Alenta terbangun dari tidurnya, dia tersentak kaget karena ternyata Edward juga ada di sana.
Tanpa sadar, bibir Alenta melengkung membentuk senyuman melihat Ayah dan anak itu tidur dengan nyenyak.Edward, pria itu terlihat sangat kelelahan sekali, empat hari tidak pulang ke rumah pastilah dia melakukan banyak hal yang membuatnya sibuk.Alenta perlahan bangkit dari tempat tidur. Dia mengambil jas Edward yang tergeletak begitu saja, lalu membawa sepatunya Edward juga.Setelah meletakkan barang-barangnya Edward di tempat yang Seharusnya, Alenta kini menuju ke dapur."Apa yang ingin Nona Alenta lakukan?" tanya pelayan rumah saat melihat Alenta masuk ke dapur.Alenta tersenyum. "Aku ingin buat makan siang untuk Elea, sekaligus juga untuk Kakak ipar," jawab Alenta jujur."Eh," pelayan itu agak terkejut. "Menang masih memanggil Tuan dengan sebutan kakak ipar ya, Nona Alenta?" ledeknya lagi.Alenta memaksakan seEdward berjalan keluar dari kamar setelah dia membersihkan dirinya. Yah, dia tidak sempat untuk mandi tadi karena melihat Elea dan Alenta yang tertidur lelap sehingga dia merasa mengantuk tiba-tiba. Dia belum makan siang, padahal hari sudah akan sore. Alenta juga pasti sudah menunggunya di bawah. "Selamat siang, Tuan?" sapa pelayan rumah begitu dia melihat kedatangan Edward. Seperti biasanya, Edward akan menganggukkan kepalanya tanpa ekspresi kala mendapatkan sapaan dari pekerja rumahnya. "Di mana Alenta?" tanya Edward karena tak mendapati Alenta di ruang makan. "Ada di tengah, menemani Nona Elea bermain," jawabnya sopan. "Dia sudah makan?" tanya Edward lagi. Pelayan rumah menggelengkan kepalanya. "Belum, Tuan." Edward membuang nafas kasarnya. Alenta selalu saja membuat orang lain merasa tidak boleh meninggalkan atau melewatkan makan di jamnya. Tapi, dia sendiri selalu saja meremehkan dirinya sendiri.
"Panggil aku dengan sebutan yang lain!" perintah Edward dengan tegas. "Jangan memanggilku kakak ipar, tidak mau juga Kak Edward, apalagi tuan muda dan juga Ayahnya Elea." Edward semakin menajamkan matanya, dia ingin memperingatkan kepada Alenta agar tak menganggap ucapannya barusan adalah hal yang bisa dia bantah dan elak. Alenta termenung dalam pemikirannya sendiri, lantas bagaimana dia akan menyebut Edward mulai dari sekarang? Sungguh, apakah perlu memanggil Edward dengan sebutan kakanda? Atau mungkin, yang mulia? batinnya bingung. "Kenapa Kau hanya diam saja seperti itu, Alenta?" tanya lagi Edward karena dia benar-benar menunggu tanggapan dari Alenta. Dipaksakan senyum untuk timbul di wajah Alenta, dia terus bergumam di dalam hatinya karena dia sama sekali tidak tahu panggilan apa yang kira-kira cocok untuk Edward. Namun, Alenta juga tahu benar bahwa kalau dia terus diam dalam kebingungan tidak akan menyelesaikan masalah itu.
Alenta keluar dari ruangan kerja Edward. Pinggangnya sakit, pegal sampai ingin berjalan normal saja sepertinya membutuhkan waktu beberapa saat lagi. Di dalam tadi, Edward benar-benar mengerjainya habis-habisan. Entah memang benar cara memanggilnya yang masih salah, atau memang Edward sengaja melakukan itu untuk mengambil keuntungan darinya. Mencoba untuk tetap berjalan, Alenta pada akhirnya sampai di depan tangga. “Sejak kapan tangga jadi sepanjang ini, ya?” gumam Alenta sembari menatap tangga rumah Edward yang panjangnya seperti berkali lipat dari biasanya. Alenta merengut sedih, Sepertinya dia tidak bisa turun dari tangga dengan keadaan kakinya yang gemetar hebat ditambah pinggangnya yang seperti berdenyut-denyut tertusuk ribuan jarum. Memejamkan matanya sebentar sembari membuang nafas, berpegangan pada pegangan tangga erat-erat dan akhirnya Alenta memaksakan dirinya untuk menuruni tiap anak tangga. “Bibi... Bibi...” pang
“Ayah, mau itut!” Pinta Elea saat Edward akan berangkat bekerja. Sudah menjadi kebiasaan baru bagi Elea, setiap Edward akan berangkat bekerja setiap pagi. Sekitar satu Minggu ini, Elea mulai dekat dengan Ayahnya. Selama beberapa waktu terakhir ini, Edward memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan Elea, sementara malam dia gunakan benar-benar dengan Alenta. Pria brengsek itu benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, hampir tidak pernah Alenta nyenyak tidur kecuali saat dia sedang datang bulan. “Masalahnya, Ayah tidak bisa membawamu karena Ayah harus rapat siang nanti,” ujar Edward mencoba memberikan pengertian kepada Elea. Elea yang berada di dalam gendongan Alenta mencoba untuk terus menyodorkan tangannya, namun dengan berat hati Edward tak bisa mengajak Elea. Alenta tersenyum senang, pada akhirnya dia bisa melihat Edward dan Elea dekat layaknya anak dan Ayah pada umumnya. “Maaf ya, Elea? Beso
“Berhentilah untuk terus menyalahkan dan merendahkan Alenta, ibu. Jangan melakukan itu lagi, ibu benar-benar keterlaluan!” Edward menatap ibunya marah, memperingati ibunya agar tak terus menerus melakukan kesalahan yang sama. Karina membuang tatapannya, dia benar-benar malas melihat ekspresi wajah Edward saat itu. Alenta sudah pergi ke kamarnya, Elea pun juga ikut karena Edward tahu benar akan menjadi sekeras apa nada bicaranya nanti. Edward kembali menatap Ibunya, dia yang kesal sebenarnya ingin berbicara dengan lebih keras lagi agar Ibunya tak mengelak. Namun, mengingat siapa ibunya, tentu saja Edward cukup sadar diri bahwa membentak ibunya adalah hal yang salah. Karina kembali menatap Edward. Tatapan matanya yang selalu saja curiga itu terarahkan kepada Edward. “Kenapa kau membelanya terus, Edward?” tanya Karina yang merasa begitu penasaran. Edward membuang nafasnya, pertanyaan Ibunya barusan benar-benar membuat Edward
“Ada apa?” tanya Alenta yang penasaran karena melihat ekspresi wajah Edward berubah begitu menerima panggilan telepon. Dia takut, sungguh dia takut terjadi sesuatu dengan kakaknya. Edward mengakhiri sambungan telepon, menatap Alenta sejenak dengan segala pemikirannya. “Julia sudah bangun, aku akan ke rumah sakit sekarang!”Alenta tersenyum senang, matanya mulai ingin menangis karena bahagia mendengar kabar itu. “Aku ikut, boleh?” Pinta Alenta terlihat begitu berharap. Edward terdiam sebentar. “Tinggallah di rumah, aku akan mengabarkan padamu kondisinya, oke?”Alenta memaksakan senyumnya, dia kecewa tapi tidak boleh memprotes hal itu. Pada akhirnya, Alenta hanya bisa menganggukkan kepalanya saja. Edward bangkit, turun dari tempat tidur untuk berjalan menuju lemari. Dia mengeluarkan satu setel pakaian rumahan yang akan dia gunakan untuk pergi ke rumah sakit. Edward berjalan kembali mendekati Alenta
“Maksud Ibu mertua, ke tempat yang seharusnya untuk Alenta itu di mana?” tanya Edward. Herin agak ragu, tapi pada akhirnya dia mengatakan maksudnya. “Dia akan kembali menjadi adik ipar seperti sebelumnya,” jawabnya. Edward tersenyum, tapi dia tengah menahan kesal. “Aku tidak akan membiarkan siapapun mengatur hidupku. Anda sendiri yang menyodorkan Alenta kepadaku, dia menjadi bagian hidupku. Sesuatu yang aku anggap milikku, tidak akan bisa di ambil siapapun!”***“Kenapa kau datang kesini?” tanya Julia sinis saat melihat Alenta datang bersama dengan Elea. Alenta terdiam menelan kesedihannya seorang diri, dia jelas tidak berani mengatakan apapun karena sadar benar kemarahan dari kakaknya adalah hal yang wajar untuk dia dapatkan. “Elea sudah lama tidak bertemu denganmu, apa kau tidak rindu?” tanya Edward mencoba mengalihkan pembahasan tentang Alenta. Julia menatap Elea yang tidak terlihat merindukan dirinya sama sekali
“Jangan begitu, Ibu. Bibi juga tidak memiliki niat tersembunyi datang ke rumah sakit ini, Bibi hanya sedang mengambil surat kematian suaminya,” jawab Alenta mewakili Lien yang terlihat tidak ingin menggapai Herin. Herin nampak acuh, melengos tak perduli bahwa adik tirinya baru saja mengalami musibah duka. “Kau memang yang paling pintar membuat Ibu kesal, Alenta! Seharusnya, kau merenungi kesalahanmu bukannya mengobrol dengan asik seperti itu!” Kecamnya serius. Lien menghela nafas, dia sungguh tidak menyangka bahwa sampai dengan hari itu, kakak tirinya masih saja belum berubah sama sekali. Alenta terdiam, matanya memerah menahan tangis yang dapat dilihat dengan jelas oleh Lien. Lien menyentuh lengan Alenta, mengusapnya dengan lembut sebagai bentuk dukungan agar Alenta bisa lebih bersabar lagi. “Alenta, sudahlah tidak usah dijelaskan. Bibi pulang dulu ya? Ada banyak pekerjaan yang harus bibi selesaikan,” ujar Lien berharap be
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y