"Kalau saja kau tidak membuat kakakmu terjatuh dari tangga, kekacauan ini tidak akan pernah terjadi, Alenta." Alenta menggigit bibir bawahnya, walaupun memang benar kenyataannya seperti itu tetap saja Alenta merasa bosan mendengar kalimat yang sama keluar dari mulut ibunya. Tidak perlu terus diingatkan, nyatanya Alenta juga masih terus bisa mengingatnya dengan sangat baik sampai tidur pun tidak pernah bisa dia merasa nyenyak. "Aku tidak pernah memiliki niat untuk membuat kakak jatuh dari tangga, apalagi sampai seperti ini, Ibu." Alenta berkata dengan ekspresi wajahnya yang terlihat putus asa. Dia juga ingin mengatakan apa yang ingin dia katakan kepada ibunya, setidaknya agar ibunya tak terus-menerus mengulangi kalimat yang sama Padahal sudah tahu bahwa kalimat itu pasti akan sangat menyakiti Alenta. Herin mengalihkan pandangannya, enggan terlalu lama melihat wajah Alenta. Ada perasaan tidak tega terhadap Putri keduanya, namun juga ke
Selama di dalam perjalanan kembali dari rumah sakit, Alenta terus saja berpikir dengan amat rumit. Bagaimana bisa kakak iparnya itu tidak memiliki minat untuk menemani Julia di rumah sakit? Untuk ukuran seorang suami, Edward tentu saja kurang menunjukkan perasaan cintanya dan juga perhatiannya kepada Julia. Satu atau dua bulan setelah Julia dinyatakan koma, Edward memang hampir setiap hari berada di rumah sakit dan perusahaan. Selama 2 bulan itu pula, Edward hampir tak pernah menghabiskan waktu untuk bersama Elea. Tapi, perasaan Edward terlalu mudah berubah bukan?Menyadari jika sejak tadi Alenta terus melamun, terlihat memikirkan sesuatu, Edward yang penasaran pada akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada Alenta. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Alenta tersentak kaget, dia melihat ke arah Edward yang masih fokus untuk mengemudi."Tidak ada," bohongnya. Edward tak ingin memaksakan orang yang tidak ingin memberitahun
Alenta menggigit bibir bawahnya menahan suaranya agar tak lepas saat Edward menghentak tubuhnya. Mereka sedang melakukan hubungan suami istri, namun waktunya benar-benar sangat kurang tepat bagi Alenta. Padahal, tadi Alenta sudah bersiap dan hanya tinggal berangkat saja ke cafe. Tapi, tiba-tiba saja Edward keluar dari kamar mandi dan menarik Alenta menuju ke tempat tidur. Alenta ingin menolaknya, tapi dia tidak terlalu berani. Dia pikir, hanya butuh waktu 15 sampai 30 menit saja. Nyatanya, sudah hampir satu jam Edward juga masih belum berhenti. Apa dia manusia? Alenta benar-benar tidak berkonsentrasi pada awalnya, entah mengapa dia merasa begitu malu padahal sudah beberapa melakukan hubungan intim seperti itu dengan Edward. Jika Alenta tidak merasakan apapun pada awalnya karena perasaan terhina dan bersalah, lantas kenapa dia baru mulai merasakan malu sekarang?Apakah ada yang berubah dengan perasaannya?"
Edward menatap Michael dengan tatapan serius. "Menurutmu, seberapa besar kemungkinan untuk Julia bisa bangun?"Michael mengangkat kedua bahunya, tentu saja dia tidak tahu karena dia bukanlah dokter. "Kau bisa menanyakan langsung saat bertemu dengan dokter itu. Tapi, setahuku juga dokter itu perlu memeriksa terlebih dahulu keadaan istrimu, dan menerima laporan kesehatan terakhir milik istrimu itu," jawab Michael. Edward menghela nafasnya, matanya menatap, menerawang mencoba untuk menimbang hal itu dengan sangat matang. Dia tidak ingin membuang-buang waktu jika memang benar dokter itu memiliki keahlian seperti yang diucapkan oleh Michael. Michael mengerutkan dahinya, netranya yang sejak tadi tertuju kepada Edward menjadi mulai menyelidiki mencari tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Edward dengan ekspresi wajahnya yang tidak terbaca sama sekali. "Kau benar-benar tidak terlihat seperti suami yang sangat mencintai istrinya, kau seharusnya langsung bersemangat dan menghubungi
"Alenta!"Alenta dan juga Michael tersentak kaget mendengar Edward berteriak menyebut namanya. Mungkin, lebih tepatnya lagi Edward membentak Alenta. Dengan segera Alenta berjalan mendekati Edward. "Ada apa, kak?'' tanya Alenta gugup. Alenta tak berani melihat wajah Edward, tentu saja karena dia takut. Edward mengeraskan rahangnya menahan kekesalan. Melihat Alenta yang tadi sempat terlihat sangat manis dengan tersenyum kepada Michael, lalu tiba-tiba Alenta langsung berjalan mendekat ke arahnya begitu dia memanggil nama Alenta namun ekspresi wajah Alenta benar-benar berbanding terbalik dari wajah yang dia tunjukkan kepada Michael. Alenta nampak tertekan, ketakutan. Sungguh, Edward sangat tidak menyukai hal itu. Seharusnya, Alenta hanya menunjukkan ekspresi wajah seperti tadi di hadapannya saja bukan?"Masuk ke kamarmu, segera!" Titahnya tak terbantahkan. Alenta menganggukkan kepalanya, bergegas menjalankan kakinya menuju kamarnya. Setelah Alenta pergi, Edward menatap Michael yang
Alenta benar-benar tidak bisa lagi, dia sudah tidak kuat untuk melayani nafsu Edward yang tidak ada habisnya. Tubuhnya sudah sangat lemas, dia tidak mampu lagi bertahan. Entah kapan kegiatan itu berhenti, Alenta sama sekali tidak tahu. Mungkin, Alenta bisa disebut pingsan karena kelelahan ketimbang tertidur. Besok paginya, Alenta benar-benar merasai tubuhnya yang sakit dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Saat dia bangkit menuju kamar mandi saja, dia seperti tidak kuat karena tubuhnya yang lemas dan gemetar. Untungnya, Alenta bisa menyelesaikan kegiatan itu. Alenta hanya bisa menghela nafas melihat tubuhnya yang di buat seperti macam tutul oleh Edward. Tidak tahu lah, intinya Alenta hanya bisa menahan diri saja saat Edward menuntutnya untuk melakukan ini dan itu. Sebelum Edward bangun, Alenta bergegas menyiapkan pakaian untuk bekerja nanti, berikut dasi, jam tangan, sepatu serta kaus kaki, pakaian dalam juga. "Sepertinya sudah semua, tinggal dokumen saja di ruang kerja," uja
Alenta memutuskan untuk berpura-pura saja tidak mendengar apapun. Sakit sebenarnya hati saat mendengar apa yang diucapkan oleh Karina. Namun, entah benar atau tidaknya memang apa bedanya? Alenta terlalu lelah untuk berpura-pura, dia juga lelah untuk bersabar saat setiap rasa sakit harus dia rasakan setiap harinya. Karina sendiri nampak tak perduli, dia cuek seolah hati Alenta tidak begitu penting. Dia terus melirik sinis, sekali berdecih dengan ekspresi wajah kesal kepada Alenta. Padahal, tak ada satupun perbuatan Alenta yang salah. Alenta tengah memakaikan Elea baju, dia tidak ingin memikirkan hal lain. "Kalau kau sudah tidak sibuk, kita bicara sebentar ya?" ajak Edward kepada Alenta. Alenta menoleh, menatap Edward lalu menganggukkan kepalanya. Setelah selesai menggunakan pakaian untuk Elea, Alenta menitipkan Elea kepada pelayan rumah untuk pergi menemui Edward. Tok tok tokAlenta membentuk pintu ruang kerja Edward sebelum dia masuk ke dalam sana. "Masuk!" ucap Edward memer
Menanggapi apa yang diucapkan oleh Karina, Alenta hanya tersenyum saja. Seperti yang Edward ucapkan, dia akan mulai mengatakan apa yang ingin dia katakan. Alenta juga tidak ingin banyak memikirkan lagi ucapan yang hanya akan menyakiti hatinya saja. Sudah saatnya dia memikirkan diri sendiri, dan jelas hal itu adalah adil untuknya. Seperti yang diinginkan oleh Alenta, Edward juga menjalani harinya sesuai dengan harapan Alenta. Dia tidak terlalu menuntut Alenta, tidak juga terlalu banyak menunjukkan kemarahan yang tidak penting. ***Edward menjabat tangan Dokter yang rencananya akan menangani pengobatan untuk Julia. Setelah empat hari menunggu, akhirnya dokter itu bisa datang ke negara mereka tinggal. "Senang bertemu dengan anda, Dokter Smith." Edward tersenyum setelah mengatakan itu. Dokter Smith menganggukkan kepalanya. Jujur saja, mendengar suara Edward pada sambungan telepon sudah cukup membuatnya yakin bahwa Edwa
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y