Lucius baru saja duduk di belakang mejanya ketika pintu ruangan kembali diketuk dua kali dan Vania melangkah masuk. Langsung menyeberangi ruangan dan berhenti tepat di depan meja.“Nyonya Evanthe sudah memberitahu mama apa yang terjadi kemarin.”Lucius mengangguk singkat. “Seharusnya mama memberitahu mereka lebih awal. Atau …” ia mengangkat wajahnya, menatap wajah sang mama sejenak sebelum melanjutkan. “Mama masih berniat melanjutkan rencana ini?”Vania mengerjap sekali kemudian menggeleng. “Ehm, mama hanya … setelah Zayn dan adik-adiknya kembali, kau tahu mama tak sempat memikirkan hal ini dan memberitahu orang tua Divya. Sebenarnya Divya sendiri yang ingin memberitahu mereka secara langsung.”“Bukankan dia sendiri yang meminta pada mereka untuk datang ke tempatku?” Salah satu alis Lucius terangkat. Ya, tentu saja ia mengetahui hal tersebut. Kemarin ia sempat mendengar pembicaraan Divya dan Leana yang menanyakan kunjungan wanita itu malam harinya.Sekali lagi kegugupan melapisi wajah
Calia pikir Caleb tak akan datang malam itu karena sejak kemarin malam tak menghubunginya sama sekali, tetapi rupanya sang kakak malah datang lebih awal. Masih mengenakan pakaian kerja dengan satu kantong yang berisi pakaian ganti dan satu kantung berisi makanan. Yang kemudian disodorkan kepadanya.Kening Calia berkerut tipis. Menatap wajah sang kakak yang kemudian membuang wajah. Ada penyesalan yang kental di kedua mata Caleb sebelum pria itu benar-benar berpaling. “Apa itu?” tanyanya kemudian.“Kau belum makan, kan?” Caleb meletakkan kantong tersebut di meja karena Calia tak juga mengulurkan tangan untuk mengambil. Meletakkan kantong pakaian gantinya di sofa pendek dan duduk di samping Calia. “Cumi asam manis. Kesukaanmu. Dan dari resto langganan kita.”Calia pun mengulurkan tangan, membuka kantong tersebut dan aroma familiar yang lezat segera menyergap hidungnya. Jadi ini alasan Caleb pulang lebih awal. Untuk mengantre makanan favoritnya. “Sebagai permintaan maaf?” tanyanya sembari
Lukas dan Rhea baru saja keluar dari kamar tidur Cailey ketika melihat Lucius dan Calia yang baru muncul dari arah tangga. Langkah keduanya terhenti melihat Lucius yang setengah menyeret pinggul Calia, menuju ke kamar utama. Pria itu tampak terburu, dan keduanya sempat melihat Lucius yang menangkap tengkuk Calia untuk menyentuhkan bibir di atas bibir Calia sebelum pintu kamar benar-benar tertutup. Tak perlu kecerdasan tinggi untuk menebak apa yang terjadi selanjutnya di balik pintu itu.Ujung mata Rhea melirik ke samping, bisa merasakan ketegangan dari tubuh sang suami. Pandangannya turun ke bawah, melihat kedua tangan Lukas yang mengepal dengan buku jari yang memutih. Ia menggigit bibir bagian dalamnya, berusaha meredam hatinya yang patah."Kau baik-baik saja?" Rhea berhasil mengeluarkan suaranya setenang mungkin. Tangannya menyentuh lengan Lukas dan memasang senyum selembut mungkin.Lukas mengerjap, menggeleng sekali dan berkata, "Aku akan keluar.""Ke mana?""Kembalilah ke kamar,"
Tubuh Calia didorong ke tengah tempat tidur, bersamaan pakaiannya yang mulai dilucuti oleh Lucius. Pria itu sudah melepaskan sebagai pakaian ketika menindih setengah tubuhnya. Kembali menangkap bibirnya dalam lumatan yang panjang. Saat ia nyaris kehilangan napas, pria itu akan melepaskan pagutannya, dengan ciuman yang mulai merambati rahang dan lehernya. Dengan tak sabaran melepaskan sisa pakaian yang masih menempel di tubuhnya.Erangan pelan lolos bersamaan dengan napasnya yang terengah. Setiap sentuhan bibir, telapak tangan, dan tubuh mereka yang saling bergesekan membuatnya seperti diserang dari segala arah. Jatuh tenggelam dalam gairah yang dipimpin oleh Lucius. Ya, ia selalu kehilangan arah setiap kali pria itu menyentuhnya. Menguasai dirinya hingga di titik yang membuatnya tak bisa mengenali dirinya sendiri sebaik pria itu mengenali tubuhnya. Dan yang lebih buruk, ia membiarkan Lucius mengambil alih semuanya dengan penuh kerelaan dan kepasrahan.Suara desahan yang panas saling b
Lucius belum pernah merasakan bangun pagi sesempurna ini. Dengan sang istri yang berada dalam pelukannya, dan senyum yang melengkung di wajah Calia. Tangannya bergerak perlahan, menyentuh ujung bibir Calia, memastikan senyum benar-benar nyata. Dan ya, senyum itu nyata. Saat ujung jemarinya bergerak menyentuh wajah Calia, tubuh wanita itu menggeliat pelan, semakin menenggelamkan tubuh ke dalam dekapannya.Sepanjang pernikahan mereka, ia tak pernah melihat senyum di wajah Calia selain hanya senyum simpul ketika membalas semua kebaikan yang telah diberikannya untuk wanita itu. Ia tak sebodoh itu untuk tak memahami senyum sebagai ucapan terima kasih tersebut. Tak pernah lebih.Selama ini ia terlalu dibutakan terhadap perasaan cintanya pada wanita itu. Tanpa benar-benar menyelami perasaan wanita itu yang sesungguhnya. Bahwa ternyata ada nama lain yang sudah mendekam di hati wanita itu. Adiknya sendiri.Matanya terpejam, mendaratkan satu kecupan di bibir Calia. Lembut dan hangat. Seperti tu
"Sejak tadi kau diam?" gumam Lucius saat keduanya berbalik setelah melambaikan tangan pada Zsazsa dan Zaiden yang sudah menghilang dari balik pintu kelas. Lengan pria itu merangkul pinggang sang istri dan keduanya berjalan ke arah tempat parkir. Mendapatkan beberapa perhatian dari para ibu yang juga baru mengantar anak mereka.Calia menggeleng menjawab pertanyaan Lucius sekaligus merasa tak nyaman dengan tatapan penasaran orang-orang. Bisa merasakan bisik-bisik di belakangnya ketika langkah mereka sudah melewati kerumunan tersebut.Lucius pun merasakan gestur ketidaknyamanan sang istri dan menunduk untuk mendaratkan satu kecupan di kening Calia sambil berucap lirih, "Kau harus terbiasa mendapatkan perhatian ini. Tegakkan wajahmu."Calia menarik napas dan mengembuskannya singkat. Lalu mengangguk. Ya, ia istri sah Lucius Cayson. Apa pun pemberitaan tentang Lucius dan Divya di luar sama tidak harus menguasainya. "Ada sesuatu yang lain mengganggumu," ucap Lucius lagi saat keduanya duduk
Lucius tersentak, hingga kedua tangannya di lengan Calia terjatuh dan tubuhnya bergerak mundur. Membeku untuk waktu yang cukup lama dan menatap sang istri dengan kesangsian yang cukup jelas.Calia menelan ludahnya. “Tidak apa jika kau tidak mempercayaiku, Lucius.”Suara Calia terdengar lirih. Tatapan Lucius masih begitu intens. Mencoba mencari ketidak jujuran di raut wanita itu, yang lebih sulit ditemukannya dari yang ia pikir atau memang tak ada di sana. Ataukah Calia memang mengatakan kebenaran menyakitkan ini.Ia tahu ketidak sukaan sang mama pada Calia, bahkan sebelum mereka menikah. Mamanya menentang keras pernikahannya, tetapi tentu saja tak berkutik saat ia mengungkit ambisi sang mama yang terus memenuhi jalannya sejak papanya meninggal saat ia masih remaja. Seluruh hidupnya berubah total, berusaha sangat keras demi memenuhi keinginan sang mama untuk menjadi penerus sang papa.Namun, ia tak pernah menyangka sang mama akan melakukan hal seburuk itu hanya karena begitu membenci C
Sejak Calia datang kembali ke hidupnya dan mengetahui jatuh bulanannya pada wanita itu yang tak pernah sampai, ia memang berniat menyelidiki kejadian malam itu di hotel yang berapa kali pun ia memikirkannya, ada kejanggalan yang tak diterimanya. Pun dengan perselingkuhan yang benar-benar terjadi dan diakui oleh Calia.“Tuan Khu sudah menunggu di dalam,” ucap salah satu sekretarisnya memberitahu. Lucius mengangguk singkat, memberi perintah untuk mengosongkan jadwal satu jam ke depan sebelum melangkah masuk ke ruangannya dan melihat Alan Khu yang beranjak berdiri menyambutnya. Lucius menutup pintu di belakangnya dan gegas mengambil tempat di kepala sofa. Meletakkan kantong plastik hitam yang berisi gelas kotor yang ditumpahkan Calia di meja makan ke hadapan pria itu. “Aku ingin kau membawa ini ke laboratorium dan menyelidiki apa yang mungkin ada di sana.”Kening Alan Khu berkerut tipis, mengambil kantong tersebut dan mengintip isinya kemudian mengangguk singkat.“Jadi apa yang tiba-tib
Jangan lupa dibaca, ya. Baru muncul di web goodnovel. yang belum nemu bisa tunggu besokPelayang Sang Tuan ***Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tan
“Jadi dia keponakanmu?” Lucius bertanya dari balik bibir gelasnya. Menatap Luca yang duduk di seberang, tak berhenti mengarahkan pandangan ke arah kolam renang. Pada Zsazsa dan Ken yang bermain-main di tepi kolam. Suara canda tawa keduanya terdengar nyaring. Begitu merdu di kedua pasang telinga pria itu.Luca memutar kepala, menatap sang mertua dengan alis yang melengkung ke bawah. “Apakah itu membuat perbedaan?”Lucius meletakkan gelasnya yang sudah berkurang setengah. Kembali bersandar dengan kedua kaki bersilang. “Sejak awal kau mengincar putriku.”Luca tersenyum. Tak ada penyangkalan dalam tatapannya yang mengarah lurus pada sang mertua. “Dan kau menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.”“Anda pernah muda, tuan Cayson. Jika dihadapkan dengan godaan yang begitu besar seperti putri Anda, saya yakin Anda pun akan mengabaikan akal sehat dan akan melakukan cara apa pun untuk memilikinya.”Lucius mendengus mengejek.Senyum Luca melengkung lebih tinggi, kepalanya berputar kembali ke
“Kabar buruknya, dia ehm … “ Zale memasang raut sedih yang begitu dalam di kedua mata. Duduk di samping Zesil lalu menggenggam tangan sang adik. “Papa sudah menemukan di mana makamnya.”“M-makam?” lirih Zesil dalam keterkejutan. Setengah jiwanya terasa ditarik paksa dari dalam dadanya. Rasa kehilangan yang lebih besar ketimbang kedua orang tua angkatnya mengatakan bahwa dia telah diadopsi 19 tahun yang lalu. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meleleh di sudut mata ketika Zale merangkul pundaknya, membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.Sudut bibir Zaiden mengeras, merasa disisihkan melihat kedua adiknya yang saling berpelukan. Saling berbagi kesedihan. Kecemburuan merayapi dadanya, dan beruntung setidaknya ia masih memiliki nurani juga sedikit pikiran waras bahwa memang hanya Zale yang dibutuhkan Zesil di situasi ini.“Dan kabar baiknya, dia tidak membuangmu. Selama bertahun-tahun ini, dia juga mencarimu. Detailnya, papa akan memberitahumu,” tambah Zale. Berharap sedikit in
“Kau pikir aku tak tahu? Kau menghindarinya bukan karena butuh waktu yang tak perlu dibutuhkan untuk memberitahu pernikahan kita. Tapi karena kau tahu dia menyukaimu. Dan kau merasa sungkan padaku?” Zayn memungkasi kalimatnya dengan ejekan yang begitu kental.Cailey mengedipkan matanya dua kali, terpaku menatap wajah Zayn yang mulai diselimuti kegelapan.“Jangan menguji kesabaranku lebih dari ini, Cailey. Kau tahu aku sudah cukup sabar menghadapimu sejak kemarin siang. Simpan kecemburuanmu untuk dirimu sendiri. Kau tahu aku yang lebih berhak melakukan semua sikap kekanakan ini.”“Jangan menatapku seperti itu, Zayn,” desis Cailey tak kalah dinginnya. Berusaha menggeliatkan tubuhnya tetapi Zayn malah menekannya ke dalam kasur. Sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membebaskan diri. “Aku tidak berbohong,” tandasnya penuh penekanan. “Dan bukan aku yang menciumnya, Jaren yang tiba-tiba melakukannya.”“Kau pikir aku yang mencium Adira?”Cailey terdiam.“Jangan jadikan itu alasan untuk
Butuh beberapa detik bagi Zesil untuk menelaah kalimat Roland. Setelah ia melahirkan, apakah Roland masih akan menerima dirinya? Harapan yang tak pernah ia bayangkan akan diucapkan oleh Roland. Akan tetapi, harapan itu seketika raib. Detik itu juga. Mata Zesil melebar, pandangannya melewati pundak Rolanda dan melihat Zaiden berdiri di depan pintu. Tatapan pria itu menyipit tajam, dengan kedua rahang yang mengeras, mengarah pada tangannya yang berada dalam genggaman Roland.Zesil pun melepaskan pegangannya dari kedua tangan Roland. Lalu menggeleng pelan. “Maafkan aku, Roland. Aku tidak bisa,” lirihnya. Memaksa melepaskan harapan yang sempat singgah. Kekecewaan kembali merebak di wajah Roland. Menatap tak percaya pada Zesil. “Kenapa?”Zesil menggeleng. “Aku tidak ingin bercerai dengan kak Zaiden dan meninggalkan anak ini demi kebahagiaan, yang mungkin tak akan sempurna tanpanya, Roland. Bagaimana pun dia anakku.” Kalimat terakhir Zesil terdengar seperti sebuah kebohongan. Ia bahkan ma
Wajah Zsazsa tak bisa lebih pucat lagi. “A-aapa?”“Aku yang meminta tuan Janson membatalkan kontrakmu. Dan aku juga sudah membayar semua ….”“K-kau?” Sekali lagi Zsazsa butuh afirmasi. Masih tak cukup percaya bahwa Lucalah pelakunya. “Tega sekali kau melakukannya, Luca? Kupikir aku sudah menegaskan padamu bahwa pernikahan kita tak berhak membuatmu ikut campur pekerjaanku.”“Cepat atau lambat kerjasama itu memang harus dibatalkan, Zsazsa. Kandunganmu …”“Itu bukan urusanmu!” teriak Zsazsa tepat di depan wajah Luca.“Anak itu anakku,” desis Luca tajam.“Dan itu tak membuatmu berhak merampas hidupku! Menghancurkan hidupku sesuka hatimu!”Luca terdiam. Kemarahan yang menguasai Zsazsa lebih besar dari yang ia perkirakan. “Aku juga akan membatalkan kerjasama perusahaanku denganmu.”“Ya, lakukan saja! Aku tak peduli!” Zsazsa menyambar ponsel di tangan Luca dan berbalik keluar menuju pintu utama.“Kau baik-baik saja?” Joanna mendekat, menyentuh lengan Luca dengan hati-hati.Mata Luca terpejam
Zaiden melangkah ke depan Lauren. “Kau benar-benar membuatku muak, Lauren. Sekali lagi jika kau menyentuh seujung rambut istriku, kupastikan kau akan menyesal telah muncul di hidupku.”Lauren terhuyung ke belakang. Keterkejutannya seketika berubah menjadi ketakutan yang begitu pekat merambati dadanya. Tatapan Zaiden begitu mengerikan, hingga membuat bulu kuduknya meremang.Zaiden berbalik, berhadap-hadapan dengan Roland yang tak kalah pucatnya dengan Lauren. “Bisakah aku mendapatkan istriku kembali?”“I-istri?” Suara Roland nyaris tertelan suara mesin mobil yang melintasi jalan.“Ya, sesuatu terjadi dan membuat kami harus berakhir sebagai suami istri. Juga hubunganmu dengannya yang harus diakhiri sesegera mungkin.”Roland menggeleng. Kepalanya berputar menatap Zesil yang tak mengatakan apa pun di sampingnya. “A-apakah itu benar, Zesil?”Zaiden mendengus tipis. Meraih tangan Zesil, menunjukkan kedua cincin yang melingkari jari manis mereka. “Apakah ini sudah cukup menjawab pertanyaanmu
Zesil memindahkan tubuhnya dari pangkuan sang kakak dan duduk di sofa. Lekas memperbaiki pakaiannya begitu napas keduanya sudah kembali normal. Dengan wajah yang merah padam, panas sekaligus terasa lembab di seluruh tubuh, kepalanya tertunduk dalam oleh rasa malu. Memasang kembali pengait branya dan menarik tertutup resleting di punggung. Dengan pikiran yang kacau akan apa yang baru saja keduanya lakukan di sofa ini.Zaiden terkekeh, tangannya terjulur ke wajah Zesil. Menyentuh ujung dagu gadis itu dan membawa perhatian Zesil kepadanya. “Aku tak pernah mengira seks di ruang kerja akan terasa sememuaskan ini.”Rasanya wajah Zesil tak bisa lebih merah padam lagi.“Lain kali aku akan memanggilmu untuk makan siang bersama.”Tentu saja Zesil itu tak hanya akan menjadi sekedar makan siang. “Zesil ingin ke kamar mandi,” lirihnya. Melepaskan wajahnya dari tangan Zaiden dan beranjak menuju pintu yang ada di sudut ruangan. Nyaris tersamar dengan dinding yang dilapisi kayu, tapi ia tahu kamar ma
Satu jam kemudian, pesan yang masuk ke ponsel Luca membuat keduanya harus lekas turun dari tempat tidur. “Ken mencariku,” gumam Luca menatap Zsazsa yang sedang mengenakan pakaiannya kembali dengan posisi memunggunginya.“Ya, pergilah.”“Kita pergi bersama.”Zsazsa yang baru saja memasukkan lengan bajunya langsung menoleh. “Kita? Kenapa?”Luca beranjak berdiri, mengenakan celananya. “Karena kau istriku dan Ken anakku, Zsazsa. Apakah kau tidak ingin berusaha mendekatinya?”Zsazsa kembali membelakangi Luca. “Di sana sudah ada ibunya, Luca. Aku sama sekali tidak …”Luca berjalan memutari ranjang, berhenti tepat di depan sang istri. membawa pandangan Zsazsa ke arahnya. “Aku tidak memintamu berada di sana sebagai ibunya. Kau tahu posisi Joanna tak akan pernah terganti oleh siapa pun di hati Ken, Zsazsa. Tapi aku ingin kau berada di sana sebagai istriku.”Zsazsa menelan kembali bantahan yang sudah nyaris terlepas. Sungguh, ia tak suka setiap kali berinteraksi dengan Joanna meski cukup denga