Dentingan merdu piano mengisi kekosongan wicara. Emily mengusap pelan mulutnya dengan sapu tangan."Makasih kamu sudah mau keluar denganku. Aku juga berharap kamu bisa keluar dari masa lalumu." Erlan menatap harap.Emily mengangguk. "Maaf, belum bisa menyambut niat baikmu, tapi ... aku bersedia mencoba. Jika kamu tidak keberatan.""Sama sekali tidak keberatan." Erlan merogoh kotak bludru di kantong jas-nya dengan tatapan mata terpaku pada Emily.Sedang di luar restoran. Dua mobil berhenti bersamaan. Dan dua pintu mobil dibuka cepat."Kamu?!" Axel menunjuk Sean."Axel?" Sean tersenyum, dia mendekat."Tidak ada waktu lagi! Kita berdebat nanti saja, Pria tua!" geram Axel."Hey, mau apa datang. Sana pergi, kalau mau makan cari restoran lain aja!" seru Dayana."Aku akan menjemput istriku!" Suara Sean berat."Awas, berani mengacau!" seru kesal Dayana. Dia tidak habis pikir, jika Sean akan tahu soal makan malam."Biarkan saja, aku nggak peduli!" Axel melangkah tergesa ke pintu masuk."Pengaw
Emily duduk di sisi Sean. Posisi keduanya menempel karena Sean sengaja melakukannya. Emily tampak gugup dan itu diketahui Axel."Haish! Cukup, Pak tua. Lepas! Aku nggak mau dipangku olehmu. Menyebalkan!" Axel turun dan duduk di sisi ibunya dan di tengah mereka."Kita mau dibawa ke mana, Sean?" tanya Emily tanpa menatap Sean."Kamu akan tahu sendiri nanti." Sean menoleh menatap Emily dengan senyum tipis, lalu beralih menatap Axel dengan satu tangan terangkat dan mengusap kepala Axel."Jangan sembarangan menyentuhku!" Axel menepis tangan Sean. Wajahnya cemberut sangat kesal."Papa senang kita bisa pergi satu mobil seperti ini. Bagaimana kalau akhir pekan kita buat acara keluarga." Sean sengaja memancing percakapan hangat.Emily memalingkan muka ke arah arus jalan. Matanya sudah berkaca dan genangan cairan itu sepertinya tak bisa dia tahan lebih lama lagi. Axel menoleh sebentar menatap wajah Sean dengan senyum sinis. "Kendalikan khayalanmu, Pria tua! Aku sudah memperingatkanmu sejak awa
"Mama!" Axel menahan ibunya yang hampir hilang keseimbangan. "Apa yang terjadi, kenapa wajah Mama jadi pucat?"Emily memegang dadanya. Dia pelan duduk di sisi ranjang. "Tidurlah dulu Axel, mama masih belum ngantuk."Axel tidak menghiraukan ucapan ibunya, dia malah memutar video yang membuat ibunya tercengang. Mata Axel membelalak. "Dasar wanita nggak tahu diri! Akan aku buat kamu jera nanti!"Sebuah vidio Felisha menangis mengambil perhatian publik. Felisha meminta maaf pada publik telah melakukan trik kotor di sebuah restoran. Dia mengaku terpaksa melakukannya karena sangat sakit hati tunangannya direbut oleh pemilik restoran. Felisha tidak menyebut nama sama siapa pemilik restoran sebenarnya.Banyak komentar publik yang iba dan simpati pada Felisha. Bahkan banyak yang berempati karena merasakan hal yang sama.Emily menyeka air matanya. "Ini tidak penting, Axel. Pria itu bukan siapa kita dan wanita itu hanya mengarang cerita. Mama sedih karena kita akan mendapat masalah baru nanti."
"Keluar kamu, Jal4ng licik! Jangan ganggu Felish kami! Keluar kamu!" teriak salah satu wanita di luar."Di mana pun tempatnya. Pelakor harus dibasmi!"Mereka penggemar fanatik Felisha atau siapa Felisha? Begitu cepat mereka bergerak dan menemukan rumah Emily."Cepat keluar, Jal4ng penggoda!" Botol dan batu dilempar ke rumah Emily. Seketika rumah itu menjadi pusat perhatian sekitar. Mereka bertanya-tanya apa benar Emily menggoda tunangan orang dan merebutnya?Dari dalam rumah itu."Jangan keluar, Axel! Ini terlalu berbahaya!" Emily menahan anaknya."Tidak bisa, Ma, mereka harus dilawan. Aku akan keluar dan berteriak pada mereka!" Axel tetap berusaha keluar."Aku sudah menghubungi Erlan. Sebentar lagi dia dan anak buahnya akan datang dan menangani semua ini," ucap Dayana, mereka bertiga melihat dari balik jendela."Haish! Aku sangat ingin menghajar mereka!" Axel menggeram. Dia mengambil tablet untuk merekam semua kejadian itu. Meski belum memikirkan ide kedepannya, tapi dia ingin menyi
"Stop! Apa yang terjadi pada Mamaku sampai harus diperiksa lagi?" Axel menahan perawat."Ibu adik mau diperiksa dokter lebih teliti karena ini menyangkut luka di kepala. Dokter ingin memastikan kondisi ibu adik sebelum diizinkan pulang," jelas perawat."Axel, apa yang sedang kamu pikirkan? Jangan menunda pekerjaan mereka. Kamu bisa ikut dan lihat sendiri nanti." Emily menggeleng pada Anaknya."Oke, aku akan ikut."Emily dibawa ke ruang MRI scan untuk melakukan pemeriksaan ke dua kalinya.Di sisi alat pemeriksaan telah berdiri beberapa pria ber-jas putih dengan memakai masker. Salah satu pria tegap ber-jas putih itu tampak gusar mengatur diri sejak Emily masuk dan melakukan pemeriksaan.'Dia baik-baik saja,' batin salah satu pria ber-jas putih itu Axel berdiri agak jauh karena dia berontak tidak mau menunggu di luar. Anak itu memicing pada salah satu pria, yang dia kira sama tegap dengan Sean.'Dia mencurigakan!' batin Axel. Pria itu juga memakai kaca mata kotak layaknya dokter.Sean
'Bercerai? Mama dan Papa mau cerai? Apa itu pilihan terbaik? Aku harus memastikan apa yang terbaik untuk Mama. Satu persatu harus aku usut tuntas. Soal masa lalu Mama. Dan kenapa Papa tidak ada di sisi kami sejak kecil!' batin Axel di balik tembok sekat ruang.Axel masih menajamkan pendengaran. "Apa yang harus saya lakukan, Nyonya?" tanya pengacara."Saya mau menuntut pencemaran nama baik soal video dari model atas nama Felisha. Dan saya ingin Anda mengundang wartawan ke restoran.""Apa rencanamu, Emily?" Dayana menatap heran."Tentu saja mengatakan pada publik, siapa pemilik restoran yang mereka sebut Jal4ng!" Mata Emily menatap tajam ke depan.Dayana menarik satu sudut bibirnya. "Aku suka gayamu yang sekarang, Kawan!" Di balik tembok, Axel juga tersenyum miring. 'Mamaku bukan lawan yang mudah. Aku suka caramu, Ma,' batinnya.Mereka melanjutkan diskusi. Emily tampak lebih tegas dan tenang. Pikiran dan hatinya lebih ingin keluar dari kekacauan itu. Sean, memang pria yang masih dia ci
Kemunculan Istri Sean Geraldo yang diberitakan meninggal enam tahun yang lalu telah membuat kaget publik. Tidak hanya itu, kemunculannya dibarengi dengan tuntutan perceraian.Berita telah menyebar hingga perusahaan Sean menjadi persinggahan wartawan. Restoran Emily juga diserbu pemburu berita, untung saja Sean memperketat penjagaan dua kali lipat.***Sean merangkup wajah dengan dua tangannya. Dia duduk di depan ruang tindakan."Bagaimana jika papamu ...?" Wanita paruh baya itu menangis memegang bahu Sean."Papa akan baik-baik saja, Ma." Sean memeluk ibunya."Kenapa kamu tidak bilang soal Emily. Jika papamu tahu sejak awal, dia tidak akan seperti ini. Apalagi mendengar dia ingin bercerai darimu. Papamu pasti sangat terpukul.""Maaf. Aku berencana mengatakan saat aku sudah bisa meyakinkannya. Tapi, semua diluar rencanaku." Sean mendongak sambil menghembus nafas.Selang beberapa saat. Evan dipindahkan ke ruang rawat."Untung saja tidak terjadi hal fatal pada Tuan Evan. Kita hanya perlu m
"Sean." Satu kata yang keluar dari mulut Emily, dia masih menatap layar ponselnya."Apa maksudmu, Emily?"Emily menyodorkan ponselnya. "Dia .... menghubungiku.""Biar aku yang angkat." Dayana ingin merebut, tapi ditahan Emily."Biarkan saja. Aku juga tidak tertarik bicara dengannya." Emily meletakkan ponselnya di meja."Bagus kalau kamu bertindak benar. Dan blokir segera nomornya. Dia pasti akan mengatakan kata manis untuk membuat hatimu melayang. Dan setelah itu dihempas jauh ke dasar jurang. Klasik!" Dayana menggeram.Ponsel itu masih terus berdering sekian kali. Hati Emily sampai hampir goyah ingin mengangkatnya. Dulu, dia tak pernah membiarkan Sean menunggu lama."Huuuff....." Emily menghembus nafasnya."Aku akan memblokirnya. Dia sangat agresif. Menyebalkan!" Dayana mengambil ponsel itu."Jangan sekarang. Aku tidak mau dia berpikir aku terganggu olehnya." Emily merebut ponselnya."Ok, terserah padamu.""Aku akan ke kamar. Beri tahu Axel jangan main game terlalu lama." Wanita itu
"Sean! Bangun, Sean!""Akhh! Perutku sakit sekali ....""Sayang ....""Mama! Papa ...."Gaduh suara roda brankar membuat ngilu. Tiga pasien kini masuk dalam ruang tindakan. Dua pasien yang duduk di kursi depan telah ditutup kain putih."Apa yang terjadi pada anakku?!" Evan memegang dadanya."Pa, tenang. Jangan sampai papa lemah. Anak dan cucu kita pasti akan baik-baik saja!" Martha memegang dua bahu Evan dari belakang.Evan tak mampu lagi menopang raga. Dia lemas dalam dekapan sang istri."Panggil dokter!" teriak Martha.Tangisan pecah. Bahkan Blade gemetar melihat darah di dua tangannya. Kepalanya terus menggeleng. "Tidak! Tidak mungkin!"Dario diam mematung menatap pintu ruang tindakan. Hanya air mata tanpa isakan yang bisa mengungkap betapa takutnya dia sekarang.Rumah sakit itu seketika jadi perbincangan panas publik. Apalagi yang sedang sekarat adalah satu keluarga pengusaha hebat dan pemilik restoran yang terbakar."Tolong jangan berhenti dan lemah. Kumohon kita harus tetap kuat
"Hancurkan dia! Beraninya mengusik bisnis yang sudah aku jalankan bertahun-tahun. Dia memang cari mati. Aku mau besok dengar kabar kalau semua keluarga Geraldo lenyap!" teriak Benny."Tapi, Bos-"Bugh! Kepalan kuat membuat satu anak buah tersungkur dengan bibir berdarah."Ada yang ingin aku habisi di sini?" Mata Benny nyalang buas."Maaf, Bos. Kami akan berangkat sekarang!"Tak ada lagi yang berani melawan Benny. Dia bak singa yang didesak wilayah kekuasaannya. Mengaum dan menggila. Matanya nyalang siap menghabisi lawannya.Di ruangan itu masih tersisa Erlan dan Biantara."Jika kalian tidak mau kalah, maka hanguskan musuh. Jangan sampai ada musuh yang tersisa. Kita harus jadi raja di raja. Jangan sampai ada yang berani setara pada kita!" bentak Benny.Erlan meremas tangannya. Dia malah terbesit wajah David. Semua kata-kata David terngiang jelas. "Tuan, saya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ada rasa jenuh dan sesal kala ini. Dia tak menyangka jika harus melangkah sejauh itu. Apa bisa
Ambulance langsung membawa Felisha ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan hebat. Dulu, dia bertingkah seperti apa pun kandungannya baik-baik saja. Bahkan dia mencoba makan banyak pantangan orang hamil muda, tetap saja kandungan itu bertahan. Di saat Felisha mulai menerima dan merasa hanya anak yang dikandungnya satu-satunya harta dan masa depannya, anak itu malah merajuk.Dokter langsung melakukan tindakan. Felisha dimasukkan ke ruang operasi karena keadaan sangat darurat. Namun, tindakan dokter tak bisa menyelamatkan janin itu.---Di tempat lain."Beres, Bos. Bayi itu tidak akan menjadi masalah Anda di kemudian hari. Sekarang wanita itu belum sadar karena kondisinya terlalu lemah." Seorang pria menghubungi atasnya. Ya, atasannya adalah orang yang sangat takut dengan tingkah gila Felisha jika suatu hari nanti anak itu akan jadi senjata ancamannya.Biantara. Dia sangat paham dengan polah tingkah seorang Felisha dan bergerak cepat di awal.****"Kami tidak mau punya pimpinan c
Tak hanya raga. Hati ini luruh tak mampu menopang beratnya rasa. Bagaimana bisa dia melalui hal seberat itu sendirian? Bagaimana bisa aku marah saat dia berdiri saja tak mampu? "Sean ...." Emily terisak di pangkuan Sean."Emily sayang ...." Sean mengusap rambut istrinya dengan derai air mata. Pria kekar itu sesegukan hingga dadanya bergetar.Pelan Sean mendongakkan wajah Emily agar menatapnya. Lalu, dia seka air mata yang telah berani melinang di pipi kesayangannya itu."Sean ...." Emily menggeleng menatap wajah yang sangat dirindukannya."Tadi, aku baik-baik saja dan sekarang saat melihatmu, aku seperti sudah ingin pulang. Aku tak merasakan sakit sedikit pun."Emily sedikit mengangkat tubuhnya dan memeluk Sean. "Aku membencimu, Sayang. Sangat membencimu. Dosa apa aku sampai tidak tahu kalau suamiku menderita."Sean memeluk erat, sangat erat. "Aku memang harus menebus dosa. Aku tahu pantas untuk mendapat perhatianmu karena dulu aku-""Ssssttttt .... Karena aku mencintaimu."Hah! Sean
Tidak mungkin Sean merahasiakan semuanya dariku? Apa maksudnya? Apa aku tidak berhak tahu atau dia tak ingin aku khawatir? Emily memegang tembok agar tak luruh di lantai."David ...." Emily memegang dadanya dengan derai air mata.David cepat meraih tubuh Emily. "Aku akan membawamu ke atas. Nanti kuceritakan padamu. Tenang, jangan sampai Axel tahu."David mengangkat tubuh Emily dan membawa ke kamar, tanpa sepengetahuan Axel dan Dayana."Pelan-pelan. Tenangkan dirimu. Jangan lupa kamu sedang mengandung anak Sean saat ini." David meletakkan pelan Emily di atas ranjang.Emily menggeser pelan tubuhnya dan bersandar di headboard. Dia menyeka air matanya. Nafasnya sesak terisak.David duduk di sisi ranjang. Dia merangkup wajahnya seraya menghela nafas. "Maafkan aku, Emily."Emily menggeleng sambil tersedu. "Jangan suruh memaafkanmu sebelum aku tahu soal Sean. Vid, aku istrinya. Kenapa aku harus dilarang mengetahui soal keadaannya? Apa salahku?" Tangis wanita itu pecah.David mendecih sesal.
Di rumah sakit. Sean duduk dengan kepala bersandar. Dua tangannya terpaut di depan. Sebenarnya dia ingin mendekatkan wajahnya pada layar, tapi ...."Ingat, stay cool. Jangan sampai anakmu yang pintar dan sok tahu itu curiga. Tersenyum manis dan bicara seperlunya.""Aku tahu, Cerewet!" kesal Sean."Tuan sudah paham semuanya, Bawel!" Dario menajamkan sorot matanya pada Blade."Aku akan tekan tombol panggil. Kamu menyingkir dulu. Nanti muncul kalau Sean memberi kode!" Blade menggerakkan jari pada Dario, lalu mundur setelah panggilan itu tersambung.Sean meremas kepalan tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak kian kencang. "Huuuufffff ...." Dia terus menghembus nafasnya panjang."Papa!" Layar itu mulai jelas tampak wajah Axel dan .... Emily di belakangnya. Mereka berdua duduk di atas brankar.Sean sebentar mendongak agar matanya bisa dikondisikan."Papa!" Kini wajah mereka jelas di layar masing-masing."Sayang .... Maaf, papa terlalu banyak urusan." Sean tersenyum lebar. Dia mena
Entah rasa apa yang harus diungkapkan. Air mata Dayana tak mau dibendung. Tanpa isakan."Sayang, .... Emily ...." Dayana memeluk David."Hah! Aku nggak nyangka akan datang berita seperti ini di tengah kepelikan mereka." David sedikit mendongak membuang nafas dari mulutnya.Sebuah kabar gembira dan seharusnya Sean yang duduk di depan sang dokter menjadi orang pertama yang mendengar kabar itu."Selamat, pasien Nyonya Emily positif hamil. Kondisi kehamilan masih sangat rentan karena baru memasuki trimester pertama. Jangan sampai kelelahan dan stress, agar tidak berdampak buruk pada kandungannya," jelas dokter."Jangan sampai ada yang tahu selain kami. Rahasiakan dari semuanya."---Di kamar rawat Emily."Aku akan mengumpat Om Blade. Aku yakin papa dilarang menggunakan ponsel olehnya. Oh tidak, bisa jadi Om Dario juga ikutan!" Axel sedang mencari sugesti baru untuk pikirannya agar kata-kata Erlan bisa lenyap semuanya.Emily tersenyum kaku. Anaknya saja bisa merasakan hal janggal, apalagi d
Emily duduk tegang. Di sisinya ada Axel memegang tangannya. Keduanya sama saling menguatkan dan berharap apa yang ada dalam dugaannya itu salah. "Ma, apa papa yang akan bicara? Kenapa belum ada suaranya sama sekali?" Anak itu menekan rahangnya. Gugup dan takut. Kata-kata Erlan berhasil membuat tekanan berat pada pikirannya.Emily berkedip beberapa kali dan mengambil nafas dalam-dalam. "Kita tunggu sebentar lagi. Pasti papa. Papa nggak akan ingkar janji." "Kenapa bukan panggilan video, Sayang. Seharusnya kita bisa sekalian lihat wajah Sean," protes Dayana."Benar yang dikatakan, Tante. Aku mau lihat wajah papa.""Ssssttttt ...." David meletakkan jari di depan bibirnya. Dia tak tahu lagi bagaimana cara mengelak permintaan mereka."Axel .... Emily ...." Suara Sean terdengar datar."Papa!" teriak Axel dengan mata lebar.Emily menghentak nafasnya sambil memegang dada. Akhirnya ... dia sangat lega mendengar suara Sean. 'Sean ...,' batinnya."Papa! Aku mau lihat wajahmu. Kenapa harus ngump
"Mama!" teriak Axel. Dia berlari ke arah ibunya.Hati dan pikiran yang selama ini ditekan kecemasan dan ketakutan kini tumbang sudah. Dia pingsan."Kita bawa ke dokter, Axel!" seru Dayana.David datang. "Apa yang terjadi?""Sayang, dia pingsan begitu saja."David langsung mengangkat Emily.Mobil melaju ke rumah sakit. Selang beberapa saat."Bagaimana keadaannya, Dok?""Kondisi lemah dan tekanan pikiran berat bisa jadi penyebab pasien pingsan. Tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan."Emily kini dialihkan ke ruang rawat."Om, kapan mama akan bangun?" Axel terus menangis tanpa isakan di sisi brankar."Segera. Mamamu hanya kelelahan." David menepuk pelan punggung Axel."Papa, aku mau dengar soal papa, Om.""Axel, nanti kita bahas setelah mamamu baikan. Yakinlah kalau papamu baik-baik saja. Dan Om Erlan memang nggak suka i papamu. Dia pasti sengaja mengumbar hoax!" Dayana mengangguk.Axel mendesah berat. "Semoga benar yang dikatakan Tante.""Pasti benar!""Om akan keluar sebentar."