"Kamu lihat di sana, Sean. Dia bukan buah cinta kita, karena kamu tidak pernah mencintaiku. Dia anakku, hanya anakku dan cukup menjadi anakku saja!" Emily menekan setiap kata.Sean menatap Emily. "Teruslah keras kepala, Emily. Meski tidak memberiku kesempatan untuk tahu apa yang terjadi di masa lalu, aku pasti bisa menguak semua kebenaran dan membawa kalian kembali."Emily tertawa miris. "Kembali? Untuk apa kamu menginginkanku lagi, Sean. Apa kamu sudah bosan bermain dengan Felisha. Atau lebih menyenangkan saat mempermainkanku?""Emily!" Sean tak percaya akan tiba saat seperti ini. Dia sangat menyesali sikapnya dulu. Niatnya menghancurkan Emily malah dirinya yang hancur."Kuwak saja semuanya. Biar kamu tahu siapa dirimu. Pria kejam yang membuang istrinya demi wanita lain!"Sean menatap nanar. Dia ingin membela diri, tapi ... belum genap dia merangkai kata, Axel menggebrak jendela mobil sisinya."Pergilah dan jangan pernah muncul lagi. Aku tak mau Axel mengenalmu. Terutama sebagai ayah
"Apa yang terjadi pada Mamaku?" tanya Axel mendekat mengawasi dokter yang memeriksa."Ibu Anda baik-baik saja, Tuan kecil. Tekanan darahnya menurun dan tenaganya melemah. Saya akan memberi obat dan jangan lupa ibu Anda dipastikan makan teratur.""Jadi, Mamaku nggak kenapa-napa, cuma pingsan?" Axel belum puas dia kembali memastikan.Dokter mengangguk. "Benar, Tuan kecil.Terdengar desahan dari anak kecil itu.Sedang David dan Dayana berdiri menatap kesal. Mereka tahu jika dokter itu suruhan Sean, meski dokter itu tidak mengatakan. Mereka sangat ingin menolaknya, tapi Emily membutuhkan.Setelah selesai, dokter dan perawat itu pamit."Om, makasih udah manggil dokter cepet banget. Untung aja Mama nggak kenapa-napa." Axel duduk di sisi ranjang, memegang tangan ibunya."Hem." Hanya itu yang David katakan."Iya, untung Om David cepat bertindak. Jadi Mama kamu bisa diperiksa cepat." Dayana sengaja mengatakannya. Dia tidak mau Axel memikirkan Sean."Maafin aku tadi marah-marah, Om, Tante. Aku
"Pergi! Sebelum Axel melihatmu lagi. Kumohon, lepaskan kami. Kita jalani hidup masing-masing dan aku berjanji tidak akan muncul di depan keluargamu lagi. Aku pastikan papa dan mamamu tidak tahu keberadaanku." Emily merangkup tangan memohon dengan wajah sendu.Sean menatap miris. Semua kata dan tindakannya dulu telah menyerang balik padanya. Pria itu bergeming, keras kepala!"Kamu lagi, Pria tua jahat!" bentak Axel dengan wajah murka. "Ma, masuk. Biar aku yang menghadapi Pria bodoh pengecut ini!""Papa datang mau antar kamu ke sekolah, Axel." Sean tampak keras kepala, tapi itu luapan rasa yang tak bisa dia tahan. "Hey, bangun, Pria tua! Mimpimu terlalu jauh. Siapa anakmu di sini? Kenapa terlalu percaya diri menyebut dirimu ayah?""Sean, cukup!" Emily semakin kecewa, Sean selalu memaksakan kehendak."Om David. Aku hampir terlambat. Cepat antarkan sekolah!" teriak Axel.David dan Dayana datang bersamaan. "Kenapa bisa ada orang tak tau malu seperti ini? Bukankah kamu pengusaha hebat. Ke
Demi misi hati, kini Sean rela melakukan apa saja. Termasuk membuat acara diluar idealisme-nya.Sean masuk ke sekolah Axel. Dia datang sebagai pengusaha muda-Sean Geraldo. Di sana, dia memberi bantuan untuk menambah fasilitas sekolah. "Silahkan ikuti saya, Tuan Sean." Kepala sekolah memimpin jalan, mereka sedang menuju aula sekolah, di mana anak-anak berkumpul. Suasana sudah riuh, karena Sean juga menyuruh Dario untuk menyiapkan hiburan sulap.Tiba di ambang pintu aula, Sean menahan langkahnya dan menyuruh kepala sekolah untuk masuk dahulu.Sean berusaha menyembunyikan tubuhnya dan mengintip ke dalam ruang mencari sosok Axel. Senyum tipis mengembang tak mewakili hatinya yang begitu bahagia saat melihat senyum lebar dan mata binar anaknya yang menyimak hiburan itu."Bagaimana anak-anak, apa kalian senang?" seru kepala sekolah.Disambut tepukan riuh dan sorakan."Ada kabar baik. Sekolah kita akan ditambah fasilitas bermain. Dan juga, akan datang banyak buku cerita besok. Apa anak-anak
Emily tersenyum tipis. Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa CEO yang memberinya uluran tangan dan kepercayaan. Langkahnya terhenti di depan meja sekretaris dan karyawan resepsionis itu pergi."Nyonya Emily, CEO kami sudah menunggu Anda di dalam, silahkan masuk." Sekretaris membuka pintu ruangan.Emily mengayun kaki, dia menghentak heels-nya dengan ayunan anggun memasuki ruangan itu. Wanita itu mendekat ke depan meja dengan posisi kursi CEO yang membelakanginya. Kursi itu tampak bergerak lamban ke arah dua sisi.Tidak ada papan nama, Emily bingung mau menyapa bagaimana. "Ehem! Selamat siang, Tuan. Saya Emily dari Queen Restaurant." Wanita itu tersenyum tipis meski yang dihadapannya belum berbalik.Kursi itu berputar. Seorang pria tampan dengan sorot mata tegas nan lembut telah tampak.Emily terhuyung hingga kakinya mundur satu langkah. Dadanya sesak dengan deguban jantung kencang.CEO SE Company adalah Presdir G Light Corp? Sungguh tidak masuk dalam dugaan Emily sebelumnya."Se
"Kenapa kamu diam saja Axel? Sejak kamu keluar dari sekolah kamu hanya mengatakan beberapa kata." Emily mengernyit, dia curiga anaknya menyembunyikan sesuatu.Axel mendesah. "Entahlah, aku hanya nggak mau salah memikirkan sesuatu. Makanya aku berpikir dari tadi."Emily terkekeh. "Apa boleh mama membantumu berpikir? Siapa tau, mama bisa mencari jalan keluar."Axel menggeleng. "Ini masalah laki-laki, Ma. Aku nggak mau melibatkanmu."Emily mengusap rambut anaknya. "Mama akan pergi sebentar dengan om Erlan. Kamu di rumah sama Tante Dayana. Jangan tunggu mama pulang!"Axel melebarkan mata. "Mau apa? Mama mau pergi sama om Erlan terus kaya kemarin diculik lagi sama pria tua jahat itu? Aku nggak kasih izin!""Cuma mau makan malam, Bocah bawel!" Dayana datang membawa piring berisi cake."Makan malam bisa dilakukan di rumah. Tiap hari kita juga makan malam bareng. Kenapa mesti di luar?" Axel merebut piring yang di bawa Dayana."Ini makan malam romantis, Axel. Bocah mana paham. Diam aja di ruma
Dentingan merdu piano mengisi kekosongan wicara. Emily mengusap pelan mulutnya dengan sapu tangan."Makasih kamu sudah mau keluar denganku. Aku juga berharap kamu bisa keluar dari masa lalumu." Erlan menatap harap.Emily mengangguk. "Maaf, belum bisa menyambut niat baikmu, tapi ... aku bersedia mencoba. Jika kamu tidak keberatan.""Sama sekali tidak keberatan." Erlan merogoh kotak bludru di kantong jas-nya dengan tatapan mata terpaku pada Emily.Sedang di luar restoran. Dua mobil berhenti bersamaan. Dan dua pintu mobil dibuka cepat."Kamu?!" Axel menunjuk Sean."Axel?" Sean tersenyum, dia mendekat."Tidak ada waktu lagi! Kita berdebat nanti saja, Pria tua!" geram Axel."Hey, mau apa datang. Sana pergi, kalau mau makan cari restoran lain aja!" seru Dayana."Aku akan menjemput istriku!" Suara Sean berat."Awas, berani mengacau!" seru kesal Dayana. Dia tidak habis pikir, jika Sean akan tahu soal makan malam."Biarkan saja, aku nggak peduli!" Axel melangkah tergesa ke pintu masuk."Pengaw
Emily duduk di sisi Sean. Posisi keduanya menempel karena Sean sengaja melakukannya. Emily tampak gugup dan itu diketahui Axel."Haish! Cukup, Pak tua. Lepas! Aku nggak mau dipangku olehmu. Menyebalkan!" Axel turun dan duduk di sisi ibunya dan di tengah mereka."Kita mau dibawa ke mana, Sean?" tanya Emily tanpa menatap Sean."Kamu akan tahu sendiri nanti." Sean menoleh menatap Emily dengan senyum tipis, lalu beralih menatap Axel dengan satu tangan terangkat dan mengusap kepala Axel."Jangan sembarangan menyentuhku!" Axel menepis tangan Sean. Wajahnya cemberut sangat kesal."Papa senang kita bisa pergi satu mobil seperti ini. Bagaimana kalau akhir pekan kita buat acara keluarga." Sean sengaja memancing percakapan hangat.Emily memalingkan muka ke arah arus jalan. Matanya sudah berkaca dan genangan cairan itu sepertinya tak bisa dia tahan lebih lama lagi. Axel menoleh sebentar menatap wajah Sean dengan senyum sinis. "Kendalikan khayalanmu, Pria tua! Aku sudah memperingatkanmu sejak awa