Rebecca menggigit bibir bawahnya dan matanya menggelap."Jika itu benar untuk Rachel, maka aku tidak akan melakukan apa pun untuk menghalangi," kata Rebecca, "Rachel adalah saudara perempuanku lagipula aku juga sangat peduli pada Aiden. Aku bersedia memberi mereka berdua kesempatan untuk bahagia satu sama lain."Bagi Rebecca, keluarganya akan diuntungkan jika Rachel menikahi Aiden. Agak menyakitkan kalau Aiden lebih memilih saudara perempuannya, tetapi Rebecca tidak akan mengakuinya kepada Victoria Malik."Kau sangat baik, Rebecca. Kau benar-benar memenuhi harapanku," gumam Victoria.Wanita tua itu meletakkan cangkir lalu memberi isyarat agar Rebecca mendekat. Dia membisikkan sesuatu ke telinga gadis itu hingga mata Rebecca membelalak."Apakah nenek mengatakan yang sebenarnya tentang Aiden yang tidak ingin Eva hamil?"Victoria mengangguk dengan pasti. "Ya, aku mendengarnya ketika Aiden dan suamiku berbicara di ruang kerja sewaktu Dokter Sebastian datang untuk memeriksa Eva waktu itu.
Kabar Eva mengambil alih Hotel Empire meledak dalam semalam. Menjelang fajar, kerumunan orang telah berkumpul di luar gerbang hotel. Para penjual gosip dan jurnalis saling bahu-membahu, mereka sangat ingin mendapatkan berita.Berita tentang Empire Hotel berganti pemilik dalam semalam sudah cukup mengejutkan, tetapi berita bahwa Eva Malik tidak pernah bekerja atau bahkan mempelajari manajemen hotel membuat semua orang heboh. Kerumunan tampaknya sangat ingin menyaksikan kegagalan manajemen hotel dan banyak yang bertaruh berapa lama Empire Hotel akan tetap buka di bawah manajemen Eva. Beberapa bertaruh itu akan bertahan setahun, yang lain mengatakan mereka ragu itu akan bertahan seminggu lagi."Dia di sini," teriak seseorang.Kerumunan berbalik untuk menonton Ferrari merah berhenti di depan hotel. Penjaga pintu membuka pintu mobil dan Eva keluar dengan setelan kuning cerah. Kerumunan melonjak ke arahnya, lalu jurnalis mengarahkan mikrofon dan kamera ke wajahnya."Nyonya Eva, mereka menga
"Rachel Jonas?" Eva bertanya dengan keras."Ya. Saya percaya dia sedang bepergian ke luar negeri untuk belajar manajemen hotel," kata Mell, "Saya pikir desainnya luar biasa. Lihat keberanian warna di kaca patri. Mereka mengatakan sangat sulit untuk membuat seperti itu."Eva tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arah Mell dengan ekspresi penasaran, "Apakah kau mengenal Rachel dengan baik?""Tidak juga," jawab Mell, "Saya dulu asistennya."Eva berpikir sejenak sebelum bertanya, "Tahukah kau bagaimana caranya aku bisa menghubungi Rachel?""Saya punya alamat emailnya," kata Mell."Kalau begitu kirimkan padaku alamat emailnya."Mell mengangguk lalu membukakan pintu kantor untuk Eva.Jendela Prancis pertama kali menarik perhatian Eva. Kemudian Eva melihat meja dan kursi sederhana itu. Dia berbelok ke kiri untuk menemukan tempat duduk dengan sofa, meja teh, dan pohon bonsai. Desainnya sederhana namun elegan. Mell membawa file staf yang tersisa.Manajer SDM adalah pria paruh baya gemuk yang mengoc
Di Hotel Empire, Mell membawa Eva ke spa mata air panas terbuka."Kita akan syuting di sini hari ini," kata Mell.Sekelompok pekerja termasuk spesialis pencahayaan, fotografer, dan asisten sedang mempersiapkan pemotretan. Uap mengepul dari mata air panas, beberapa pekerja melemparkan kelopak mawar ke dalam air. Pemandangannya seperti mimpi dengan kabut panas dan aroma mawar yang ringan.Bunga sakura jatuh ke tanah saat angin sepoi-sepoi bertiup. Eva menatap kelopak yang jatuh, sebagian bahkan jatuh di rambutnya yang pirang. Kecantikan Eva menarik perhatian para pekerja, dia terlihat seperti kecantikan ethereal di bawah pohon sakura yang sering ada di anime-anime Jepang. Jika pekerja tidak takut dipecat, mereka akan bergosip sembari menatap kecantikan itu."Apa yang kalian lihat?" sutradara membentak, "Siapkan adegan dalam sepuluh menit atau kalian dipecat."Sutradara melempar naskah di atas meja dengan frustrasi."Siapa yang akan melakukan syuting?" Eva bertanya ingin tahu.Mell hendak
Rebecca mencibir, "Kepura-puraanmu yang sok tenang itu mungkin berhasil di hadapan staf, tapi kita akan lihat berapa lama kau bisa menjaga hotel ini tetap berjalan sebagaimana mestinya.""Kita lihat saja nanti. Sekarang lakukan saja syutingnya dengan benar, Rebecca."Ketenangan Eva membuat Rebecca keki. Dia menjadi kesal. "Aku akan menunggu hari ketika Aiden bukan suamimu lagi, Eva," cetusnya."Jika Aiden bukan suamiku lagi, belum tentu juga dia akan mau denganmu, Rebecca."Brengsek, Rebecca memaki di dalam hati. Rebecca pergi ke mata air panas tempat kru pencahayaan dan kamera menunggu. Rebecca melepas jubah mandinya dan perlahan memasuki pemandian air panas.Rekaman pertama menunjukkan Rebecca sedang bersantai di pemandian air panas dengan Bryan yang menggendongnya dari belakang. Uap mengepul dari air, Rebecca menutup matanya dengan nyaman. Dia menarik napas dalam-dalam lalu masuk ke peran dengan cepat, Rebecca terlihat seperti berada di surga.Dia meminum air dengan kedua tangan la
"Nyonya Eva Malik, meja Anda telah siap," seorang pelayan menyela percakapan Eva dan Mell.Eva mengangguk lalu berbalik untuk melihat Mell."Terima kasih, Mell," katanya dengan tulus.Eva tahu kalau dirinya tidak akan pernah mengingat peristiwa-peristiwa di malam pernikahannya jika Mell tidak berbicara tentang hal ini dengannya. Eva tidak akan pernah mengerti mengapa Aiden memperlakukannya dengan sangat dingin selama dua tahun terakhir. Pengetahuan tentang ingatan sebelumnya memberi Eva kepercayaan diri."Mungkin lebih baik jika kau melupakan apa yang baru saja aku katakan, Eva," kata Mell dengan gugup. Mell merasa tidak yakin apakah baik-baik saja mengungkapkan begitu banyak informasi kepada bos barunya ini, "Jika kau tidak keberatan, aku akan istirahat makan siang sekarang."Eva berjalan ke restoran sembari merenungkan informasi baru. Dia membuat reservasi makan siang lalu merencanakan pertemuan dengan Bryan dan Sebastian. Sebastian datang dengan cepat, tetapi Bryan masih belum keli
Eva meletakkan gelasnya di atas meja tanpa menyesapnya.Aiden berjalan melintasi ruangan menuju meja. Alfred bergegas di belakangnya lalu menarik kursi ketiga di meja mereka."Aiden?" Eva bertanya, sedikit mengernyit, "Apa yang kau lakukan di sini?""Aku punya reservasi makan siang di sini," kata Aiden dengan santai."Reservasi?"Pelayan menoleh ke Eva, "Benar, Nyonya Eva. Tuan Aiden memesan meja ini.""Jika meja ini memang sudah dipesan terus kenapa kau membawa kami ke meja ini?" tanya Eva, frustrasi."Ketika Tuan Aiden membuat reservasi, beliau mengatakan kalau beliau akan makan siang dengan Anda," kata pelayan itu, bingung, "Saya berasumsi kalau Nyonya Eva mengetahui hal itu. Saya minta maaf jika saya melakukan kesalahan."Pelayan itu malu. Dia tidak tahu kalau Eva Malik akan membawa pria lain untuk makan siang. Eva merengut pada pelayan dan Aiden."Kapan sih aku pernah setuju untuk makan siang denganmu, Aiden?" Eva bertanya pada suaminya."Belum terlambat untuk setuju sekarang, Ev
"Aku merasa agak sesak," kata Eva tajam, sambil menggeser kursinya menjauh dari Aiden.Eva tahu kalau Aiden hanya menyentuhnya untuk membuat Sebastian cemburu. Aiden adalah orang yang seperti itu. Sebastian menggigit spageti tapi dia langsung muntah."Apa kau baik-baik saja, Sebastian?" tanya Eva, prihatin."Aku baik-baik saja, Eva," jawab Sebastian, melambaikan tangannya dengan gaya santai.Seseorang telah memasukkan banyak bubuk cabai ke dalam saus marinara milik Sebastian dan dia curiga mereka melakukannya atas perintah Aiden. Sebastian tahu kalau pria berkuasa dan pencemburu seperti Aiden tidak lepas dari trik seperti itu. Sebastian hanya bertanya-tanya bagaimana Aiden mengetahui kalau dia tidak dapat makan makanan pedas tanpa menjadi sakit."Apa sausnya tidak sesuai dengan seleramu, Dokter Sebastian Lewis?" tanya Aiden sok manis."Tidak. Ini enak," kata Sebastian sopan.Sebastian mengambil sesuap spageti lagi lalu memasukkannya ke dalam mulut. Ekspresinya tetap netral.Mata Aiden
Bandara terlihat ramai, tapi itu tidak membuat seorang gadis dengan tubuh model berjalan dengan angkuh sembari menarik tas kopernya.Di area penjemputan penumpang, mata gadis itu menatap sekeliling dimana ada banyak orang yang berdiri untuk menunggu kerabat, teman atapun rekan. Sampai akhirnya dia mendengar teriakan itu disertai lambaian tangan dari seorang yang ia kenali."Rebecca!" panggil Rachel sembari mengangkat selembar karton bertuliskan namanya.Rebecca segera menghampiri Rachel, keduanya saling berpelukan, "Apa kabar?" tanya Rachel pada Rebecca, "Lama kita tidak bertemu, kau semakin cantik saja adikku.""Kakak," seru Rebecca rasanya ia ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengan saudarinya itu, "Aku merindukanmu.""Sama. Ayo, kita ke apartemenku. Kau bisa menginap di sana.""Ngomong-ngomong, mana pacarmu katanya kau sudah punya pacar," tukas Rebecca sembari melihat kesana kemari."Ah, dia sedang bekerja dan tidak bisa ikut menjemputmu. Aku akan mengenalkanmu padanya
"Aduh, sudah-sudah. Cucu kita hanya ingin berbulan madu saja. Biarkan saja." Alaric menengahi, "Minum saja tehmu, Victoria."Aiden bergerak sigap mengambil cangkir teh Victoria lalu menyodorkannya ke wanita tua itu. Wanita tua itu mau tak mau tersenyum, "Kau ini, cucu nakal, mana ada bulan madu selama ini. Bilang saja kalau ini hanya akal-akalanmu untuk menolak kembali. Ya, kan?"Mendengar itu Aiden hanya tertawa saja.Beberapa waktu kemudian, keduanya lantas pulang dengan membawa banyak buah tangan. Alaric melambaikan tangan sedangkan Victoria berbalik masuk ke dalam mansion.---Alfred melihat adiknya yang sedang melakukan terapi. Sudah beberapa lama ini dia mengambil cuti karena hendak menemani adiknya menjalani terapi dan proses kesembuhan.Aiden telah memiliki bisnisnya sendiri dalam bidang pengiriman, meski tidak sebesar Malik Group tapi, meskipun begitu, hal tersebut tidak menghalangi Aiden dalam membiayai semua perawatan adik Alfred hingga hampir sembuh seperti ini.Alfred hany
"Halo!" ucap Aiden ketika menerima panggilan masuk tersebut. Dia sekarang berada di balkon dimana langit malam menjadi panoramanya..Terdengar deheman dari seberang sana sebelum kemudian suara familiar orang tua itu menyapa telinganya."Aiden ... ""Ya, kakek ...""Kapan kau kembali ke mansion Malik?" Pertanyaan itu membuat Aiden terdiam. Ini bukan kali pertama Alaric Malik menghubunginya dan memintanya kembali, "Bagaimana mungkin kau pergi di saat aku menyuruhmu pergi. Aku ini orang tua, sesekali marah adalah hal yang wajar. Kenapa kau harus mengambil hati hal tersebut. Kembalilah ke Mansion Malik. Nenekmu sangat merindukanmu. Sudah berapa lama kau tidak pulang?"Aiden menyandar ke dinding balkon sembari mendongak ke langit, "Maafkan aku, Kek. Bukan aku durhaka dan tidak peduli dengan kerinduanmu. Tapi, yang kalian inginkan untuk kembali ke mansion Malik hanyalah Aiden. Eva adalah istriku. Aku dan dia adalah satu kesatuan."Alaric terdiam beberapa saat, "Jika memang itu yang kau ingin
Eva membuka pintu dan mendapati Sebastian Lewis berdiri di sana."Siapa, sayang?" tanya Aiden sembari menghampiri Eva yang terpaku di depan pintu."Halo, Eva, Aiden!" sapa Sebastian ramah seolah sebelumnya mereka tidak pernah berselisih dan tanpa masalah, "Boleh aku masuk?"Eva yang tersadar bermaksud untuk mempersilahkan Sebastian masuk namun, belum sempat Eva melakukannya Aiden telah lebih dulu mengambil alih dengan melangkah maju dan menjawab, "Tidak!" sembari tersenyum.Sebastian yang telah menduga itu balas tersenyum, "Baiklah kalau begitu," katanya. Dia pura-pura hendak membalikkan tubuh lalu tanpa disangka ketika Aiden lengah dia bergerak maju dengan melewati bawah lengan Aiden yang terentang di pintu."Terima kasih telah mempersilahkan aku masuk, Malik!" ucap Sebastian kalem, dia lantas beralih duduk di sofa.Aiden yang melihat itu menghampiri Sebastian sembari mendesis, "Tidak ada yang mempersilahkanmu masuk, lalu siapa juga yang menyuruhmu duduk di sofa itu," sergah Aiden.Ev
Tanpa sadar, Eva tersentak saat Aiden berdiri lalu dengan lembut menggigit puting payudaranya dengan gemas."Aiden ... aku ..." Namun, seolah teringat sesuatu, setelah itu Aiden tidak melakukan apapun. Dia diam membuat Eva bertanya-tanya ada apa gerangan."Aiden, ada apa?" tanya Eva, dia beralih duduk di hadapan pria itu. Aiden menarik selimut lalu menutupi sebagian tubuh Eva yang terbuka dan tubuhnya sendiri. Ada apa ini? "Aku teringat kalau aku belum mendapatkan maaf yang semestinya darimu atas pemaksaan yang kulakukan padamu waktu itu, Eva." Terakhir kali Aiden mengatakannya, Eva sedang mabuk dan Aiden merasa permasalahan itu belum tuntas. Itu terasa mengganjal di hatinya. Aiden kini beralih duduk di tepi ranjang dengan kaki menyentuh lantai. "Aku memang suamimu, tapi, saat itu, aku sudah berlaku kasar dengan melakukannnya tanpa persetujuan darimu. Aku merasa telah melakukan kesalahan yang membuatmu ...""Aiden," Eva meraih bahu Aiden. Membuat tatapan mereka kembali bertemu, "Janga
Sepanjang jalan dari ruangan duduk sampai ke kamar kedua pakaian mereka berserakan. Eva meremas rambut Aiden saat pria itu menciumnya dengan penuh gairah.Hasrat keduanya begitu menggebu-gebu hingga terasa seolah akan meledak. Dengan bunyi gedebuk, pintu kamar tertutup di belakang mereka. Bibir mereka beradu dalam pelukan penuh gairah. Tangan Aiden dengan lembut memeluk leher Eva saat mulut mereka bertemu, keduanya mendambakan momen ini. Jarak ke tempat tidur mungkin tidak terlalu jauh, namun cobaan yang mereka alami sejak kecelakaan itu membuat ciuman ini terasa seperti hadiah yang telah lama ditunggu-tunggu.Eva terengah-engah ketika Aiden separuh mengangkat tubuhnya, dia melingkarkan lengannya di leher Aiden. Perbedaan tinggi badan mereka membuat dia harus memiringkan kepalanya sedikit ke atas.Aiden dengan lembut menggigit bibir Eva, lidahnya secara alami menyelinap di antara keduanya. Gesekan basah dan sensual di antara bibir mereka menciptakan suara lembab dan memikat yang memen
Ruangan itu cukup besar meski tidak sebesar ruangan-ruangan di mansion Malik. Sudah beberapa minggu ini, Eva tinggal di penthouse ini bersama Aiden.Sesekali Eva memainkan piano yang berada di salah satu sudut ruangan dimana jendela kaca besar berada. Dari kaca jendela besar itu pemandangan kota dapat terlihat dengan jelas. Intensitas cahayanya di malam hari dan siang hari.Awalnya Eva begitu terkejut ketika saat itu Aiden menggenggam tangannya. Pria itu lebih memilih Eva ketika Alaric yang murka akibat kecelakaan yang menimpa mereka menyuruh keduanya bercerai."Aiden adalah pewarisku. Pewaris Malik. Bisa-bisanya dia membahayakan nyawanya untukmu, Eva. Aku tidak bisa menerima ini. Segera bercerai dengan Aiden. Aku akan memberikan kompensasi yang sesuai untukmu." Itu adalah ultimatum yang diucapkan oleh Alaric.Tepat saat itu Aiden masuk."Eva adalah istriku, Kek. Sudah sepatutnya seorang suami melindungi istri," jawab Aiden, dia meraih tangan Eva lalu menyatukan kedua jemari mereka."B
Mata dan jari Eva perlahan menelusuri kulit Aiden."Bagaimana lukamu, Aiden?" tanya Eva, dia bertanya dengan tulus dan benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu.Mendengar pertanyaan yang sarat dengan kekhawatiran itu membuat Aiden berbalik menghadap Eva, sebuah senyum terulas di bibirnya."Apa kau mengkhawatirkanku, Eva?" tanyanya."Ya," jawab Eva dengan mimik wajah serius, membuat Aiden terhenyak sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala."Lama-lama aku bisa terbiasa dengan kekhawatiran dan kepedulianmu kepadaku, Eva," cetus Aiden, "Rasanya kita seperti pasangan suami istri sungguhan."Eva mengalungkan kedua lengannya di leher Aiden, "Kalau begitu biasakanlah, Aiden," Dia menatap kedua bola mata pria itu, "Bukankah itu yang kau dan aku inginkan? Menjadi pasangan suami istri sungguhan? Atau jangan-jangan sekarang kau berubah pikiran lagi, Aiden?"Aiden tak menyangka dengan penuturan Eva, "Sejujurnya aku yang mengira kau yang akan berubah pikiran, Eva. Setelah pertemuanmu dengan Dok
Lalu, tatapan Aiden beralih ke Rebecca yang berdiri di belakang Victoria. Rebecca yang menyadari hal tersebut buru-buru menghampiri Aiden lalu memeluknya tanpa mempertimbangkan perasaan Eva. Aiden meringis ketika merasakan sentuhan Rebecca mengenai luka di punggungnya. Eva yang melihat ringisan Aiden buru-buru menarik lepas lengan Rebecca dari suaminya.Menyadari itu, Aiden merasa takjub. Dia senang Eva peduli padanya tidak seperti dulu yang tidak peduli dan bahkan melemparkan Aiden pada wanita lain. Hatinya menjadi 'sangat ringan'."Aiden, syukurlah kau selamat. Huhu, aku benar-benar takut sewaktu mendengar kabar dari Nyonya Victoria tentang dirimu," Rebecca tebal muka dan mengabaikan tindakan Eva. Dia memberikan efek sedih dengan tangisannya. Tapi, Eva dan Aiden mana percaya lagi."Itu benar, Aiden. Rebecca sangat khawatir padamu. Dia bahkan menangis semalam." Victoria menambahkan, Rebecca di sebelahnya mengangguk mengiyakan."Lihat nih, mataku bengkak karena semalaman menangis meng