Part 47 Liburan Akhir MingguCalia bisa merasakan tubuh Lucius yang naik ke ranjang, lalu bergeser dan bergabung dengannya di balik selimut. Merasakan lengan Lucius yang menyelip melingkari pinggangnya dan menempelkan punggung di dada pria itu.“Kau marah?” Lucius mendekatkan bibirnya di telinga Calia.“Aku tak punya alasan untuk marah, Lucius. Aku tak akan mendesakmu untuk percaya padaku. A-aku hanya …” Calia terdiam, tampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan jawabannya. “Merasa buruk untuk diriku sendiri. Entahlah, perasaanku akhir-akhir ini menjadi lebih sensitif. Selalu waspada sejak kita menemui dokter. Aku takut rencana kita akan gagal untuk menyembuhkan Zayn.”Lucius membalik tubuh Calia, membuatnya keduanya saling berhadap-hadapan. “Kau menolak minuman buatan mamaku karena kau khawatir dengan program kehamilan kita, kan? Itulah alasanku melakukannya.”Calia mengangguk mengerti. Menyelipkan lengannya ditubuh Lucius dan menempelkan wajah di dada bidang pria itu. “Maaf. Ada ter
Calia seketika menyadari betapa jauhnya jarak yang terbentang di antara mereka.“Umur pernikahan kita akan menginjak 10 tahun. Tujuh bulan tiga hari adalah ulang tahu pernikahan kita yang ke sepuluh. Satu tahun awal pernikahan yang tak benar-benar begitu tersambung dan delapan tahun perpisahan. Kita bahkan tak benar-benar saling mengenal, Calia. Betapa pun aku mengakui sangat mencintaimu dan tak bisa kehilanganmu. Kemarahanku, kekecewaanku, dan rasa cintaku yang begitu besar. Semua itu seolah tertampar dengan ini.”“A-aku … aku tak tahu apa yang harus kukatakan, Lucius.” Calia sendiri menyadari bahwa dirinya juga tak benar-benar mengetahui tentang Lucius. “Jika kau berpikir aku dan Rhea yang saling bersikap dingin ada hubungannya dengan Lukas, kau salah. Meski ya, Lukas menjadi salah satu dalam permasalahan kami. Yang sudah selesai saat aku meninggalkan rumah delapan tahun yang lalu.”Ada kelegaan di hati Lucius dengan kalimat terakhir Calia. Ya, sebaiknya memang seperti itu. Ia akan
“Ya, ada alasan aku kembali ke hidup Lucius. Salah satunya Lucius berhak tahu kebenaran. Dan … sepertinya kau tak harus tahu alasanku lainnya. Ini urusan pernikahan kami.” Jawaban penuh ketenangan Calia berhasil membekukan ekspresi Divya dan kalimat selanjutnya membuat sang adik ipar merapatkan rahang. “Karena aku tak pernah mempermasalahkan jatah bulananku sebagai istri Lucius yang kau gunakan untuk bersenang-senang.”Begitu pun dengan wajah Vania yang segera memucat. “B-bagaimana kau tahu, Calia?”Calia memutar kepalanya dengan penuh ketenangan. Menatap dalam kedua mata sang mama mertua dan tangannya bergerak mengeluarkan dompet kecil dari dalam tasnya. Meletakannya di meja dan mendorongnya ke hadapan Leana. “Ini dompetmu, bukan?” senyumnya seapik mungkin. “Lucius menemukannya di teras. Sepertinya kau menjatuhkannya ketika naik ke dalam mobil.”Leana tersedak lidahnya sendiri. Mengambil dompertnya dan memeriksa isinya. Ya, tentu saja Calia mengenali kartu tersebut. Meski bentuknya y
Sebelum berangkat ke pesta, Calia sudah yakin akan menemukan hal-hal semacam ini mengingat orang-orang masih sibuk bergosip tentang pertunangan Lucius dan Divya yang mendadak dibatalkan. Ia pun tak pernah mempedulikannya. Hanya saja, tak menyangka gosipnya akan menyebar luas melenceng jauh dari yang seharusnya.Dengan wajah yang merah padam dan kemarahan yang menyelimuti kedua matanya, Calia berjalan mendekati ketiga wanita tersebut yang masih membeku karena syok. “Jika kalian tak benar-benar tahu apa yang dibicarakan, sebaiknya diam.”“Sebaiknya aku tak mengingat wajah kalian. Aku takut lidahku akan tergelincir dan merengek pada suamiku untuk pembicaraan sampah ini lalu mencari tahu tentang siapa kalian.”Seketika wajah ketiga wanita itu memucat. Melihat tatapan tajam di mata Calia, ancaman wanita itu jelas tak main-main.Calia berbalik dan berjalan keluar. Berusaha menampilkan kepercayaan diri yang begitu tegas di wajahnya meski kegugupan memenuhi dadanya. Seperti Lucius yang akan m
Lucius mengerjap, tersadar oleh kekecewaan di kedua mata Calia yang membuatnya pegangannya melonggar dan tubuhnya mundur ke belakang.Calia menegakkan punggungnya. “Kita akan bicara di rumah,” ucapnya kemudian. Keduanya tak saling bicara sepanjang perjalanan. Ia sengaja memberi waktu bagi Lucius untuk menenangkan kecemburuan pria itu.“Apakah kita bisa bicara sekarang?” Lucius melempar jasnya dan menarik lepas dasi kupunya dari kerah, menyandarkan tubuh pada bagian belakang punggung sofa. Menatap lurus Calia yang baru saja meletakkan tas di meja rias. Wanita itu memberinya satu anggukan, melepaskan jam tangan, anting, kalung, dan hiasan rambut di meja. Kemudian berjalan menghampirinya. Bukan duduk di kursi tetapi berdiri di depannya. Menatap lurus kedua matanya dengan tatapan yang begitu menenangkan, yang dalam sekejap sudah meredupkan semua kecemburuan di dadanya. Tetapi ia tak akan memperlihatkan pengaruh sang istri yang begitu mudah begitu saja. Sebaiknya Calia memberinya penjelas
"Jika kau tak tahu apa yang kau bicarakan, sebaiknya kau menjaga mulutmu agar tetap diam, Divya. Kau tak tahu sebanyak apa kata-kata akan membahayakan dirimu sendiri."Mulut Divya seketika tertutup rapat, menatap wajah Lucius yang menggelap mengerikan hingga membuat bulu kuduk di tengkuknya berdiri."Alih-alih mengatakan semua sampah itu. Sebaiknya kau menjawab pertanyaanku dengan jujur, Divya."Mata Divya berkedip sekali, napasnya tertahan dengan ketajaman manik biru Lucius yang mengunci dan menusuknya dalam-dalam. Membuat ketakutan merebak di dalam hatinya."Delapan tahun yang lalu ..." Lucius sengaja mengulur kalimatnya. Bisa merasakan Divya yang tercekik pekikannya bahkan ketika ia hanya mengungkit ujung pembicaraan tersebut. "Malam itu, ada yang janggal dengan semua bukti yang kudapatkan. Apa kau tahu siapa Alan Khu?"Wajah Divya tak bisa lebih pucat lagi ketika menggeleng dengan cepat. Bahkan sebelum Lucius sempat menyelesaikan kalimatnya. "A-aku ... aku tak tahu, Lucius. Aku ta
Jantung Calia tak berhenti berdebar begitu dokter menyatakan kehamilannya. Matanya membeliak ke arah layar yang menempel di dinding. “Kantung kehamilan? Yang mana, Dok?” tanyanya tak mampu menahan rasa penasarannya. Matanya menyipit kea rah layar tetapi masih tak tahu gambar mana yang dimaksud kantung kehamilan oleh sang dokter. Ia hanya butuh memastikan dengan mata kepalanya sendiri, apakah dirinya benar-benar hamil.Begitu pun dengan Lucius, yang sejak tadi hanya membeku di pinggir ranjang. Menggenggam tangan Calia. Ia pun sama terkejutnya dengan kabar bahagia yang tiba-tiba datang tersebut. Meski keduanya sudah menunggu kehadiran anak tersebut, tetap saja semuanya masih begitu mengejutkan mereka.Dokter Kirana menunjukkan titik putih yang ada di tengah layar. “Ukurannya masih sangat kecil. Berada di dalam kandungan. Tak banyak yang bisa kita lihat lagi karena usianya yang masih awal. Pemeriksaan selanjutnya, dia akan tumbuh lebih besar dan kita bisa mendengar detak jantungnya.”“Ap
Sejak Calia mengeluhkan sakit dan perhatian Lucius yang Vania perhatikan semakin intens, ia mulai mengendus ada sesuatu yang tengah keduanya sembunyikan darinya. Lucius bersikeras menolak tawarannya untuk memanggil dokter setiap kali mengatakan Calia sedang tidak enak badan. Bahkan ketika Rhea mengalami mual muntah yang cukup parah karena kehamilan sang menantu dan Lukas memanggil dokter untuk memeriksa juga memasang infus untuk sang menantu, Lucius maupun Calia seolah sepakat menolak dokter memeriksa wanita itu juga.Kecurigaan Vania semakin menjadi, karena sakit Calia yang datang lebih sering. Bahkan dalam seminggu tidak pergi ke kantor sampai 3 kali dan Lucius akan pulang lebih awal. Lembur di ruangan kerja sampai tengah malam.Perasaan Vania tak berhenti diselimuti kegelisahan. Hari ini Calia kembali tidak pergi ke kantor, dan seperti yang sudah diperkirakan, Lucius akan pulang lebih awal. Satu getaran ringan mengalihkan perhatiannya yang tengah berdiri di depan meja pantry. Gegas
Jangan lupa dibaca, ya. Baru muncul di web goodnovel. yang belum nemu bisa tunggu besokPelayang Sang Tuan ***Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tan
“Jadi dia keponakanmu?” Lucius bertanya dari balik bibir gelasnya. Menatap Luca yang duduk di seberang, tak berhenti mengarahkan pandangan ke arah kolam renang. Pada Zsazsa dan Ken yang bermain-main di tepi kolam. Suara canda tawa keduanya terdengar nyaring. Begitu merdu di kedua pasang telinga pria itu.Luca memutar kepala, menatap sang mertua dengan alis yang melengkung ke bawah. “Apakah itu membuat perbedaan?”Lucius meletakkan gelasnya yang sudah berkurang setengah. Kembali bersandar dengan kedua kaki bersilang. “Sejak awal kau mengincar putriku.”Luca tersenyum. Tak ada penyangkalan dalam tatapannya yang mengarah lurus pada sang mertua. “Dan kau menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.”“Anda pernah muda, tuan Cayson. Jika dihadapkan dengan godaan yang begitu besar seperti putri Anda, saya yakin Anda pun akan mengabaikan akal sehat dan akan melakukan cara apa pun untuk memilikinya.”Lucius mendengus mengejek.Senyum Luca melengkung lebih tinggi, kepalanya berputar kembali ke
“Kabar buruknya, dia ehm … “ Zale memasang raut sedih yang begitu dalam di kedua mata. Duduk di samping Zesil lalu menggenggam tangan sang adik. “Papa sudah menemukan di mana makamnya.”“M-makam?” lirih Zesil dalam keterkejutan. Setengah jiwanya terasa ditarik paksa dari dalam dadanya. Rasa kehilangan yang lebih besar ketimbang kedua orang tua angkatnya mengatakan bahwa dia telah diadopsi 19 tahun yang lalu. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meleleh di sudut mata ketika Zale merangkul pundaknya, membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.Sudut bibir Zaiden mengeras, merasa disisihkan melihat kedua adiknya yang saling berpelukan. Saling berbagi kesedihan. Kecemburuan merayapi dadanya, dan beruntung setidaknya ia masih memiliki nurani juga sedikit pikiran waras bahwa memang hanya Zale yang dibutuhkan Zesil di situasi ini.“Dan kabar baiknya, dia tidak membuangmu. Selama bertahun-tahun ini, dia juga mencarimu. Detailnya, papa akan memberitahumu,” tambah Zale. Berharap sedikit in
“Kau pikir aku tak tahu? Kau menghindarinya bukan karena butuh waktu yang tak perlu dibutuhkan untuk memberitahu pernikahan kita. Tapi karena kau tahu dia menyukaimu. Dan kau merasa sungkan padaku?” Zayn memungkasi kalimatnya dengan ejekan yang begitu kental.Cailey mengedipkan matanya dua kali, terpaku menatap wajah Zayn yang mulai diselimuti kegelapan.“Jangan menguji kesabaranku lebih dari ini, Cailey. Kau tahu aku sudah cukup sabar menghadapimu sejak kemarin siang. Simpan kecemburuanmu untuk dirimu sendiri. Kau tahu aku yang lebih berhak melakukan semua sikap kekanakan ini.”“Jangan menatapku seperti itu, Zayn,” desis Cailey tak kalah dinginnya. Berusaha menggeliatkan tubuhnya tetapi Zayn malah menekannya ke dalam kasur. Sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membebaskan diri. “Aku tidak berbohong,” tandasnya penuh penekanan. “Dan bukan aku yang menciumnya, Jaren yang tiba-tiba melakukannya.”“Kau pikir aku yang mencium Adira?”Cailey terdiam.“Jangan jadikan itu alasan untuk
Butuh beberapa detik bagi Zesil untuk menelaah kalimat Roland. Setelah ia melahirkan, apakah Roland masih akan menerima dirinya? Harapan yang tak pernah ia bayangkan akan diucapkan oleh Roland. Akan tetapi, harapan itu seketika raib. Detik itu juga. Mata Zesil melebar, pandangannya melewati pundak Rolanda dan melihat Zaiden berdiri di depan pintu. Tatapan pria itu menyipit tajam, dengan kedua rahang yang mengeras, mengarah pada tangannya yang berada dalam genggaman Roland.Zesil pun melepaskan pegangannya dari kedua tangan Roland. Lalu menggeleng pelan. “Maafkan aku, Roland. Aku tidak bisa,” lirihnya. Memaksa melepaskan harapan yang sempat singgah. Kekecewaan kembali merebak di wajah Roland. Menatap tak percaya pada Zesil. “Kenapa?”Zesil menggeleng. “Aku tidak ingin bercerai dengan kak Zaiden dan meninggalkan anak ini demi kebahagiaan, yang mungkin tak akan sempurna tanpanya, Roland. Bagaimana pun dia anakku.” Kalimat terakhir Zesil terdengar seperti sebuah kebohongan. Ia bahkan ma
Wajah Zsazsa tak bisa lebih pucat lagi. “A-aapa?”“Aku yang meminta tuan Janson membatalkan kontrakmu. Dan aku juga sudah membayar semua ….”“K-kau?” Sekali lagi Zsazsa butuh afirmasi. Masih tak cukup percaya bahwa Lucalah pelakunya. “Tega sekali kau melakukannya, Luca? Kupikir aku sudah menegaskan padamu bahwa pernikahan kita tak berhak membuatmu ikut campur pekerjaanku.”“Cepat atau lambat kerjasama itu memang harus dibatalkan, Zsazsa. Kandunganmu …”“Itu bukan urusanmu!” teriak Zsazsa tepat di depan wajah Luca.“Anak itu anakku,” desis Luca tajam.“Dan itu tak membuatmu berhak merampas hidupku! Menghancurkan hidupku sesuka hatimu!”Luca terdiam. Kemarahan yang menguasai Zsazsa lebih besar dari yang ia perkirakan. “Aku juga akan membatalkan kerjasama perusahaanku denganmu.”“Ya, lakukan saja! Aku tak peduli!” Zsazsa menyambar ponsel di tangan Luca dan berbalik keluar menuju pintu utama.“Kau baik-baik saja?” Joanna mendekat, menyentuh lengan Luca dengan hati-hati.Mata Luca terpejam
Zaiden melangkah ke depan Lauren. “Kau benar-benar membuatku muak, Lauren. Sekali lagi jika kau menyentuh seujung rambut istriku, kupastikan kau akan menyesal telah muncul di hidupku.”Lauren terhuyung ke belakang. Keterkejutannya seketika berubah menjadi ketakutan yang begitu pekat merambati dadanya. Tatapan Zaiden begitu mengerikan, hingga membuat bulu kuduknya meremang.Zaiden berbalik, berhadap-hadapan dengan Roland yang tak kalah pucatnya dengan Lauren. “Bisakah aku mendapatkan istriku kembali?”“I-istri?” Suara Roland nyaris tertelan suara mesin mobil yang melintasi jalan.“Ya, sesuatu terjadi dan membuat kami harus berakhir sebagai suami istri. Juga hubunganmu dengannya yang harus diakhiri sesegera mungkin.”Roland menggeleng. Kepalanya berputar menatap Zesil yang tak mengatakan apa pun di sampingnya. “A-apakah itu benar, Zesil?”Zaiden mendengus tipis. Meraih tangan Zesil, menunjukkan kedua cincin yang melingkari jari manis mereka. “Apakah ini sudah cukup menjawab pertanyaanmu
Zesil memindahkan tubuhnya dari pangkuan sang kakak dan duduk di sofa. Lekas memperbaiki pakaiannya begitu napas keduanya sudah kembali normal. Dengan wajah yang merah padam, panas sekaligus terasa lembab di seluruh tubuh, kepalanya tertunduk dalam oleh rasa malu. Memasang kembali pengait branya dan menarik tertutup resleting di punggung. Dengan pikiran yang kacau akan apa yang baru saja keduanya lakukan di sofa ini.Zaiden terkekeh, tangannya terjulur ke wajah Zesil. Menyentuh ujung dagu gadis itu dan membawa perhatian Zesil kepadanya. “Aku tak pernah mengira seks di ruang kerja akan terasa sememuaskan ini.”Rasanya wajah Zesil tak bisa lebih merah padam lagi.“Lain kali aku akan memanggilmu untuk makan siang bersama.”Tentu saja Zesil itu tak hanya akan menjadi sekedar makan siang. “Zesil ingin ke kamar mandi,” lirihnya. Melepaskan wajahnya dari tangan Zaiden dan beranjak menuju pintu yang ada di sudut ruangan. Nyaris tersamar dengan dinding yang dilapisi kayu, tapi ia tahu kamar ma
Satu jam kemudian, pesan yang masuk ke ponsel Luca membuat keduanya harus lekas turun dari tempat tidur. “Ken mencariku,” gumam Luca menatap Zsazsa yang sedang mengenakan pakaiannya kembali dengan posisi memunggunginya.“Ya, pergilah.”“Kita pergi bersama.”Zsazsa yang baru saja memasukkan lengan bajunya langsung menoleh. “Kita? Kenapa?”Luca beranjak berdiri, mengenakan celananya. “Karena kau istriku dan Ken anakku, Zsazsa. Apakah kau tidak ingin berusaha mendekatinya?”Zsazsa kembali membelakangi Luca. “Di sana sudah ada ibunya, Luca. Aku sama sekali tidak …”Luca berjalan memutari ranjang, berhenti tepat di depan sang istri. membawa pandangan Zsazsa ke arahnya. “Aku tidak memintamu berada di sana sebagai ibunya. Kau tahu posisi Joanna tak akan pernah terganti oleh siapa pun di hati Ken, Zsazsa. Tapi aku ingin kau berada di sana sebagai istriku.”Zsazsa menelan kembali bantahan yang sudah nyaris terlepas. Sungguh, ia tak suka setiap kali berinteraksi dengan Joanna meski cukup denga