“Apa maksud ucapanmu barusan, Veronica?” tanya Edward yang merasa kurang jelas dengan apa yang diucapkan oleh Veronica.
Sengaja menunjukkan ekspresi wajahnya yang sedih, Veronica menanggapi pertanyaan dari Edward. “Sebenarnya, saat aku memutuskan untuk pergi karena harus menjalani pengobatan, aku sendiri sedang dalam keadaan hamil. Namun, karena saat itu pengobatan jantung koroner cukup berisiko tinggi, anak kita meninggal sebelum sempat dilahirkan, Edward.”Alenta mengalihkan pandangannya, ada perasaan kesal yang tidak bisa dia ungkapkan melalui kata-kata.Edward memang terbiasa menyentuh wanita manapun yang dia inginkan, adanya wanita hamil selain dirinya tentu bukanlah hal yang tidak mungkin.Mendengar penuturan Veronica, Edward tersenyum menahan perasaannya.Tadinya, ia benar-benar merasa bersalah dengan ketidaktahuannya yang pada akhirnya membuat Veronica memilih pergi tanpa mengatakan apapun. Namun, cerita tentang anak mereka yaVeronica melangkah gontai memasuki apartemen yang sejuk. Air mata yang mengalir tak henti-hentinya membasahi pipinya yang merah. Ibunya, yang melihat kondisi putrinya itu, langsung bergegas mendekat dengan kebingungan terpancar di wajahnya.“Ibu... Ibu...,” isak Veronica, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.Ibunya merasa prihatin dan memeluk Veronica erat, mencoba menenangkan putrinya yang terisak-isak. “Tenanglah, nak.” pinta Ibunya Veronica lirih. Dalam dekapan ibu yang hangat, perlahan-lahan Veronica mulai merasa lebih tenang, namun air matanya tetap saja tak bisa terbendung.Setelah cukup lama berpelukan, ibunya akhirnya berbicara dengan lembut, “Nak, ceritakan kepada Ibu apa yang terjadi. Mengapa kau begitu sedih?”Veronica menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita. Dengan suara lirih, ia menceritakan bagaimana Edward, menjadi begitu berubah sikap belakangan waktu ini. Edward yang biasa
Ibunya Veronica sudah duduk setengah jam lebih di sebuah meja sudut di sebuah restoran mewah. Kepalanya sesekali menoleh ke pintu masuk, menantikan kedatangan Edward, menantu yang sangat disayanginya. “Kenapa dia belum datang juga?” gumamnya khawatir. Wajahnya tampak cemas dan gelisah.Tiba-tiba pintu restoran terbuka, langkah seorang wanita muda yang anggun dan manis terlihat. Ibunya Veronica menelan ludah, matanya membelalak, karena wanita itu bukanlah Edward melainkan Alenta. Alenta berjalan menuju meja ibunya Veronica dengan langkah pasti, menatapnya tanpa ekspresi.“Anda pasti sudah menunggu cukup lama, Nyonya. Maaf, ada beberapa hal yang perlu dikerjakan sebelum datang ke tempat ini.” ucap Alenta sambil duduk di kursi di depan ibunya Veronica, “Maaf, Edward tidak bisa datang. Ada urusan mendesak yang harus diurus.”Ibunya Veronica tampak terkejut, bingung, dan ragu. Dalam hatinya, dia bertanya-tanya apa yang se
Helios menatap Julia yang kini duduk di pinggiran ruangan, dengan wajah kosong dan tangan yang terlipat di pangkuannya. Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan waktu sudah semakin siang. Dengan sedikit ragu, Helios bangkit dari tempat duduknya, menahan rasa sakit yang menjalar di perutnya akibat jahitan luka yang belum sembuh sempurna. “Ah....” teriaknya pelan. Walaupun terasa menyiksa, dia tetap berusaha menyembunyikan rasa sakitnya itu.Sementara itu, Julia hanya menatap Helios dengan pandangan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Dia melihat betapa Helios berusaha keras untuk menahan rasa sakitnya, namun dia merasa tak berdaya untuk membantu.“Julia, bersiaplah. Aku akan mengantarmu ke rumahmu untuk mengambil semua data diri yang diperlukan,” ujar Helios dengan nada serius, berusaha menegakkan tubuhnya agar terlihat tegar. “Kita harus segera pergi setelah itu.”Mendengar perkataan Helios, Julia tersentak dan segera ban
Edward merasa gelisah, mencari-cari jam tangannya yang hilang dari penyimpanannya. Saat itulah dia menemukan sebuah botol kecil berisi pil berwarna putih, yang dengan jelas adalah pil penunda kehamilan. Keningnya mengerut, pertanyaan-pertanyaan muncul di benaknya tentang alasan di balik keberadaan pil tersebut.“Tidak mungkin ini milik orang lain, kan?” gumamnya.Tepat saat itu, Alenta masuk ke kamar. Edward langsung menunjukkan pil tersebut kepadanya, menanyakan dengan nada tinggi, “Sayang, Kenapa ada pil penunda kehamilan di sini?”Alenta terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan tegas, “Itu milikku, aku yang mengkonsumsinya.”Edward tidak memahami benar kenapa Alenta harus meminum pil itu. Sebenarnya, tidak masalah jika Alenta belum siap memiliki anak lagi. Edward juga cukup memahami bahwa kehamilan bukanlah hal yang mudah. Hanya saja, Edward kesal karena tak berdiskusi dulu sebelum mengkonsumsi pil tersebut. “Aku sendiri sudah cukup
“Ayo duduk! Makan malam sedang disiapkan” ujar Karina mengabaikan saja tatapan Edward dan Alenta yang jelas tidak nyaman. Karina menarik tubuh Edward, bersiap untuk mendudukkan Edward di sebelah Irene yang sejak tadi terus menatap wajah Edward dengan kagum. Namun, dengan cepat Edward menahan tubuhnya, melepaskan diri dari Ibunya untuk merangkul Alenta dan berada di dekat Elea. “Aku akan duduk sendiri, tidak perlu merepotkan Ibu. Lagi pula, Elea juga terlihat tidak nyaman jadi penting bagiku untuk terus berada di dekatnya. Juga, Ron pasti sangat asing di sini, aku perlu juga menjaga Ron, yang mana Ron tidak boleh jauh dari Ibunya. Jadi, kami akan duduk berdekatan.” ucap Edward. Alenta tersenyum tipis, dia cukup senang karena perlahan Edward semakin menunjukkan kesungguhannya. Karina menatap kesal, sementara itu Irene sendiri juga nampak sedikit kecewa. Setelah mereka berada dalam posisi duduk, Karina mulai kembali membuat ulah.
“Aku tidak bodoh, aku tahu benar apa rencana ibu mertuaku. Aku juga tahu bahwa kau merasa tertarik saat melihat suamiku. Tapi, tatapan matamu dan cara bicaramu yang seolah Ingin membuatku tersadar seberapa banyak kekurangan yang aku miliki, Sepertinya kau juga akan mendapatkan penolakan mentah-mentah dari Edward. Namun, jika kau tidak mempercayainya maka kau boleh untuk mencobanya.” Alenta tersenyum dengan percaya diri, dia memutuskan untuk meninggalkan Irene di sana bersama dengan Elea, perawatnya juga. Irene terdiam menahan kesal, tangannya mengepal, sedang bibirnya dia gigit.Padahal, Alenta tidak secantik dirinya, tapi kenapa bisa begitu sombong?Tidak ingin kalah dari Alenta, Irene akan membuktikan kepada Alenta bahwa dia jauh lebih baik dari Alenta. “Aku cantik, aku berprestasi, tidak mungkin Edward tidak tertarik padaku. Mungkin, dia tidak mau menatapku, memperhatikan wajahku karena ada Alenta, kalau tidak ada pasti dia akan tertarik bahk
“Sa- Sayang....” panggil Edward gugup, dia merasa gugup. Alenta tersenyum‚ meraih tangan Edward‚ membawanya untuk meninggalkan tempat itu hingga sampai di tempat di mana Ron dan juga Elea berada. “Sayang, apa kau Mendengar pembicaraan kamu tadi?” tanya Edward. Merasa bersalah‚ tidak nyaman kalau nantinya Alenta akan merasa rendah diri karena itu. “Sayang‚ Ibuku memang berlebihan sekali. Aku akan membuat-” Edward tak melanjutkan ucapannya karena Alenta menutup bibir Edward dengan jemarinya. Senyum yang manis terbit di bibir Alenta‚ dia menggelengkan kepala karena tidak ingin Edward terus menunjukkan perasaan bersalah seperti itu. “Aku memang Mendengar pembicaraan kalian‚ tapi Kak Edward tidak perlu merasa bersalah seperti itu‚ kan?” Kembali Alenta tersenyum dan melanjutkan ucapannya‚ “Aku bisa memahami perasaan Nyonya Karina, Kak Edward tolong jangan merasa begitu. Aku hanya perlu menunjukkan bahwa aku menantu yang tidak mem
Alenta menggenggam erat tangan kedua anaknya saat memasuki rumah mewah milik kedua orang tua Edward. Pintu terbuka, Karina sendiri yang membukakan pintunya.Wajah Karina berubah pucat saat melihat mereka. Dengan sinis, ia menanyakan tujuan Alenta dan anak-anaknya datang ke sana.“Alenta, apa tujuanmu datang ke sini? Jangan bilang, kau sengaja datang untuk membuatku kesal,” tanya Karina dengan nada mencemooh. “Tidak usah bekerja keras, dengan melihat wajahmu saja aku sudah kesal, kok.”Alenta menelan ludah, merasa gugup namun berusaha tegar dan santai. Coba dia tersenyum, kali ini dia tidak boleh menyerah begitu saja. “Ron sangat menyukai taman samping rumah ini, Ibu mertua. Dia rewel dan ingin datang lagi untuk bermain. Jadi, kami mengajak Elea juga,” jawab Alenta sambil menunjuk Elea. Karina tersenyum dengan ekspresi wajahnya yang kesal. “Jangan panggil aku Ibu mertua!” peringat Karina. “Pulang saja, sana! Kalaupun Ron yang ingin berma
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y