Happy Reading. Dewan dan beberapa rakyat mulai mempertanyakan keberadaan Damara, bagi mereka Damara adalah bagian dari kisah ini. Pihak-pihak tak bertanggung jawab, membawa keraguan kereka ke depan gedung utama Hilike. "KAMI MENGINGINKAN DAMARA!""BIARKAN KAMI BERTEMU DENGANNYA!!!" Warga yang mempercayai kalau awal kedatangan para Faycon ada hubungannya dengan kedatangan Damara di kota mereka. Tetapi sang pimpinan utama, tuan Mycana sekali lagi menegaskan kalau, "DAMARA TELAH TEWAS! INI ADALAH KECELAKAAN DAN JUGA KELALAIAN PIHAK KAMI!""Jika benar, apa yang akan kami pikirkan. Jika suatu hari nanti Damara muncul di kota ini? Mungkinkah ada yang kalian sembunyikan?!"Pertanyaan itu membuat Tuan Mycana terdiam. "DAMARA SUDAH TEWAS, FAYCON TAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN WANITA ITU!" Tegasnya lantang. "Jika ada dari kalian yang berani bertanya lagi, maka saya tidak akan segan-segan untuk menghabisi kalian dan keluarga kalian!"Kali ini rakyatlah yang terdiam. Kepergian Damara, dan mas
Happy Reading. Suara teriakan muncul bersama dengan isak tangis yang terdengar pilu—Damara lantas tersenyum berdesis, memutar bola matanya sebelum menatap ke arah langit. "Apakah kamu balas dendam padaku. Damara?" Damara berujar pada nama dan pemilik tubuh ini, meski tak terlihat. Ia yakin, kalau roh sebenarnya dari tubuh ini sedang mengawasinya. "Jika kau tidak menjawab, aku akan mencari tahunya sendiri. Aku tidak akan kalah dari orang sepertimu!" ujar Damara dengan tangan yang mengepal dengan kuat. ***Di tempat lain. Kota Hilike kembali berduka, atas kembalinya Nyonya Chryseis dengan keadaan meninggal dunia. "Jasad nyonya ditemukan, di tanah tandus Cora. Para pakar percaya, kalau ini adalah murni kekuatan Faycon. Sepertinya Nyonya diserang…."BRAK!!! Sang suami tercinta, tak bisa membendung rasa sedihnya. "TIDAK ADA ALASAN! MENGAPA IA HARUS PERGI!"Tetapi Lycus tak menjawab, ia hanya menundukan kepalanya. Membiarkan Tuan Mycana meluapkan segala kesedihannya lewat kata-kata y
Happy Reading. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh gadis yang sedang tidur, di atas ranjang. Dia—Damara terlihat begitu pucat. Dingin. Matanya berkedut saat sebuah tangan menyentuh dahinya. "Kau Demam!" ujar Arron, sembari memberikan kompres panas pada kepala Damara. Tetapi detik berikutnya, sebuah seringai muncul dari bibir pucat Damara. Itu membuat Arron mengerutkan keningnya bingung. Cup! Arron mengecup bibir Damara singkat. "Masih bisa tersenyum hmmm?"Lantas Damara membuka matanya, menatap ke arah Arron dengan tatapan tajamnya. "Kau senang?" tanya Damara menyeringai, meski air matanya akan meleleh karena menahan rasa yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.Arron membalas dengan senyuman lembutnya. "Jika kau ingin senang, maka aku akan akan senang. Tetapi jika tidak, maka aku tidak akan senang!"Damara berdecak. "APA, KAU SUDAH GILA?!" Dia menarik kerah baju pria itu agar mendekat ke arahnya dengan marah, ia juga kesal… hiks… "MENEKAN FAYCON DALAM DIRIKU, MEMBUATKU LEMAH
Happy Reading. Esok harinya, Lycus menghampiri Damara yang sedang mengambil air untuk menyiram tanaman berbahaya yang sepertinya, tak pernah disiram. Berbalik. "Astaga!" Damara terkejut, saat melihat Lycus yang muncul di hadapannya dengan tangan yang bergetar penuh dengan luka. Anehnya, ia malah tersenyum padaku. "A-apa kau baik-baik saja!""Nona…bisakah Anda berhenti untuk menanam tanaman pemakan darah itu?""Kenapa? Aku menyukai mereka.""Salah satu pelayan hampir tewas karena kehabisan darah, dan yang lainnya cedera. Bahkan ada beberapa prajurit YANG KEHILANGAN LENGAN MEREKA!"Damara terkejut lagi. Ia mengedipkan matanya beberapa kali pada Lycus yang tadi berteriak padanya. Lalu dengan santai, Damara berjalan melewati Lycus dengan air merahnya. "Itu salah mereka, lagi pula mengapa mereka mendekati tanamanku!""DAN TANAMAN ANDA ITU TERLARANG! BAGAIMANA BISA ANDA MENANAMNYA DI PEKARANGAN KEDIAMAN TUAN ARRON!"Astaga. "Apakah kau tidak bisa berhenti meninggikan suaramu? Itu mengga
Happy Reading. Damara menutup matanya, santai, tenang, aman dan damai. Sesekali, ia bahkan tersenyum saat mendengar suara ledakkan. "Astaga, bagaimana aku bisa sejahat ini?!" tanyanya pada dirinya sendiri. Namun dengan wajah tanpa rasa kecewanyaBRAKKK!"Kau…"Sontak Damara yang sedang duduk di sofa milik Arron, lantas bangkit dari tempatnya saat ini—menatap pria paruh baya yang sedang menatapnya tak suka. Ayah Arron. Siapa lagi! Tapi kenapa? Apakah kali ini, ia mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya? Namun itu tidak mungkin. "Apa yang kau lakukan pada istriku! Dasar wanita siluman, mengerikan, busuk hati!"Mendengarnya berteriak, entah mengapa membuat sosok aslinya senang. Karena pria itu, akhirnya mendapatkan hukuman atas kekejamannya dulu. "A-apa ma-maksud Anda tuan?" tanya Damara. Berpura-pura untuk takut—aktingnya buruk sekali. "Mengapa harus kau yang berdiri di samping Arron!" Mungkin karena ini adalah kutukan—sambung Damara dalam hatinya. Seperti roda kehidupan. DEG!
Happy Reading. Di kediaman Arron. Kamar—dengan pelan pria itu membaringkan istrinya jahatnya ke atas tempat tidur. Menatap sendu istrinya yang sedang terluka parah! Membawa air hangat dari kamar mandi, Arron berinisiatif untuk membersihkan Damara dan mengobatinya dengan kekuatannya. Tapi Damara menahan tangan Arron yang hendak melepas pakaiannya. "P-pelayan saja!" minta Damara dengan suara seraknya. Arron tersenyum hangat. Lantas, ia mengelus wajah Damara, menyingkirkan semua rambut halus yang melekat dengan luka di bawah Damara pelan. "Sakit?"Damara menggelengkan kepalanya. "Arron mengertilah, aku tidak…""Kau takut aku akan jijik melihat semua lukamu?"DEG! Damara membelakak, sebelum ia tersenyum sinis. Kali ini, ia tak bisa berbuat apapun di hadapan Arron. "Awas sa-saja kalau kau menutup mata! Akan ku pastikan kau buta untuk selamanya."Mendengar itu hanya membuat Arron tersenyum smirk, sebelum melanjutkan aktivitasnya—melepas semua pakaian Damara perlahan-lahan, dan mulai me
Happy Reading. Panas matahari menyambar kulit leher Damara, dari sela-sela pohon. Ia tampak sedang menanam tanaman barunya di daerah itu, agar tak ada Damara-Damara lainnya yang menggali kuburan tanpa izin. "Haruskah aku cemburu!"Damara mendongak menatap ke arah sumber suara. Yang tak lain adalah Lycus, dengan ember berisikan air. "Arron?" tanya Damara, saat melihat Arron di belakang Lycus. Tersenyum penuh arti. Lycus merasa seperti tak dianggap oleh Dia—yang sepertinya terlalu menyayangi Arron yang telah membuatnya ada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. "Damara!" Panggil Lycus. Nama hanya menaikan kedua alisnya sebagai respons. "Kalau tiba-tiba saja kau meninggalkanku, apakah itu bisa disebut sebagai cinta?"Deg! Mata Damara membulat. Ia tersentak kaget, menatap Lycus lama. Sebelum tersenyum sinis. "Kau mau ku tinggalkan?"Lycus menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Aku ingin menjadi seperti Arron….""Tapi itu membuatku sulit untuk berjuang mendapatkan kebahagiaa
Happy Reading. Lama terdiam karena pembicaraan yang membuat Lycus kewalahan menghadapi Damara. Akhirnya Damara memecah keheningan. "Sebarkan informasi mengenai keberadaanku!" ucap Damara, tanpa menatap ke arah Lycus. Sedang Lycus tersenyum sinis. Tak mengerti dengan jalan pikir Damara. "Kau ingin membunuhku?!""Ini perintah!" balas Damara tanpa dosa. "Kau yang memilih berada di pihak yang jahat, kalau begitu konsekuensinya!"Mendengar itu membuat Lycus terdiam. Jujur, hatinya hancur. Telinganya panas, karena nonanya belum bisa mencintainya sama seperti Dia—Damara, mencintai Arron."Kalau kau ingin membuatku menghilang dari disisimu, aku tidak pernah setuju!" Damara tersenyum sinis. Akhirnya Lycus mengerti, kalau mengikut yang jahat itu salah. "Sebagai gantinya, akan sebarkan atas namamu!" ucap Lycus tak kalah sinis. "Pada Arron!""Dengan begitu, perintahmu terlaksana. Dan aku tetap berada disisimu!""Kau ingin memojokkanku? Kalau begitu lihatlah bagaimana seorang Faycon menghilang
Happy Reading.Bahagia. Itu hanya sementara saja, karena setelahnya Damara mendapatkan kado yang begitu spesial. Sampai ia tak bisa berkata apa-apa lagi saat menyaksikan senyuman dan harapan semua orang, yang ingin melihat ia bahagia.***Beberapa hari setelah hari ulang tahun Eos, Damara terlihat bahagia menghabiskan waktunya untuk bercanda dengan orang-orang di sekitarnya.Tidak menghindar, atau menatapnya dengan tatapan rendah, apalagi bersembunyi di balik pintu karena takut padanya."Hei Eos, kau menyimpan hadiahku kan?""Ya." Damara tersenyum senang. "Aku menyimpannya pada ibuku."Damara terkejut. "Ibumu?" Eos menganggukan kepalanya sebagai jawaban, menolehkan kepalanya ke arah ibunya. Emerald. Damara menghembuskan nafasnya kasar. sebelum tersenyum menepuk puncak kepala Eos dengan sayang. "Bermainlah!""Em."Lalu Damara pergi begitu saja, mendekat ke arah Emerald. "Belum cukup kau membuat anak dengan pria lain, kau juga memberikan namaku pada anak itu. Setelahnya merebut hadiah
Happy Reading."Damara?""Damara." Hah. Panggilan itu langsung menyadarkan Damara dari lamunannya. "Ada apa? Hm?" tanya Arron, ia kini merangkul pinggang ramping Damara yang sedang berdiri menangkupkan satu tangannya pada wajahnya menyandar pada peyangga di lantai dua. Yang menghadap langsung ke lantai dansa, di lantai satu.Sedang ada pesta."Kau terlihat resah?"Damara tersenyum pada Arron. Karena meski ia berhasil mendapatkan kepercayaan semua orang dan menyingkirkan ketakutan akan Faycon yang membahayakan, tapi bukan berarti itu menyelesaikan masalahnya."Arron," Damara ragu untuk mengatakannya. "Ada apa?""Tidak apa-apa."Pria itu tak memaksa, karena ia tahu kalau sejak saat Damara pingsan kondisi tubuhnya memburuk dan darah selalu menghiasi tempat tidur Damara. "Haruskah aku datang ke kamarmu malam ini Damara?""Tidak usah, aku … baik-baik saja."Arron mendengus, sebelum memeluk erat Damara. "Sebagai gantinya, jangan tolak aku saat kita menikah nanti."Lalu Damara menarik dir
Happy Reading.Apakah akan baik-baik saja? Bagaimana jika semua yang dipikirkan diawal tidak terjadi, dia tidak diterima justru dimusuhi? Apakah semuanya akan berakhir seperti sebelumnya."Damara," Arron kini menggenggam tangan Damara, menatap wanita dengan tatapan penuh percaya diri. "Semua akan baik-baik saja?"Tapi tentu saja Damara semakin cemas. "Tapi bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan diriku. Meski punya kamu, bayangan akan masa selalu ada. Aku adalah Faycon bagaimanapun bentukku Arron, dan dendam akan selalu ada dalam benakku—""Kecemasanmu sangat tidak berarti sekarang." timpal Lycus. "Lihatlah kami akan selalu berada di depanmu untuk menghalangi semua niatmu!"Sontak mata Damara langsung tertuju pada mereka semua, entah mengerti pada takdir atau sengaja dibuat mengerti padahal tidak tahu apa-apa tentang waktu yang sedang berjalan sekarang."Haruskah aku menciummu agar kau tenang?" Goda Arron. Kini wajahnya dan Damara ada dalam jarak yang cukup dekat.Malu. Tentu saja
Happy Reading."Karena aku, butuh obatku!" jawab Arron. Kemudian tersenyum melihat wajah cantik Damara, yang masih sama seperti pertama kali mereka bertemu.***Lama mengobrol, akhirnya mereka sampai di sebuah hutan belantara dengan bendera yang sudah usang."Tempat apa ini?" tanya Damara. Alisnya terus saja menyatu saat pandangannya mencoba menganalis sekitarnya.Bekas kurumput yang injak, sayatan pedang di pohon dan aroma amis darah yang telah menghitam, mengering di beberapa tempat.Damara menetralkan aura Fayconnya setelah berhasil mendapatkan jawaban dari kebingungannya barusan."Jadi, ada area seperti ini di tempat ini?""Ya. Kami membangunnya agar para kesatria dan para pemuda kota ini terlatih untuk menghadapi masalah yang besar, jauh dari perkiraan mereka sebelumnya." jelas Arron.Damara mengangguk-anggukan kepalanya sebagai respon. Lalu kemudian ia tersenyum seperti smile yang lumayan mengerikan jika di lihat terlalu lama."Lalu, apa maksudmu membawaku ke tempat ini? Boleh a
Happy Reading.Dia—Damara, kini di terima sebagai bagian dari anggota prajurit pertahanan dan namanya mulai semakin besar di kalangan masyarakat.Namun ada juga yang menatap Damara dengan tatapan tak suka, sebab ia mewarisi kekuatan Faycon yang harusnya sudah musnah.Seorang pria berkumis mendekat. "Entah keberuntungan atau anugrah, kami akan selalu mengawasiku." Teguran yang cukup berarti. Tapi Damara tak peduli akan apa yang mereka bicarakan sekarang tentangnya, karena yang ia tahu bahwa yang membelanya jauh lebih banyak dari yang membencinya.Sebuah tangan menepuk pundaknya pelan. "Mikael?" Damara tersenyum pada pria yang sudah banyak berubah itu, dengan pakaian zirah dia tampak luar biasa sekarang."Haruskah ku potong lidahnya itu?"Deg! Damara membulatkan matanya singkat, sebelum memukul pelan Mikael. Tertawa singkat sebelum Damara menarik pedangnya. "Ide bagus." ucap Damara.Namun Lycus dan Draxan muncul disamping dua orang itu dan menghentikan mereka berdua. "Ekhem, jangan mac
Happy Reading."Kenapa?"Satu pertanyaan itu membuat Damara menarik tangannya dari tangan Arron, kini ia benar-benar malu. Karena arwahnya baru saja kembali ke dalam tubuhnya, yang otomatis sadar sepenuhnya."Kau?""Damara?"Kemudian menoleh ke arah sudut lainnya. "Kalian!" bingungnya saat melihat ruangan yang harusnya kosong, kini di penuhi oleh wajah-wajah yang begitu ia benci dan hindari selama beberapa saat yang lalu.Lalu pandangannya kini tertuju pada ornamen dinding dan papan tulis yang identik dengan karakter mereka masing-masing. "Ini … maaf masuk tanpa izin, saya permisi." Pamitnya.Namun sesaat sebelum ia melangkah pergi, Arrin tentu saja menghentikan Damara. Ia malah mengandeng tangan Damara dan membawanya ke kursi yang menghadap meja yang penuh dengan makanan juga es yang sudah mencair."Makan!" Titahnya. Sementara Damara hanya duduk memandang mereka dengan tatapan aneh.Hah. Lagi-lagi ditatap dengan tatapan yang sama. "Sampai kapan kalian akan menatapku dengan tatapan se
Happy Reading.Di ruangan Arron, Damara menatap tajam pria itu. "Kau pikir aku seekor anjing?" tanyanya marah pada Arron, sebab ia menarik tubuh Damara dengan kekuatan aura yang terlihat seperti sedang menjerat seseorang. "Hei, kenapa diam saja?""Damara, kau tidak mematuhiku." Damara mengerutkan keningnya. Lalu tersenyum sinis pada pria itu. "Mematuhi, sejak kapan perintahmu menjadi mutlak bagiku? Aku bukan wargamu, karena dari segi apapun aku berbeda. Tidaka kan pernah sama denganmu, jadi berhentilah mengekang seolah aku adalah milikmu.""Kau memang milikku sekarang."Deg! Damafa terpaku di tempatnya, pikiran dan perasaannya tiba-tiba saja menjadi aneh.Arron kini menatap Damara dalam-dalam. "Aku tidak suka kau bersama dengan orang lain selain aku?""Kau gila?""Ya.""Arron!" "Apa?" tanya Arron dengan suara lembut, tetapi mengapa tatapannya begitu tajam. Ia menatap Damara seperti melihat mangsa yang telah di lepaskan tapi malah mengigitnya diam-diam—perlahan Arron mendekati Damara
Happy Reading."Saat bersama dengan As, aku tidak menyaka kalau akan merasa berbeda. Seolah menjadi orang lain. Apa mungkin, hanya dia saja yang melihatku dengan tatapan penuh waspada dan menerima segala kekuranganku?" pikir Damara membatin.Jika kalian berkata kalau ini adalah cinta, maka jawabannya adalah tidak. Ini bukanlah cinta.***Dan itu adalah masalahnya. "Aku perhatikan, kau tidak betah di dalam istana? Ada apa?" tanya Arron, sibuk membalikan lembaran demi lembaran kertas di tangannya dengan teliti.Sementara Damara hanya menghembuskan nafasnya kasar. "Sejak kapan menjadi urusanmu?""Kau disini karena aku yang memintanya, jadi kau juga tanggung jawabku.""Aku tidak akan mati semudah itu!""Yang ku lihat tidak begitu."Damara tersenyum sinis. "Aha, apa sekarang Anda sangat cemas denganku? Mengingat aku hampir saja mati di tanganmu. Jangan pikir aku tidak mengingatnya, setiap mata yang menatapku seperti musuh. Naif sekali kalau kau sekarang mengkhawatirkanku!" terang Damara ta
Happy Reading.Melihat Arron dan kemungkinan Damara tidak bisa keluar dari tempat ini, Damara tersenyum sebelum menundukan kepalanya singkat pada Arron.Dan di setiap langkahnya, pegang muncul dari tangan Arron. Pedang yang membinasakan dengan aura, mungkin ini saatnya baginya untuk pergi ke neraka.Darah Mycana memang luar biasa ya. Namun di tengah ketegangan yang terjadi, seorang pria menerobos masuk ke dalam ruangan yang gelap penuh dengan sihir.Deg! Emerald membelalakan matanya saat melihat suaminya muncul di tempat ini, dan terlihat tergesa-gesa."Jangan bunuh, tuan saya mohon!"Dia mengeluarkan sesuatu dalam tasnya, obat yang taruh dalam botol kecil dalam jumlah yang cukup banyak. "Nona saya berhasil." ujarnya dengan senyuman penuh ketakutan.Yap. Damara sudah merencanakan saat ini, dan untungnya pria menyebalkan yang ingin sekali ia bunuh itu datang tepat pada waktunya."Saya juga membawa surat cerai, jadi saya mohon. Lepas segel sihirnya, ya."Lycus kembali sebotol, lalu ia