan beberapa kata kasar kepada temannya lalu kemudian menatap tajam ke arah Eva."Eva Malik …""Kurasa kita tidak saling kenal," kata Eva dengan tenang. "Mungkin Anda lupa," kata Lily dengan serius, "Kita bertemu di toko perhiasan ..."Lily berhenti sejenak lalu menatap teman-temannya dengan penuh arti."Kalian mungkin tidak percaya, tapi Eva Malik meminta pegawai untuk menutup toko begitu dia masuk ke sana," katanya dengan bisikan penuh drama yang memang sengaja dikeraskan agar didengar Eva."Benarkah? Apakah dia wanita yang sangat angkuh? Masa belanja saja samp
Bandara terlihat ramai, tapi itu tidak membuat seorang gadis dengan tubuh model berjalan dengan angkuh sembari menarik tas kopernya.Di area penjemputan penumpang, mata gadis itu menatap sekeliling dimana ada banyak orang yang berdiri untuk menunggu kerabat, teman atapun rekan. Sampai akhirnya dia mendengar teriakan itu disertai lambaian tangan dari seorang yang ia kenali."Rebecca!" panggil Rachel sembari mengangkat selembar karton bertuliskan namanya.Rebecca segera menghampiri Rachel, keduanya saling berpelukan, "Apa kabar?" tanya Rachel pada Rebecca, "Lama kita tidak bertemu, kau semakin cantik saja adikku.""Kakak," seru Rebecca rasanya ia ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengan saudarinya itu, "Aku merindukanmu.""Sama. Ayo, kita ke apartemenku. Kau bisa menginap di sana.""Ngomong-ngomong, mana pacarmu katanya kau sudah punya pacar," tukas Rebecca sembari melihat kesana kemari."Ah, dia sedang bekerja dan tidak bisa ikut menjemputmu. Aku akan mengenalkanmu padanya
"Aduh, sudah-sudah. Cucu kita hanya ingin berbulan madu saja. Biarkan saja." Alaric menengahi, "Minum saja tehmu, Victoria."Aiden bergerak sigap mengambil cangkir teh Victoria lalu menyodorkannya ke wanita tua itu. Wanita tua itu mau tak mau tersenyum, "Kau ini, cucu nakal, mana ada bulan madu selama ini. Bilang saja kalau ini hanya akal-akalanmu untuk menolak kembali. Ya, kan?"Mendengar itu Aiden hanya tertawa saja.Beberapa waktu kemudian, keduanya lantas pulang dengan membawa banyak buah tangan. Alaric melambaikan tangan sedangkan Victoria berbalik masuk ke dalam mansion.---Alfred melihat adiknya yang sedang melakukan terapi. Sudah beberapa lama ini dia mengambil cuti karena hendak menemani adiknya menjalani terapi dan proses kesembuhan.Aiden telah memiliki bisnisnya sendiri dalam bidang pengiriman, meski tidak sebesar Malik Group tapi, meskipun begitu, hal tersebut tidak menghalangi Aiden dalam membiayai semua perawatan adik Alfred hingga hampir sembuh seperti ini.Alfred hany
"Halo!" ucap Aiden ketika menerima panggilan masuk tersebut. Dia sekarang berada di balkon dimana langit malam menjadi panoramanya..Terdengar deheman dari seberang sana sebelum kemudian suara familiar orang tua itu menyapa telinganya."Aiden ... ""Ya, kakek ...""Kapan kau kembali ke mansion Malik?" Pertanyaan itu membuat Aiden terdiam. Ini bukan kali pertama Alaric Malik menghubunginya dan memintanya kembali, "Bagaimana mungkin kau pergi di saat aku menyuruhmu pergi. Aku ini orang tua, sesekali marah adalah hal yang wajar. Kenapa kau harus mengambil hati hal tersebut. Kembalilah ke Mansion Malik. Nenekmu sangat merindukanmu. Sudah berapa lama kau tidak pulang?"Aiden menyandar ke dinding balkon sembari mendongak ke langit, "Maafkan aku, Kek. Bukan aku durhaka dan tidak peduli dengan kerinduanmu. Tapi, yang kalian inginkan untuk kembali ke mansion Malik hanyalah Aiden. Eva adalah istriku. Aku dan dia adalah satu kesatuan."Alaric terdiam beberapa saat, "Jika memang itu yang kau ingin
Eva membuka pintu dan mendapati Sebastian Lewis berdiri di sana."Siapa, sayang?" tanya Aiden sembari menghampiri Eva yang terpaku di depan pintu."Halo, Eva, Aiden!" sapa Sebastian ramah seolah sebelumnya mereka tidak pernah berselisih dan tanpa masalah, "Boleh aku masuk?"Eva yang tersadar bermaksud untuk mempersilahkan Sebastian masuk namun, belum sempat Eva melakukannya Aiden telah lebih dulu mengambil alih dengan melangkah maju dan menjawab, "Tidak!" sembari tersenyum.Sebastian yang telah menduga itu balas tersenyum, "Baiklah kalau begitu," katanya. Dia pura-pura hendak membalikkan tubuh lalu tanpa disangka ketika Aiden lengah dia bergerak maju dengan melewati bawah lengan Aiden yang terentang di pintu."Terima kasih telah mempersilahkan aku masuk, Malik!" ucap Sebastian kalem, dia lantas beralih duduk di sofa.Aiden yang melihat itu menghampiri Sebastian sembari mendesis, "Tidak ada yang mempersilahkanmu masuk, lalu siapa juga yang menyuruhmu duduk di sofa itu," sergah Aiden.Ev
Tanpa sadar, Eva tersentak saat Aiden berdiri lalu dengan lembut menggigit puting payudaranya dengan gemas."Aiden ... aku ..." Namun, seolah teringat sesuatu, setelah itu Aiden tidak melakukan apapun. Dia diam membuat Eva bertanya-tanya ada apa gerangan."Aiden, ada apa?" tanya Eva, dia beralih duduk di hadapan pria itu. Aiden menarik selimut lalu menutupi sebagian tubuh Eva yang terbuka dan tubuhnya sendiri. Ada apa ini? "Aku teringat kalau aku belum mendapatkan maaf yang semestinya darimu atas pemaksaan yang kulakukan padamu waktu itu, Eva." Terakhir kali Aiden mengatakannya, Eva sedang mabuk dan Aiden merasa permasalahan itu belum tuntas. Itu terasa mengganjal di hatinya. Aiden kini beralih duduk di tepi ranjang dengan kaki menyentuh lantai. "Aku memang suamimu, tapi, saat itu, aku sudah berlaku kasar dengan melakukannnya tanpa persetujuan darimu. Aku merasa telah melakukan kesalahan yang membuatmu ...""Aiden," Eva meraih bahu Aiden. Membuat tatapan mereka kembali bertemu, "Janga
Sepanjang jalan dari ruangan duduk sampai ke kamar kedua pakaian mereka berserakan. Eva meremas rambut Aiden saat pria itu menciumnya dengan penuh gairah.Hasrat keduanya begitu menggebu-gebu hingga terasa seolah akan meledak. Dengan bunyi gedebuk, pintu kamar tertutup di belakang mereka. Bibir mereka beradu dalam pelukan penuh gairah. Tangan Aiden dengan lembut memeluk leher Eva saat mulut mereka bertemu, keduanya mendambakan momen ini. Jarak ke tempat tidur mungkin tidak terlalu jauh, namun cobaan yang mereka alami sejak kecelakaan itu membuat ciuman ini terasa seperti hadiah yang telah lama ditunggu-tunggu.Eva terengah-engah ketika Aiden separuh mengangkat tubuhnya, dia melingkarkan lengannya di leher Aiden. Perbedaan tinggi badan mereka membuat dia harus memiringkan kepalanya sedikit ke atas.Aiden dengan lembut menggigit bibir Eva, lidahnya secara alami menyelinap di antara keduanya. Gesekan basah dan sensual di antara bibir mereka menciptakan suara lembab dan memikat yang memen
Ruangan itu cukup besar meski tidak sebesar ruangan-ruangan di mansion Malik. Sudah beberapa minggu ini, Eva tinggal di penthouse ini bersama Aiden.Sesekali Eva memainkan piano yang berada di salah satu sudut ruangan dimana jendela kaca besar berada. Dari kaca jendela besar itu pemandangan kota dapat terlihat dengan jelas. Intensitas cahayanya di malam hari dan siang hari.Awalnya Eva begitu terkejut ketika saat itu Aiden menggenggam tangannya. Pria itu lebih memilih Eva ketika Alaric yang murka akibat kecelakaan yang menimpa mereka menyuruh keduanya bercerai."Aiden adalah pewarisku. Pewaris Malik. Bisa-bisanya dia membahayakan nyawanya untukmu, Eva. Aku tidak bisa menerima ini. Segera bercerai dengan Aiden. Aku akan memberikan kompensasi yang sesuai untukmu." Itu adalah ultimatum yang diucapkan oleh Alaric.Tepat saat itu Aiden masuk."Eva adalah istriku, Kek. Sudah sepatutnya seorang suami melindungi istri," jawab Aiden, dia meraih tangan Eva lalu menyatukan kedua jemari mereka."B
Mata dan jari Eva perlahan menelusuri kulit Aiden."Bagaimana lukamu, Aiden?" tanya Eva, dia bertanya dengan tulus dan benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu.Mendengar pertanyaan yang sarat dengan kekhawatiran itu membuat Aiden berbalik menghadap Eva, sebuah senyum terulas di bibirnya."Apa kau mengkhawatirkanku, Eva?" tanyanya."Ya," jawab Eva dengan mimik wajah serius, membuat Aiden terhenyak sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala."Lama-lama aku bisa terbiasa dengan kekhawatiran dan kepedulianmu kepadaku, Eva," cetus Aiden, "Rasanya kita seperti pasangan suami istri sungguhan."Eva mengalungkan kedua lengannya di leher Aiden, "Kalau begitu biasakanlah, Aiden," Dia menatap kedua bola mata pria itu, "Bukankah itu yang kau dan aku inginkan? Menjadi pasangan suami istri sungguhan? Atau jangan-jangan sekarang kau berubah pikiran lagi, Aiden?"Aiden tak menyangka dengan penuturan Eva, "Sejujurnya aku yang mengira kau yang akan berubah pikiran, Eva. Setelah pertemuanmu dengan Dok
Lalu, tatapan Aiden beralih ke Rebecca yang berdiri di belakang Victoria. Rebecca yang menyadari hal tersebut buru-buru menghampiri Aiden lalu memeluknya tanpa mempertimbangkan perasaan Eva. Aiden meringis ketika merasakan sentuhan Rebecca mengenai luka di punggungnya. Eva yang melihat ringisan Aiden buru-buru menarik lepas lengan Rebecca dari suaminya.Menyadari itu, Aiden merasa takjub. Dia senang Eva peduli padanya tidak seperti dulu yang tidak peduli dan bahkan melemparkan Aiden pada wanita lain. Hatinya menjadi 'sangat ringan'."Aiden, syukurlah kau selamat. Huhu, aku benar-benar takut sewaktu mendengar kabar dari Nyonya Victoria tentang dirimu," Rebecca tebal muka dan mengabaikan tindakan Eva. Dia memberikan efek sedih dengan tangisannya. Tapi, Eva dan Aiden mana percaya lagi."Itu benar, Aiden. Rebecca sangat khawatir padamu. Dia bahkan menangis semalam." Victoria menambahkan, Rebecca di sebelahnya mengangguk mengiyakan."Lihat nih, mataku bengkak karena semalaman menangis meng