"Apa kau sedang menempatkan dirimu sebagai istriku?" tanya Edward, "apa yang terjadi padaku memangnya kau ikut andil di dalamnya?"Michael memaksakan senyumnya, tentu saja dia tahu benar bahwa sejak dulu sampai dengan sekarang Edward memang tidak pernah berubah. Paling tidak suka ada orang lain yang mencoba mencari tahu tentang kehidupan pribadinya, dan menanyakan sesuatu yang seharusnya tidak ditanyakan. "Baiklah, intinya aku benar-benar turut berduka karena situasi istrimu saat ini benar-benar sangat memprihatinkan," ucap Michael terlihat tulus. Edward menganggukkan saja kepalanya. "Ngomong-ngomong, kau terlihat santai sekali seperti tidak terjadi sesuatu dengan istrimu. Atau jangan-jangan kau tidak menyayangi istrimu sama sekali ya? Seharusnya, kau berada di rumah sakit setiap hari untuk menemani istrimu, kan?" tanya Michael penasaran lagi. Edward menghela nafasnya. "Aku memang tidak setiap hari berada di sisinya. Bagaimanapun, kehidupan juga harus terus berjalan sesedih apapun
Alenta kebingungan sendiri melihat pelayan rumah Edward mondar-mandir, membawa barang-barangnya dan juga barang Edward untuk dimasukkan ke dalam kamar yang kemarin sempat di tempati untuk tidur. Melihat Edward berjalan ke arahnya sembari melihat ponsel, Alenta memutuskan untuk langsung bertanya kepadanya. "Kak," Edward menoleh ke arahnya. "Kenapa mereka memindahkan barang-barang ku, dan sebagian pakaian kakak ipar kesana juga?" tanya Alenta tak dapat menahan rasa penasarannya lagi. Edward terdiam sebentar sebelum pada akhirnya dia memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Edward menatap Alenta namun tak ada ekspresi khusus yang ditunjukkan di wajahnya. "Bukanya akan lebih baik kalau kita memiliki kamar tidur sendiri?" Alenta benar-benar terdiam karena dia tidak tahu harus bagaimana menanggapi jawaban dari Edward barusan. "Kau membutuhkan barang lain?" tanya Edward, "kalau masih ada yang kurang, kau minta pelayan rumah untuk membelinya."Alenta menggeleng. "Tidak, aku tidak k
"Kak?" panggil Alenta. Edward sontak menatap ke arah sumber suara di mana Alenta saat itu berdiri, menatapnya dengan tatapan yang tak terbaca sama sekali. Edward menelan salivanya sendiri. Apa Alenta mendengar ucapannya barusan?Sofia mengerutkan dahinya bingung, Kenapa penampilan Alenta tidak seperti biasanya saat dulu dia datang ke rumah itu. Alenta menatap Edward dan juga Sofia secara bergantian, sebenarnya tidak nyaman untuk dia berada di sana saat itu. Tapi, ada hal yang cukup mendesak yang harus dia sampaikan kepada Edward. Alenta tidak mendengar apapun sebelumnya. "Ada apa, Alenta?" tanya Edward. "Ibuku ingin bicara dengan kakak ipar," jawabnya jujur. Alenta berjalan mendekat kepada Edward, lalu menyerahkan ponselnya yang masih terhubung dengan telepon dari ibunya. Edward menerima ponsel Alenta, mendekatkan pada telinganya. "Ada apa, Ibu mertua?" tanya Edward. "Edward, barusan Julia menggerakkan jari telunjuknya!" jawab Herin dari seberang telepon. Edward terdiam se
Begitu sampai di rumah sakit, Alenta dan juga Edward bergegas menuju ke ruangan di mana Julia berada bersama dengan Herin dan juga Ayahnya Alenta. "Edwar?" Herin tersenyum saat mendapati Edward tiba, namun senyum itu memudar saat dia melihat putri keduanya juga ikut. "Alenta, kenapa kau datang ke sini?" tanyanya tak senang. Alenta terdiam saat melihat ekspresi wajah ibunya yang terlihat kecewa, ingin menjawab tadinya tapi tiba-tiba saja dia memutuskan untuk diam saja. Padahal, dia hanya ingin melihat keadaan kakaknya secara langsung tetapi kenapa ibunya berekspresi seperti itu seolah-olah Alenta tidak memiliki hak untuk mengetahui keadaan Kakaknya sendiri. "Alenta juga ingin melihat keadaan kakaknya, itu bukan sesuatu yang salah, kan?" ujar Edward berharap tak ada perdebatan apapun. Ayahnya Alenta yang bernama Wilhem itu hanya bisa menghela nafas. Herin mengatakan kepada dirinya, sengaja melarang Alenta datang karena takut kecerobohan Alenta dapat membuat kondisi Julia semakin b
"Kalau saja kau tidak membuat kakakmu terjatuh dari tangga, kekacauan ini tidak akan pernah terjadi, Alenta." Alenta menggigit bibir bawahnya, walaupun memang benar kenyataannya seperti itu tetap saja Alenta merasa bosan mendengar kalimat yang sama keluar dari mulut ibunya. Tidak perlu terus diingatkan, nyatanya Alenta juga masih terus bisa mengingatnya dengan sangat baik sampai tidur pun tidak pernah bisa dia merasa nyenyak. "Aku tidak pernah memiliki niat untuk membuat kakak jatuh dari tangga, apalagi sampai seperti ini, Ibu." Alenta berkata dengan ekspresi wajahnya yang terlihat putus asa. Dia juga ingin mengatakan apa yang ingin dia katakan kepada ibunya, setidaknya agar ibunya tak terus-menerus mengulangi kalimat yang sama Padahal sudah tahu bahwa kalimat itu pasti akan sangat menyakiti Alenta. Herin mengalihkan pandangannya, enggan terlalu lama melihat wajah Alenta. Ada perasaan tidak tega terhadap Putri keduanya, namun juga ke
Selama di dalam perjalanan kembali dari rumah sakit, Alenta terus saja berpikir dengan amat rumit. Bagaimana bisa kakak iparnya itu tidak memiliki minat untuk menemani Julia di rumah sakit? Untuk ukuran seorang suami, Edward tentu saja kurang menunjukkan perasaan cintanya dan juga perhatiannya kepada Julia. Satu atau dua bulan setelah Julia dinyatakan koma, Edward memang hampir setiap hari berada di rumah sakit dan perusahaan. Selama 2 bulan itu pula, Edward hampir tak pernah menghabiskan waktu untuk bersama Elea. Tapi, perasaan Edward terlalu mudah berubah bukan?Menyadari jika sejak tadi Alenta terus melamun, terlihat memikirkan sesuatu, Edward yang penasaran pada akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada Alenta. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Alenta tersentak kaget, dia melihat ke arah Edward yang masih fokus untuk mengemudi."Tidak ada," bohongnya. Edward tak ingin memaksakan orang yang tidak ingin memberitahun
Alenta menggigit bibir bawahnya menahan suaranya agar tak lepas saat Edward menghentak tubuhnya. Mereka sedang melakukan hubungan suami istri, namun waktunya benar-benar sangat kurang tepat bagi Alenta. Padahal, tadi Alenta sudah bersiap dan hanya tinggal berangkat saja ke cafe. Tapi, tiba-tiba saja Edward keluar dari kamar mandi dan menarik Alenta menuju ke tempat tidur. Alenta ingin menolaknya, tapi dia tidak terlalu berani. Dia pikir, hanya butuh waktu 15 sampai 30 menit saja. Nyatanya, sudah hampir satu jam Edward juga masih belum berhenti. Apa dia manusia? Alenta benar-benar tidak berkonsentrasi pada awalnya, entah mengapa dia merasa begitu malu padahal sudah beberapa melakukan hubungan intim seperti itu dengan Edward. Jika Alenta tidak merasakan apapun pada awalnya karena perasaan terhina dan bersalah, lantas kenapa dia baru mulai merasakan malu sekarang?Apakah ada yang berubah dengan perasaannya?"
Edward menatap Michael dengan tatapan serius. "Menurutmu, seberapa besar kemungkinan untuk Julia bisa bangun?"Michael mengangkat kedua bahunya, tentu saja dia tidak tahu karena dia bukanlah dokter. "Kau bisa menanyakan langsung saat bertemu dengan dokter itu. Tapi, setahuku juga dokter itu perlu memeriksa terlebih dahulu keadaan istrimu, dan menerima laporan kesehatan terakhir milik istrimu itu," jawab Michael. Edward menghela nafasnya, matanya menatap, menerawang mencoba untuk menimbang hal itu dengan sangat matang. Dia tidak ingin membuang-buang waktu jika memang benar dokter itu memiliki keahlian seperti yang diucapkan oleh Michael. Michael mengerutkan dahinya, netranya yang sejak tadi tertuju kepada Edward menjadi mulai menyelidiki mencari tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Edward dengan ekspresi wajahnya yang tidak terbaca sama sekali. "Kau benar-benar tidak terlihat seperti suami yang sangat mencintai istrinya, kau seharusnya langsung bersemangat dan menghubungi
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y