Bodoh. Begitu bodohnya Zuri. Axel yang sempat ingin marah, malah jadi diam, rasa bersalah mengalir begitu saja. Wajah Zuri yang lebam, penuh memar, seolah meruntuhkan segala kebencian yang sempat dirasakan oleh Axel. Dia menghela napas pelan, tapi wajahnya tetap tidak menunjukkan apa yang dipikirkannya.Axel harusnya lebih tegas, lebih bisa melindungi. Tapi kenapa dia merasa seperti seorang suami yang gagal? Dia hanya berdiri di sana, menatap Zuri yang kini menggenggam selimut lebih erat. Sikap yang tetap lembut meski penuh luka.Tidak bisa menunda lagi. Zuri tahu Axel terus menuntut agar dia jujur lewat semua tindakan dan akhirnya Zuri mengalah. Tidak ada gunanya juga menyembunyikan semua dari Axel—pada akhirnya Axel pasti akan tahu. Atau mungkin sudah tahu. Mungkin suaminya itu hanya ingin mendengar langsung darinya.Zuri menatap Axel dengan mata penuh ketakutan dan tangannya bergetar pelan.Beberapa jam sebelumnya.Zuri keluar dari toko bunga, membawa buket mawar pink tua yang dire
Axel bersandar ke kursi, menatap Zuri dengan tajam. “Bahkan meski kau keluarganya, mereka tetap tidak akan peduli. Bagi mereka, kau hanya orang asing yang tiba-tiba muncul di orbit Lennox.” Nada suaranya datar, tapi ada penekanan di setiap kata.Zuri menelan ludah, pikirannya mendadak penuh. Kenapa dia baru menyadarinya sekarang? Lennox Fairfax bukan sembarang pria. Pria itu sudah lama dikenal sebagai musisi berbakat dengan suara yang merdu, sosok yang dielu-elukan banyak orang. Meskipun lebih dulu diangkat sebagai putra bibinya. Zuri menunduk, raut wajahnya menjadi gelisah.Bagi siapa pun yang akhirnya tahu, Zuri hanya keponakan dari ibu angkatnya Lennox, bukan siapa-siapa.Seharusnya mereka memang orang asing satu sama lain. Tidak ada ikatan yang menghubungkan mereka selain kenangan samar tentang bibi Isolde.Tapi bagi orang-orang yang mengagumi Lennox, kehadiran Zuri mungkin terlihat berbeda. Sesuatu yang harus disingkirkan.Axel masih sibuk dengan ponselnya. Keningnya berkerut, je
Zuri mengangguk pelan. Tidak akan dia permasalahkan perhatian Axel sebagai bentuk lain, selain karena Axel pasti tidak ingin melihatnya celaka, jangan sampai dia membuat Axel mendapatkan malu. Reputasi, penting untuk seorang Axel Nightvale. Zuri menatap si suami dengan ketakutan yang kembali muncul.Sekarang, Zuri meraih mawar kedua dan memberikannya lagi pada Axel. Masih bergetar. “Ini rasa terima kasihku karena kau mau membantuku untuk segera hamil. Kau meminta Dottie menyiapkan segala hal untuk itu. Terima kasih, Axel.” Suaranya lembut, berusaha penuh kehangatan.Axel menerima mawar kedua tanpa menjawab. Jadi Zuri menunggu. Mungkin Axel berusaha berpikir sebelum mengutarakannya. Ekspresi wajah yang tetap tidak berubah, hanya ada kerutan kecil di keningnya.Hening.“Yang terakhir, apa itu juga untukku?” Axel menunjuk mawar yang masih di samping Zuri. Sisa satu tangkai lagi.“Oh, ya. Ini untukmu juga. Atas rasa terima kasihku karena kau membangun butik yang luar biasa bagus. Aku bahk
Jadi, Axel tidak suka menunggu.Dia juga tidak suka membuang waktu untuk sesuatu yang tidak memberikan dampak sepadan.Dari itu dia akan bergerak cepat. Sendirian.Meninggalkan kantor lebih awal, Axel menemukan Zuri di butik, sibuk dengan penjahitnya. Tertawa, berbincang, seakan dunia mereka aman-aman saja. Seakan pekan lalu tidak terjadi apa-apa.Tentu saja, istrinya Axel itu tidak perlu tahu apa yang sedang dirancangnya.Axel mengambil ponsel dan menghubungi Caden. Satu panggilan, satu eksekusi.“Tawarkan posisi tetap di cabang. Fasilitas setara kepala divisi, tapi ada satu syarat,” kata Axel.“Ya, Tuan?” jawab Caden.“Hanya bisa diisi oleh pria lajang.”Caden diam sejenak. Tapi dia cukup pintar untuk tidak mempertanyakan maksud Axel. “Baik, Tuan. Ada instruksi tambahan?”“Beri dia waktu dua hari untuk berpikir. Jika setuju, urus semuanya. Kontrak, fasilitas, keberangkatan—semua harus siap dalam hari yang sama. Dan pastikan dia mengerti, kesepakatan ini hanya berlaku selama statusny
Dari dalam jaket, Axel mengeluarkan beberapa bungkus kokain murni yang sangat sulit didapat tanpa jaringan yang luas. Dia menyelipkannya di balik kasur, di dalam koper, dan yang terakhir—di dalam botol kosmetik mereka. Detail itu penting.Setelah memastikan semuanya terlihat alami, Axel keluar dengan tenang. Tidak ada jejak. Tidak ada suara. Seakan dia tidak pernah ada di sana.Lima belas menit setelah jam makan malam, Axel menekan nomor kontak yang sudah tersimpan di ponselnya.“Operator 911, ada yang bisa saya bantu?” tanya suara di seberang.“Saya ingin melaporkan aktivitas mencurigakan di Tara Cottage. Kamar 306. Saya melihat tiga wanita membawa paket mencurigakan, emm … seperti serbuk putih ke dalam kamar mereka,” kata Axel, suaranya datar, nyaris malas, tapi ada nada ragu-ragu. Sengaja. Biasanya, begitulah seorang warga baik yang kebetulan melihat sesuatu yang tidak beres.Kurang dari sepuluh menit, sirene meraung di kejauhan. Axel sudah dalam perjalanan pulang.Begitu tiba di r
[Axel, bolehkah aku pergi mengantarkan gaun pesanan Nyonya Marina, istri pejabat yang tempo hari kukatakan padamu?]Pesan itu sudah dikirim Zuri beberapa menit lalu, tapi belum juga ada balasan. Dia menghela napas, jari-jarinya menggenggam ponsel lebih erat. Gelisah.Zuri ingin mengantarkan pesanan pertama butik ini sendiri. Dia ingin menjadi bagian dari keberhasilan pertama ini. Bukankah dia yang mendesain dan mengurus semuanya?Lima menit.Enam menit.Di menit ketujuh, notifikasi muncul di layar.Axel: Asal kau pergi bersama Cole dan biarkan dia menunggumu hingga selesai, itu tidak masalah.Zuri menahan napas. Berdebar, tapi juga sedikit lega. Axel sangat baik akhir-akhir ini. Terlalu baik.Zuri tidak bodoh. Dia tahu kenapa Axel seperti itu. Pria itu ingin dia dalam kondisi terbaik untuk hamil.Zuri tahu, mental seorang wanita yang menjalani program kehamilan harus stabil. Tidak boleh stres. Tidak boleh cemas. Harus bahagia. Tapi bukankah aneh jika dia justru merasa semakin terbeban
Ucapan Lennox terasa begitu menenangkan, seolah menghapus sisa kecemasan yang masih bersarang di dada Zuri. Entah kenapa, kali ini dia benar-benar percaya pada kata-kata pria itu.“Terima kasih, Lennox,” ucap Zuri.Lennox menatap Zuri, seperti biasa—dengan sorot yang bersahabat dan senyum lembut yang membuatnya tampak begitu dapat dipercaya. Wajahnya selalu memberi kesan nyaman untuk dipandang lama-lama. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini.Dua lingkaran gelap samar tampak di bawah matanya. Kurang tidur? Jadwalnya padat?“Jangan berterima kasih. Justru aku merasa sangat bersalah padamu. Aku berutang maaf,” ucapnya lirih.Zuri tertawa kecil. “Tidak perlu berutang. Aku sudah memaafkanmu. Lunas, Lennox.”“Sungguh?” Mata Lennox mengerjap cepat. Ada kilasan keterkejutan yang sekilas tampak menggemaskan.Zuri mengangguk, sengaja mengalihkan pembicaraan. Lennox memang kerap seperti itu. Senyum yang terukir untuknya selalu terlalu lembut seperti permen kapas, sehingga bisa jadi kelemahan
Dibiarkan, namun kembali berdering. Zuri menatap Axel, ragu untuk melanjutkan penjelasannya.“Sebentar,” ucap Axel, menarik diri menjauh dan menjawab panggilan teleponnya.Caden.“Halo.”“Nona Daphne Fontaine mengalami benturan di kepalanya. Dia mengaku, seseorang mendorongnya di tangga darurat saat berencana keluar sebentar.”“Berikan alamat rumah sakitnya. Aku akan segera ke sana.” Axel mengakhiri panggilan, mengambil jas yang masih tergantung di tangan Zuri dan menatap si istri sekilas. “Makan malamlah tanpa aku. Sepertinya aku tidak akan pulang malam ini.”Zuri hanya mengangguk pelan. Tidak ada protes, apalagi pertanyaan.Saat sudah memegang gagang pintu, Axel teringat sesuatu. “Jangan buka butikmu sampai malam hari. Biarkan pekerjamu pulang lebih cepat.”“Ya, aku mengerti.” Zuri kembali mengangguk.Axel menatap wanita itu sejenak. Dasinya masih tergenggam di tangan wanita itu. Tak ada pertanyaan? Tak ada keberatan?Ah, memang lebih baik begitu.Kalau Zuri bertanya seperti istri p
Mendapatkan undangan dari salah satu kenalan Nyonya Marina Edelina Swiss untuk peragaan busana di aula terbesar di Valmont, Zuri mengajak Rara bersamanya. Acara itu dipenuhi perancang busana ternama dari Valmont dan sekitarnya. Setelah selesai, Zuri melihat Rara lebih banyak diam, sesuatu yang tidak biasa.Namun, Zuri bisa merasakan kepercayaan diri Rara memudar perlahan. Sepertinya, itu cuma dugaan Zuri.“Zuri, kurasa kita butuh seorang perancang busana,” ujar Rara saat mereka melangkah melewati lobi. “Selama ini, aku dan Sila hanya mengikuti selera dan permintaan pelanggan sesuai model yang mereka inginkan—entah meniru foto majalah atau gambar model pakaian. Bagaimana menurutmu?”Zuri tersenyum, mengangguk setuju. “Ide bagus, Rara. Tapi menurutku, bukankah kau bisa menjadi keduanya?”Rara menatap Zuri, mengerjapkan matanya berulang kali, seolah Zuri baru saja mengucapkan sesuatu yang tidak masuk akal. “Zuri, akan kuberitahu padamu,” kata Rara serius. “Sebenarnya, tidak ada yang sala
Axel membongkar itu di depan Lennox, sengaja. Dia tak pernah memberitahu Zuri semua yang diketahuinya. Baginya, Zuri tidak perlu tahu betapa dalam dia menggali setiap detail hidup istrinya itu. Penasaran adalah kekuatan Axel, dan tak ada yang bisa disembunyikan dari dirinya.Lennox berusaha menyembunyikan keterkejutannya, tapi Axel melihatnya—senyum sekilas yang canggung, penuh cemas.“Aku juga benar-benar tidak tahu kenapa kakak tiriku bisa tiba di sini tanpa tanda apa pun yang terbaca olehku. Biasanya, aku selalu tahu keberadaannya. Aku yakin, beberapa hari lalu dia masih di luar negeri untuk urusan pekerjaan. Axel, aku sungguh-sungguh minta maaf,” pintanya tulus.Tatapan Lennox penuh penyesalan, sorot mata yang jujur—Axel mengerti itu. Mereka sesama pria, bisa membaca isyarat seperti ini. Tapi kejujuran itu tidak cukup untuk Axel.“Jauhkan dia dari Zuri, atau aku yang akan bertindak,” ancam Axel, nadanya datar tapi tegas.“Tentu. Aku pasti akan menjauhkan Zuri dari kakakku. Aku ber
“Kau belum siap untuk itu,” kata Axel, menarik Zuri dari dinding dan mendorongnya ke meja rias di sudut kamar.Axel membalikkan tubuh Zuri, menekuk pinggang si istri hingga tangan bertumpu di meja, bokong Zuri terangkat sempurna di hadapannya.Cermin di depan Zuri memantulkan wajahnya—pucat, penuh hasrat, dan ketakutan yang selalu membuat Axel terobsesi.“Lihat dirimu,” perintah Axel, tangannya menyentuh punggung Zuri, menelusuri lekuk tubuh istrinya yang gemetar. “Kau harus tahu betapa kau cuma milikku.”Axel membuka laci meja rias, mengambil sabuk kulit yang tersimpan di sana.Zuri menoleh, matanya melebar. “Axel, apa—”“Diam,” bentak Axel, melipat sabuk itu dan menampar bokong Zuri pelan—tidak terlalu keras, tapi cukup membuat Zuri tersentak dan mengerang. “Ini baru. Kau akan belajar menikmatinya.”Axel menggesekkan kejantanannya di antara bokong Zuri, tak langsung masuk, hanya menggoda—seperti kebiasaannya. Ujung batangnya menyentuh kewanitaan Zuri. Basah dan panas, tapi Axel mena
“Axel, tolong ….” Zuri memohon, tidak tahan lagi dengan siksaan ini.“Tolong apa?” Axel menggesekkan kejantanannya di bibir kewanitaan Zuri, menggoda si istri tanpa masuk. “Katakan kau membutuhkanku.”“Aku membutuhkanmu,” bisik Zuri, putus asa.Senyum kemenangan Axel muncul sekilas sebelum dia mendorong masuk penuh, miliknya mengisi Zuri dengan penuh dan satu hantaman keras. Zuri menjerit, tubuhnya melengkung karena sensasi yang luar biasa. Axel tidak memberi istrinya itu waktu, langsung bergerak dengan ritme brutal, ranjang berderit di bawah tekanannya.“Kau milikku, Zuri,” kata Axel, tangannya mencengkeram pinggul Zuri erat. “Hanya aku yang boleh membuatmu begini.”Zuri mencakar seprai, mencoba menahan orgasme yang mengancam. Kewanitaannya berkedut mengelilingi kejantanan Axel, basah dan licin, tapi dia tahu kalau harus menunggu.Axel mempercepat gerakan, napasnya semakin berat, keringat menetes dari dahinya. “Tahan,” perintah Axel, parau.Zuri menggigit bibir hingga terasa perih, t
Axel membalikkan tubuh Zuri tiba-tiba, menekan ke sofa hingga wajah si istri terbenam di bantal. “Angkat pinggulmu,” perintahnya.Zuri menurut, merasakan tangan Axel mencengkeram bokongnya. Kejantanan Axel masuk lagi dari belakang, lebih dalam, lebih brutal. Dia mencakar bantal, menahan jeritan.“Jangan berani selesai, Zuri,” ancam Axel, tangannya menampar bokong Zuri keras hingga pasti menyisakan perih. “Aku belum selesai denganmu.”Zuri terengah, mencoba mengendalikan tubuhnya yang sudah di ambang puncak. Axel terus menghantam, suara kulit bertemu kulit mengisi ruangan.Napas Axel semakin berat, tanda dia mendekati klimaks. “Kau milikku,” desisnya. Tangannya mencengkeram pinggul Zuri erat. “Hanya aku yang boleh membuatmu begini.”Akhirnya, Axel mengerang keras, miliknya berdenyut di dalam Zuri saat dia mencapai puncak. Cairan panasnya mengisi si istri sepenuhnya dan baru saat itulah Axel berkata. “Sekarang, selesai untukku.”Zuri tidak bisa menahan lagi. Dengan satu dorongan terakhi
Zuri terengah saat Axel mencium lehernya. Tangan si suami merayap ke bawah, membuka resleting rok-nya. Ketakutan Zuri bercampur sensasi aneh—dia tidak bisa melawan. Bibir Axel turun ke dadanya, lidah panas itu menari di kulitnya, dan Zuri mendesah tanpa sadar. Axel membuka kedua kaki Zuri, jari-jarinya menyelinap ke dalam, menggoda si istri hingga Zuri terengah.“Axel ….” Zuri merintih, tubuhnya mengkhianatinya.“Katakan kau menginginkanku,” desis Axel, menekan Zuri lebih dalam.Zuri tak bisa menolak. “Aku menginginkannya,” bisik Zuri, dan Axel tersenyum puas, meneruskan hingga mereka tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang panas dan liar.Zuri lemah, menyerah pada tatapan gelap Axel yang penuh kemenangan. Senyum Axel melebar, tapi tidak ada kehangatan di dalamnya—hanya hasrat dingin yang membakar.Axel mendorong Zuri lebih keras ke sofa, blus-nya sudah terbuka penuh, bra-nya direnggut Axel dengan satu gerakan kasar hingga dia tersentak. Napas Zuri memburu saat jari-jari Axel meraya
Zuri merasa ini terlalu aneh.Axel mencium Zuri begitu dalam, hingga napasnya tersendat. Kenapa? Apa ini pertanda Axel ingin naik ke tempat tidur untuk bercinta? Jantung Zuri berdegup kencang, hampir meledak di depan sorot mata suaminya yang gelap dan tajam.Mereka terengah bersama saat Axel melepaskan Zuri. Sudut bibir Axel tertarik—sinis, dingin. Dan Zuri tidak bisa memahami maksudnya.“Ayo, masuk,” ajak Axel, bernada rendah dan menggoda.Bulu kuduk Zuri berdiri. Dia takut—selalu begitu di dekat sang suami. Tapi di saat yang sama, ada getar aneh di tubuhnya. Axel melingkarkan lengannya hampir menyentuh perut Zuri, mengingatkan wanita itu pada tujuan Axel menikahinya, bayi laki-laki.Oh, seketika Zuri ingat. Dia lupa pamit pada Lennox! Ketakutan pada Axel membuatnya berlari begitu si suami memanggil, meninggalkan Lennox tanpa sepatah kata.“Apa yang kau lihat?” bentak Axel tiba-tiba.Zuri terperanjat, cepat berbalik dari menoleh ke belakang. “Tidak. Itu ….”Haruskah dia memberitahu A
“Takut padaku? Oh, Zuri Everlyn. Kau terlalu manis,” kata Axel dalam hati. Dia selalu sadar bahwa garis antara kebodohan dan sikap menggemaskan si istri begitu tipis, namun memabukkan. Jangan berubah—tetaplah seperti itu. Inilah keinginan serius seorang Axel.“Mau kusiapkan teh lemon atau cokelat panas?” tawar Zuri, lembut namun terjaga jarak. Dia selalu begitu—menjaga ruang kosong di antara mereka, kecuali saat keduanya berada di atas ranjang.“Tidak ke dua-duanya,” jawab Axel.Karena Zuri yang tampak menciut karena jawabannya, membuat Axel nyaris tertawa geli. “Kopi saja, kalau begitu,” tambahnya. Dia sudah berniat mematikan ponselnya, tapi menemukan banyak pesan masuk, termasuk dari si istri.Axel membuka pesan itu sambil mengingat kejadian pagi tadi. Saat Zuri mengirim pesan ini, Axel masih sibuk menenangkan Alina dari tangisnya. Beruntung, Ronan akhirnya datang menjemput setelah mereka sarapan donat kayu manis dan sereal cokelat. Entah bagaimana Ronan memenangkan perdebatan denga
Zuri ingin melihat Lennox di atas panggung. Dia ingin mendengar lagu yang Lennox ciptakan. Tapi, dia juga tahu, itu tidak semudah kelihatannya. Karena ada satu pertanyaan yang harus dijawab Zuri sebelum dia memutuskan. Apakah Axel akan mengizinkannya pergi?Langkah mereka terhenti ketika seseorang tiba-tiba menghadang di depan. Seorang wanita mungil dengan rambut dicat abu-abu, senyumnya manis—setidaknya untuk beberapa detik pertama.“Lennox, kaukah itu?” Suara wanita itu penuh antusias.Zuri melirik Lennox, menunggu reaksi pria di sisinya itu. Tapi yang dilihat Zuri bukan sambutan hangat, melainkan ketegangan. Bahu Lennox terlihat mengeras, dan tanpa sadar dia merapat ke arah Zuri.“Kenapa kau bisa sampai di sini?” Nada suara Lennox dingin, sama sekali tak mencerminkan keramahan.Wanita itu tertawa, tapi sorot matanya yang menatap Zuri berubah drastis—tajam dan menghakimi.“Kenapa tidak bisa? Aku bebas datang dan pergi sesukaku.” Wanita itu mendekat selangkah. “Mau kulaporkan pada ib