Begitu sampai di rumah sakit, Herin langsung menemui Julia yang masih terbaring koma di atas brankar rumah sakit dengan segala perlengkapan medis yang bekerja untuk tubuhnya. Herin menghela nafas, tatapan matanya jelas sekali memperlihatkan betapa sedihnya dia melihat Julia masih belum bangun. Herin mengusap punggung tangan Julia begitu dia berada di dekat Putri pertamanya itu, berdoa seperti doa yang sama seperti biasanya. Kesembuhan, keselamatan, yang dia panjatkan setiap hari untuk Julia. "Nak," panggil Herin pilu. "Kapan kau akan bangun? Ibu merasa, terlalu lama kau berbaring seperti ini akan membuat suasananya menjadi berubah. Ibu takut, kehidupan yang mulanya untukmu tidak akan terus menjadi milikmu kalau kau terus saja berbaring seperti ini," ucapnya lagi. Herin menahan tangisnya. Kenangan bersama Putri pertamanya serasa begitu membekas di kepala dan serta hatinya. Saat Herin mengandung Julia, saat Julia lahir dan bertumbuh setiap harinya, saat Julia kembali dari sekolaha
Alenta menatap Karina dengan tatapan tak percaya, sungguh dia sangat terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Karina kepada Elea. Elea semakin menjadi-jadi, Elea menggerakkan seluruh tubuhnya hingga Karina sangat kesulitan untuk menahan tubuh cucunya sendiri. Elea terus memberontak dengan sangat agresif, membuat Alenta tidak tahan dan juga tidak tega. Tanpa berpikir panjang, Alenta mengulurkan kedua tangannya dan mengambil alih untuk menggendong Elea. Berada dalam pelukan dan juga dekapan Alenta, Elea mulai tenang dan tidak memberontak sama sekali meski suara tangisnya masih tetap terdengar jelas. "Racun yang kau berikan kepada cucuku, benar-benar sudah menjadi darah daging untuknya," gumam Karina kesal. Alenta bisa dengan jelas mendengar apa yang digumamkan oleh Karina, tetapi Alenta memilih untuk diam dan tidak mengatakan apapun. Tidak lama, sopir datang dan tentu saja menggunakan sebuah mobil yang akan mengantarkan Karina dan juga Elea ke rumah sakit. Karena Elea begitu menem
"Bagaimana keadaan cucuku, Dokter?" tanya Karina semakin penasaran. Sebenarnya, setelah dokter keluar dari ruangan untuk memeriksa Elea, dokter sudah mengatakan bahwa tidak ada luka apapun pada tubuh Elea. Namun, karena Karina masih mengelak dan juga tidak mempercayainya, mau tidak mau dokter menyarankan untuk menunggu saja hasil CT scan dan juga rontgen keluar. Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya hasil pemeriksaan sudah keluar. Dokter memberikannya langsung kepada Karina sembari menjelaskan kepada karirnya secara mendetail. "Tidak ada tulang yang patah atau retak, tidak ada luka dalam apapun, luka luar juga tidak ada. Keadaan cucu anda benar-benar dalam keadaan baik-baik saja," ucap dokter dengan ekspresi wajahnya yang terlihat bersungguh-sungguh. Melihat hasil rontgen dan juga CT scan yang diberikan secara langsung dari dokter yang memeriksa Elea, Karina terdiam karena tidak ada pilihan lain selain mempercayai ucapan dokter tersebut. Lagi pula, yang paling penting adalah cuc
Edward menggendong Elea, berjalan menuju pintu keluar rumah sakit bersama dengan Alenta. Karina berjalan di belakang mereka, menatap Alenta dengan kesal entah apa alasannya. Herin, menatap Alenta dan Edward serta Elea yang berada di dalam gendongan Edward. Melihat hal itu, entah mengapa rasanya sakit sekali hatinya. Mereka bertiga seperti sebuah keluarga lengkap, dan itu mengganggu. "Edward," panggil Herin. "Kau tidak melihat istrimu dulu sebentar?" tanyanya mengingatkan. Rumah sakit yang saat ini mereka berada adalah rumah sakit di mana Julia juga sedang mendapatkan perawatan. Hanya saja, lantainya saja yang tidak sama. Edward terdiam, begitu Ibunya memanggil namanya. Tentulah dia menghentikan langkah dan membalik tubuhnya menghadap sang Ibu mertua. "Aku harus mengantarkan Elea dan juga Alenta. Sopir rumah biarkan mengantar Ibu, jadi tidak perlu membuat sopir rumah mondar mandir."Herin memaksakan senyumnya, dia sungguh tidak menyukai jawaban dari menantunya itu. Herin tindak i
"Kenapa kakak ipar kesini?" tanya Alenta yang merasa penasaran. Edward yang semula berdiri di ambang pintu, kini masuk ke dalam gambar dan menutup pintu kamar tersebut. "Aku terbiasa tidur dengan wanita di sebelah ku, rasanya terlalu kosong makanya terpaksa aku datang ke sini," jawabnya cepat. Alenta menghela nafasnya, dia sungguh terlalu malas untuk berpura-pura saat itu. Edward mengambil posisi berbaring miring, menghadap Alenta berada. "Mau sampai kapan kau duduk di sana? Ini sudah malam, apa kau tidak pegal sejak tadi duduk?" Alenta menatap Edward, dia benar-benar merasa bingung dengan kakak iparnya yang akhir-akhir ini terlalu tidak biasa. Dulu, Edward jarang sekali berbicara, tapi sekarang justru jadi banyak berbicara. Edward merasa Alenta sedang membatin sesuatu dari sorot mata Alenta yang terarahkan kepada dirinya. "Apa yang sedang kau pikirkan dengan menatapku seperti itu?"Alenta menggelengkan kepalanya, tentu saja dia tidak berani mengatakan hal yang macam-macam, apa
Edward mencium bibir Alenta, dia sadar itu Alenta tapi dia tidak bisa menahan diri. Lagi pula, mereka bahkan sudah pernah melakukan hubungan intim beberapa kali. Ciuman bibir itu bisa terjadi karena, Edward yang tidak sengaja melihat wajah Alenta, begitu juga sebaliknya. Mereka saling menatap satu sama lain untuk beberapa detik, pada akhirnya Edward terbawa suasana begitu juga dengan Alenta. Terlalu mudah luluh, mungkin itu kata yang pantas diberikan kepada Alenta. Kebaikan Edward dengan merawat lukanya, menggantikan perban adalah hal yang tidak pernah dilakukan oleh orang lain kepada Alenta sebelumnya. Alenta menggigit bibir bawahnya saat Edward mulai menjalankan ciuman bibirnya menuju ke bagian lehernya. Suasananya yang sepi di ruangan itu benar-benar mendukung mereka berdua. Tidak perlu khawatir soal luka Alenta, Edward sudah menyelesaikan semua itu. Tangan Edward sudah menjalar, menyentuh salah satu bagian dada Alenta dan memberikan tekanan serta gerakan pada jemarinya. Al
"Apa kau sedang menempatkan dirimu sebagai istriku?" tanya Edward, "apa yang terjadi padaku memangnya kau ikut andil di dalamnya?"Michael memaksakan senyumnya, tentu saja dia tahu benar bahwa sejak dulu sampai dengan sekarang Edward memang tidak pernah berubah. Paling tidak suka ada orang lain yang mencoba mencari tahu tentang kehidupan pribadinya, dan menanyakan sesuatu yang seharusnya tidak ditanyakan. "Baiklah, intinya aku benar-benar turut berduka karena situasi istrimu saat ini benar-benar sangat memprihatinkan," ucap Michael terlihat tulus. Edward menganggukkan saja kepalanya. "Ngomong-ngomong, kau terlihat santai sekali seperti tidak terjadi sesuatu dengan istrimu. Atau jangan-jangan kau tidak menyayangi istrimu sama sekali ya? Seharusnya, kau berada di rumah sakit setiap hari untuk menemani istrimu, kan?" tanya Michael penasaran lagi. Edward menghela nafasnya. "Aku memang tidak setiap hari berada di sisinya. Bagaimanapun, kehidupan juga harus terus berjalan sesedih apapun
Alenta kebingungan sendiri melihat pelayan rumah Edward mondar-mandir, membawa barang-barangnya dan juga barang Edward untuk dimasukkan ke dalam kamar yang kemarin sempat di tempati untuk tidur. Melihat Edward berjalan ke arahnya sembari melihat ponsel, Alenta memutuskan untuk langsung bertanya kepadanya. "Kak," Edward menoleh ke arahnya. "Kenapa mereka memindahkan barang-barang ku, dan sebagian pakaian kakak ipar kesana juga?" tanya Alenta tak dapat menahan rasa penasarannya lagi. Edward terdiam sebentar sebelum pada akhirnya dia memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Edward menatap Alenta namun tak ada ekspresi khusus yang ditunjukkan di wajahnya. "Bukanya akan lebih baik kalau kita memiliki kamar tidur sendiri?" Alenta benar-benar terdiam karena dia tidak tahu harus bagaimana menanggapi jawaban dari Edward barusan. "Kau membutuhkan barang lain?" tanya Edward, "kalau masih ada yang kurang, kau minta pelayan rumah untuk membelinya."Alenta menggeleng. "Tidak, aku tidak k
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y