"Aku tunggu kamu pulang lama banget, Mas. Nafsu aku jadi hilang." Grace cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada. Tubuhnya yang polos hanya berbalut selimut saja. Sebenarnya ia sudah bersiap untuk bercinta dengan suaminya, tetapi karena suaminya terlambat pulang, ia jadi ketiduran dan kesal. Ditambah lagi perutnya yang semakin buncit memasuki usia kehamilan enam bulan, sehingga keinginan disentuhnya semakin tinggi dan bila belum terpenuhi, maka wanita itu akan uring-uringan. "Sayang, tadi aku kan udah bilang, udah kirim foto juga soal ban mobil yang kempes. Masa udah seakurat itu informasinya kamu masih marah sih. Jangan marah dong, Sayang." Arif membelai wajah Grace, tetapi wanita itu mencoba menghindar. "Aku mandi dulu ya. Bau oli, bau keringet. Nanti kita tempur ya." Arif pun masuk ke kamar mandi, memberikan waktu pada Grace untuk menguasai kesalnya. Jika terus-terusan membujuk, wanita itu akan semakin kesal dan semakin merajuk. Lebih baik diabaikan saja sampai merajukny
Tujuh hari sudah Hani dirawat di rumah sakit. Kondisinya sudah semakin membaik dan lebih segar. Dokter kandungan sudah mengecek kondisi bayi di dalam perut gadis itu dan mengatakan bahwa Hani sudah boleh pulang, tetapi tidak boleh mengerjakan pekerjaan berat. Syamil yang menjemput Hani karena gadis itu tidak punya sanak-saudara lagi. Bu Retno pun tidak bisa menjemput karena wanita itu sedang kurang sehat. "Makasih Syamil udah jemput aku," kata Hani pada pemuda yang sudah duduk di depan bersama sopir taksi online. "Sama-sama, Mbak. Semoga gak terjadi lagi hal buruk ya. Jaga kesehatan dan juga bayinya, Mbak. Kalau kayaknya gak bisa tukar galon, panggil aja saya." Syamil tersenyum penuh arti. Ia mencoba berdamai dengan takdir. Termasuk bertemu Hani dan mendapatkan tugas dari abang iparnya. Semua adalah takdir yang saat ini ia jalani, banyak sedikit pasti memberinya pelajaran hidup. Salah satunya bersikap sabar saat bersama ibu hamil. Toh, suatu bs aat nanti, ia juga akan menjadi ayah
Setelah dibawa ke ruangan perawatan, Grace pun mulai menangis pilu. Jari manis tangannya sudah tidak ada. Jari kanannya menjadi hanya empat saja. Tentulah sebagai wanita modern dan pemuja kesempurnaan, hal itu membuat Grace tidak terima.Arif masih terus menenangkan istrinya dengan pelukan, tetapi tangis Grace masih saja pecah. Mamanya yang keturunan bule Amerika sudah ada di kamar perawatan putrinya. Wanita setengah baya itu hanya bisa menatap anak tengahnya itu dengan iba. "Sudahlah, Grace, semua sudah terjadi dan memang harus dipotong. Kalau tidak, nanti malah menjalar ke jari yang lain. Belum lagi tangan kamu itu masih bengkak. Ya ampun, bagaimana bisa ada ular di dalam rumah?" "Mommy, tapi jari Grace jadi gak ada. Pokoknya Grace mau pesen jari manis palsu. Grace gak mau kalau gak ada jari manis. Nanti Grace diledekin temen kampus." Arif menghela napas sembari menoleh pada ibu mertuanya. "Oke, nanti akan kita urus jari palsu sesuai maunya kamu ya." Arif mengalah. Ia harus membu
Syamil sampai di kosan pukul lima lebih tiga puluh lima menit. Masih ada waktu untuk mandi dan bersih-bersih sebelum adzan magrib. Saat akan ke kamar mandi, Syamil menoleh ke arah rumah Hani. Pintu rumah wanita itu tutup. Berarti Hani menuruti sarannya. Kemarin ia mengatakan bahwa sebaiknya perempuan itu sudah berada di dalam rumah menjelang magrib. Tidak baik duduk di depan rumah, apalagi memakai pakaian pendek. Setan pada antri mau menggoda dan hari ini, Hani menuruti sarannya. Syamil tersenyum, lalu berjalan masuk ke kamar mandi. Ia awalnya tidak tahu bagaimana cara memberitahu Hani untuk berpakaian lebih baik, tetapi sebuah tayangan di media sosial menerangkan hati dan pikirannya udah dapat membantu Hani dalam keadaan yang lebih baik lagi. Jika memang belum bisa menutup aurat, paling tidak, Hani tidak memakai pakaian terlalu pendek lagi, meskipun ia sendirian di rumah. Selesai mandi, azan magrib pun berkumandang. Syamil bergegas berpakaian. Baju koko, sarung motif batik, dan jug
"Ya Allah, Sya, kenapa sakit lagi? Kamu makannya gak bener ya?""Bener atuh, Mi, makan nasi, bukan makan beling.""Ish, maksud Ummi, kamu makannya suka telat gak?""Nggak suka telat, Mi, tapi kadang telat." Bu Umi menghela napas. Ia merasa Syamil mengalami gangguan pada otaknya atau ruhnya, sehingga perlu dirukiyah. Belum pernah anaknya selamban ini dalam mencerna kalimat. "Jadi gimana? Apa kamu punya obat?""Punya, Mi. Ini barusan minum obat.""Ya sudah, besok, abah mau memenuhi undangan Maulid Nabi yang diadakan di Pesantren Hidayah yang di Bandung. Ummi bilang, suruh tengokin kamu.""Iya, Mi, makasih Ummi-ku sayang. Sudah dulu ya, Mi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam."Bu Umi menutup panggilannya. Ibu mana yang tidak khawatir bila mendengar anaknya yang merantau sedang sakit dan tidak ada siapa-siapa yang mengurusnya. Ia ingin sekali bisa mengunjungi kosan Syamil, tetapi kakinya belum bisa diajak pergi jauh. Baru sampai keluar untuk ke masjid pesantren dan itu pun benar-bena
Hani duduk bersila di depan orang tua Syamil. Untunglah saat ini ia memakai celana panjang dan mukena, meskipun di balik mukena biru gelap itu ia hanya memakai tank top hitam tanpa bra, tetapi tidak terlihat dari luar. Hani menundukkan pandangan. Tidak berani menatap wajah ayah Syamil yang begitu teduh dan berwibawa. Pantaslah Syamil tampan seperti Arab, ternyata ayah Syamil pun tampan. Memakai gamis dan juga sorban di kepalanya. Hani menjadi merasa rendah diri. "Jadi, nama kamu, Hani?" tanya abah."Iya, Syeikh, nama saya Hani." Syamil terbahak di atas ranjang. Sungguh aneh ayahnya dipanggil Syeikh oleh Hani. Tahu dari mana wanita itu dengan panggilan syeikh? Abah pun menggembungkan pipinya menahan tawa. Seumur-umur punya pesantren, baru kali ini ia dipanggil Syeikh. "Jangan panggil, Syeikh! Panggil saja, pak atau om," kata abah sambil tersenyum. "Baik, Pak." Hani mengangguk. "Sudah berapa lama berhubungan dengan anak saya? Kayaknya kamu udah tua ya? Maksud saya, dari wajah, kamu
"Oh, jadi Abah suruh pindah?" "Iya, Bang. Abah sekarang lagi pergi Maulid di Pesantren Hidayah. Pulang dari sana nanti, abah yang carikan dekat kampus. Mm... Bang Didin gak papa?" "Ya gak papa, Sya. Perintah orang tua yang harus dijalani. Lagian pasti dekat ini sama Hani. Saya titip sesekali kamu jenguk Hani ya. Apalagi udah gede pasti perutnya. Palingan dia atau tiga bulan lagi lahiran kan?""Iya, Bang, kemarin kata dokter udah enam bulan lewat satu minggu.""Ya sudah gak papa, Sya. Kamu tenang aja. Jatah wifi gak akan saya hilangkan, he he.... ""Makasih, Bang, udah dulu ya. Saya masih lemes banget ini.""Iya, oke, cepat sembuh ya, Sya."Didin menutup panggilan dari Syamil. Ia memikirkan bagaimana nanti Hani kalau mau melahirkan dan tidak ada yang dekat dengannya. Gadis itu pun sudah ditalak oleh suaminya, meskipun sedang hamil. Didin merasa hatinya kembali panas. Baru istri dari Arif yang mendapat karma, sedangkan pelaku utama belum. Suami-istri yang membuat Hani terjebak sehingg
"Ya ampun, kamu yakin Hani pindah? Sejak kapan?""Sudah dua hari yang lalu, Bang. Maafin saya ya. Aduh, saya juga kepikiran Mbak Hani, Bang. Kata Bu Retno, Mbak Hani gak punya uang, makanya pindah dan jual HP. Saya jadi kehilangan jejak Mbak Hani.""Ya sudah, saya akan bantu cari di sini. Kamu jika ada waktu senggang, cari Hani juga ya. Mungkin di rumah sakit, siapa tahu dia sakit.""Baik, Bang, begitu senggang, saya akan cari Mbak Hani sekitar sini. Sudah dulu ya, Bang. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam."Syamil menatap layar laptop tanpa semangat. Tugas kampus yang harusnya bisa kerjakan dengan cepat, terbengkalai karena sedari tadi, ia hanya memikirkan Hani. Di mana wanita itu? Apakah ia dan bayinya baik-baik saja? Mereka tinggal di mana? Kenapa tidak cerita padanya? Paling tidak, ia bisa mencarikan kos-kosan untuk gadis itu sampai ia melahirkan. Ting!HanumAssalamu'alaikum, Syamil, kamu lagi apa? Nanti sore jadwal kursus Fadli ya.Wa'alaykumussalam, iya, Num. InsyaAllah.Sen
Keduanya sudah mandi dan juga solat magrib berjamaah. Syamil memimpin dengan membaca surah Ar Rahman yang isi surah tersebut adalah tentang cinta kasih. Bahkan Syamil menangis saat membacakan surah tersebut. Hani pun ikut menangis, sehingga Syamil begitu terharu melihat sang Istri. "Sudah, kan sudah selesai solat, air matanya masih turun aja! Neng terharu dengan surah itu ya?" Syamil mengusap kepala Hani dengan lembut. "Saya nangis bukan karena terharu, tapi karena kecapean berdiri. Surahnya kepanjangan. Rokaat pertama surah Ar-Rahman, rokaat kedua Surah Yasin, hiks.... " Syamil tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar keterlaluan pada istrinya. Bisa-bisa nanti Isya, Hani gak mau jama'ah lagi gara-gara kepanjangan ayat. Hu hu hu... "Neng, maaf ya. Sini, biar saya pijitin!" Syamil tidak tega dan tentu saja langsung meminta maaf. Kedua kaki istrinya ia pegang dan ia pijat dengan lembut. Hani pun membiarkan Syamil memijat kakinya karena memang rasanya sakit dan pegal. "Maaf ya, sa
"Apa ini, Mi?" tanya Syamil saat ummi-nya menyodorkan sebuah kartu mirip kartu ATM. "Buat kamu bulan madu. Biar gak digangguin pembaca, he he he.... ""Ya Allah, Ummi, makasih ya, Mi." Syamil memeluk ummi-nya dengan penuh rasa haru. "Ummi ini kapok, mungkin karena waktu pernikahan kamu yang pertama Ummi gak kasih hadiah nginep di hotel, makanya jadi gitu. Sekarang Ummi mau memperbaiki kesalahan Ummi. Kamu dan Hani selamat menikmati menginap di hotel selama empat hari. " Kalian bisa jalan-jalan naik speedboat, bisa ke Dufan sekalian, bisa main ke sea world. Menikmati makan malam romantis di depan pantai Ancol." Bu Umi menjelaskan dengan penuh antusias. Ia memang sudah menyiapkan semua untuk Syamil dan juga Hani. "Mi, terima kasih ya," ujar Hani akhirnya, setelah sejak tadi hanya memperhatikan Syamil dan ummi-nya berbincang. "Sama-sama Hani. Ummi lega ternyata kamu ibu kandung Syam, sehingga Ummi dan Syam tidak akan dipisahkan." Bu Umi sudah berkaca-kaca. Hani memeluk mertuanya. "
Salah satu orang yang paling tersedu-sedan di ruangan itu adalah Bu Restu. Dengan baju kebaya sederhana yang dipinjamkan Bu Umi, serta selendang panjang yang ia pakai di kepala, Bu Restu terus terisak. Ia begitu terharu bisa menyaksikan momen anak bungsunya menikah dengan sebenar-benarnya menikah."Mama, maafkan Hani. Mohon ... d-doa restu Mama." Kalimat itu ia ucapkan terbata-bata diantara linangan air matanya. "Pasti Mama doakan, Sayang. Semoga bahagia selalu ya, Nak. Maafkan Mama." Keduanya saling berpelukan erat. Dilanjut dengan sungkem pada Hadi."Akhirnya adik Abang menikah juga. Selamat yq, Hani. Semoga sakinah, mawaddah, wa rohmah." "Makasih, Bang. Hani minta doa dan restunya." Adik dan kakak itu pun saling berpelukan sambil menangis Syamil yang ikut sungkem pada Bu Restu."Mohon doa restunya, Ma," bisik Syamil dengan suara bergetar menahan tangis."Titip Hani ya. Mama pesan, tolong jaga Hani. Jika kamu sedang marah, tolong jangan berkata kasar pada Hani. Mama percayakan an
"Beneran kamu gak mau ikut melamar wanita yang akan menjadi kakak ipar kamu?" tanya Pak Rahmat pada Zahra. Dirinya dan Raka sudah bersiap berangkat karena taksi online sudah menunggu di depan pagar rumah. "Nggak, Pa, semoga acaranya lancar." Zahra tidak berani menoleh pada Raka. Ia hanya menatap papanya saja sambil tersenyum tipis. "Ya sudah kalau begitu, Papa dan Raka berangkat dulu. Besok pagi Papa InsyaAllah sudah ada di rumah." Zahra mengangguk paham. Wanita itu masih berdiri di depan pintu sampai taksi yang ditumpangi papa dan Raka meluncur pergi. Kemarahan Raka kemarin, sangat membuatnya syok dan sadar, bahwa selama bertahun-tahun hanya dirinya yang memendam perasaan itu, sedangkan Raka tetap menganggapnya sebagai adik. Zahra merapikan semua baju untuk ia masukkan ke dalam tas. Tekadnya sudah bulat untuk kembali bekerja dan tinggal di kosan saja. Jika ia tetap di rumah, maka kenangan almarhumah mamanya dan Raka pasti mengusiknya dan membuatnya susah sadar diri. "Mbak Zahra
Kehadiran Raka di rumah tentu saja membuat Pak Rahmat sedikit lega. Meskipun hanya satu malam saja putranya menginap, paling tidak, pria itu merasa ada teman bicara. Masalah yang menumpuk membuatnya stres memikirkan masalah anak-anaknya.Jika Pak Rahmat senang dengan kehadiran Raka, menemani Raka makan di ruang makan, tetapi tidak dengan Zahra yang masih belum keluar kamar sejak mulai Raka tiba di rumah. "Ck, ya ampun Zahra belom sembuh juga ngambeknya," gumam Raka saat nasi dalam piring hampir habis. "Ya, nanti kamu bicara saja dengan Zahra. Ada hal yang harus kamu ketahui, tetapi lebih baik Zahra sendiri yang memberitahu." "Maksud Papa? Hal penting apa, Pa? Berkaitan dengan Syamil?" Pak Rahmat mengangkat bahunya. "Bisa jadi." Jawaban ambigu Pak Rahmat membuat Raka menghela napas. Pasti ada ha besar yang ditutupi papa dan adiknya. Pak Rahmat memang sudah menimbang untuk tidak membicarakan masalah perasaan putrinya pada Raka. Ia tidak mau ikut campur terlalu dalam, apalagi soal
"Wah, calon pengantin jangan suudzon dulu!" Raka mengulurkan tangan ingin berjabat dengan Syamil. Pemuda itu pun membalas jabat tangan Raka tanpa senyuman. Wajahnya masih masam karena merasa cemburu dengan Raka. "Mas Raka udah tahu status kita, Sya. Mas Raka ke sini hanya mau anter oleh-oleh dan meluruskan masalah dengan saya. Semua udah selesai kok." Hani menambahkan dengan bijak. Syamil tidak menyahut. Ia duduk memutuskan duduk di samping Raka dengan muka yang masih ditekuk. "Ya sudah, menurut saya masalah diantara kita sudah selesai. Doakan masalah saya juga selesai ya, Hani." Raka berdiri dari duduknya. "Mas, habiskan dulu tehnya!" Hani mengangkat cangkir teh yang masih ada setengah cangkir lagi. Raka pun duduk untuk menghabiskan tehnya. Hani dan Syamil saling pandang. Hani mendelik karena wajah Syamil masih saja masam, padahal Raka sudah menjelaskan. "Saya pamit deh, naik taksi online-nya dari depan saja. Oh, iya, Sya, jangan lupa undang saya saat kalian menikah ya. Selagi se
"Zahra, kamu dari mana saja? Ini sudah malam," tanya Pak Rahmat saat membukakan pintu untuk Zahra. Putrinya dengan tampilan amat berantakan pergi sejak siang dan baru kembali pukul sebelas malam. Zahra tidak menjawab pertanyaan papanya. Ia berjalan lunglai menuju kamar. Pak Rahmat hanya bisa menggelengkan kepala. Ia mengunci kembali pintu rumah, lalu mematikan lampu. Tidak mungkin mengajak putrinya bicara dalam keadaan kacau seperti ini. Pak Rahmat memutuskan masuk ke kamar juga. Pagi harinya, tepat pukul lima pagi. Siti sudah sampai di rumah Zahra dan tengah bersih-bersih saat Pak Rahmat baru pulang dari solat subuh di masjid. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Siti tersenyum sambil mengangguk. "Zahra belom bangun, Ti?" tanya Pak Rahmat, sambil melirik kamar putrinya yang masih tertutup rapat. "Belum, Pak, mungkin sebentar lagi atau bisa juga lagi datang bulan, makanya bangunnya santai," jawab Siti. "Benar juga sih. Oh iya, mulai hari ini saya sudah kerja kembali. Jadi
"Kenapa kamu tega sama aku Hani?" Zahra terisak di depan Hani yang menatapnya dengan wajah bingung."Tega apa, Ra? Coba kamu tenang dulu. Cerita sambil sesegukan gitu, mana aku bisa paham," ujar Hani sembari menyentuh pundak sahabatnya. Zahra menepis tangan Hani dengan cepat. "Kamu kenapa gak bisa menahan diri? Paling tidak sampai aku benar-benar bercerai dari Syamil. Kamu gak mau dibilang pelakor'kan, Hani?" sindiran Zahra tentu saja sama sekali tidak membuat Hani tersinggung. Ujian lebih berat dari ini pernah ia lewati dan ia tidak mau tersulut emosi untuk hal yang tidak jelas."Poligami itu bolehkan? Bukan suatu hal yang dosa. Apalagi setahu saya, istri Syamil yang meninggalkannya. Saya gak masalah jadi istri kedua." Jawaban Hani membuat Zahra semakin menangis. "Kalau bukan karena aku, kamu pasti udah jadi pelacur di luar sana, Hani! Kamu aku berikan tempat tinggal layak. Aku bantu mencarikan pekerjaan. Aku pinjamkan HP untuk kamu jualan. Lalu setelah kamu mandiri, kamu lupa." H
Acara lamaran berlangsung lancar dan juga penuh canda tawa. Pukul dua siang, keluarga Syamil masih betah berbincang dengan keluarga Hani. Bu Umi sudah ingin pulang, tetapi suaminya masih betah di rumah Hani. Entah apa yang mendasari itu, tetapi firasatnya sebagai istri mengatakan, bahwa ada hal lain yang membuat suaminya betah. Begitu juga dengan Nela. Ia tahu, sejak tadi, Hadi selalu mencuri pandang padanya yang sengaja duduk di pojokan. Bahkan saat menikmati makan prasmanan yang disiapkan keluarga Hadi pun, ia memilih mengambil asal saja lauk yang ada di deretan panci prasmanan. Hadi juga tidak menghampirinya, maka ia pun merasa tidak perlu juga berbincang dengan pria itu. Kisahnya dan Hadi adalah kisah masa lalu yang amat buruk, tetapi membuatnya mempunyai tabungan di akhirat. Nela pun tersenyum bila mengingat bagaimana Allah memuliakannya. Mengangkat derajatnya dari wanita malam, menjadi istri sah dari seorang ustadz. "Nela, bilangin abah tuh, ajak pulang! Kaki saya mulai saki