Happy Reading.Melihatnya sama halnya seperti melihat ribuan bunga yang indah dan membuat hati tenang, seakan ada surga baru di dunia yang kejam ini. Tetapi semakin jauh mata memandang, lama-kelamaan durilah yang terasa.Tidak indah, tidak terlihat. Tersimpan rapi diantara indahnya kelopak dan warna, tetapi bisa dirasakan.Pagi. Ketika matahari baru saja bersinar, seorang tamu datang berkunjung dan ingin bertemu dengan Arron.Tok!Tok!Tok!Arron yang sedang menidurkan Damara, segera bangkit dari tempatnya. Tapi tak lupa untuk memberikan kecupan singkat pada dahi Damara.***Di ruang tamu. Semua orang terlihat waspada, karena kedatangan seorang pria dengan pakaian perang. Berlumuran darah di pedangnya, tengah duduk di sofa putih dengan raut wajah santainya.Tap!Tap!Tap!Dia bangkit saat Arron datang. "Tuan Arron, pewaris Hilike. Senang melihat Anda!" Dia hormat, tetapi serigainya sangat jelas kalau ia menaruh dendam pada pria bernama Arron itu."Siapa?""Siapa?" Ulang pria dengan su
Happy Reading.Taman Despina. "Dia cinta pertamamu Damara?" tanya Arron sembari berjalan disamping Damara yang hanya memandang ke arah depan dengan tatapan tajam."Tidak.""Tidak?""Bagi Damara, dia bukanlah cinta pertama. Tapi orang yang harusnya mati secara mengenaskan. Tapi bagi Zehya, dia adalah cinta pertama." ungkap Damara.Arron menganggukan kepalanya, tangannya meraih setangkai bunga berwarna pink. Lalu diubahnya menjadi warna keunguan dengan kekuataannya—itu karena ia tahu kalau Damara tidak suka warna yang terlalu mencolok."Jadi siapa cinta pertama Damara?""Jujur, aku tidak tahu. Tapi bagi Faycon, dia ada di sampingku. Memberiku bunga, dengan tatapan sedalam lautan." ucap Damara dengan senyuman menggodanya. "Terima kasih Arron.""Sama-sama istriku."***Dari kejauhan, seseorang sedang menatap ke arah Damara dan Arron. Lalu ia tersenyum sinis setelahnya."Hei kau! Kapan kau akan pulang? Ini bukan kotamu, dan kotamu butuh pemimpinnya. Jadi kenapa Anda tidak pergi pergi saja
Happy Reading.Dia kira berhasil. Ternyata gagal ya. Jadi sudah? Sampai disini saja kisah Faycon dan tuan terkutuk di kota Hilike yang benci tapi juga ia cintai itu?"Sayangnya ini belum selesai!"Sebuah suara membuat Damara menoleh ke arah belakang. Dan disana, dia mendapati cerminan dirinya sendiri. Bukan, tapi Damara yang sebenarnya."Ya, sudah berakhir dan tetap akan begitu." tegas Damara penuh penekanan.Tapi Damara dengan wajah yang begitu ceria itu malah tersenyum seperti anak kecil. Berkata, "karena kamu aku tidak bisa pergi ke tempatku dengan benar!""Kau menyalahkanku anak kecil?" Mata Damara melotot."Itu tubuhku, harusnya aku masih hidup. Tapi ya. Ini pilihanku, tinggal di tempat di antara hidup dan mati. Kesepian dan hanya bisa mengawasi semua tindakan kurang manusiawi yang kau lakukan!" Tuduhnya.Damara tersenyum sinis. Dia mengangkat satu alisnya menatap anak kecil itu dari atas kepala sampai ujung kakinya dengan tatapan sinis. "Itu menyenangkan!""Itu salahku.""Karena
Happy Reading.Wush!"Memulai perang hmmm!" gumam Damara diluar kamar, lebih tepatnya pada balkon kamarnya yang cukup luas. Dan penyangganya saja bisa diduduki, tapi Damara memilih untuk berdiri di atasnya. Seakan ingin bunuh diri di siang hari. Para pelayan yang melihat Damara malah tersenyum mengejek. "Tolong jangan kotori halaman Damara!" tegur mereka tanpa embel-embel Nona.Wah. Ternyata miris juga nasib gadis muda bernama Damara yang baru ini, bahkan cara bicara mereka sudah cukup membuktikan kalau tidak ada rasa hormat pada putri sulung keluarga Thalesacena.Ditengah cekikikan dan cemooh, Damara tiba-tiba saja melompat. Tetapi ia mendarat dengan sempurna. "Ah, karena Arastos tidak pernah membelaku sebagai putrinya. Kalian bisa tertawa begitu hm?"Mereka terlihat angkuh. Meski, beberapa saat yang lalu mereka cukup kaget. "Sebagainya kamu kembali ke atas tempat tidur.""Ya. Benar seharusnya aku kembali ke atas tempat tidur dan membiarkan kalian bekerja untuk mendapatkan harta. A
Selamat membaca."Arron!" ucap Damara dalam pikirannya, dan saat mata mereka bertemu. Itu benar, di hadapannya saat ini ada Arron. Benar-benar Arron yang itu, Arron yang telah merencanakan pemusnahannya.Katanya cinta. Tapi malah dihancurkan dengan begitu hebatnya, Damara akan berbohong jika bilang ia tidak marah. Pecahan kaca itu masih berserakan, dan sekarang. Dia belum siap untuk menerima pecahan lainnya!"Nona Damara, kami mencoba membantu Anda….""Jangan bantu, itu tidak akan berhasil! Jadi berhentilah, karena itu tidak mengembalikan APA YANG SUDAH HILANG!"Mereka terdiam. Entahlah, tapi api kemarahan Damara yang tiba-tiba meledak membuat mereka kebingungan."Maaf menutup mata atas masalah Anda, tapi bukannya ini juga salah Anda yang tidak bisa berbaur dengan baik.""Anda menyalahkan saya?""Anda membentak saya untuk pertama kalinya disaat yang lainnya sepertinya sulit untuk melakukan itu!" ingat Arron, tapi Damara hanya tersenyum sinis. "Anda juga, sedikit berbeda!" Mata Arron
Happy Reading.Nyatanya pelukan yang begitu tulus. Tak mampu membuat Damara tenang, meski menangis. Akan tetapi Damara tetap berjalan menujuh dari mereka tanpa memandang ke arah belakang, ia hanya fokus pada hati dan perasaannya yang terluka.***Di persimpangan jalan, Damara mengambil jalan yang berlawanan dari rumahnya.Sontak saja Mikael buru-buru menghentikan Damara atas jalannya yang salah."Jalannya salah Damara!" tegur Mikael. sambil menahan pergelangan tangan Damara.Tapi sekali lagi Damara menghempaskan tangannya dari tangan Mikael dengan kasar. "Lepas!" Menatap Mikael dengan alis yang terus menyatu ke bawah. Tanda, kalau suasana hati Damara sedang tak baik-baik saja. "Jalanku tak pernah salah, menurut pemikiran ku sendiri!" sambung Damara menjauh dari tempat tersebut.Dan saat Mikael ingin mengejar Damara, Arron menghentikan Mikael begitu juga dengan sang ayah, Arastos. Yang meanggukan kepalanya pada Mikael, untuk menuruti permintaan Arron.***Sementara itu, Damara yang ter
Happy Reading.Damara yang mereka kenal tak akan pernah mau mengaduh atau melakukan sesuatu yang memberatkan mereka. Harusnya Damara menjadi sosok yang lemah lembut, dan bukannya menjadi sosok yang keras dan tegas seperti ini.Semua pun berlutut di kaki tuan Arastos. "Tolong jangan pecat saya, saya punya banyak anak dan suami yang harus saya urus." Lagi. "Kami tidak punya tempat tinggal…."Tetapi permohonan yang berisikan air mata itu justru tidak dipedulikan oleh Damara. Muak, Damara memilih untuk meninggalkan ruang makan.Sebab semuanya adalah keputusan ayahnya, yang adalah kepala keluarga Thalesacena saat ini.*** Esok harinya.Tuan Arastos benar-benar melakukan apapun yang Damara inginkan, dengan memecat semua pelayan yang bekerja di bagian dapur dan taman.Namun Damara bukannya berterima kasih, ia malah kelayapan keluar rumah. Dan membuat sosoknya sulit untuk di temukan.Ternyata, Damara sedang jalan-jalan di kota utama Hilike."Ah, ternyata sudah semaju ini!" Mata Damara menera
Happy Reading.Kota Hilike, bagian gunung Delmare. Terlihat dua orang pria dengan tubuh gagah dan wajah rupawan, sedang memandang sedih ke arah makan bertuliskan. Damara Eos Mycana, istri Arron Cerberus.Dia—Demus Lardtana, kini memandang Arron Cerberus dengan tatapan dalam. Namun senyumannya mengartikan kesedihan. Bagaimana tidak, pasalnya Arron sedang menatap makam Damara dengan tatapan ribuan kerinduan yang belum terobati."Terima kasih, karena sudah menjadi cinta pertamanya Damara." ucap Arron—ternyata sudah lama ia membangun persahabatan dengan kota tetangga. Wilayah Sarvan, kota Arv. Dan pertemukan lagi, oleh nama yang sama. Yang kini telah tiada.Demus tersenyum sinis. "Aku memang cinta pertamanya, tapi kamu yang akan jadi selamanya. Bukan Demus Lardtana, tapi Arron Cerberus Mycana." Setelah mengatakan itu, Demus yang sedang dalam kunjungannya menepuk pundak Arron singkat. Sebelum pergi dari lokasi tersebut.Dan tanpa mereka duga, ada yang sedang mengawasi mereka dibalik poho
Happy Reading.Bahagia. Itu hanya sementara saja, karena setelahnya Damara mendapatkan kado yang begitu spesial. Sampai ia tak bisa berkata apa-apa lagi saat menyaksikan senyuman dan harapan semua orang, yang ingin melihat ia bahagia.***Beberapa hari setelah hari ulang tahun Eos, Damara terlihat bahagia menghabiskan waktunya untuk bercanda dengan orang-orang di sekitarnya.Tidak menghindar, atau menatapnya dengan tatapan rendah, apalagi bersembunyi di balik pintu karena takut padanya."Hei Eos, kau menyimpan hadiahku kan?""Ya." Damara tersenyum senang. "Aku menyimpannya pada ibuku."Damara terkejut. "Ibumu?" Eos menganggukan kepalanya sebagai jawaban, menolehkan kepalanya ke arah ibunya. Emerald. Damara menghembuskan nafasnya kasar. sebelum tersenyum menepuk puncak kepala Eos dengan sayang. "Bermainlah!""Em."Lalu Damara pergi begitu saja, mendekat ke arah Emerald. "Belum cukup kau membuat anak dengan pria lain, kau juga memberikan namaku pada anak itu. Setelahnya merebut hadiah
Happy Reading."Damara?""Damara." Hah. Panggilan itu langsung menyadarkan Damara dari lamunannya. "Ada apa? Hm?" tanya Arron, ia kini merangkul pinggang ramping Damara yang sedang berdiri menangkupkan satu tangannya pada wajahnya menyandar pada peyangga di lantai dua. Yang menghadap langsung ke lantai dansa, di lantai satu.Sedang ada pesta."Kau terlihat resah?"Damara tersenyum pada Arron. Karena meski ia berhasil mendapatkan kepercayaan semua orang dan menyingkirkan ketakutan akan Faycon yang membahayakan, tapi bukan berarti itu menyelesaikan masalahnya."Arron," Damara ragu untuk mengatakannya. "Ada apa?""Tidak apa-apa."Pria itu tak memaksa, karena ia tahu kalau sejak saat Damara pingsan kondisi tubuhnya memburuk dan darah selalu menghiasi tempat tidur Damara. "Haruskah aku datang ke kamarmu malam ini Damara?""Tidak usah, aku … baik-baik saja."Arron mendengus, sebelum memeluk erat Damara. "Sebagai gantinya, jangan tolak aku saat kita menikah nanti."Lalu Damara menarik dir
Happy Reading.Apakah akan baik-baik saja? Bagaimana jika semua yang dipikirkan diawal tidak terjadi, dia tidak diterima justru dimusuhi? Apakah semuanya akan berakhir seperti sebelumnya."Damara," Arron kini menggenggam tangan Damara, menatap wanita dengan tatapan penuh percaya diri. "Semua akan baik-baik saja?"Tapi tentu saja Damara semakin cemas. "Tapi bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan diriku. Meski punya kamu, bayangan akan masa selalu ada. Aku adalah Faycon bagaimanapun bentukku Arron, dan dendam akan selalu ada dalam benakku—""Kecemasanmu sangat tidak berarti sekarang." timpal Lycus. "Lihatlah kami akan selalu berada di depanmu untuk menghalangi semua niatmu!"Sontak mata Damara langsung tertuju pada mereka semua, entah mengerti pada takdir atau sengaja dibuat mengerti padahal tidak tahu apa-apa tentang waktu yang sedang berjalan sekarang."Haruskah aku menciummu agar kau tenang?" Goda Arron. Kini wajahnya dan Damara ada dalam jarak yang cukup dekat.Malu. Tentu saja
Happy Reading."Karena aku, butuh obatku!" jawab Arron. Kemudian tersenyum melihat wajah cantik Damara, yang masih sama seperti pertama kali mereka bertemu.***Lama mengobrol, akhirnya mereka sampai di sebuah hutan belantara dengan bendera yang sudah usang."Tempat apa ini?" tanya Damara. Alisnya terus saja menyatu saat pandangannya mencoba menganalis sekitarnya.Bekas kurumput yang injak, sayatan pedang di pohon dan aroma amis darah yang telah menghitam, mengering di beberapa tempat.Damara menetralkan aura Fayconnya setelah berhasil mendapatkan jawaban dari kebingungannya barusan."Jadi, ada area seperti ini di tempat ini?""Ya. Kami membangunnya agar para kesatria dan para pemuda kota ini terlatih untuk menghadapi masalah yang besar, jauh dari perkiraan mereka sebelumnya." jelas Arron.Damara mengangguk-anggukan kepalanya sebagai respon. Lalu kemudian ia tersenyum seperti smile yang lumayan mengerikan jika di lihat terlalu lama."Lalu, apa maksudmu membawaku ke tempat ini? Boleh a
Happy Reading.Dia—Damara, kini di terima sebagai bagian dari anggota prajurit pertahanan dan namanya mulai semakin besar di kalangan masyarakat.Namun ada juga yang menatap Damara dengan tatapan tak suka, sebab ia mewarisi kekuatan Faycon yang harusnya sudah musnah.Seorang pria berkumis mendekat. "Entah keberuntungan atau anugrah, kami akan selalu mengawasiku." Teguran yang cukup berarti. Tapi Damara tak peduli akan apa yang mereka bicarakan sekarang tentangnya, karena yang ia tahu bahwa yang membelanya jauh lebih banyak dari yang membencinya.Sebuah tangan menepuk pundaknya pelan. "Mikael?" Damara tersenyum pada pria yang sudah banyak berubah itu, dengan pakaian zirah dia tampak luar biasa sekarang."Haruskah ku potong lidahnya itu?"Deg! Damara membulatkan matanya singkat, sebelum memukul pelan Mikael. Tertawa singkat sebelum Damara menarik pedangnya. "Ide bagus." ucap Damara.Namun Lycus dan Draxan muncul disamping dua orang itu dan menghentikan mereka berdua. "Ekhem, jangan mac
Happy Reading."Kenapa?"Satu pertanyaan itu membuat Damara menarik tangannya dari tangan Arron, kini ia benar-benar malu. Karena arwahnya baru saja kembali ke dalam tubuhnya, yang otomatis sadar sepenuhnya."Kau?""Damara?"Kemudian menoleh ke arah sudut lainnya. "Kalian!" bingungnya saat melihat ruangan yang harusnya kosong, kini di penuhi oleh wajah-wajah yang begitu ia benci dan hindari selama beberapa saat yang lalu.Lalu pandangannya kini tertuju pada ornamen dinding dan papan tulis yang identik dengan karakter mereka masing-masing. "Ini … maaf masuk tanpa izin, saya permisi." Pamitnya.Namun sesaat sebelum ia melangkah pergi, Arrin tentu saja menghentikan Damara. Ia malah mengandeng tangan Damara dan membawanya ke kursi yang menghadap meja yang penuh dengan makanan juga es yang sudah mencair."Makan!" Titahnya. Sementara Damara hanya duduk memandang mereka dengan tatapan aneh.Hah. Lagi-lagi ditatap dengan tatapan yang sama. "Sampai kapan kalian akan menatapku dengan tatapan se
Happy Reading.Di ruangan Arron, Damara menatap tajam pria itu. "Kau pikir aku seekor anjing?" tanyanya marah pada Arron, sebab ia menarik tubuh Damara dengan kekuatan aura yang terlihat seperti sedang menjerat seseorang. "Hei, kenapa diam saja?""Damara, kau tidak mematuhiku." Damara mengerutkan keningnya. Lalu tersenyum sinis pada pria itu. "Mematuhi, sejak kapan perintahmu menjadi mutlak bagiku? Aku bukan wargamu, karena dari segi apapun aku berbeda. Tidaka kan pernah sama denganmu, jadi berhentilah mengekang seolah aku adalah milikmu.""Kau memang milikku sekarang."Deg! Damafa terpaku di tempatnya, pikiran dan perasaannya tiba-tiba saja menjadi aneh.Arron kini menatap Damara dalam-dalam. "Aku tidak suka kau bersama dengan orang lain selain aku?""Kau gila?""Ya.""Arron!" "Apa?" tanya Arron dengan suara lembut, tetapi mengapa tatapannya begitu tajam. Ia menatap Damara seperti melihat mangsa yang telah di lepaskan tapi malah mengigitnya diam-diam—perlahan Arron mendekati Damara
Happy Reading."Saat bersama dengan As, aku tidak menyaka kalau akan merasa berbeda. Seolah menjadi orang lain. Apa mungkin, hanya dia saja yang melihatku dengan tatapan penuh waspada dan menerima segala kekuranganku?" pikir Damara membatin.Jika kalian berkata kalau ini adalah cinta, maka jawabannya adalah tidak. Ini bukanlah cinta.***Dan itu adalah masalahnya. "Aku perhatikan, kau tidak betah di dalam istana? Ada apa?" tanya Arron, sibuk membalikan lembaran demi lembaran kertas di tangannya dengan teliti.Sementara Damara hanya menghembuskan nafasnya kasar. "Sejak kapan menjadi urusanmu?""Kau disini karena aku yang memintanya, jadi kau juga tanggung jawabku.""Aku tidak akan mati semudah itu!""Yang ku lihat tidak begitu."Damara tersenyum sinis. "Aha, apa sekarang Anda sangat cemas denganku? Mengingat aku hampir saja mati di tanganmu. Jangan pikir aku tidak mengingatnya, setiap mata yang menatapku seperti musuh. Naif sekali kalau kau sekarang mengkhawatirkanku!" terang Damara ta
Happy Reading.Melihat Arron dan kemungkinan Damara tidak bisa keluar dari tempat ini, Damara tersenyum sebelum menundukan kepalanya singkat pada Arron.Dan di setiap langkahnya, pegang muncul dari tangan Arron. Pedang yang membinasakan dengan aura, mungkin ini saatnya baginya untuk pergi ke neraka.Darah Mycana memang luar biasa ya. Namun di tengah ketegangan yang terjadi, seorang pria menerobos masuk ke dalam ruangan yang gelap penuh dengan sihir.Deg! Emerald membelalakan matanya saat melihat suaminya muncul di tempat ini, dan terlihat tergesa-gesa."Jangan bunuh, tuan saya mohon!"Dia mengeluarkan sesuatu dalam tasnya, obat yang taruh dalam botol kecil dalam jumlah yang cukup banyak. "Nona saya berhasil." ujarnya dengan senyuman penuh ketakutan.Yap. Damara sudah merencanakan saat ini, dan untungnya pria menyebalkan yang ingin sekali ia bunuh itu datang tepat pada waktunya."Saya juga membawa surat cerai, jadi saya mohon. Lepas segel sihirnya, ya."Lycus kembali sebotol, lalu ia