“Aku tidak bodoh, aku tahu benar apa rencana ibu mertuaku. Aku juga tahu bahwa kau merasa tertarik saat melihat suamiku. Tapi, tatapan matamu dan cara bicaramu yang seolah Ingin membuatku tersadar seberapa banyak kekurangan yang aku miliki, Sepertinya kau juga akan mendapatkan penolakan mentah-mentah dari Edward. Namun, jika kau tidak mempercayainya maka kau boleh untuk mencobanya.” Alenta tersenyum dengan percaya diri, dia memutuskan untuk meninggalkan Irene di sana bersama dengan Elea, perawatnya juga.
Irene terdiam menahan kesal, tangannya mengepal, sedang bibirnya dia gigit.Padahal, Alenta tidak secantik dirinya, tapi kenapa bisa begitu sombong?Tidak ingin kalah dari Alenta, Irene akan membuktikan kepada Alenta bahwa dia jauh lebih baik dari Alenta.“Aku cantik, aku berprestasi, tidak mungkin Edward tidak tertarik padaku. Mungkin, dia tidak mau menatapku, memperhatikan wajahku karena ada Alenta, kalau tidak ada pasti dia akan tertarik bahk“Sa- Sayang....” panggil Edward gugup, dia merasa gugup. Alenta tersenyum‚ meraih tangan Edward‚ membawanya untuk meninggalkan tempat itu hingga sampai di tempat di mana Ron dan juga Elea berada. “Sayang, apa kau Mendengar pembicaraan kamu tadi?” tanya Edward. Merasa bersalah‚ tidak nyaman kalau nantinya Alenta akan merasa rendah diri karena itu. “Sayang‚ Ibuku memang berlebihan sekali. Aku akan membuat-” Edward tak melanjutkan ucapannya karena Alenta menutup bibir Edward dengan jemarinya. Senyum yang manis terbit di bibir Alenta‚ dia menggelengkan kepala karena tidak ingin Edward terus menunjukkan perasaan bersalah seperti itu. “Aku memang Mendengar pembicaraan kalian‚ tapi Kak Edward tidak perlu merasa bersalah seperti itu‚ kan?” Kembali Alenta tersenyum dan melanjutkan ucapannya‚ “Aku bisa memahami perasaan Nyonya Karina, Kak Edward tolong jangan merasa begitu. Aku hanya perlu menunjukkan bahwa aku menantu yang tidak mem
Alenta menggenggam erat tangan kedua anaknya saat memasuki rumah mewah milik kedua orang tua Edward. Pintu terbuka, Karina sendiri yang membukakan pintunya.Wajah Karina berubah pucat saat melihat mereka. Dengan sinis, ia menanyakan tujuan Alenta dan anak-anaknya datang ke sana.“Alenta, apa tujuanmu datang ke sini? Jangan bilang, kau sengaja datang untuk membuatku kesal,” tanya Karina dengan nada mencemooh. “Tidak usah bekerja keras, dengan melihat wajahmu saja aku sudah kesal, kok.”Alenta menelan ludah, merasa gugup namun berusaha tegar dan santai. Coba dia tersenyum, kali ini dia tidak boleh menyerah begitu saja. “Ron sangat menyukai taman samping rumah ini, Ibu mertua. Dia rewel dan ingin datang lagi untuk bermain. Jadi, kami mengajak Elea juga,” jawab Alenta sambil menunjuk Elea. Karina tersenyum dengan ekspresi wajahnya yang kesal. “Jangan panggil aku Ibu mertua!” peringat Karina. “Pulang saja, sana! Kalaupun Ron yang ingin berma
Julia bangkit dari ranjang tidurnya dengan perlahan, tubuhnya terasa lelah meski sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berbaring dan makan saja. Dalam kebimbangan, ia menatap knop pintu kamar yang selama ini selalu terkunci dari luar. Dengan ragu, ia mengulurkan tangan dan mencoba membuka pintu, hatinya berdebar saat menyadari bahwa pintu kali ini tidak dikunci dari luar seperti biasanya.“Mereka lupa atau apa?” gumam Julia.Menantang rasa takut, Julia melangkah keluar dari kamar dan berjalan menyusuri lorong-lorong rumah. Ia benar-benar keheranan karena semua pelayan yang ia temui di sana nampak sopan padanya, berbeda dari sikap mereka sebelumnya yang selalu acuh tak acuh. “Ada yang aneh,” gumam Julia dalam hati.Julia mencoba mencari keberadaan Helios yang selama ini selalu bersikap dingin dan arogan padanya. Ia menanyakan keberadaan Helios kepada salah satu pelayan yang sedang membersihkan lantai. “Tuan Helios? Sejak kemarin beliau belum ke
“Bukankah itu sangat aneh, Helios?” tanya Julia tak lagi merasakan takut setelah dia tahu tidak rekaman video yang selama ini membuatnya terbelenggu. Mendengar pertanyaan Julia, Helios yang sedang melepaskan pakaiannya langsung berbalik badan untuk menatap ke arahnya. “Apa yang sedang kau bicarakan, Julia?”Tersenyum mendengar ucapan Helios, Julia benar-benar tidak mengerti dengan cara berpikir Helios yang menurut-nya tidak normal. “Helios, kau sudah akan menikah lantas untuk apa kau masih memelihara ku di sini?” tanya Julia keheranan. “Pikirkan juga bagaimana perasaan istrimu nanti, jangan terlalu egois dengan alasan kau ingin balas dendam padaku.”Helios kembali melanjutkan apa yang sedang dia lakukan tadi. Melihat Helios acuh dengan ucapannya, Julia kembali terprovokasi. Dia tidak lagi ingin terus tertahan di sana seperti orang bodoh, padahal akan lebih bermakna jika dia habiskan bersama anaknya sendiri. Untunglah, video rekaman den
“Jangan bicara lagi, Max!” Peringat Helios. “Aku membiarkan mu bekerja padaku untuk melakukan semua perintah dariku, bukan sebaliknya.” Max tertunduk lesu, “Maaf, Tuan. Saya hanya terlalu khawatir dengan keselamatan anda. Kemarin, dia berani menusuk perut anda menggunakan garpu, saya benar-benar tidak bisa tenang apalagi kalau dia keluar dari kamar dan bisa mendapatkan benda yang lebih berbahaya lagi.”Helios menghela nafas, nampak rahangnya mengeras menahan diri untuk tidak mengatakan apapun lagi kepada Max. Max hanya khawatir dan perduli, jelas saja Helios tidak bisa menyalahkan pria itu. “Tunggu saja aku di depan, aku ingin sarapan dengan tenang, Max.” Helios memerintah tanpa menatap Max. Mendengar perintah dari Tuannya, Max pun mengangguk patuh dan segera meninggalkan tempat Tuannya berada. Saat akan sampai ke ruang depan, Max terkejut mendapati Julia yang ternyata berada di sana. Dengan dingin dia menatap Julia, lantas
“Untuk apa kau datang lagi ke sini, Alenta?!” tanya Karina dengan ekspresi kesal. Mendengar sambutan tidak biasa dari Ibu mertuanya itu, Alenta pun tersenyum lebar. “Ron dan Elea ingin bermain di sini, jadi aku membawa mereka untuk datang lagi.”Karina terperangah kesal, namun tidak berani menolak saat melihat wajah Ron yang begitu polos. Karina menyingkir dari ambang pintu dengan ekspresi wajahnya yang judes untuk membiarkan Alenta masuk bersama Ron dan juga Elea. Seperti hari kemarin, Ron dan Elea bermain dengan gembira sedangkan Alenta dan perawat Elea hanya akan mengamati saja. Lagi, saat waktunya makan siang, Alenta membuatkan makan siang untuk kedua anaknya, ibu mertuanya, dan tentu dirinya sendiri bersama perawat. Mereka kini berada di meja makan, Karina juga terpaksa untuk berada di sana. “Makanan apa ini?” Sinis Karina melirik makanan buatan Alenta yang sepertinya tidak menggugah selera. “Bentuknya yang an
Julia dan Helios kembali ke mansion, membuat Gabriella menatap dengan tatapan yang jelas cemburu. Mengabaikan Gabriella, Julia membawa Helios untuk masuk ke dalam mansion. Merasa kesal karena diabaikan, Gabriella ingin sekali mendekat kepada Helios dan mengambil alih untuk mengajak Helios ke kamar untuk merawatnya. Namun, dia merasa takut dan waspada kalau saja Helios tahu siapa orang yang telah menyewa tiga penjahat untuk membunuh Julia. Julia masih hidup, artinya penjahat itu tidak baik-baik saja. Gabriella menggigit bibir bawahnya, perasaan takut mulai merebak semakin dalam. Padahal pembunuh bayaran itu mengatakan akan segera melakukan eksekusi, tapi malah akan berakhir dengan kesialan untuk Gabriella. “Sepertinya aku harus mencari alibi, tapi apa?” Bisik Gabriella di dalam hati. Sekarang, Gabriella hanya bisa berpikir keras mencari alasan saja. Sementara itu, Julia kini menghentikan langkah kakinya k
Helios berjalan mendekat, membuat Gabriella gemetar takut. Julia terus menatap ke arahnya. “Itu semakin jelas, bukan?”Julia terdiam begitu mendengar pertanyaan Helios yang tidak dia mengerti. “Seperti yang Gabriella katakan, aku adalah anak yang sangat patuh dengan Ibuku. Jadi, kalau Ibuku bilang aku harus menikah dengan Gabriella, maka aku akan menikahinya.” ucap Helios. Gabriella tersenyum tipis, dia sedikit lega karena merasa Helios tidak mendengar ucapannya tentang penculikan Julia. “Wanita seperti mu, apa mungkin bisa mengalahkan Ibuku?” ujar Helios. Julia tersenyum miring, tatapannya yang berani membuat Helios mengingat kembali Julia yang sesungguhnya. “Apa kau pernah lupa bahwa aku juga mengatakan padamu 10 tahun yang lalu bahwa, seorang Julia akan mendapat apa yang dia inginkan, dewa pun tidak bisa mengambil sikap.”Gabriella mengeratkan genggaman tangannya, kesal sekali dengan Julia yang dia anggap tidak tahu malu.
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y