“Kau gugup?” Suara Axel tetap tenang, nyaris malas, padahal dia sangat menikmati ini. “Coba katakan, apa yang kau rasakan?”Zuri menelan ludah, matanya masih terkunci pada mata Axel, seolah mencari celah untuk memastikan dia tidak melakukan kesalahan. Wajahnya penuh ketegangan, bibirnya bergetar halus. “Aku ... aku hanya takut melakukan kesalahan,” bisiknya, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan mobil.Axel menarik lengan Zuri, merasakan getaran halus di bawah kulitnya. Manis. Sangat manis. Zuri selalu terlihat paling menarik saat begini—takut, ragu, tapi tetap berusaha menuruti keinginannya. Dia tersenyum tipis, puas dengan kelemahan yang terpancar dari wajah Zuri.“Santai saja.” Senyum tipis terangkat di bibir Axel. “Aku akan menuntunmu, Zuri. Yang perlu kau lakukan hanya satu—fokus memberiku bayi laki-laki.”Zuri mengangguk, matanya melemah sejenak, menunjukkan kepasrahan. Axel menuntunnya dengan sabar di awal. Namun ketika kewanitaannya terpampang di depan mata, si suami mend
Zuri mencoba mendorong dada Axel, tapi si suami menahan tangannya, menjepitnya di antara tubuh mereka. Napas Zuri memburu, seakan ingin protes, tapi Axel lebih dulu menunduk, membiarkan bibirnya menyentuh tengkuk Zuri. Zuri menggigil, tubuhnya bergetar hebat, wajahnya memerah dengan campuran ketakutan dan hasrat.Axel meniup tepat di bawah telinga Zuri, membuat si wanita menegang. Bahkan mungkin bila Zuri lari darinya, pasti mudah bagi Axel menemukannya. Menariknya kembali, bahkan jika harus mengikat paksa agar tidak ke mana-mana.Zuri mengerang pelan, matanya terpejam seolah terbawa sensasi itu.Axel merasakan desahan Zuri, campuran ketakutan dan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih gelap. Lebih dalam. Dia akan menghabiskan setiap detik untuk memastikan Zuri tidak punya pilihan selain tetap di sini.Jari-jari Axel menyeret naik ke tengkuk Zuri, menahan gerakannya saat wanitanya berusaha menghindar. Napas Zuri berembus cepat, seperti ingin melawan, tapi Axel tak memberi kesempatan. D
Seharusnya tidak ada alasan untuk itu. Seharusnya Zuri sudah terbiasa. Tapi tidak. Sejak hari di kafe itu, Zuri tahu siapa Axel Nightvale yang sebenarnya. Ketika Axel membawakan bukti-bukti kuat tentang kejahatan Elysia, lalu memaksa Zuri memilih antara penjara atau menikah dengannya. Saat Axel bahkan dengan mudah menghancurkan Jaxon dan membuat Zuri tak punya pilihan selain menerimanya. Axel duduk di hadapannya waktu itu, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme tenang, senyum tipis di wajahnya—senyum yang membuat Zuri merinding.Hari itu, Zuri tahu Axel bukan pria biasa. Dan sejak saat itu, Zuri tidak pernah bisa sepenuhnya lepas dari ketakutan bahwa Axel bisa menyakitinya lebih dalam dari yang sudah dilakukan pria itu padanya selama ini. Walau bukan kesakitan secara fisik yang didapatkannya.Tok! Tok!Ketukan di jendela menyentak Zuri.Sejak tadi, Zuri hanya terdiam menatap langit-langit mobil. Dia lupa segalanya. Dia lupa di mana dirinya berada.Lalu Zuri melihatnya.Axel.Zuri men
Zuri sama sekali tidak bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran Axel sekarang. Dia terbaring di ranjang, tubuhnya lelah dan terhanyut dalam keheningan yang hanya diselingi suara langkah Axel saat pria itu keluar.Axel melangkah pergi, pundaknya sedikit terkulai—mungkin lelah, tapi tak ada tanda akan berbalik.Keesokan paginya, Zuri terbangun di saat matahari sudah tinggi. Sesaat, dia merasa bingung. Axel biasanya akan membangunkan Zuri dengan suara keras, namun kali ini tidak ada.Tidak ada teriakan pagi ini, tidak ada teguran. Zuri melirik ke sisi ranjang—kosong, hanya aroma samar Axel yang tertinggal.Ada apa dengan si suami? Apa karena ada rapat penting yang membuat pria itu terburu-buru? Atau, apakah Axel sedang menyimpan kemarahannya pada Zuri untuk nanti?“Nyonya.” Suara Dottie terdengar.Zuri mengalihkan pandangan ke sekitar. Rumah ini terasa lebih ramai daripada biasanya, banyak orang asing yang mondar-mandir. Apa yang sedang terjadi?“Ada apa ini, Dottie? Siapa mereka?” Zur
Sesuatu telah terjadi.Lennox Fairfax menunggui Zuri di rumah sakit. Rupanya Zuri pingsan setelah dianiaya oleh orang tidak dikenal.Zuri terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat dengan luka-luka yang terlihat jelas, namun posturnya tetap anggun meski rapuh.“Biarkan aku yang bertanggung jawab atas kejadian ini,” ucap Lennox, nada penuh keyakinan, saat dia dan Axel duduk berhadapan di kantin rumah sakit.“Ini ulah para penggemarmu?” Axel menebak, dan sudah bisa merasakannya. Matanya menatap Lennox tajam, penuh tekanan yang tak terucapkan.“Menurutku begitu. Aku punya penggemar fanatik yang sering kali membuntuti ke mana pun aku pergi. Mereka tidak pernah berani muncul di hadapanku, tapi keberadaan mereka selalu mengintai dari jauh.” Lennox mulai menjelaskan panjang lebar. “Sepertinya mereka tak tahu kalau Zuri punya suami berpengaruh sepertimu ....”Axel hanya menatap pria itu dengan tajam. “Atau mereka tahu, dan tetap nekat mencelakai istriku.” Ucapan Axel meluncur tajam, men
Axel hanya mengangguk. Rasa kesal semakin membuncah. “Aku tidak peduli. Temukan siapa pelakunya, Gideon. Kalau kau berhasil, aku pinjamkan kapal pesiarku seminggu untukmu.”“Hei, itu terlalu sedikit untuk pekerjaan ini. Dua minggu. Bagaimana?” Gideon menyeringai, alisnya terangkat penuh percaya diri.“Terserah kau,” jawab Axel dengan ketegasan yang tak terbantahkan. “Yang penting segera bawa mereka ke hadapanku. Kalau perlu paksa.”Gideon menatap Axel dengan tatapan yang lebih serius, mendekatkan wajahnya. “Kau yakin ini perbuatan berkelompok?”“Jika tidak, kenapa Zuri bisa sampai pingsan begitu?” Axel memiringkan kepala, seolah menimbang segala kemungkinan, matanya menyipit penuh perhitungan. “Meski Zuri tampak lemah, dia tidak akan kalah tanpa perlawanan. Lennox juga mengaku punya penggemar fanatik yang selalu mengawasinya.”Gideon menggeleng, tampak sedikit terkejut. “Wah, gila! Jangan sampai pesonamu dikalahkan oleh Lennox, Axel.”Axel mendengus, nada suaranya penuh penghinaan. “A
Bodoh. Begitu bodohnya Zuri. Axel yang sempat ingin marah, malah jadi diam, rasa bersalah mengalir begitu saja. Wajah Zuri yang lebam, penuh memar, seolah meruntuhkan segala kebencian yang sempat dirasakan oleh Axel. Dia menghela napas pelan, tapi wajahnya tetap tidak menunjukkan apa yang dipikirkannya.Axel harusnya lebih tegas, lebih bisa melindungi. Tapi kenapa dia merasa seperti seorang suami yang gagal? Dia hanya berdiri di sana, menatap Zuri yang kini menggenggam selimut lebih erat. Sikap yang tetap lembut meski penuh luka.Tidak bisa menunda lagi. Zuri tahu Axel terus menuntut agar dia jujur lewat semua tindakan dan akhirnya Zuri mengalah. Tidak ada gunanya juga menyembunyikan semua dari Axel—pada akhirnya Axel pasti akan tahu. Atau mungkin sudah tahu. Mungkin suaminya itu hanya ingin mendengar langsung darinya.Zuri menatap Axel dengan mata penuh ketakutan dan tangannya bergetar pelan.Beberapa jam sebelumnya.Zuri keluar dari toko bunga, membawa buket mawar pink tua yang dire
Axel bersandar ke kursi, menatap Zuri dengan tajam. “Bahkan meski kau keluarganya, mereka tetap tidak akan peduli. Bagi mereka, kau hanya orang asing yang tiba-tiba muncul di orbit Lennox.” Nada suaranya datar, tapi ada penekanan di setiap kata.Zuri menelan ludah, pikirannya mendadak penuh. Kenapa dia baru menyadarinya sekarang? Lennox Fairfax bukan sembarang pria. Pria itu sudah lama dikenal sebagai musisi berbakat dengan suara yang merdu, sosok yang dielu-elukan banyak orang. Meskipun lebih dulu diangkat sebagai putra bibinya. Zuri menunduk, raut wajahnya menjadi gelisah.Bagi siapa pun yang akhirnya tahu, Zuri hanya keponakan dari ibu angkatnya Lennox, bukan siapa-siapa.Seharusnya mereka memang orang asing satu sama lain. Tidak ada ikatan yang menghubungkan mereka selain kenangan samar tentang bibi Isolde.Tapi bagi orang-orang yang mengagumi Lennox, kehadiran Zuri mungkin terlihat berbeda. Sesuatu yang harus disingkirkan.Axel masih sibuk dengan ponselnya. Keningnya berkerut, je
“Hm-mh,” jawab Zuri, suaranya parau seperti bersenandung.“Tidurlah. Akan kubangunkan saat hujannya reda,” kata Axel.“Baiklah,” jawab Zuri. Entah nadanya kecewa atau tidak, tapi setengah sadar, dia mengecup leher Axel pelan sebelum memejamkan mata.Saat terbangun beberapa belas menit kemudian, Zuri melihat embun sisa hujan di kaca mobil. Axel sudah menyetir, alunan musik lembut mengalir—pengantar tidur. Untuknya? Dia pikir mungkin saja begitu. Menggeliat dalam selimut, Zuri mendengar Axel berdeham.“Jangan sampai selimutmu terlepas, Zuri. Atau aku akan menghukummu. Kau mengerti?” ancam Axel.Bercanda atau serius, tetap saja Zuri merasa panik. “Aku mengerti.”“Bagus,” kata Axel.Jalan menuju rumah di Fairview sudah dekat. Zuri menghela napas. Seperti rasa kecewa karena kebersamaan mereka segera berakhir.“Ponselmu terus berdering sejak tadi. Periksalah,” ujar Axel.Zuri menemukan tas di bawah kakinya. Melihat ponsel, jantungnya berdebar cepat. Lennox menelepon lima belas kali dan meni
Mendapatkan undangan dari salah satu kenalan Nyonya Marina Edelina Swiss untuk peragaan busana di aula terbesar di Valmont, Zuri mengajak Rara bersamanya. Acara itu dipenuhi perancang busana ternama dari Valmont dan sekitarnya. Setelah selesai, Zuri melihat Rara lebih banyak diam, sesuatu yang tidak biasa.Namun, Zuri bisa merasakan kepercayaan diri Rara memudar perlahan. Sepertinya, itu cuma dugaan Zuri.“Zuri, kurasa kita butuh seorang perancang busana,” ujar Rara saat mereka melangkah melewati lobi. “Selama ini, aku dan Sila hanya mengikuti selera dan permintaan pelanggan sesuai model yang mereka inginkan—entah meniru foto majalah atau gambar model pakaian. Bagaimana menurutmu?”Zuri tersenyum, mengangguk setuju. “Ide bagus, Rara. Tapi menurutku, bukankah kau bisa menjadi keduanya?”Rara menatap Zuri, mengerjapkan matanya berulang kali, seolah Zuri baru saja mengucapkan sesuatu yang tidak masuk akal. “Zuri, akan kuberitahu padamu,” kata Rara serius. “Sebenarnya, tidak ada yang sala
Axel membongkar itu di depan Lennox, sengaja. Dia tak pernah memberitahu Zuri semua yang diketahuinya. Baginya, Zuri tidak perlu tahu betapa dalam dia menggali setiap detail hidup istrinya itu. Penasaran adalah kekuatan Axel, dan tak ada yang bisa disembunyikan dari dirinya.Lennox berusaha menyembunyikan keterkejutannya, tapi Axel melihatnya—senyum sekilas yang canggung, penuh cemas.“Aku juga benar-benar tidak tahu kenapa kakak tiriku bisa tiba di sini tanpa tanda apa pun yang terbaca olehku. Biasanya, aku selalu tahu keberadaannya. Aku yakin, beberapa hari lalu dia masih di luar negeri untuk urusan pekerjaan. Axel, aku sungguh-sungguh minta maaf,” pintanya tulus.Tatapan Lennox penuh penyesalan, sorot mata yang jujur—Axel mengerti itu. Mereka sesama pria, bisa membaca isyarat seperti ini. Tapi kejujuran itu tidak cukup untuk Axel.“Jauhkan dia dari Zuri, atau aku yang akan bertindak,” ancam Axel, nadanya datar tapi tegas.“Tentu. Aku pasti akan menjauhkan Zuri dari kakakku. Aku ber
“Kau belum siap untuk itu,” kata Axel, menarik Zuri dari dinding dan mendorongnya ke meja rias di sudut kamar.Axel membalikkan tubuh Zuri, menekuk pinggang si istri hingga tangan bertumpu di meja, bokong Zuri terangkat sempurna di hadapannya.Cermin di depan Zuri memantulkan wajahnya—pucat, penuh hasrat, dan ketakutan yang selalu membuat Axel terobsesi.“Lihat dirimu,” perintah Axel, tangannya menyentuh punggung Zuri, menelusuri lekuk tubuh istrinya yang gemetar. “Kau harus tahu betapa kau cuma milikku.”Axel membuka laci meja rias, mengambil sabuk kulit yang tersimpan di sana.Zuri menoleh, matanya melebar. “Axel, apa—”“Diam,” bentak Axel, melipat sabuk itu dan menampar bokong Zuri pelan—tidak terlalu keras, tapi cukup membuat Zuri tersentak dan mengerang. “Ini baru. Kau akan belajar menikmatinya.”Axel menggesekkan kejantanannya di antara bokong Zuri, tak langsung masuk, hanya menggoda—seperti kebiasaannya. Ujung batangnya menyentuh kewanitaan Zuri. Basah dan panas, tapi Axel mena
“Axel, tolong ….” Zuri memohon, tidak tahan lagi dengan siksaan ini.“Tolong apa?” Axel menggesekkan kejantanannya di bibir kewanitaan Zuri, menggoda si istri tanpa masuk. “Katakan kau membutuhkanku.”“Aku membutuhkanmu,” bisik Zuri, putus asa.Senyum kemenangan Axel muncul sekilas sebelum dia mendorong masuk penuh, miliknya mengisi Zuri dengan penuh dan satu hantaman keras. Zuri menjerit, tubuhnya melengkung karena sensasi yang luar biasa. Axel tidak memberi istrinya itu waktu, langsung bergerak dengan ritme brutal, ranjang berderit di bawah tekanannya.“Kau milikku, Zuri,” kata Axel, tangannya mencengkeram pinggul Zuri erat. “Hanya aku yang boleh membuatmu begini.”Zuri mencakar seprai, mencoba menahan orgasme yang mengancam. Kewanitaannya berkedut mengelilingi kejantanan Axel, basah dan licin, tapi dia tahu kalau harus menunggu.Axel mempercepat gerakan, napasnya semakin berat, keringat menetes dari dahinya. “Tahan,” perintah Axel, parau.Zuri menggigit bibir hingga terasa perih, t
Axel membalikkan tubuh Zuri tiba-tiba, menekan ke sofa hingga wajah si istri terbenam di bantal. “Angkat pinggulmu,” perintahnya.Zuri menurut, merasakan tangan Axel mencengkeram bokongnya. Kejantanan Axel masuk lagi dari belakang, lebih dalam, lebih brutal. Dia mencakar bantal, menahan jeritan.“Jangan berani selesai, Zuri,” ancam Axel, tangannya menampar bokong Zuri keras hingga pasti menyisakan perih. “Aku belum selesai denganmu.”Zuri terengah, mencoba mengendalikan tubuhnya yang sudah di ambang puncak. Axel terus menghantam, suara kulit bertemu kulit mengisi ruangan.Napas Axel semakin berat, tanda dia mendekati klimaks. “Kau milikku,” desisnya. Tangannya mencengkeram pinggul Zuri erat. “Hanya aku yang boleh membuatmu begini.”Akhirnya, Axel mengerang keras, miliknya berdenyut di dalam Zuri saat dia mencapai puncak. Cairan panasnya mengisi si istri sepenuhnya dan baru saat itulah Axel berkata. “Sekarang, selesai untukku.”Zuri tidak bisa menahan lagi. Dengan satu dorongan terakhi
Zuri terengah saat Axel mencium lehernya. Tangan si suami merayap ke bawah, membuka resleting rok-nya. Ketakutan Zuri bercampur sensasi aneh—dia tidak bisa melawan. Bibir Axel turun ke dadanya, lidah panas itu menari di kulitnya, dan Zuri mendesah tanpa sadar. Axel membuka kedua kaki Zuri, jari-jarinya menyelinap ke dalam, menggoda si istri hingga Zuri terengah.“Axel ….” Zuri merintih, tubuhnya mengkhianatinya.“Katakan kau menginginkanku,” desis Axel, menekan Zuri lebih dalam.Zuri tak bisa menolak. “Aku menginginkannya,” bisik Zuri, dan Axel tersenyum puas, meneruskan hingga mereka tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang panas dan liar.Zuri lemah, menyerah pada tatapan gelap Axel yang penuh kemenangan. Senyum Axel melebar, tapi tidak ada kehangatan di dalamnya—hanya hasrat dingin yang membakar.Axel mendorong Zuri lebih keras ke sofa, blus-nya sudah terbuka penuh, bra-nya direnggut Axel dengan satu gerakan kasar hingga dia tersentak. Napas Zuri memburu saat jari-jari Axel meraya
Zuri merasa ini terlalu aneh.Axel mencium Zuri begitu dalam, hingga napasnya tersendat. Kenapa? Apa ini pertanda Axel ingin naik ke tempat tidur untuk bercinta? Jantung Zuri berdegup kencang, hampir meledak di depan sorot mata suaminya yang gelap dan tajam.Mereka terengah bersama saat Axel melepaskan Zuri. Sudut bibir Axel tertarik—sinis, dingin. Dan Zuri tidak bisa memahami maksudnya.“Ayo, masuk,” ajak Axel, bernada rendah dan menggoda.Bulu kuduk Zuri berdiri. Dia takut—selalu begitu di dekat sang suami. Tapi di saat yang sama, ada getar aneh di tubuhnya. Axel melingkarkan lengannya hampir menyentuh perut Zuri, mengingatkan wanita itu pada tujuan Axel menikahinya, bayi laki-laki.Oh, seketika Zuri ingat. Dia lupa pamit pada Lennox! Ketakutan pada Axel membuatnya berlari begitu si suami memanggil, meninggalkan Lennox tanpa sepatah kata.“Apa yang kau lihat?” bentak Axel tiba-tiba.Zuri terperanjat, cepat berbalik dari menoleh ke belakang. “Tidak. Itu ….”Haruskah dia memberitahu A
“Takut padaku? Oh, Zuri Everlyn. Kau terlalu manis,” kata Axel dalam hati. Dia selalu sadar bahwa garis antara kebodohan dan sikap menggemaskan si istri begitu tipis, namun memabukkan. Jangan berubah—tetaplah seperti itu. Inilah keinginan serius seorang Axel.“Mau kusiapkan teh lemon atau cokelat panas?” tawar Zuri, lembut namun terjaga jarak. Dia selalu begitu—menjaga ruang kosong di antara mereka, kecuali saat keduanya berada di atas ranjang.“Tidak ke dua-duanya,” jawab Axel.Karena Zuri yang tampak menciut karena jawabannya, membuat Axel nyaris tertawa geli. “Kopi saja, kalau begitu,” tambahnya. Dia sudah berniat mematikan ponselnya, tapi menemukan banyak pesan masuk, termasuk dari si istri.Axel membuka pesan itu sambil mengingat kejadian pagi tadi. Saat Zuri mengirim pesan ini, Axel masih sibuk menenangkan Alina dari tangisnya. Beruntung, Ronan akhirnya datang menjemput setelah mereka sarapan donat kayu manis dan sereal cokelat. Entah bagaimana Ronan memenangkan perdebatan denga