Viona memandangi alat perekam berbentuk pensil di tangannya. Kali ini ia bisa memberikan sebuah bukti pada Frank. "Kapan kau akan memberikannya pada Frank?" tanya Anya. "Lebih cepat lebih baik Viona.""Aku akan memberikannya pada Frank besok."Anya melepaskan kumis dan rambut palsu serta topinya itu. "Baguslah Vi.""Anya terima kasih karena sudah membantu ku."Anya mengembangkan bibirnya. Tentu saja karena Viona adalah temannya. Ia ingin menjadi teman terbaik bagi Viona. "Jangan sungkan jika membutuhkan bantuan ku Viona."Viona begitu terharu, selain kakeknya masih ada yang menyayanginya. "Terima kasih banyak Anya, kau yang terbaik." Mobil yang di tumpangi oleh mereka pun masuk ke dalam halaman utama mansion. Viona turun dan melambaikan tangannya pada Anya. "Kau sudah pulang?" tanya seorang pria. Dia menunggu kedatangan istrinya itu di balkon dan saat mobil Anya memasuki pekarangan ia bergegas keluar."Iya, kau belum tidur?""Bagaimana aku bisa tidur tanpa istri ku," ucap Frank. Di
"Viona kau mau kemana?" tanya daddy Ardey. Dia keluar dari kamarnya dan melihat punggung Viona dengan membawa tas ranselnya, separuh tali tas ranselnya di kaitkan pada bahunya sedangkan tali satunya tidak. "Viona."Keningnya berkerut, tidak biasanya Viona mengabaikannya. Merasa curiga, ia langsung menuju ke kamar putranya itu. Ia melihat Frank yang sedang berdiri membelakanginya. "Frank, Viona keluar. Ada apa dengan kalian?""Jangan membahasnya Dad." Nafasnya terasa panas dan naik turun. Daddy Ardey melangkah ke arah Frank. "Apa maksud mu jangan membahasnya? apa terjadi sesuatu pada kalian?"Frank memberikan ponselnya. Daddy Ardey melihatnya dan menarik sebelah alisnya sambil melihat Frank seperti bertanya sesuatu. "Kau mempercayainya."Daddy Ardey menghela nafas. Dia langsung memberikan ponselnya kembali. Kemudian berlalu pergi....."Viona kau pulang sayang." Viona tersenyum, ia belum siap mengatakan penjelasannya pada kakeknya itu. "Iya Kek, aku merindukan Kakek."Viona memeluk k
"Boy nanti aku akan menjemput mu," ucap Frank. Kini dia telah sampai di depan gerbang sekolah putranya.Jaxon menoleh dan menatap dalam. "Aku ingin di jemput Mommy Dad," ucap Jaxon. Dia ingin tau apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Jaxon menatap ke arah luar jendela. Beberapa kali ia menghela nafas agar tidak memarahi putranya. "Sayang, Mommy sedang sibuk. Jadi biar Daddy yang menjemput mu. Ya sudah, Daddy ada meeting pagi."Terpaksa Jaxon keluar dari mobilnya tanpa mendapatkan jawaban yang pasti. Sejujurnya ia ingin menghubungi ibunya. Biarlah nanti jika sampai di rumah ia akan menghubungi ibunya....Aura hitam nampak keluar dari tubuh Frank. Banyak karyawan yang menunduk dan menyapa Frank dengan pelan dan berbisik-bisik setelah Frank melangkah beberapa langkah. Frank menghentikan langkahnya, telinganya melebar saat dua karyawan yang menyapanya tadi berbicara menyebut namanya. "Apa perusahaan ini tempat bergosip kalian?" Pertanyaan bagaikan belati itu membuat wanita dan se
Viona tersenyum melihat wanita setengah baya itu tersenyum. Dia merasa Tuhan memberikan kesempatan hidup karena Viona mau menolongnya. "Bu, ini Viona. Kekasihnya Arel." Wanita setengah baya itu tersenyum. "Aku sudah menduganya. Dia cantik seperti yang di ceritakan Arel. Maaf aku tidak mendatangi saat pemakan Arel karena saat itu tubuh ku drop. Saat Anton datang ke makam Arel dan ingin bertemu dengan mu kau sudah tidak ada."Wanita bernama Mely itu menggenggam tangan Viona. Penyakit kangkernya stadium tiga mungkin saja sudah menjadi akhir hidupnya. "Aku berharap aku sembuh, tapi jika memang sudah ...""Bu kau pasti sembuh." Anton memutuskan perkataan ibunya itu. "Anda pasti sembuh,"Wanita itu tersenyum, saat menceritakan Viona Arel begitu bersemangat. Kedua matanya berbinar seakan memancarkan cahaya bulan purnama. "Arel begitu menyayangi mu."Viona merasakan kesakitan dan rasa nyeri di ulu hatinya. "Aku tau, tapi karena aku.""Jangan menyalahkan mu sendiri Viona. Arel melakukannya
"Aku ingin pulang Kek," ucap Jaxon. Rasanya ia tidak memiliki hati untuk lebih lama bersama dengan kakek Damian. "Bawa aku pulang."Kakek Ardey menggenggam tangan Jaxon. "Damian aku pulang dulu. Ayo Jaxon." Kakek Damian merasa bersalah pada Jaxon. Bocah itu tidak tau apa-apa akan tetapi ia harus memberi pengertian pada Jaxon bahwa ibunya dan ayahnya tidak mungkin kembali.....Begitu sampai di mansion, Jaxon keluar dari mobil daddy Ardey. Dia berlari dan menghiraukan panggilan beberapa pelayan yang menyuruhnya berhati-hati, bahkan Liliana pun dia hiraukan."Daddy!" Jaxon berteriak dengan lantang. Dia melihat ke sekeliling kamar ayahnya itu dan tidak melihat keberadaan Frank. Dia pun berbalik dan menuju ruang kerjanya."Daddy!"Frank menoleh, di tangan kanannya ada sebuah cairan merah. "Jaxon.""Apa Daddy yang menyuruh Mommy pergi?" Frank tersentak, entah darimana putranya mengetahuinya. "Kau tau dari mana Jaxon?" tanya Frank, akan tetapi perkataan Jaxon salah karena ia tidak menyur
"Hiduplah dengan mereka Daddy, aku tidak akan mencegah mu." Jaxon mengepalkan kedua tangannya. Dia pun pergi seperti tidak melihat apa pun. Ia menghubungi Viona, namun Viona sama sekali tidak mengangkat panggilannya."Apa Mommy juga marah pada ku? Dia juga menjauhi ku?" Jaxon menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin di melihat ibunya pergi begitu saja. "Aku harus bertemu dengan Mommy."Jaxon mengambil jaketnya, ia menuju ke arah sopir yang sedang berbicara dengan penjaga gerbang. "Om bisa mengantarkan aku ke tempat Mommy?" Kedua pria itu saling tatap. "Tuan muda sudah izin pada tuan Frank?" Tanya sang sopir. Dia tidak berani membawa jika tidak mendapatkan izin dari tuan majikannya."Iya, aku sudah izin." "Baiklah saya akan mengantarkan tuan muda," ucap sopir itu. Penjaga gerbang itu pun membukakan gerbangnya. Jaxon masuk begitu mobil putih itu sampai di depannya.Tidak lama kemudian, Jaxon pun sampai. Dia berlari menuju kediaman kakek Damian. "Kakek! Kakek! Mommy!" Teriak Jaxon. Vi
Kedua mata Jaxon menatap datar ke arah dua wanita yang jauh darinya. Selama sebulan ini mereka sibuk merebut hati ayahnya tanpa ingin merebut hatinya. Ia muak dan ingin melemparkan mereka ke kandang buaya saja."Apa kalian tidak bosan bertengkar? aku saja melihat kalian berkelahi seperti itu merasa malu. Kenapa aku bisa memiliki pengasuh dan ibu yang tidak tau diri?"Liliana dan Beliana merasa tertampar. Mereka saling memalingkan wajah mereka. ceklekTanpa melihat wajah ayahnya, Jaxon berlalu pergi. Dia tidak ingin bersitatap dengan ayah bodohnya itu. Frank yang melihat kepergian putranya merasa sakit hati. Setelah perceraiannya dengan Viona, Jaxon seakan tak menganggap keberadaannya, tidak mau bersitatap sepeerti dulu lagi. "Frank kau sudah keluar? aku membuatkan sarapan untuk mu," ucap Beliana."Apa kalian tidak bisa mengganggu sekali saja?" Frank berlalu meninggalkan kedua wanita itu. Dia menuju ke ruang makan dan melihat Jaxon di sana, tapi putranya malah fokus pada sarapannya t
Kakek Damian menatap pria yang memunggunginya. Langkah kakinya tertahan di pertengahan anak tangga. Dia pun melanjutkan kembali langkah kakinya. "Untuk apa kau datang kesini?" tanya kakek Damian. Dia menatap pria yang memunggunginya. Frank menoleh dan melihat pria yang tak lagi muda, rambutnya tak lagi ada hitamnya melainkan rambutnya sudah memutih. Wajahnya yang di penuhi keriput terlihat jelas dengan kelelahan. Dia merasa bersalah dan menyesali perbuatannya. "Kakek." BrukFrank langsung menjatuhkan dirinya di depan lakek Damian. "Kakek! maafkan aku, maafkan aku." Kedua tangannya memegang salah satu kaki kakek Damian."Maafkan aku Kek."Kakek Damian menatapa lurus ke depan. Ia begitu enggan untuk melihat wajah Frank. "Kau sudah tau menyesalinya?""Berdirilah Frank, aku ingin melihat wajah mu." Kakek Damian membantu Frank berdiri. Dia menatap wajah Frank dan tangannya yang tak pernah menampar atau berbuat kasar kini melayangkan tangannya menampar pipi Frank. Frank menunduk, ia ta